Dalam obrolan yang berlangsung lama, malam semakin larut, dan akhirnya, mereka pergi tidur di dekat pohon. Hanya beberapa pengawal yang tetap ditugaskan menjaga gerbong kereta.
Mandala, sementara itu, tidak pergi jauh dari tempat tersebut dan tertidur di atas alas dedaunan yang dibuat dengan sedikit usaha....Di pagi hari selanjutnya, cahaya matahari perlahan menyapa mereka, membuat bayangan pohon-pohon dan gerbong kereta semakin memudar. Para pengawal yang setia segera bangun dari kewaspadaan malam sebelumnya, sementara yang lainnya terbangun dengan kantuk yang masih menyergap.Dengan semangat yang membara, Mandala melangkah dari tempat tidurnya yang sederhana. Penuh energi, dia bersiap untuk memulai hari baru. Rencananya masih menyelimuti pikirannya. Setelah mendengar sejumlah cerita menarik dari Mangku Jati semalam, Mandala semakin menunjukkan ketertarikan yang mendalam pada berbagai hal.Mandala bersama kelompok Mangku Jati melanjutkan perjalanan menuju kota Murmur. Sebelum itu dengan baik hati Mangku Jati menyerahkan seekor kuda padanya, berharap membantu dan berlaku adil.Langkah kaki dan derap kuda menyatu dalam irama perjalanan yang pelan. Waktu berlalu seiring aliran sungai yang tenang, membawa mereka melalui lembah dan bukit yang mempesona. Mandala, sambil menikmati keindahan alam, menyadari betapa kecilnya dirinya di tengah kebesaran alam ini.Sementara mereka melintasi lembah dan bukit, obrolan ringan pun muncul di antara sekelompok orang itu. Galuh, dengan senyuman ramah, berkata, "Kudengar namamu Mandala, kan? Perkenalkan, namaku Galuh Aksa."Mandala yang mendengar sapaan itu menoleh ke arah samping kanannya, terlihat sosok pemuda sebaya dengannya berjalan bersama menunggangi kuda. Dia menatap lekat pemuda itu dan membalas sapaannya dengan anggukan dan senyuman ramah. Mandala kemudian berkata, "Senang bertemu denganmu.""Maafkan aku karena terlambat memperkenalkan diri," ucap Galuh dengan sederhana.Alasannya berkata seperti itu jelas karena semalam dia dan beberapa temannya sibuk melakukan penjagaan, sehingga dia tidak sempat bertegur sapa dengan Mandala."Haha, tolong jangan anggap diriku terlalu penting, kamu adalah seorang prajurit yang sibuk dan aku hanya orang biasa," balas Mandala sambil tertawa dengan lagat bercanda.Setelah saling memperkenalkan diri, Galuh dan Mandala semakin nyaman satu sama lain. Mereka melanjutkan perjalanan dengan langkah yang ringan, seiring kuda-kuda mereka berjalan dengan mantap di tanah yang berliku-liku. Pada suatu titik, Galuh memutuskan untuk membuka percakapan lebih dalam."Ngomong-ngomong, dari mana asalmu, Mandala? Apakah kamu sedang melakukan misi atau semacamnya juga?" tanya Galuh dengan rasa ingin tahu.Mandala tersenyum, "Aku berasal dari Desa Jelok, tidak terlalu jauh dari sini, dan aku hanya seorang petualang biasa."Galuh mengangguk mengerti, terlihat tertarik dengan ucapan Mandala. "Sungguh? Aku tidak mengira kau hanya petualang biasa dengan kemampuan hebatmu. Aku sendiri berasal dari perguruan Gangga di Gunung Jangka, wilayah timur kekuasaan Kultus Senanjar. Tidak sehebat dirimu."Telinga Mandala tiba-tiba berdenyut mendengar kata-kata dari Galuh, dia merasa agak sedikit aneh mendengar ucapan merendah darinya."Haha, kau terlalu merendahkan diri, saudaraku. Justru kaulah yang lebih hebat dariku, aku tidak tahu seperti apa perguruan Gangga yang kamu maksud, tapi melihatmu datang dari sana jelas memberikan kesan yang hebat. Sementara aku hanya orang biasa dari desa terpencil," ujar Mandala.Mereka berdua terus mengobrol di sepanjang jalan, sampai akhirnya, tanpa disadari, mereka telah sampai tidak jauh dari gerbang kota Murmur."Sayangnya, kami memiliki tugas yang harus diselesaikan. Mandala, terimakasih atas bantuanmu yang sebelumnya. Lain waktu akan kuusahakan membalas budimu dengan lebih baik," ucap Mangku Jati begitu memasuki gerbang kota, sambil tersenyum