WIRAMA berlaku nekat. Ia memang tidak memiliki bekal kepandaian bela diri yang mumpuni. Namun sebagai petani yang sehari-hari bekerja di sawah dan ladang, pemuda itu sudah terbiasa menggunakan senjata tajam.
Maka sabit yang sebetulnya alat bertani itu berubah jadi senjata pengintai maut. Suara kesiurnya terdengar meyakinkan. Terlebih arah yang diancam Wirama adalah batang leher Bramanta.
Jelas saja yang diserang jadi mengelam mukanya, sebab orang sudah terang-terangan menginginkan kematiannya.
"Sial dangkalan!" rutuk Bramanta, seraya menarik tubuh ke belakang satu langkah. Membuat sabit di tangan Wirama hanya mengoyak angin kosong.
Dari satu gerakan itu saja Bramanta sudah tahu jika penyerangnya tidak memiliki kemampuan bela diri yang cukup. Sabetan yang tadi mengancamnya juga hanya mengandung tenaga kasar. Tidak ada pengerahan tenaga dalam walau hanya sedikit.
Menyadari itu, seringai Bramanta jadi terkembang lebar. Ia tak ingin membuang-buang waktu meladeni lawan. Sejak tadi pikirannya sudah tertuju pada Sita dan apa yang ingin segera ia lakukan terhadap perempuan itu.
Ah, malam ini Bramanta bakal bersenang-senang sampai puas. Ia sudah tak sabar ingin menghabiskan waktu berdua-dua bersama Sita. Karena itu serangan Wirama harus segera ia akhiri.
Maka ketika Wirama kembali datang menyerang, Bramanta justru bergerak menyongsong. Dengan tatapan tajam berkilat-kilat ia memindai pertahanan lawan yang terbuka lebar di mana-mana. Sementara itu kedua tangannya mengerahkan tenaga dalam.
"Dasar tidak tahu diri!" desis Bramanta, lalu menangkap pergelangan tangan Wirama yang kembali hendak membacoknya dengan sabit.
Tap!
Ayunan sabit seketika terhenti di udara. Tangan Wirama terkunci rapat oleh genggaman Bramanta. Sekuat tenaga lelaki muda berusia kisaran 18 tahun itu berusaha melepaskan diri, tetapi berakhir sia-sia.
"Rasakan ini!" seru Bramanta lagi, sembari tangan satunya menderu deras. Mengirimkan jotosan bertenaga dalam ke dada Wirama yang terbuka lebar tanpa perlindungan.
Wirama tak siap mendapat serangan balik. Ia coba bergerak menghindar, tetapi pegangan tangan Bramanta pada pergelangannya membuatnya tak leluasa bergerak.
Tanpa ampun, tinju Bramanta mendarat di dada kiri Wirama. Sepasang mata lelaki muda itu seketika membeliak lebar, diikuti lenguhan tertahan dari mulutnya.
Tubuh Wirama sendiri ikut terdorong ke belakang saking kuatnya tenaga dalam jotosan tersebut. Lelaki muda itu merasakan jantungnya seolah-olah ambrol dan berhenti berdetak.
Napas Wirama tersengal-sengal. Ia tatap Bramanta dengan sorot mata penuh amarah, sebelum kemudian memaki geram, "Keparaaat!"
Bramanta balas tatapan Wirama dengan tak kalah sengit. Tanpa berkata apa-apa, ia memuntir pergelangan tangan Wirama yang masih berada dalam genggamannya. Sebuah bantingan yang dilakukan dengan satu tangan saja!
"Modyaaar!" seru Bramanta setengah menggeram.
Cukup sekali sentak saja tubuh Wirama sudah terangkat tinggi dan kemudian jatuh tertelungkup di tanah. Sekali lagi lelaki muda itu mengeluh tertahan. Tulang-tulangnya serasa rontok, sakitnya bukan alang kepalang.
Wirama menggeram marah, sembari berusaha bangkit. Ia hendak memaki lagi, tetapi urung dilakukan saat merasakan mulutnya asin bercampur pahit.
Sebagai ganti Wirama lantas meludah ke tanah. Paras pemuda itu berubah ketika melihat air liur yang keluar berwarna merah pekat.
"Sial!" desis Wirama kesal, lalu melirik ke arah belakang. Tiba-tiba saja ia teringat ucapan Sanatha tadi.
