Share

Bab 007

"HEI, berhenti kalian!"

Sugatra tentu saja tak mau menuruti seruan tersebut. Alih-alih, ia menggenjot larinya lebih kencang lagi agar lepas dari tempelan empat lelaki berkuda yang melihat keberadaannya bersama Wijaya Kusuma.

"Kejar terus! Jangan sampai mereka lolos!" seru pengejar yang lainnya pula.

Sayang, niat Sugatra tak diimbangi oleh Wijaya Kusuma. Anak kecil itu terus meronta-ronta minta diturunkan karena ingin melihat ayah dan ibunya di dalam rumah. Polah yang membuat Sugatra tak dapat lari sekencang yang ia inginkan.

Sementara suara derap kaki-kaki kuda semakin keras terdengar dari arah belakang keduanya. Pertanda empat anggota gerombolan yang mengejar mereka bertambah dekat jaraknya.

"Turunkan aku, Paman! Aku mau masuk rumah! Aku ingin tahu keadaan Ayah dan Ibu!" jerit Wijaya Kusuma tanpa henti. Bocah itu terus meronta-ronta tak karuan.

"Jangan, Gusti. Saya mohon ..." Sugatra terdengar panik sendiri. "Kita harus segera pergi jauh dari sini. Keadaannya sangat berbahaya...."

Wijaya Kusuma tidak mau terima apapun alasan Sugatra. Anak berusia 9 tahun itu terus saja bergerak-gerak, berusaha memberontak agar dapat lepas dari panggulan pengawalnya.

Susah payah Sugatra memegangi Wijaya Kusuma agar tidak terlepas. Perhatian yang terpecah inilah yang membuat larinya tidak bisa sekencang yang dimau. Dengan raut muka cemas, berkali-kali ia menoleh ke belakang untuk melihat keberadaan para pengejar.

Sementara sang surya kian surut di kaki langit sebelah barat. Hari sudah mulai temaram menjelang malam. Namun api besar yang tengah melamun kediaman Ki Dukuh Kartasentana masih menyala-nyala terang.

Gusti Sang Hyang Agung, apa yang sebenarnya telah terjadi pada Ki Dukuh dan Nyi Dukuh?

Sugatra membatin risau, lalu menggeleng-gelengkan kepala keras-keras demi mengusir bayangan-bayangan buruk yang berkelebat.

Dalam impitan rasa panik, untungnya otak Sugatra masih bekerja dengan baik. Para pengejar yang menunggangi kuda itu tak akan bisa terus mengejar dengan leluasa jika ia masuk ke jalan setapak di dalam hutan kecil di dalam sana.

Rapatnya pepohonan di dalam hutan kecil itu, juga serutnya semak belukar di bagian bawah, bakal menyulitikan pergerakan kuda-kuda yang ditunggangi para pengejar. Sugatra yakin para pengejarnya bakal terhambat, sehingga ia bisa meloloskan diri.

Berpikir ke sana, Sugatra langsung menggenjot larinya. Ia pegangi tubuh Wijaya Kusuma lebih erat agar bocah itu tak bertingkah yang dapat mengganggu laju pergerakannya.

"Maafkan saya, Gusti, kita harus pergi sejauh mungkin dari sini. Jangan sampai kita tertangkap oleh orang-orang yang sedang mengejar itu atau kita berdua bakal modar di tangan mereka," bisik Sugatra, sembari berharap kini Wijaya Kusuma mau mendengarkan ucapannya.

Harapan Sugatra terkabul. Wijaya Kusuma yang sebenarnya hendak menjerit-jerit dan memberontak lagi, jadi tercenung mendengar ucapan tersebut. Otak bocak itu segera bekerja mencerna apa yang sebenarnya tengah terjadi.

 "A-apa maksud Paman?" tanya Wijaya Kusuma kemudian. "Apa yang terjadi di rumah? Kenapa rumahku terbakar? Bagaimana dengan ayah dan ibuku?"

Sugatra tak menjawab rentetan pertanyaan itu. Ia hanya menggeretakkan geraham, seraya mempercepat laju lari. Tak lama kemudian ia sudah menapaki jalan setapak kecil yang di kanan-kirinya terdapat jejeran pepohonan nan rapat.