ramah.Yang lebih muda hanya mengangguk dengan senyum yang sama, "Tidak perlu repot-repot, tetua. Tumpangan kudamu sudah cukup untuk membalasnya."Mereka semua berpisah di gerbang kota, dengan harapan takdir akan membawa mereka bertemu kembali di masa depan."Semoga perjalananmu menyenangkan, Mandala. Sampai jumpa lain waktu!" Galuh berkata.Mandala menjawab, "Sampai jumpa lagi, Galuh," setelah itu, mereka masing-masing melanjutkan perjalanan mereka, menyimpan kenangan dari pertemuan singkat namun berarti di jalur setapak menuju Kota Murmur....Tidak lama setelah memasuki kota, Mandala, sebagai pendatang baru, tidak habis-habisnya menunjukkan tatapan terpukau."Inikah kota Murmur? Luar biasa, jauh lebih besar dari pemukiman yang pernah kulihat," ucapnya penuh kekaguman.Mandala melanjutkan langkahnya, berjalan melewati jalan-jalan ramai dan pasar yang hidup. Kota Murmur menampilkan keindahan arsitektur khasnya dan keanekaragaman budaya yang tercermin dari setiap sudutnya. Terlihat ada banyak pedagang berjejer di setiap sisi jalan, menjual barang-barang yang cukup asing dimata Mandala.Kota ini terbilang sangat besar dalam sudut pandang Mandala, tapi jika dibandingkan dengan beberapa kota lainnya di wilayah kultus Senanjar, maka kota Murmur adalah yang paling kecil.Selama berjalan, Mandala bertemu dengan seorang laki-laki paruh baya. Dengan senyum ramah, orang itu berkata, "Sepertinya kau pendatang baru disini. Apakah kau membutuhkan sesuatu?"Mandala mengangguk dan tersenyum, "Aku baru saja tiba dan terkesan dengan keindahan kota ini. Aku hanya ingin tahu apakah ada tempat menarik di sekitar sini?"Lelaki paruh baya itu tersenyum, "Tentu saja, jika kau tertarik di ujung sana terdapat rumah bordil yang biasa laki-laki kunjungi.""..."Tiba-tiba Mandala merasa agak canggung mendengar jawaban laki-laki itu, dia tidak mengira akan mendengar kata dan tempat aneh itu saat baru pertama kali memasuki kota."Tidak, bukan itu maksudku. Saya hanya ingin tahu siapa mereka yang mengenakan seragam putih-hitam itu?" kata Mandala mengalihkan pertanyaannya seraya menunjuk ke arah sekelompok pemuda dengan pakaian rapi berwarna putih-hitam.Lelaki paruh baya itu memperbaiki senyumnya, menyadari kesalahpahaman sebelumnya. "Oh, mereka adalah murid luar perguruan Manik Putih."Mandala mengangguk mendengar jawaban pak tua itu, tapi dia masih tetap saja merasa penasaran dengan beberapa hal."Perguruan Manik Putih?" Lanjut Mandala kebingungan."Apa kau tidak tahu? Sepertinya kau tinggal di kedalaman gua," ungkap lelaki paruh baya tersebut merasa aneh, "Perguruan Manik Putih merupakan cabang dari perguruan di Kultus Senanjar. Kudengar tidak lama ini mereka sedang merekrut anak-anak muda berbakat sebagai calon murid di perguruan mereka." Lanjut sang paruh baya.Mandala mengerutkan kening, mencerna informasi yang baru saja didapat. "Perguruan Manik Putih, jadi itu nama perguruan cabang dari Kultus Senanjar di kota ini."Lelaki paruh baya itu tersenyum, "Ya, mereka agak tertutup dan hanya menerima siswa yang dianggap memiliki bakat khusus. Tapi, sepertinya mereka sedang mencari generasi baru."Mandala mengangguk, "Terima kasih atas penjelasannya."Lelaki paruh baya itu mengangguk, "Sekarang, apa tujuanmu di kota Murmur ini, tidakkah kau tertarik mencoba mendaftar juga?"Mandala menoleh kembali, "Apakah aku juga bisa mendaftar?!"Lelaki paruh baya itu sedikit menghela nafas, "Tentu, siapapun dapat melakukan pendaftaran. Namun, untuk menjadi murid perguruan tersebut ada beberapa seleksi yang harus dilalui."Bagaikan api yang diberi minyak, rasa keingintahuan Mandala semakin meningkat, "Jika boleh tahu, seleksi macam apa itu?" Tanya Mandala....Dengan tekad yang baru tumbuh, Mandala melangkah maju menuju area pendaftaran. Pandangan matanya penuh dengan keteguhan, mencoba menembus kerumunan murid perguruan Manik Putih yang sibuk berbincang."Saya ingin