Beberapa saat menunggu, akhirnya Diana keluar membawa sebuah nampan besar. Ada beberapa piring dari anyaman akar di sana, beberapa lembar daun yang nantinya digunakan untuk alas makan. Dua kali Diana membawa nampan untuk menghidangkan sarapan.
“Nah, Diana, kau temani Danu sarapan!” kata Abimana.
“Kenapa tidak bapak saja?” tanya Diana. Sebal.
“Tadi pagi-pagi bapak sudah makan di warung.” Tanpa banyak cakap lagi Abimana melangkah meninggalkan mereka berdua. Suasana menjadi canggung.
“Makan!” perintah Diana.
“Eh, bapak kamu tidak jahat,” kata Danu mencoba mencari bahan pembicaraan.
“Siapa yang mengatakan bapakku jahat?” tanya Diana ketus. Tangannya memegang salah satu piring yang sudah dilapisi dengan daun jati. “Ini!” tangan Diana menyodorkan piring yang sudah terisi dengan nasi dan lauknya.
“Aku bisa mengambilnya sendiri!” kata Danu. Tangannya meraih piring di atas meja. Tapi belum sampai piring itu terangkat, ada sebuah tangan yang menyambar tangannya, memukul pelan.
“Kenapa?” tanya Danu pada Diana yang memukulnya.
“Tidak baik menolak bantuan orang lain,” jawab Diana, matanya memelotot.
Terpaksa Danu menerima piring itu. Sebenarnya dia juga tidak berniat menolak. Tapi demi melihat Diana yang galak seperti itu, dia perlu juga menjaga sikap.
“Ini terlalu banyak, Diana! Apakah bisa kau kurangi?” tanya Danu.
“Tidak bisa, itu adalah takaran yang pas untukmu.”
Danu menarik nafas dalam-dalam. Sial! Pikirnya.
“Kau tidak makan, Diana?”
“Lalu kamu berfikir bahwa aku memasak hanya untukmu?” tanya Diana, tangannya mengambil piring dari meja.
Sekali lagi Danu dibuatnya geram. Ah, sekarang lebih baik aku makan dan diam, batin Danu. Sepertinya Danu merasakan kenikmatan dari masakan Diana. Atau mungkin karena dia memang kelaparan? Bukankah Danu terakhir makan adalah memakan burung kecil di atas lereng Gunung Tiga Maut?
“Eh, siapa namamu?” tanya Diana tiba-tiba, tangannya meremas-remas nasi yang akan dia lahap.
“Kau bertanya padaku?” tanya Danu heran.
“Memangnya di sini ada siapa lagi?” tanya balik Diana.
“Namaku Danu Amarta. Apakah kamu tidak mendengarkan kata-kata bapakmu?”
“Biasa saja, sih! Kenapa menjadi nyolot?”
“Sulit sekali bicara denganmu.” Danu lagi-lagi dibuat geram oleh Diana.
Diana malah tersenyum. Entah apa yang sekarang ada di benaknya. Samar-samar Danu melirik senyuman itu. Mata Danu bertahan cukup lama.
“Kenapa melihatku seperti itu?” tanya Diana mengagetkan Danu.
Danu salah tingkah, tidak siap dengan pertanyaan seperti itu.
“Tidak, aku hanya melihat ulat di pipimu,” jawab Danu asal.
“HA? Yang benar?” Diana beranjak berdiri, meletakkan piring di meja.
“Hai, aku hanya bercanda, tidak ada apa-apa.” Cepat-cepat Danu membenahi suasana.
“Hem, menyebalkan.” Diana kembali terduduk. Tersenyum. Sekali lagi Danu melirik senyuman itu.
Manis juga gadis ini! Pikir Danu.
“Nah, kenapa lagi masih melihatku? Aku memang cantik, manis. Tapi, tidak seperti itu pula caramu melihatku,” kata Diana setelah mengetahui bahwa Danu masih memandanginya.
“Begitukah?” tanya Danu setengah tersenyum memandang Diana.
“Terserah. Mau percaya atau tidak bukan urusanku,” tukas Diana. Ia kembali melanjutkan sarapan.
“Hai, apakah kamu tidak mempunyai keinginan untuk bertualang denganku?” tanya Danu. Sepertinya Diana adalah gadis yang asyik untuk diajak bicara, meski terkadang sering menyebalkan.
“Bertualang?” tanya Diana penasaran, tapi matanya tetap mengarah pada piring kayu.
“Iya, bertualang denganku.” Danu sekali lagi meyakinkan.
Diana diam untuk beberapa lama, pipinya terlihat menawan ketika mengunyah makanan, ditambah dengan senyum khasnya. Mungkin itu adalah senyuman terindah yang pernah Danu lihat. Tidak membosankan.
