PADUKUHAN Kartasentana terletak di ujung wanua Sangguran. Berbatasan langsung dengan hutan belantara lebat di lereng timur Gunung Kawi. Sehampar luas sawah nan hijau memisahkan pemukiman terpencil itu dari kampung-kampung lain.
Menjelang sore itu, suasana hening dipecah oleh suara ringkik kuda bercampur derap puluhan ladam. Tak kurang dari 13 lelaki berkuda melintas cepat di atas jalan tanah yang membelah hamparan sawah menuju kawasan pemukiman.
Debu tebal membumbung tinggi di udara, mengiringi laju kaki-kaki kuda. Beberapa warga padukuhan yang sedang berada di sawah sontak menghentikan pekerjaan. Mereka sama memandang ke jurusan rombongan berkuda dengan penuh rasa penasaran.
"Siapa mereka? Mau ke mana?" tanya salah satu pemuda pada teman di sebelahnya.
"Aku tidak tahu," sahut temannya cepat, lalu balik bertanya, "Memangnya kenapa?"
"Sebaiknya kita ikuti saja mereka. Aku punya firasat tidak enak. Mereka tampaknya bukan orang baik-baik," jawab pemuda pertama.
Dengan setengah berlari kedua pemuda tersebut membuntuti arah kepergian rombongan berkuda. Namun mereka ketinggalan sangat jauh. Hanya kepulan debu di kejauhan yang dapat dijadikan sebagai patokan.
Sementara rombongan lelaki berkuda tadi berhenti di depan sebuah gapura paduraksa. Dua lelaki muda bersenjata golok besar di pinggang, tampak berjaga-jaga di kiri-kanan gapura tersebut.
Sebuah bangunan bagus berhalaman luas terlihat dari ambang gapura. Sementara tembok tinggi seukuran pinggang orang dewasa melingkungi sekeliling halaman yang luas membentang.
Menilik dari keadaannya, bangunan bergapura ini merupakan kediaman seseorang yang berpengaruh di Kartasentana. Tak lain tak bukan adalah rumah kepala kampung, Ki Dukuh Kartasentana.
"Berhenti!" seru lelaki muda yang berada paling depan dalam rombongan berkuda. Sebelah tangannya terangkat lurus ke udara.
Jika dilihat dari pakaian serta penampilannya yang lebih mewah, demikian pula wajahnya yang bersih dan klimis rapi, bisa ditebak jika lelaki muda itu adalah pemimpin rombongan.
Melihat isyarat tadi, selusin lelaki di belakang pemuda berpakaian mewah langsung menarik tali kekang kuda masing-masing. Suara ringkik kuda terdengar ramai, ditingkahi bentakan-bentakan untuk menenangkan hewan-hewan tersebut.
Begitu kudanya berhenti, lelaki yang memberi isyarat tadi langsung melompat turun. Bertepatan dengan saat sepasang kakinya menjejak tanah, terdengar suaranya yang menggelegar keluarkan ucapan membentak.
"Panggil keluar si Sarwa Kusuma kemari, cepat!"
Dua penjaga gapura saling pandang sesaat. Melihat dari raut wajah keduanya, nyata sekali jika mereka tidak senang terhadap sikap lelaki yang barusan membentak. Namun mereka juga tahu perasaan itu harus ditekan dalam-dalam.
"Maaf, Kisanak, kami akan segera panggilkan Ki Dukuh Sarwa. Namun sebelumnya mohon sudilah kiranya Kisanak menyebutkan nama beserta keperluan Kisanak datang kemari," balas penjaga gapura di sebelah kanan, berusaha bersikap sopan.
Lelaki yang baru datang menanggapi ucapan orang dengan satu dengusan pendek. Kedua tangannya lantas ditekuk ke pinggang dengan gaya pongah luar biasa.