mendaftar," ungkap Mandala, berdiri beberapa langkah di depan sekelompok pemuda berseragam putih-hitam itu.Ketika Mandala tiba di loket pendaftaran, seorang petugas ramah menyambutnya, "Selamat datang. Nama Anda?""Mandala."Petugas itu meneliti daftar peserta dan kemudian memberikan formulir pendaftaran kepadanya. "Isilah data dirimu dengan lengkap, dan lima koin perak sebagai biaya pendaftaran."Dengan hati yang berdegup cepat, Mandala menyelesaikan formulirnya. Dalam benaknya, keraguan dan tekad terus berbenturan, tetapi ia memilih untuk mempercayai keputusannya sendiri. Paling tidak, ini akan menjadi langkah awal perjalanannya di kota Murmur. Apakah dia akan memiliki kesempatan untuk menjadi murid perguruan atau tidak, itu hanya urusan belakang.Setelah menyerahkan formul
Dengan nama baru yang diberikan, Mandala merasa semakin terhubung dengan latihannya. Ia memutuskan membawa energi dan keharmonisan dari latihan "Harmony Angin" ini ke dalam tantangan mendatang. Namun, itu satu-satunya yang bisa dia manfaatkan sekarang, sementara elemen petirnya masih menjadi rahasia, dan Mandala belum menemukan petunjuk untuk melatihnya.Tak lama setelah matahari bersinar terang dari arah timur, Mandala yang selesai dengan latihannya segera pergi keluar, berniat untuk mencari sarapan pagi. Kakinya melangkah melewati pintu kamar penginapan di lantai dua, dan ia pun muncul di lorong menuju tangga ke lantai bawah.Saat itu juga, telinga Mandala berdenyut mendengar kebisingan yang datang dari bawah. Dia tidak tahu apa yang terjadi, namun menurut pengetahuannya, penginapan ini memiliki dua tingkat, dan lantai di bawahnya merupakan restoran. Dengan rasa penasaran yang tumbuh, Mandala melangkah menuju tangga yang mengarah ke lantai bawah. ..."Dasar wanita tua! Mau berapa l
Pada saat ini, rentenir dengan kepalan tangannya melaju melewati sisi kiri kepala Mandala yang tengah menghindar. Percikan api dari tinjunya membawa suhu panas ekstrim, hampir membakar segala yang ada di sekitarnya.Beruntung, Mandala dilengkapi dengan pelindung angin yang dengan cepat menolak api, menjauhkannya dari tubuh Mandala seperti magnet dengan gaya tolak.Rentenir mencoba memukul Mandala dengan serangan tinju berapi, tetapi sia-sia karena tidak mampu menyentuh tubuh Mandala yang gesit dan terlindung. Mandala dengan cepat bergerak ke sisi rentenir, memanfaatkan angin untuk menyeimbangkan kekuatan.Dengan cermat, Mandala merespons serangan berikutnya dari rentenir. Ia melompat mundur, menghindari pukulan berbahaya yang datang dengan kecepatan tinggi. Angin membentuk perisai tak terlihat, menjaga Mandala dari ancaman yang terus berdatangan.Rentenir semakin frustrasi, berusaha menguasai pertarungan dengan kekuatan apinya. Namun, Mandala dengan keahlian mengarahkan hembusan angin
Mandala, yang masih tergeletak di tanah dengan luka-lukanya, menatap dengan keterkejutan dan kelegaan. Kedatangan murid senior tersebut membawa harapan baru dalam pertarungan yang tampaknya sudah tidak mungkin untuk dimenangkan."Sekarang, serahkan senjata kalian dan akui kesalahan kalian. Kami akan memberikan sanksi yang sesuai atas pelanggaran ini," lanjut murid senior yang lain, suaranya penuh otoritas."Cih!"Rentenir yang tadinya sangat yakin dengan kemenangan mereka, sekarang terlihat ragu. Mereka saling pandang, berat hati menyerahkan senjata mereka. Dengan langkah kesal, mereka segera berbalik dan memungut rekannya yang terluka kemudian kabur dengan cepatnya."Kau beruntung kali ini bocah," ucapnya dengan sinis, tampak tatapan dingin yang menusuk dari kedua rentenir.Tiba-tiba kepulan asap putih muncul dari ledakan bom asap yang dengan sengaja para rentenir itu lemparkan. Tentu hal ini sangat berguna untuk mengelabui jika mereka ingin kabur."Hei, mau kemana kalian," seru seor