Sementara agak jauh di belakang sana, tampak Sanatha berdiri tak bergerak sedikitpun. Tak ubahnya seonggok arca. Meski tak terlihat jelas, Wirama dapat menangkap jika sekujur tubuh temannya itu tengah gemetar hebat.
"Anak muda bau kencur, aku akui nyalimu besar. Namun kau hanya mencari mati dengan berani-berani menyerangku!"
Ucapan tersebut membetot perhatian Wirama. Ketika ia mendongak, ternyata Bramanta sudah berdiri berkacak pinggang hanya satu langkah dari tempatnya tertelungkup.
Wirama cepat bangkit berdiri, meski dengan agak terhuyung-huyung. Ia sudah bersumpah akan melawan Bramanta habis-habisan. Tak peduli jika nyawanya harus melayang karena itu.
"Demi Ki Dukuh, demi Kartasentana, meregang nyawa sekalipun aku rela!" balas Wirama, tak mau terkesan bernyali kecut di hadapan Bramanta.
Seringai sinis Bramanta kembali melengkung. Diam-diam ia mengembangkan telapak tangan kanan dan mengalirinya dengan tenaga dalam penuh.
"Kau memang pemberani, Anak Muda, tetapi sayangnya juga bodoh! Akan aku penuhi keinginanmu itu!" desis Bramanta, lalu dengan cepat menghantamkan telapak tangannya ke depan.
Sekali lagi Wirama melenguh tertahan dengan sepasang mata membeliak lebar. Bersamaan dengan itu, tubuhnya terdorong jauh ke belakang hingga menghantam Sanatha yang masih diam mematung.
Karena kaget dan tak siap, Sanatha hanya bisa terpekik keras. Ia tak kuasa menahan tubuh Wirama. Keduanya lantas jatuh saling tindih di tanah.
Begitu kesadarannya kembali, Sanatha cepat berusaha menolong Wirama. Namun ternyata temannya itu sudah mengembuskan napas terakhir.
Paras Sanatha berubah pucat. Ia menyaksikan di dada Wirama terdapat bekas telapak tangan berwarna merah kehitaman. Sedangkan dari sudut bibir temannya itu juga mengalir darah segar.
"Wi ... Wirama ..." Sanatha mendesis dengan suara bergetar.
"Hahaha, temanmu sudah modar," ucap Bramanta yang tahu-tahu saja sudah berdiri di hadapan Sanatha. "Kalau kau ingin menyusulnya ke alam lain, dengan senang hati akan kubantu."
Tubuh Sanatha yang sejak tadi sudah gemetar, semakin bergeletar hebat mendengar ucapan tersebut. Ia bahkan tidak berani mendongak dan menatap Bramanta yang tengah berkacak pinggang di hadapannya.
"Namun sebelum kulepas nyawa busukmu itu, jawab dulu pertanyaanku tadi," ujar Bramanta lagi, sembari mendekat satu langkah.
Di tengah rasa takut yang amat sangat, Sanatha langsung berpikir keras. Pertanyaan yang mana? Kapan? Sayang, ketakutan yang amat sangat membuat otaknya gagal menggali ingatan.
P-per ... per-pertanyaan?" Sanatha akhirnya hanya bisa mengulang dengan suara bergetar.
"Ya, kalian berdua tadi belum menjawab pertanyaanku," sambar Bramanta. "Apakah kalian juga pengawal si Sarwa Kusuma keparat itu?"
"Oh ..." Sanatha mendesah, merasa agak lega karena pertanyaan yang harus dijawab tidaklah sulit. "B-bukan. Kami bukan pengawal. Kami haya penduduk kampung biasa. Kami...."
Bramanta mendengus kasar mendengar jawaban tersebut. Sebetulnya ia sudah dapat membedakan jika dua pemuda di hadapannya bukanlah pengawal. Namun ia merasa perlu memastikan terlebih dahulu.
"Bagus! Kalian warga kampung yang pemberani," kata Bramanta lagi. Entah pujiannya sungguh-sungguh atau sekadar basa-basi. "Lalu, apa maumu sekarang? Apakah kau juga ingin menghalangiku membawa perempuan itu, seperti temanmu tadi?"
Kali ini Sanatha dibuat menelan ludah. Untuk beberapa saat ia tak kuasa menjawab.
Sejujurnya Sanatha memang bermaksud membantu Wirama. Mereka ingin menolong Nyi Dukuh yang hendak dilarikan Bramanta. Namun nyalinya mendadak ciut begitu melihat kemampuan lelaki di hadapannya ini.
