Share

Pendekar Golok Naga
Pendekar Golok Naga
Penulis: Kebo Rawis

001 - Dukuh Kartasentana

PADUKUHAN Kartasentana terletak di ujung wanua Sangguran. Berbatasan langsung dengan hutan belantara lebat di lereng timur Gunung Kawi. Sehampar luas sawah nan hijau memisahkan pemukiman terpencil itu dari kampung-kampung lain.

Menjelang sore itu, suasana hening dipecah oleh suara ringkik kuda bercampur derap puluhan ladam. Tak kurang dari 13 lelaki berkuda melintas cepat di atas jalan tanah yang membelah hamparan sawah menuju kawasan pemukiman.

Debu tebal membumbung tinggi di udara, mengiringi laju kaki-kaki kuda. Beberapa warga padukuhan yang sedang berada di sawah sontak menghentikan pekerjaan. Mereka sama memandang ke jurusan rombongan berkuda dengan penuh rasa penasaran.

"Siapa mereka? Mau ke mana?" tanya salah satu pemuda pada teman di sebelahnya.

"Aku tidak tahu," sahut temannya cepat, lalu balik bertanya, "Memangnya kenapa?"

"Sebaiknya kita ikuti saja mereka. Aku punya firasat tidak enak. Mereka tampaknya bukan orang baik-baik," jawab pemuda pertama.

Dengan setengah berlari kedua pemuda tersebut membuntuti arah kepergian rombongan berkuda. Namun mereka ketinggalan sangat jauh. Hanya kepulan debu di kejauhan yang dapat dijadikan sebagai patokan.

Sementara rombongan lelaki berkuda tadi berhenti di depan sebuah gapura paduraksa. Dua lelaki muda bersenjata golok besar di pinggang, tampak berjaga-jaga di kiri-kanan gapura tersebut.

Sebuah bangunan bagus berhalaman luas terlihat dari ambang gapura. Sementara tembok tinggi seukuran pinggang orang dewasa melingkungi sekeliling halaman yang luas membentang.

Menilik dari keadaannya, bangunan bergapura ini merupakan kediaman seseorang yang berpengaruh di Kartasentana. Tak lain tak bukan adalah rumah kepala kampung, Ki Dukuh Kartasentana.

"Berhenti!" seru lelaki muda yang berada paling depan dalam rombongan berkuda. Sebelah tangannya terangkat lurus ke udara.

Jika dilihat dari pakaian serta penampilannya yang lebih mewah, demikian pula wajahnya yang bersih dan klimis rapi, bisa ditebak jika lelaki muda itu adalah pemimpin rombongan.

Melihat isyarat tadi, selusin lelaki di belakang pemuda berpakaian mewah langsung menarik tali kekang kuda masing-masing. Suara ringkik kuda terdengar ramai, ditingkahi bentakan-bentakan untuk menenangkan hewan-hewan tersebut.

Begitu kudanya berhenti, lelaki yang memberi isyarat tadi langsung melompat turun. Bertepatan dengan saat sepasang kakinya menjejak tanah, terdengar suaranya yang menggelegar keluarkan ucapan membentak.

"Panggil keluar si Sarwa Kusuma kemari, cepat!"

Dua penjaga gapura saling pandang sesaat. Melihat dari raut wajah keduanya, nyata sekali jika mereka tidak senang terhadap sikap lelaki yang barusan membentak. Namun mereka juga tahu perasaan itu harus ditekan dalam-dalam.

"Maaf, Kisanak, kami akan segera panggilkan Ki Dukuh Sarwa. Namun sebelumnya mohon sudilah kiranya Kisanak menyebutkan nama beserta keperluan Kisanak datang kemari," balas penjaga gapura di sebelah kanan, berusaha bersikap sopan.

Lelaki yang baru datang menanggapi ucapan orang dengan satu dengusan pendek. Kedua tangannya lantas ditekuk ke pinggang dengan gaya pongah luar biasa.

"Tidak usah banyak basi-basi! Siapa aku dan apa urusanku dengan si Sarwa Kusuma keparat itu, kalian tidak perlu tahu!" sergah lelaki tersebut dengan nada tinggi. "Panggilkan saja junjungan kalian itu kemari sekarang juga. Cepat!"

Kembali dua penjaga gapura saling berpandangan. Sorot mata mereka menyiratkan kemarahan. Kalau menuruti panasnya darah yang menggelegak, sudah sejak tadi-tadi mereka menerjang untuk membungkam mulut besar lelaki muda yang tidak tahu sopan santun ini.

Namun keduanya harus berhitung serta bersikap waspada. Selusin lelaki bersenjata yang datang bersama lelaki pongah di hadapan mereka tentu bukanlah sekadar pengiring. Terlebih jika menilik pada parang-parang besar lagi tajam yang tergantung di pinggang 12 lelaki tersebut.

