Share

Bab 9-Sampai di Kota

Dalam obrolan yang berlangsung lama, malam semakin larut, dan akhirnya, mereka pergi tidur di dekat pohon. Hanya beberapa pengawal yang tetap ditugaskan menjaga gerbong kereta.

Mandala, sementara itu, tidak pergi jauh dari tempat tersebut dan tertidur di atas alas dedaunan yang dibuat dengan sedikit usaha.

...

Di pagi hari selanjutnya, cahaya matahari perlahan menyapa mereka, membuat bayangan pohon-pohon dan gerbong kereta semakin memudar. Para pengawal yang setia segera bangun dari kewaspadaan malam sebelumnya, sementara yang lainnya terbangun dengan kantuk yang masih menyergap.

Dengan semangat yang membara, Mandala melangkah dari tempat tidurnya yang sederhana. Penuh energi, dia bersiap untuk memulai hari baru. Rencananya masih menyelimuti pikirannya. Setelah mendengar sejumlah cerita menarik dari Mangku Jati semalam, Mandala semakin menunjukkan ketertarikan yang mendalam pada berbagai hal.

Mandala bersama kelompok Mangku Jati melanjutkan perjalanan menuju kota Murmur. Sebelum itu dengan baik hati Mangku Jati menyerahkan seekor kuda padanya, berharap membantu dan berlaku adil.

Langkah kaki dan derap kuda menyatu dalam irama perjalanan yang pelan. Waktu berlalu seiring aliran sungai yang tenang, membawa mereka melalui lembah dan bukit yang mempesona. Mandala, sambil menikmati keindahan alam, menyadari betapa kecilnya dirinya di tengah kebesaran alam ini.

Sementara mereka melintasi lembah dan bukit, obrolan ringan pun muncul di antara sekelompok orang itu. Galuh, dengan senyuman ramah, berkata, "Kudengar namamu Mandala, kan? Perkenalkan, namaku Galuh Aksa."

Mandala yang mendengar sapaan itu menoleh ke arah samping kanannya, terlihat sosok pemuda sebaya dengannya berjalan bersama menunggangi kuda. Dia menatap lekat pemuda itu dan membalas sapaannya dengan anggukan dan senyuman ramah. Mandala kemudian berkata, "Senang bertemu denganmu."

"Maafkan aku karena terlambat memperkenalkan diri," ucap Galuh dengan sederhana.

Alasannya berkata seperti itu jelas karena semalam dia dan beberapa temannya sibuk melakukan penjagaan, sehingga dia tidak sempat bertegur sapa dengan Mandala.

"Haha, tolong jangan anggap diriku terlalu penting, kamu adalah seorang prajurit yang sibuk dan aku hanya orang biasa," balas Mandala sambil tertawa dengan lagat bercanda.

Setelah saling memperkenalkan diri, Galuh dan Mandala semakin nyaman satu sama lain. Mereka melanjutkan perjalanan dengan langkah yang ringan, seiring kuda-kuda mereka berjalan dengan mantap di tanah yang berliku-liku. Pada suatu titik, Galuh memutuskan untuk membuka percakapan lebih dalam.

"Ngomong-ngomong, dari mana asalmu, Mandala? Apakah kamu sedang melakukan misi atau semacamnya juga?" tanya Galuh dengan rasa ingin tahu.

Mandala tersenyum, "Aku berasal dari Desa Jelok, tidak terlalu jauh dari sini, dan aku hanya seorang petualang biasa."

Galuh mengangguk mengerti, terlihat tertarik dengan ucapan Mandala. "Sungguh? Aku tidak mengira kau hanya petualang biasa dengan kemampuan hebatmu. Aku sendiri berasal dari perguruan Gangga di Gunung Jangka, wilayah timur kekuasaan Kultus Senanjar. Tidak sehebat dirimu."

Telinga Mandala tiba-tiba berdenyut mendengar kata-kata dari Galuh, dia merasa agak sedikit aneh mendengar ucapan merendah darinya.

"Haha, kau terlalu merendahkan diri, saudaraku. Justru kaulah yang lebih hebat dariku, aku tidak tahu seperti apa perguruan Gangga yang kamu maksud, tapi melihatmu datang dari sana jelas memberikan kesan yang hebat. Sementara aku hanya orang biasa dari desa terpencil," ujar Mandala.

Mereka berdua terus mengobrol di sepanjang jalan, sampai akhirnya, tanpa disadari, mereka telah sampai tidak jauh dari gerbang kota Murmur.

"Sayangnya, kami memiliki tugas yang harus diselesaikan. Mandala, terimakasih atas bantuanmu yang sebelumnya. Lain waktu akan kuusahakan membalas budimu dengan lebih baik," ucap Mangku Jati begitu memasuki gerbang kota, sambil tersenyum ramah.

