Share

Bab 008

WIRAMA berlaku nekat. Ia memang tidak memiliki bekal kepandaian bela diri yang mumpuni. Namun sebagai petani yang sehari-hari bekerja di sawah dan ladang, pemuda itu sudah terbiasa menggunakan senjata tajam.

Maka sabit yang sebetulnya alat bertani itu berubah jadi senjata pengintai maut. Suara kesiurnya terdengar meyakinkan. Terlebih arah yang diancam Wirama adalah batang leher Bramanta.

Jelas saja yang diserang jadi mengelam mukanya, sebab orang sudah terang-terangan menginginkan kematiannya.

"Sial dangkalan!" rutuk Bramanta, seraya menarik tubuh ke belakang satu langkah. Membuat sabit di tangan Wirama hanya mengoyak angin kosong.

Dari satu gerakan itu saja Bramanta sudah tahu jika penyerangnya tidak memiliki kemampuan bela diri yang cukup. Sabetan yang tadi mengancamnya juga hanya mengandung tenaga kasar. Tidak ada pengerahan tenaga dalam walau hanya sedikit.

Menyadari itu, seringai Bramanta jadi terkembang lebar. Ia tak ingin membuang-buang waktu meladeni lawan. Sejak tadi pikirannya sudah tertuju pada Sita dan apa yang ingin segera ia lakukan terhadap perempuan itu.

Ah, malam ini Bramanta bakal bersenang-senang sampai puas. Ia sudah tak sabar ingin menghabiskan waktu berdua-dua bersama Sita. Karena itu serangan Wirama harus segera ia akhiri.

Maka ketika Wirama kembali datang menyerang, Bramanta justru bergerak menyongsong. Dengan tatapan tajam berkilat-kilat ia memindai pertahanan lawan yang terbuka lebar di mana-mana. Sementara itu kedua tangannya mengerahkan tenaga dalam.

"Dasar tidak tahu diri!" desis Bramanta, lalu menangkap pergelangan tangan Wirama yang kembali hendak membacoknya dengan sabit.

Tap!

Ayunan sabit seketika terhenti di udara. Tangan Wirama terkunci rapat oleh genggaman Bramanta. Sekuat tenaga lelaki muda berusia kisaran 18 tahun itu berusaha melepaskan diri, tetapi berakhir sia-sia.

"Rasakan ini!" seru Bramanta lagi, sembari tangan satunya menderu deras. Mengirimkan jotosan bertenaga dalam ke dada Wirama yang terbuka lebar tanpa perlindungan.

Wirama tak siap mendapat serangan balik. Ia coba bergerak menghindar, tetapi pegangan tangan Bramanta pada pergelangannya membuatnya tak leluasa bergerak.

Tanpa ampun, tinju Bramanta mendarat di dada kiri Wirama. Sepasang mata lelaki muda itu seketika membeliak lebar, diikuti lenguhan tertahan dari mulutnya.

Tubuh Wirama sendiri ikut terdorong ke belakang saking kuatnya tenaga dalam jotosan tersebut. Lelaki muda itu merasakan jantungnya seolah-olah ambrol dan berhenti berdetak.

Napas Wirama tersengal-sengal. Ia tatap Bramanta dengan sorot mata penuh amarah, sebelum kemudian memaki geram, "Keparaaat!"

Bramanta balas tatapan Wirama dengan tak kalah sengit. Tanpa berkata apa-apa, ia memuntir pergelangan tangan Wirama yang masih berada dalam genggamannya. Sebuah bantingan yang dilakukan dengan satu tangan saja!

"Modyaaar!" seru Bramanta setengah menggeram.

Cukup sekali sentak saja tubuh Wirama sudah terangkat tinggi dan kemudian jatuh tertelungkup di tanah. Sekali lagi lelaki muda itu mengeluh tertahan. Tulang-tulangnya serasa rontok, sakitnya bukan alang kepalang.

Wirama menggeram marah, sembari berusaha bangkit. Ia hendak memaki lagi, tetapi urung dilakukan saat merasakan mulutnya asin bercampur pahit.

Sebagai ganti Wirama lantas meludah ke tanah. Paras pemuda itu berubah ketika melihat air liur yang keluar berwarna merah pekat.

"Sial!" desis Wirama kesal, lalu melirik ke arah belakang. Tiba-tiba saja ia teringat ucapan Sanatha tadi.

Sementara agak jauh di belakang sana, tampak Sanatha berdiri tak bergerak sedikitpun. Tak ubahnya seonggok arca. Meski tak terlihat jelas, Wirama dapat menangkap jika sekujur tubuh temannya itu tengah gemetar hebat.

"Anak muda bau kencur, aku akui nyalimu besar. Namun kau hanya mencari mati dengan berani-berani menyerangku!"

Ucapan tersebut membetot perhatian Wirama. Ketika ia mendongak, ternyata Bramanta sudah berdiri berkacak pinggang hanya satu langkah dari tempatnya tertelungkup.

Wirama cepat bangkit berdiri, meski dengan agak terhuyung-huyung. Ia sudah bersumpah akan melawan Bramanta habis-habisan. Tak peduli jika nyawanya harus melayang karena itu.