"Keparat! Mereka masuk ke dalam sana!"

Seruan kesal terdengar dari arah belakang. Disusul seruan-seruan lain setelahnya. Keempat lelaki berkuda yang tengah mengejar Sugatra agaknya geram dengan siasat pengawal Ki Dukuh Kartasentana itu.

Mereka hanya bisa mengejar hingga sejarak beberapa depa memasuki jalan setapak tersebut. Setelahnya, pergerakan kuda-kuda tunggangan mereka terhambat oleh rapatnya pepohonan dan juga serutnya semak belukar.

Satu-satunya pilihan bagi mereka berempat hanyalah turun dari kuda dan melanjutkan pengejaran dengan berlari. Setelah saling pandang sesaat, mereka akhirnya mengambil pilihan tersebut.

"Cepat, cepat! Mereka sudah tidak terlihat lagi!" seru lelaki yang berkumis lebat pada tiga temannya.

"Kejar terus! Jangan sampai mereka lolos!" seru pengejar yang lainnya pula.

Kejar-mengejar kembali terjadi. Sugatra yang sempat berhenti sejenak, bersandar di sebatang pohon untuk mengambil napas, segera berlari lagi begitu mendengar suara-suara teriakan dari arah belakang.

"Paman, apa yang sebenarnya terjadi?" tanya Wijaya Kusuma dari balik punggung Sugatra.

Bocah itu agaknya sudah mengerti keadaan. Ia tak lagi menjerit-jerit dan memberontak seperti tadi.

Sugatra menggeretakkan gerahamnya terlebih dahulu, baru kemudian menjawab, "Maaf, Gusti, nanti akan saya jelaskan. Tapi tidak sekarang, sebab kita harus bisa lepas dari orang-orang itu terlebih dulu."

"Kenapa Paman tidak berhenti saja dan melawan mereka?" tanya Wijaya Kusuma lagi.

Dalam pandangan bocah itu, Sugatra memiliki kemampuan bela diri yang mumpuni. Masakan tidak berani berkelahi melawan keempat pengejar?

Sugatra sendiri tersenyum kecut mendengar pertanyaan tersebut. Memang sempat tebersit keinginannya untuk menghadapi saja keempat pengejar di belakang sana.

Namun Sugatra merasa tidak yakin dengan kemampuannya sendiri. Sedangkan ia belum tahu siapa empat lelaki tadi dan setinggi apa kemampuan mereka. Tambahan lagi, ia harus memastikan keselamatan Wijaya Kusuma.

Di belakang, empat lelaki pengejar sudah sama-sama menghunus senjata. Parang besar di tangan mereka digunakan untuk menebas semak belukar dan juga ranting yang menghalangi jalan.

"Itu mereka! Ayo, lebih cepat lagi!"

Setelah berkejaran selama sekitar sepeminuman teh, Sugatra mencapai bagian hutan yang terang tanpa pepohonan besar sebatang pun. Yang ada hanyalah padang luas dengan rerumputan menghijau lagi rendah ke mama-mana mata memandang.

Di kejauhan, suara gemuruh air terdengar. Sugatra langsung mengenali suara tersebut sebagai air terjun. Ke sanalah ia menuju, berharap menemukan gua tersembunyi untuk melenyapkan diri dari pandangan para pengejar.

Sayang, akibat kelelahan karena harus berlari sembari memanggul Wijaya Kusuma, langkah kaki Sugatra lama-lama goyah. Kakinya tersangkut sebentuk akar pohon yang menonjol, sehingga membuatnya jatuh terjerembap.

"Jagad dewa bhatara!"

***

"CELAKA! Rumah Ki Dukuh mereka bakar!"

Dua pemuda yang bersembunyi di balik semak belukar dekat gerbang paduraksa sama melotot dengan paras tegang. Mereka menyaksikan api yang berkobar-kobar menghanguskan kediaman Ki Dukuh Kartasentana dengan perasaan campur aduk.