Melihat Sanatha hanya diam dengan wajah pias, Bramanta tertawa keras.
"Aku tahu, kau juga berniat melawanku. Untuk itu kau juga layak mampus seperti temanmu itu!" kata Bramanta setelah puas tertawa.
Paras pucat Sanatha semakin memutih bagaikan orang mati. Napasnya yang mendadak sesak jadi semakin tersengal-sengal saja.
"Namun karena kau tidak bertindak lancang seperti temanmu yang pemberani tapi bodoh itu, aku akan membiarkanmu tetap hidup," lanjut Bramanta, sembari duduk berjongkok sehingga tatapannya sejajar dengan mata Sanatha.
"Dengar ..." Bramanta mengangkat kepala Sanatha yang tertunduk agar lelaki muda itu membalas tatapannya. "Aku butuh saksi hidup atas kejadian ini. Jadi, tetaplah hidup dan ceritakan semua yang kau lihat di sini pada siapapun yang kau temui.
"Ceritakan pada seluruh warga kampung Kartasentana ini, pada semua orang di wanua Sangguran, juga pada siapapun di watak Waharu. Katakan pada mereka, aku Bramanta yang bertanggung jawab terhadap kematian Ki Dukuh Kartasentana. Kau mengerti?"
Sanatha ingin mengangguk mengiyakan. Namun rasa takut yang sejak tadi menyelimuti dirinya membuat kesadaran pemuda itu malah lenyap saat itu juga.
Belum sempat mulutnya bersuara untuk memberi jawaban, tubuh Sanatha sudah terjengkang di tanah. Jatuh pingsan.
_)|(_
MESKI kaki-kakinya mungil, Wijaya Kusuma dapat berlari sangat kencang sekali. Hanya dalam masa beberapa kejapan mata bocah cilik itu sudah berada jauh dari si orang tua kerempeng."Hei, Anak, tunggu! Jangan lari ke sana!" seru lelaki tua yang mengejar di belakang.Saking kagetnya, orang tua kerempeng lupa jika dirinya memiliki ilmu lari cepat. Ia tadi langsung berlari saja dengan tenaga kasar, alih-alih memakai kepandaian tersebut.Kejar-mengejar itu terus berlangsung hingga memasuki kawasan di mana pepohonannya penuh dengan dahan-dahan besar memanjang. Dedaunan sangat rimbun, sehingga sinar matahari yang masih sangat muda tak kuasa menembus hingga ke sebaliknya.Paras si lelaki tua berubah tegang begitu menyadari di mana tempatnya berada kini. Terlebih ketika pandangannya terarah ke satu dahan pohon yang akan dilalui Wijaya Kusuma."Anak, awas!" seru si lelaki tua lagi dengan panik. Sambil menggerutu panjang-pendek ia tingkatkan laju lari.
"G-GAWAT apanya, Kek? Apakah ada orang jahat yang datang?" tanya Wijaya Kusuma. Ia kebingungan melihat lelaki tua di hadapannya tiba-tiba saja menghambur cepat ke depan.Namun si orang tua tidak menjawab pertanyaan itu. Ia langsung duduk berjongkok di dekat perapian. Batok kelapa yang tadi ia bawa dilemparkan begitu saja entah ke mana.Dengan raut muka panik lelaki tua tersebut mengambil sebatang kayu bakar yang ujungnya berasap karena terbakar. Dengan benda panjang itu ia mengaduk-aduk tumpukan bara.Wijaya Kusuma yang sudah berada di samping orang tua kerempeng mencium bau hangus yang santar sekali. Anak kecil itu lantas tersenyum geli begitu mengetahui apa yang membuat orang tua kerempeng panik sedemikian rupa.Dari dalam tumpukan bara, si lelaki tua mengeluarkan beberapa benda yang hangus menghitam. Asap mengepul dari permukaan benda-benda tersebut. Inilah sumber bau sangit yang dicium olehnya dan juga Wijaya Kusuma."Oh, ubiku ... ubiku hangus