"Tidak usah banyak basi-basi! Siapa aku dan apa urusanku dengan si Sarwa Kusuma keparat itu, kalian tidak perlu tahu!" sergah lelaki tersebut dengan nada tinggi. "Panggilkan saja junjungan kalian itu kemari sekarang juga. Cepat!"
Kembali dua penjaga gapura saling berpandangan. Sorot mata mereka menyiratkan kemarahan. Kalau menuruti panasnya darah yang menggelegak, sudah sejak tadi-tadi mereka menerjang untuk membungkam mulut besar lelaki muda yang tidak tahu sopan santun ini.
Namun keduanya harus berhitung serta bersikap waspada. Selusin lelaki bersenjata yang datang bersama lelaki pongah di hadapan mereka tentu bukanlah sekadar pengiring. Terlebih jika menilik pada parang-parang besar lagi tajam yang tergantung di pinggang 12 lelaki tersebut.
"Ah, harap maafkan kami, Kisanak, tetapi memang begitulah aturannya semenjak dahulu. Siapapun yang ingin bertemu dengan Ki Dukuh, harus terlebih dahulu menyebutkan nama beserta kepentingannya pada kami para penjaga gapura...."
"Cuih! Aturan tahi kucing!" tukas lelaki berpakaian mewah dengan suara menggelegar. Ia lalu meludah ke tanah dengan kasar.
"Baiklah kalau kalian tak mau memanggil keluar Sarwa Kusuma sialan itu. Berarti biar orang-orangku sendiri yang akan menyeretnya keluar!" imbuh lelaki tersebut dengan geraham bergemeletak.
Usai berkata begitu, si lelaki berpakaian mewah memberi isyarat dengan sebelah tangan.
Selusin lelaki di atas kuda serentak meloncat turun. Tangan kanan mereka bersiaga di gagang parang yang masih tergantung di pinggang. Siap dicabut sewaktu-waktu.
Dua penjaga gapura kediaman kepala kampung sama kertakkan rahang. Tahulah mereka jika rombongan berkuda ini tidak main-main.
"Sial dangkalan!" geram penjaga gapura yang sedari tadi menjadi juru bicara. Parasnya sudah benar-benar merah kelam akibat gelegak amarah yang tak tertahankan lagi.
"Beri isyarat ke dalam. Cepat!" tambahnya, memerintah teman di sebelahnya.
Mendengar ucapan tersebut, penjaga satunya lagi cepat-cepat masukkan dua jari tangan ke dalam mulut. Kejap berikutnya terdengar satu suitan keras lagi panjang membelah udara.
"Suuuuiiiiiiiitt!"
Suitan itu adalah isyarat tanda bahaya. Karenanya, begitu merdengar suara nyaring tersebut para pengawal yang berjaga-jaga di bagian dalam tembok bergegas keluar.
Hanya beberapa kejap berselang, tak kurang dari enam orang bersenjata golok besar bermunculan. Tahu-tahu saja mereka sudah berdiri di belakang dua penjaga gapura.
Melihat ini, lelaki pemimpin rombongan berkuda menyeringai sinis. Dipandanginya para pengawal di depan gapura dengan tatapan mata berkilat-kilat.
"Hmm, bagus! Jadi kalian berniat menghalang-halangi kami, hah?" bentaknya menantang.
Penjaga gapura yang sejak tadi jadi juru bicara balas menatap dengan tak kalah tajam. Sebelah tangannya sudah menggenggam erat gagang golok, siap mencabut senjata itu dari dalam warangka jika keadaan berubah genting.
"Aku peringatkan kau, Kisanak. Berani kau membuat onar di kediaman Ki Dukuh Kartasentana ini, maka nyawamu yang bakal jadi taruhan!" ujar penjaga gapura tersebut. Suaranya terdengar mendesis.
Alih-alih menunjukkan rasa jeri, yang diancam justru ganda tertawa. Sebuah tawa yang kentara sekali bernada meremehkan.
Sikap tersebut membuat para pengawal kediaman kepala kampung Kartasentana sama mengertakkan rahang. Kemarahan mereka berdelapan semakin membara.