Keduanya adalah pemuda-pemuda yang tadi berada di sawah dan membuntuti gerombolan berkuda. Tiba di dekat kediaman kepala kampung, bersama-sama beberapa warga kampung lain mereka bersembunyi di balik semak belukar maupun di belakang batang pohon.

Mulanya warga berniat membantu Ki Dukuh. Namun begitu melihat para pengawal keteteran dan tumbang satu demi satu, kebanyakan dari mereka merasa jeri sehingga memutuskan pergi. Tinggallah kedua pemuda tadi di sana.

"Lihat, Sanatha, orang itu membawa pergi Nyi Dukuh!" ujar pemuda pertama lagi, setengah berbisik di telinga temannya ketika melihat Bramanta memanggul Sita.

"Siapa dia, Wirama? Mau dibawa ke mana Nyi Dukuh?" Pemuda yang dipanggil Sanatha bertanya-tanya penasaran.

"Sepertinya lelaki itu kaki tangan Gusti Raka i Waharu," jawab Wirama dengan paras tegang. Perasaan marah dan kesal, tetapi juga ada rasa takut, bercampur aduk menjadi satu di dalam dirinya.

Bramanta yang tak tahu keberadaan dua pemuda itu melintas begitu saja. Ia bergegas menuju tepi jalan di depan gapura, tempat di mana kudanya tadi ditinggalkan. Tubuh Sita langsung ia naikkan ke atas punggung hewan tunggangannya.

"Kita harus melakukan sesuatu, Sanatha," ujar Wirama lagi, sembari mengeratkan genggaman pada gagang sabit yang sedari tadi ia pegang.

"Jangan gila! Apa yang hendak kau lakukan?" sergah Sanatha tak setuju.

"Kau tidak lihat, kaki tangan Gusti Raka i Waharu itu hendak membawa lari Nyi Dukuh. Kita harus menolong Nyi Dukuh," sahut Wirama tegas.

Mendengar itu, paras Sanatha berubah pias. "K-kau ... kau yakin mau membantu Nyi Dukuh?"

"Apa maksudmu?" Wirama balik bertanya dengan tatapan penuh selidik. "Tadi kau sendiri yang mengajakku ke sini untuk melihat keadaan dan membantu Ki Dukuh. Kenapa sekarang malah seperti ketakutan begini?"

Sanatha tak menjawab. Hanya bisa mengembuskan napas gusar. Lelaki muda berbadan gempal itu merasa seperti ditampar karena antara ucapannya tadi dan sikapnya kini tidak sejalan.

"K-kau ... kau sudah lihat sendiri bukan, Ki Dukuh saja mereka kalahkan. Kita yang tidak punya kemampuan setinggi Ki Dukuh ini bisa apa?" ujar Sanatha akhirnya, berusaha membela diri.

Wirama tampak kesal mendengar ucapan temannya itu. Ia mengempaskan napas panjang dengan kasar.

"Jadi, kau tidak mau menolong Nyi Dukuh?" tanya Wirama kemudian. Pertanyaan yang lagi-lagi membuat Sanatha terdiam.

Tanpa menghiraukan temannya, Wirama lantas berdiri dan keluar dari persembunyian. Dengan langkah lebar-lebar dan paras memerah ia mendatangi Bramanta yang tengah bersiap-siap naik kuda.

"Berhenti!" seru Wirama menggelegar.

Pemuda itu mencoba bersikap garang, meski suaranya bergetar. Diam-diam Sanatha sudah berada di belakangnya.

Bramanta yang hendak menaikkan satu kaki pada sanggurdi menghentikan gerakannya. Dengan dahi mengernyit lelaki muda itu berbalik ke belakang.

"Ah, ternyata ada kejutan," ujar Bramanta, sembari menyeringai lebar. "Apakah kalian berdua juga anjing-anjing penjaga Sarwa Kusuma?"

Wirama tak menjawab. Hanya gerahamnya yang terdengar bergemeletak keras. Setelah melempar tatapan sinis pada Bramanta, tanpa berkata apa-apa ia langsung melesat ke depan. Sabit di tangannya berkelebat deras.

"Hiaaaat!"

Wuuuuuttt!

_)|(_

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status