"Demi Ki Dukuh, demi Kartasentana, meregang nyawa sekalipun aku rela!" balas Wirama, tak mau terkesan bernyali kecut di hadapan Bramanta.

Seringai sinis Bramanta kembali melengkung. Diam-diam ia mengembangkan telapak tangan kanan dan mengalirinya dengan tenaga dalam penuh.

"Kau memang pemberani, Anak Muda, tetapi sayangnya juga bodoh! Akan aku penuhi keinginanmu itu!" desis Bramanta, lalu dengan cepat menghantamkan telapak tangannya ke depan.

Sekali lagi Wirama melenguh tertahan dengan sepasang mata membeliak lebar. Bersamaan dengan itu, tubuhnya terdorong jauh ke belakang hingga menghantam Sanatha yang masih diam mematung.

Karena kaget dan tak siap, Sanatha hanya bisa terpekik keras. Ia tak kuasa menahan tubuh Wirama. Keduanya lantas jatuh saling tindih di tanah.

Begitu kesadarannya kembali, Sanatha cepat berusaha menolong Wirama. Namun ternyata temannya itu sudah mengembuskan napas terakhir.

Paras Sanatha berubah pucat. Ia menyaksikan di dada Wirama terdapat bekas telapak tangan berwarna merah kehitaman. Sedangkan dari sudut bibir temannya itu juga mengalir darah segar.

"Wi ... Wirama ..." Sanatha mendesis dengan suara bergetar.

"Hahaha, temanmu sudah modar," ucap Bramanta yang tahu-tahu saja sudah berdiri di hadapan Sanatha. "Kalau kau ingin menyusulnya ke alam lain, dengan senang hati akan kubantu."

Tubuh Sanatha yang sejak tadi sudah gemetar, semakin bergeletar hebat mendengar ucapan tersebut. Ia bahkan tidak berani mendongak dan menatap Bramanta yang tengah berkacak pinggang di hadapannya.

"Namun sebelum kulepas nyawa busukmu itu, jawab dulu pertanyaanku tadi," ujar Bramanta lagi, sembari mendekat satu langkah.

Di tengah rasa takut yang amat sangat, Sanatha langsung berpikir keras. Pertanyaan yang mana? Kapan? Sayang, ketakutan yang amat sangat membuat otaknya gagal menggali ingatan.

P-per ... per-pertanyaan?" Sanatha akhirnya hanya bisa mengulang dengan suara bergetar.

"Ya, kalian berdua tadi belum menjawab pertanyaanku," sambar Bramanta. "Apakah kalian juga pengawal si Sarwa Kusuma keparat itu?"

"Oh ..." Sanatha mendesah, merasa agak lega karena pertanyaan yang harus dijawab tidaklah sulit. "B-bukan. Kami bukan pengawal. Kami haya penduduk kampung biasa. Kami...."

Bramanta mendengus kasar mendengar jawaban tersebut. Sebetulnya ia sudah dapat membedakan jika dua pemuda di hadapannya bukanlah pengawal. Namun ia merasa perlu memastikan terlebih dahulu.

"Bagus! Kalian warga kampung yang pemberani," kata Bramanta lagi. Entah pujiannya sungguh-sungguh atau sekadar basa-basi. "Lalu, apa maumu sekarang? Apakah kau juga ingin menghalangiku membawa perempuan itu, seperti temanmu tadi?"

Kali ini Sanatha dibuat menelan ludah. Untuk beberapa saat ia tak kuasa menjawab.

Sejujurnya Sanatha memang bermaksud membantu Wirama. Mereka ingin menolong Nyi Dukuh yang hendak dilarikan Bramanta. Namun nyalinya mendadak ciut begitu melihat kemampuan lelaki di hadapannya ini.

Melihat Sanatha hanya diam dengan wajah pias, Bramanta tertawa keras.

"Aku tahu, kau juga berniat melawanku. Untuk itu kau juga layak mampus seperti temanmu itu!" kata Bramanta setelah puas tertawa.

Paras pucat Sanatha semakin memutih bagaikan orang mati. Napasnya yang mendadak sesak jadi semakin tersengal-sengal saja.

"Namun karena kau tidak bertindak lancang seperti temanmu yang pemberani tapi bodoh itu, aku akan membiarkanmu tetap hidup," lanjut Bramanta, sembari duduk berjongkok sehingga tatapannya sejajar dengan mata Sanatha.

"Dengar ..." Bramanta mengangkat kepala Sanatha yang tertunduk agar lelaki muda itu membalas tatapannya. "Aku butuh saksi hidup atas kejadian ini. Jadi, tetaplah hidup dan ceritakan semua yang kau lihat di sini pada siapapun yang kau temui.

"Ceritakan pada seluruh warga kampung Kartasentana ini, pada semua orang di wanua Sangguran, juga pada siapapun di watak Waharu. Katakan pada mereka, aku Bramanta yang bertanggung jawab terhadap kematian Ki Dukuh Kartasentana. Kau mengerti?"

Sanatha ingin mengangguk mengiyakan. Namun rasa takut yang sejak tadi menyelimuti dirinya membuat kesadaran pemuda itu malah lenyap saat itu juga.

Belum sempat mulutnya bersuara untuk memberi jawaban, tubuh Sanatha sudah terjengkang di tanah. Jatuh pingsan.

_)|(_

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status