Selain itu, Mandala juga belajar bahwa kekuatan sejati memerlukan keseimbangan antara kelembutan dan kekuatan. Dengan menggali pemahaman tentang kebijaksanaan, dia dapat membentuk karakternya tidak hanya sebagai pejuang yang tangguh, tetapi juga sebagai individu yang bijaksana dalam menghadapi berbagai situasi kehidupan. Latihan fisiknya bukan hanya sekadar melatih tubuh, tetapi juga menjadi sarana untuk memperdalam pengenalan diri dan nilai-nilai yang dipegang teguh.Malam pun tiba tak lama setelah itu, Mandala tidak menghabiskan kebanyakan waktunya hanya untuk beristirahat dalam pemulihan. Ia juga bergerak untuk mencari beberapa makanan untuk mengganjal perutnya yang kosong."Berapa total bayaran makanan yang saya pesan?" tanya Mandala pada pemilik penginapan sekaligus restoran sebelumnya.Wanita tua itu tersenyum ramah, merasa agak sedikit berat hati untuk berkata, "Totalnya dua puluh lima perak, tuan," ucapnya.Mendengar itu, Mandala agak sedikit bingung. Sebelumnya, dia hanya mem
Mandala telah berlatih dengan penuh tekad, menunjukkan detail-detail teknik yang telah dia kembangkan selama bertahun-tahun. Dia tidak hanya berfokus pada kekuatan fisik, tetapi juga pada harmoni pembentukan tenaga dalamnya. Selain itu, hampir sebagian besar peserta ujian di tempat itu seumuran dengannya, hal ini sedikit membangkitkan tekad dan daya saing Mandala. Dia tidak sabar ingin menunjukkan kekuatan penuh dari hasil latihannya selama ini.Sementara waktu berlalu, atmosfer perguruannya semakin terasa intens. Beberapa saat kemudian, sekelompok tetua yang biasanya bergelar Mangku perguruan Manik Putih datang dan duduk di atas podium penjurian. Mandala, bersama dengan para calon murid lainnya, menyaksikan dengan tegang di lapangan latihan.Suasana hening, dan kemudian terdengarlah pengumuman. "Terima kasih atas kehadiran kalian semua, anak muda," seru salah seorang tokoh Mangku perguruan."Namaku Gumanar, orang yang akan memandu seleksi di ujian kali ini," lanjutnya berlogat penuh
Dukubana melepaskan pusaran angin kuat ke arah Arcamada dengan satu gerakan tangan. Namun, dengan kefasihan yang sama, Arcamada menanggapi dengan membentuk barikade air melingkupi dirinya, menghambat serangan angin tersebut.Pertarungan terus berlanjut, keduanya saling menunjukkan kekuatan dan kelincahan mereka. Tetua Manik Putih di podium penjurian menunjukkan ekspresi serius, memperhatikan setiap gerakan. Mangku Gumanar, meskipun tampak tenang, juga tak kalah fokus dalam menilai setiap aspek pertarungan.Dukubana dan Arcamada saling berhadapan lagi, mata penuh determinasi. Keduanya merasakan intensitas pertarungan ini, dan penonton terhipnotis oleh pertunjukan keahlian bela diri mereka.Mandala, yang berdiri di samping arena, menatap pertarungan dengan seksama. Ia mencoba mempelajari setiap gerakan, terutama Dukubana yang menggunakan unsur angin.Setiap orang memiliki gaya bertarung dan pengendalian afinitas yang berbeda, tergantung pada cara mereka memanfaatkan keahlian yang telah
Keduanya kemudian berdiri di tengah arena, saling berhadapan satu sama lain, menunggu instruksi lebih lanjut dari Mangku Gumanar.Hembusan udara dingin merambat di atas arena, menciptakan ketegangan di antara keduanya."Mulai!" Mangku Gumanar pun berseru, menandakan pertarungan telah dimulai.Mandala dengan cepat menunjukkan kuda-kuda bertarungnya, bersiap menghadapi lawan dengan penuh kepercayaan diri dan tekad yang kuat.Adapun Gamara, dibandingkan dengan lawannya, dia justru lebih tenang dengan sikapnya yang tegap nan kokoh. Raut kearoganan terpancar dari sepasang sorot matanya."Namamu Mandala, bukan?" Dengan sengaja, ia membuka sedikit topik melalui pertanyaan yang sebenarnya tidak berguna, padahal ia tahu sendiri siapa lawannya.Namun, Mandala membalas perkataan itu dengan sedikit anggukan dalam keheningan."Lawan aku dengan segenap kemampuan yang kau miliki, jangan menunda lebih lama karena waktuku sangat berharga," ujarnya dengan nada suara yang angkuh.Mandala mengernyit mend