ASAP putih mengepul di muka pondok kayu di tengah belantara. Seorang lelaki tua berbadan kerempeng tampak menggembungkan kedua pipi, lalu meniup perapian di hadapannya dengan paras memerah.Di atas api terdapat bejana tanah berisi air yang dari permukaannya mengepulkan asap tipis. Sebentuk kayu pipih panjang terdapat di dalamnya, sangat bisa jadi centong untuk mengaduk."Dasar kayu sialan! Lama-lama bisa tambah peot aku kalau begini," gerutu si lelaki tua usai meniup tumpukan kayu dalam perapian.Bara yang sudah tercipta segera menyala jadi kobaran api akibat tiupan tersebut. Namun nyalanya kecil saja, sehingga si lelaki tua kerempeng jadi senewen sendiri."Huh, kalau begini terus, mau sampai kapan ramuan ini bakal mendidih dan matang? Sialan betul!" Kembali gerutuan keluar dari mulut keriput itu.Hari masih sangat pagi di lereng Gunung Kelud. Kabut menggantung di mana-mana, menghalangi sinar matahari yang telah mengintip dari sela-sela dedaunan. E
"MANA Bramanta? Mengapa aku tidak melihatnya bersama kalian?" tanya sosok tinggi besar di atas kuda tanpa basa-basi. Ia bahkan tidak menanggapi salam Palguna dan teman-temannya."Ah, Bramanta ... dia ... kami juga sedang menunggu dia, Ketua." Palguna mewakili yang lain-lain berbicara."Apakah dia belum tiba di sini?" tanya sosok yang dipanggil Ketua lagi."Semestinya sudah, Ketua, sebab kami lihat kudanya sudah ada di sini," jawab Palguna yang kemudian merasa agak ragu-ragu untuk melanjutkan keterangan. "Tapi sepertinya....""Sepertinya apa?" kejar lelaki di atas punggung kuda.Palguna garuk-garuk kepala, sembari tersenyum kecil serba salah. Namun akhirnya ia merasa tidak ada salahnya menyampaikan apa yang menjadi dugaan mereka berempat tadi."Dia tadi membawa serta isteri Ki Dukuh Kartasentana. Jadi, sepertinya ..." Palguna kembali merasa ragu-ragu hendak berkata, tetapi akhirnya melanjutkan juga, "Kami menduga dia sedang bersenang-senang d
"Aneh, kenapa sepertinya tidak ada siapa-siapa di dalam sana?"Palguna mengerutkan kening keheranan melihat keadaan gubuk di hadapannya. Pintu terbuka lebar, tetapi suasananya sangat sepi sekali. Tak terdengar suara manusia sedikit pun dari dalam sana."Seharusnya dia sudah tiba di sini sejak tadi-tadi," gumam Palguna, sembari menatap ke dalam gubuk yang remang-remang.Tiga lelaki yang datang bersama Palguna ikut memandang ke arah sama. Salah satu dari mereka lantas melompat turun dari punggung kudanya dan memeriksa keadaan sekeliling gubuk.Tak seberapa jauh dari bangunan gubuk, lelaki itu menemukan seekor kuda yang tertambat di sebatang pohon kecil. Ditepuknya pinggul hewan tersebut, sehingga meringkik nyaring karena kaget."Ini kuda Bramanta," ujar lelaki tadi, seraya tangannya ganti mengusap-usap leher kuda yang dipenuhi surai. "Berarti dia sudah sampai di sini sebelum kita.""Tapi kenapa seperti tidak ada siapapun di tempat ini?" gumam
"SITA ... percayalah, aku tidak bermaksud melukaimu," desah Bramanta, sembari tetap mencoba mendekati Sita.Namun yang ingin didekati menggeleng-gelengkan kepala dengan cepat, pertanda tak ingin Bramanta mendatanginya. Raut wajahnya benar-benar seperti orang ketakutan.Mau tak mau Bramanta hentikan gerakannya, lalu menghela napas dengan kecewa. Jauh di dalam lubuk hatinya timbul perasaan terluka juga tersinggung oleh sikap Sita."Sita, a-aku ... aku merindukanmu. Sungguh merindukanmu," ujar Bramanta kemudian dengan suara mendayu. "Tidakkah selama ini kau juga merasakan kerinduan yang sama terhadapku?"Sita kembali menggeleng-gelengkan kepala mendengar ucapan tersebut. Parasnya yang tadi tegang dan pucat seketika berubah mendung. Sepasang matanya tampak berembun."Kau gila, Bramanta! Kau sungguh keji! Mengapa kau tega menghabisi suamiku?" ujar Sita setengah menjerit. "Aku juga terpisah dengan anakku. Aku tidak tahu di mana anak itu sekarang berada..