"Ah, harap maafkan kami, Kisanak, tetapi memang begitulah aturannya semenjak dahulu. Siapapun yang ingin bertemu dengan Ki Dukuh, harus terlebih dahulu menyebutkan nama beserta kepentingannya pada kami para penjaga gapura...."

"Cuih! Aturan tahi kucing!" tukas lelaki berpakaian mewah dengan suara menggelegar. Ia lalu meludah ke tanah dengan kasar.

"Baiklah kalau kalian tak mau memanggil keluar Sarwa Kusuma sialan itu. Berarti biar orang-orangku sendiri yang akan menyeretnya keluar!" imbuh lelaki tersebut dengan geraham bergemeletak.

Usai berkata begitu, si lelaki berpakaian mewah memberi isyarat dengan sebelah tangan.

Selusin lelaki di atas kuda serentak meloncat turun. Tangan kanan mereka bersiaga di gagang parang yang masih tergantung di pinggang. Siap dicabut sewaktu-waktu.

Dua penjaga gapura kediaman kepala kampung sama kertakkan rahang. Tahulah mereka jika rombongan berkuda ini tidak main-main.

"Sial dangkalan!" geram penjaga gapura yang sedari tadi menjadi juru bicara. Parasnya sudah benar-benar merah kelam akibat gelegak amarah yang tak tertahankan lagi.

"Beri isyarat ke dalam. Cepat!" tambahnya, memerintah teman di sebelahnya.

Mendengar ucapan tersebut, penjaga satunya lagi cepat-cepat masukkan dua jari tangan ke dalam mulut. Kejap berikutnya terdengar satu suitan keras lagi panjang membelah udara.

"Suuuuiiiiiiiitt!"

Suitan itu adalah isyarat tanda bahaya. Karenanya, begitu merdengar suara nyaring tersebut para pengawal yang berjaga-jaga di bagian dalam tembok bergegas keluar.

Hanya beberapa kejap berselang, tak kurang dari enam orang bersenjata golok besar bermunculan. Tahu-tahu saja mereka sudah berdiri di belakang dua penjaga gapura.

Melihat ini, lelaki pemimpin rombongan berkuda menyeringai sinis. Dipandanginya para pengawal di depan gapura dengan tatapan mata berkilat-kilat.

"Hmm, bagus! Jadi kalian berniat menghalang-halangi kami, hah?" bentaknya menantang.

Penjaga gapura yang sejak tadi jadi juru bicara balas menatap dengan tak kalah tajam. Sebelah tangannya sudah menggenggam erat gagang golok, siap mencabut senjata itu dari dalam warangka jika keadaan berubah genting.

"Aku peringatkan kau, Kisanak. Berani kau membuat onar di kediaman Ki Dukuh Kartasentana ini, maka nyawamu yang bakal jadi taruhan!" ujar penjaga gapura tersebut. Suaranya terdengar mendesis.

Alih-alih menunjukkan rasa jeri, yang diancam justru ganda tertawa. Sebuah tawa yang kentara sekali bernada meremehkan.

Sikap tersebut membuat para pengawal kediaman kepala kampung Kartasentana sama mengertakkan rahang. Kemarahan mereka berdelapan semakin membara.

Namun demikian para pengawal memilih menunggu. Mereka masih berusaha menahan diri, tidak ingin menjadi pihak yang terlebih dahulu memulai keributan.

Sementara di pihak lain, setelah puas tertawa lelaki pemimpin rombongan berkuda angkat lagi sebelah tangannya ke udara. Telapak tangan itu lantas terayun ke depan. Satu isyarat agar 12 lelaki di belakangnya maju menyerang.

"Seret keluar Sarwa Kusuma keparat itu!" serunya memerintah.

Selusin lelaki langsung merangsek maju, mengarah ke ambang gapura untuk masuk ke halaman rumah. Suara teriakan mereka bergemuruh, laksana kawanan banteng siap menyeruduk.

"Keparat!" maki pengawal yang menjadi pemimpin pasukan penjaga gapura. Ia tentu saja tidak sudi membiarkan para pengacau ini masuk.

Maka begitu selusin lelaki penyerang kian dekat, pemimpin pasukan pengawal cepat memberi isyarat pada rekan-rekannya. Serempak delapan lelaki itu mencabut senjata masing-masing dari dalam warangka.

Sret! Sret! Sret!

Suara logam bergesekan nyaring terdengar. Delapan bilah golok besar teracung ke depan.

"Tahan mereka! Jangan biarkan seorang pun masuk!" teriak pemimpin pasukan pengawal Ki Dukuh Kartasentana, memberi aba-aba pada teman-temannya.

Bak air bah melanda, delapan mata golok menyambar ke depan secara bersamaan. Masing-masing mencari sasaran di tubuh 12 lelaki penyerang yang kian mendekati ambang gapura.

"Serbuuuu!"

Sring! Sring! Sring!

_)|(_

Kebo Rawis

Selamat datang di karya terbaru saya. Semoga menghibur, ya. Masukan dan saran dapat diberikan melalui akun IG @keborawis

| Sukai

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status