Namun demikian para pengawal memilih menunggu. Mereka masih berusaha menahan diri, tidak ingin menjadi pihak yang terlebih dahulu memulai keributan.
Sementara di pihak lain, setelah puas tertawa lelaki pemimpin rombongan berkuda angkat lagi sebelah tangannya ke udara. Telapak tangan itu lantas terayun ke depan. Satu isyarat agar 12 lelaki di belakangnya maju menyerang.
"Seret keluar Sarwa Kusuma keparat itu!" serunya memerintah.
Selusin lelaki langsung merangsek maju, mengarah ke ambang gapura untuk masuk ke halaman rumah. Suara teriakan mereka bergemuruh, laksana kawanan banteng siap menyeruduk.
"Keparat!" maki pengawal yang menjadi pemimpin pasukan penjaga gapura. Ia tentu saja tidak sudi membiarkan para pengacau ini masuk.
Maka begitu selusin lelaki penyerang kian dekat, pemimpin pasukan pengawal cepat memberi isyarat pada rekan-rekannya. Serempak delapan lelaki itu mencabut senjata masing-masing dari dalam warangka.
Sret! Sret! Sret!
Suara logam bergesekan nyaring terdengar. Delapan bilah golok besar teracung ke depan.
"Tahan mereka! Jangan biarkan seorang pun masuk!" teriak pemimpin pasukan pengawal Ki Dukuh Kartasentana, memberi aba-aba pada teman-temannya.
Bak air bah melanda, delapan mata golok menyambar ke depan secara bersamaan. Masing-masing mencari sasaran di tubuh 12 lelaki penyerang yang kian mendekati ambang gapura.
"Serbuuuu!"
Sring! Sring! Sring!
_)|(_
Selamat datang di karya terbaru saya. Semoga menghibur, ya. Masukan dan saran dapat diberikan melalui akun IG @keborawis
MENDAPAT serangan begitu rupa, selusin lelaki penyerang yang memang sudah bersiaga langsung mencabut senjata masing-masing. Diiringi bentakan-bentakan keras, mereka ayunkan parang lebar di tangan untuk menangkis sabetan para penjaga kediaman Ki Dukuh Kartasentana. Trang! Trang! Suara berdentrangan keras terdengar, memecah keheningan senja manakala 20 mata senjata saling beradu. Serangan para pengawal Ki Dukuh Kartasentana gagal menemui sasaran. Sambil menggerendeng marah, delapan pengawal tersebut kembali sabetkan golok di tangan ke arah musuh. Kali ini serangan dilakukan dari jarak lebih dekat. Tak mungkin rasanya kalau sampai luput. Sring! Sring! Selusin lelaki penyerang mendengus kasar, lalu dengan serentak pelintangkan parang besar ke depan dada masing-masing. Traaaaaang! Sekali lagi suara berdentrangan terdengar keras membelah udara. Tak mau terus-terusan ditekan, selusin lelaki penyerang coba mengambil alih kendali pertarungan. Usai melakukan tangkisan tadi, parang besarm
"B-BAIK, Kang, aku mengerti," jawab istri Sarwa Kusuma, meski dengan perasaan semakin tidak enak.Andai saja bisa, ingin rasanya perempuan itu mencegah tindakan Sarwa Kusuma. Namun ia paham sekali bagaimana watak suaminya. Sekali berkata akan maju, pantang bagi sang kepala kampung untuk mundur.Sementara Sarwa Kusuma meraih sebilah pedang panjang dalam warangka yang tergantung di dinding ruangan. Itulah senjata andalannya sebagai kepala padukuhan Kartasentana.Sambil menenteng pedang di tangan kanan, lelaki berwajah cakap itu melangkah keluar dengan gagah. Terdengar dengusan kesal dari mulutnya yang lantas menggerutu."Huh, Bramanta keparat itu benar-benar minta dikuliti sampai modar!" desis Sarwa Kusuma dengan geram.Kepala padukuhan itu yakin betul tamunya tersebut membawa niat keji kali ini. Bukan sekadar melakukan pembalasan atas pertikaian yang terjadi di antara mereka beberapa pekan lalu.Lebih dari itu, Sarwa Kusuma sangat paham jika Bramanta masih memendam rasa penasaran denga