Yang lebih muda hanya mengangguk dengan senyum yang sama, "Tidak perlu repot-repot, tetua. Tumpangan kudamu sudah cukup untuk membalasnya."

Mereka semua berpisah di gerbang kota, dengan harapan takdir akan membawa mereka bertemu kembali di masa depan.

"Semoga perjalananmu menyenangkan, Mandala. Sampai jumpa lain waktu!" Galuh berkata.

Mandala menjawab, "Sampai jumpa lagi, Galuh," setelah itu, mereka masing-masing melanjutkan perjalanan mereka, menyimpan kenangan dari pertemuan singkat namun berarti di jalur setapak menuju Kota Murmur.

...

Tidak lama setelah memasuki kota, Mandala, sebagai pendatang baru, tidak habis-habisnya menunjukkan tatapan terpukau.

"Inikah kota Murmur? Luar biasa, jauh lebih besar dari pemukiman yang pernah kulihat," ucapnya penuh kekaguman.

Mandala melanjutkan langkahnya, berjalan melewati jalan-jalan ramai dan pasar yang hidup. Kota Murmur menampilkan keindahan arsitektur khasnya dan keanekaragaman budaya yang tercermin dari setiap sudutnya. Terlihat ada banyak pedagang berjejer di setiap sisi jalan, menjual barang-barang yang cukup asing dimata Mandala.

Kota ini terbilang sangat besar dalam sudut pandang Mandala, tapi jika dibandingkan dengan beberapa kota lainnya di wilayah kultus Senanjar, maka kota Murmur adalah yang paling kecil.

Selama berjalan, Mandala bertemu dengan seorang laki-laki paruh baya. Dengan senyum ramah, orang itu berkata, "Sepertinya kau pendatang baru disini. Apakah kau membutuhkan sesuatu?"

Mandala mengangguk dan tersenyum, "Aku baru saja tiba dan terkesan dengan keindahan kota ini. Aku hanya ingin tahu apakah ada tempat menarik di sekitar sini?"

Lelaki paruh baya itu tersenyum, "Tentu saja, jika kau tertarik di ujung sana terdapat rumah bordil yang biasa laki-laki kunjungi."

"..."

Tiba-tiba Mandala merasa agak canggung mendengar jawaban laki-laki itu, dia tidak mengira akan mendengar kata dan tempat aneh itu saat baru pertama kali memasuki kota.

"Tidak, bukan itu maksudku. Saya hanya ingin tahu siapa mereka yang mengenakan seragam putih-hitam itu?" kata Mandala mengalihkan pertanyaannya seraya menunjuk ke arah sekelompok pemuda dengan pakaian rapi berwarna putih-hitam.

Lelaki paruh baya itu memperbaiki senyumnya, menyadari kesalahpahaman sebelumnya. "Oh, mereka adalah murid luar perguruan Manik Putih."

Mandala mengangguk mendengar jawaban pak tua itu, tapi dia masih tetap saja merasa penasaran dengan beberapa hal.

"Perguruan Manik Putih?" Lanjut Mandala kebingungan.

"Apa kau tidak tahu? Sepertinya kau tinggal di kedalaman gua," ungkap lelaki paruh baya tersebut merasa aneh, "Perguruan Manik Putih merupakan cabang dari perguruan di Kultus Senanjar. Kudengar tidak lama ini mereka sedang merekrut anak-anak muda berbakat sebagai calon murid di perguruan mereka." Lanjut sang paruh baya.

Mandala mengerutkan kening, mencerna informasi yang baru saja didapat. "Perguruan Manik Putih, jadi itu nama perguruan cabang dari Kultus Senanjar di kota ini."

Lelaki paruh baya itu tersenyum, "Ya, mereka agak tertutup dan hanya menerima siswa yang dianggap memiliki bakat khusus. Tapi, sepertinya mereka sedang mencari generasi baru."

Mandala mengangguk, "Terima kasih atas penjelasannya."

Lelaki paruh baya itu mengangguk, "Sekarang, apa tujuanmu di kota Murmur ini, tidakkah kau tertarik mencoba mendaftar juga?"

Mandala menoleh kembali, "Apakah aku juga bisa mendaftar?!"

Lelaki paruh baya itu sedikit menghela nafas, "Tentu, siapapun dapat melakukan pendaftaran. Namun, untuk menjadi murid perguruan tersebut ada beberapa seleksi yang harus dilalui."

Bagaikan api yang diberi minyak, rasa keingintahuan Mandala semakin meningkat, "Jika boleh tahu, seleksi macam apa itu?" Tanya Mandala.

...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status