SUNGAI yang menjadi tujuan Sugatra sebetulnya tidaklah terlalu jauh. Namun karena benak pengawal setia Ki Dukuh Kartasentana itu diselubungi kecemasan, langkah kakinya menjadi kacau balau.Berkali-kali kaki Sugatra tersangkut akar pepohonan yang menjalar di permukaan tanah. Sesekali juga tersandung tonjolan batu sehingga membuatnya nyaris jatuh. Akibatnya, jarak yang sebenarnya dekat jadi lebih lama dicapai.Belum lagi setiap beberapa langkah Sugatra berhenti sejenak untuk menoleh ke belakang. Ia merasa perlu mengamati rumah besar milik junjungannya yang tengah disatroni segerombolan penyerang entah dari mana."Gusti Sang Hyang Tunggal, mohon lindungi Ki Dukuh dan Nyi Dukuh," desis Sugatra setiap kali melihat ke belakang. Setelah menarik napas berat, barulah ia kembali melanjutkan langkah.Sambil berlari Sugatra sambil menebak-nebak. Siapakah kiranya para penyerang yang tengah menyatroni kediaman Ki Dukuh Kartasentana? Sekelebat dugaan melintas di kepalanya."Jangan-jangan ... " Sugat
APA yang terjadi pada Sarwa Kusuma dan seisi rumah sang kepala kampung? Mengapa kediaman besarnya tahu-tahu saja sudah terbakar hebat sekembali Sugatra mencari Wijaya Kusuma di sungai?Mari kita kembali sejenak ke peristiwa sebelumnya. Tepatnya ketika Sugatra pergi ke sungai untuk mencari Wijaya Kusuma, seperti diperintahkan oleh istri Sarwa Kusuma.Sementara pengawal setianya berlari secepat kilat ke arah sungai di belakang, istri Sarwa Kusuma kembali ke bagian depan rumah. Perempuan itu merasa cemas dengan keadaan suaminya yang memilih mendatangi gerombolan penyerang.Oh, Gusti Sang Hyang Agung, semoga saja Kakang Sarwa tidak kenapa-kenapa, batin istri Sarwa Kusuma dengan penuh harap. Namun entah kenapa perasaanku tidak enak begini. Entah firasat apa ini sebenarnya.Tiba di ruang depan, dari mana ia dapat melihat langsung ke gapura penjagaan tempat terjadinya perkelahian, istri Sarwa Kusuma sontak tertegun. Sepasang matanya membesar, dengan sepasang tangan menutupi mulut yang mengan
TERDENGAR jeritan melengking ketika kedua tangan Sarwa Kusuma dibuat putus oleh sambaran parang besar lawan. Namun bukan sang kepala kampung yang menjerit, melainkan istrinya yang tengah bersimpuh setengah gemetar di ambang pintu rumah.Pada saat bersamaan perempuan itu baru menyadari jika Bramanta dan dua lelaki lain tengah berjalan mendekat ke arahnya. Seketika parasnya berubah. Napasnya juga jadi tersengal-sengal, dengan jantung bertalu-talu kencang.Belum sempat perempuan itu berbuat apa-apa, tahu-tahu saja Bramanta sudah berdiri di hadapannya. Lelaki tersebut mengembangkan seringai lebar, sembari berkacak pinggang."B-Bramanta! M-mau apa kau?" desis istri Sarwa Kusuma.Dengan susah payah Nyi Dukuh coba berdiri. Kedua tangannya berpegangan pada bingkai pintu. Ia tak ingin terlihat lemah di hadapan Bramanta.Sedangkan Bramanta melangkah perlahan ke hadapan perempuan tersebut. Seringainya masih terkembang, tetapi kini tipis saja. Sebelah tangannya lantas terangkat, lalu dengan kuran
"HEI, berhenti kalian!"Sugatra tentu saja tak mau menuruti seruan tersebut. Alih-alih, ia menggenjot larinya lebih kencang lagi agar lepas dari tempelan empat lelaki berkuda yang melihat keberadaannya bersama Wijaya Kusuma."Kejar terus! Jangan sampai mereka lolos!" seru pengejar yang lainnya pula.Sayang, niat Sugatra tak diimbangi oleh Wijaya Kusuma. Anak kecil itu terus meronta-ronta minta diturunkan karena ingin melihat ayah dan ibunya di dalam rumah. Polah yang membuat Sugatra tak dapat lari sekencang yang ia inginkan.Sementara suara derap kaki-kaki kuda semakin keras terdengar dari arah belakang keduanya. Pertanda empat anggota gerombolan yang mengejar mereka bertambah dekat jaraknya."Turunkan aku, Paman! Aku mau masuk rumah! Aku ingin tahu keadaan Ayah dan Ibu!" jerit Wijaya Kusuma tanpa henti. Bocah itu terus meronta-ronta tak karuan."Jangan, Gusti. Saya mohon ..." Sugatra terdengar panik sendiri. "Kita harus segera pergi jauh dari sini. Keadaannya sangat berbahaya...."Wi
WIRAMA berlaku nekat. Ia memang tidak memiliki bekal kepandaian bela diri yang mumpuni. Namun sebagai petani yang sehari-hari bekerja di sawah dan ladang, pemuda itu sudah terbiasa menggunakan senjata tajam.Maka sabit yang sebetulnya alat bertani itu berubah jadi senjata pengintai maut. Suara kesiurnya terdengar meyakinkan. Terlebih arah yang diancam Wirama adalah batang leher Bramanta.Jelas saja yang diserang jadi mengelam mukanya, sebab orang sudah terang-terangan menginginkan kematiannya."Sial dangkalan!" rutuk Bramanta, seraya menarik tubuh ke belakang satu langkah. Membuat sabit di tangan Wirama hanya mengoyak angin kosong.Dari satu gerakan itu saja Bramanta sudah tahu jika penyerangnya tidak memiliki kemampuan bela diri yang cukup. Sabetan yang tadi mengancamnya juga hanya mengandung tenaga kasar. Tidak ada pengerahan tenaga dalam walau hanya sedikit.Menyadari itu, seringai Bramanta jadi terkembang lebar. Ia tak ingin membuang-buang waktu meladeni lawan. Sejak tadi pikirann
"GUSTI, harap ampuni saya!" seru Sugatra begitu tubuhnya membentur tanah keras. Ia segera menyadari jika kelalaiannya dapat mencelakakan Wijaya Kusuma.Sementara Wijaya Kusuma yang terlempar dari panggulan Sugatra menjerit kaget dan mengaduh. Untung saja tubuh bocah itu jatuh di atas rerumputan nan empuk.Mengabaikan rasa sakitnya sendiri, Sugatra buru-buru bangkit dan menghampiri Wijaya Kusuma. Namun belum sempat ia menanyakan keadaan putera junjungannya itu, di sekeliling mereka telah berdiri empat lelaki."Ah, akhirnya dapat juga kami mengejar kalian," ujar salah satu lelaki, lalu tertawa mengekeh."Jangan harap kalian bisa lari lagi dari kamu," timpal lelaki yang berkumis lebat pula.Berubah paras Sugatra mengetahui keadaan. Secara naluriah ia segera memeluk Wijaya Kusuma, bermaksud melindungi bocah tersebut dari ancaman.Tanpa Sugatra sadari, sikapnya itu justru memancing ketertarikan keempat lelaki pengejar. Kecurigaan mereka bertambah besar terhadap siapa yang tengah dilindungi