“Sebenarnya aku telah lama mempunyai keinginan untuk bertualang, menjelajah negeri-negeri jauh, menemukan hal-hal baru, bertemu dengan banyak orang dan menjalin persaudaraan. Tapi entah kenapa bapak selalu tidak mengizinkan,” kata Diana, matanya menerawang jauh.
“Mungkin karena kamu wanita?” tanya Danu. Ia mereka-reka apa penyebab bapaknya melarang Diana untuk bertualang.
Diana diam sejenak, berfikir. “Aku rasa itu bukan alasan bapak. Atau kamu perlu melihat kemampuanku bertarung? Bahkan aku mungkin lebih hebat darimu yang hanya mampu memanjat tebing sampai empat ratus meter.”
“Dari mana kamu tahu bahwa aku memanjat tebing empat ratus meter?” tanya Danu heran.
“Tadi suaramu cukup keras sehingga aku mendengarnya.” Diana terlihat salah tingkah menjawab.
“Atau jangan-jangan, kamu mengintip dan tertarik denganku?” tanya Danu dengan percaya diri.
“Huh, kamu terlalu percaya diri.” Tangan Diana cekatan merapikan piring yang sudah kosong. Ia mengembalikan berkas-berkas yang digunakan untuk sarapan ke dapur. Danu memandang Diana dari belakang, sampai akhirnya tubuh Diana hilang di kelokan ruangan.
Beberapa saat kemudian Diana kembali. Danu langsung berkata sesuatu kepadanya. “Bagaimana dengan penawaranku?”
“Penawaran yang manakah?” tanya Diana. Dia duduk kembali di tempatnya semula.
“Petualangan,” sahut Danu cepat.
“Aku belum bisa memutuskan. Tapi yang jelas untuk saat ini aku belum bisa,” jawab Danu.
Danu terlihat kecewa.
“Hai, kenapa wajahmu terlihat begitu kusut? Apakah aku merugikanmu jika tidak ikut bertualang denganmu?” tanya Diana. Ia terlihat kesal.
Mata Danu memicing, dahinya mengernyit. Benar juga apa yang dikatakan Diana, batin Danu. Dia tidak untung juga tidak rugi. Bisa-bisa Diana malah menjadi beban perjalanan bagi dirinya.
“Baiklah! Aku akan sangat bahagia jika mempunyai teman seperjalanan. Tapi sepertinya aku telah memutuskan, bahwa jika kau ikut denganku maka hanya akan membawa masalah saja, “ kata Danu, berusaha membuat Diana jengkel.
“Siapa pula yang bersedia ikut denganmu?” sahut Diana, dan Danu berhasil membuat Diana kesal. “Aku akan mencari bapak dan katakan bahwa kau telah selesai makan. Selanjutnya kamu akan dipersilakan meninggalkan tempat ini.” Diana beranjak berdiri, meninggalkan Danu yang memandangnya dari belakang.
“Tunggu, Diana!” Danu menyusul Diana setengah berlari.
“Ada apa lagi?” tanya Diana ketus.
“Bolehkah aku bertanya satu hal kepadamu?” tanya Danu.
“Apa kamu bilang? Bertanya sesuatu? Bukankah kamu telah bertanya lebih dari seratus kali kepadaku? Lantas kenapa kamu masih meminta izin ketika akan bertanya lagi? Hah?” Diana kesal.
“Maaf-maaf! Apakah aku boleh suka denganmu?” tanya Danu malu-malu.
Diana diam sejenak, sepertinya tidak menyangka bahwa pertanyaan Danu adalah demikian.
“Aku rasa terlalu cepat kau mengatakan suka, Danu! Lagi pula kata sukamu itu tidak akan berarti jika sesaat lagi kita akan berpisah!” Diana kembali berjalan, Danu mengikutinya dari belakang. “Simpan saja kata sukamu itu sampai benar-benar kamu menemukan wanita yang tepat!”
“Tapi aku rasa kau adalah wanita yang tepat, Diana!” kata Danu kembali.
“Begitu mudahkah kau mengatakan bahwa aku adalah wanita yang tepat?” Diana membuka pintu belakang, mencari bapaknya. “Berdasarkan apa kamu menyimpulkan demikian?” tanya Diana sinis.
“Keluargamu jelas! Dan tidak semua gadis bersedia membantu juga menurut kepada orang tua!” kata Danu. Dia masih berada di belakang Diana yang berkeliling halaman belakang mencari bapaknya.
“Kalau begitu kenapa kau tidak katakan suka kepada Permata dan Kusuma?”
“Itu beda cerita. Aku menemukan sebuah hal yang tidak biasa dari dalam dirimu. Aku menemukan sebuah hal terpendam yang bahkan kamu sendiri mungkin tidak menyadarinya. Itu luar biasa, Diana!” tutur Danu panjang.
Diana sepertinya tertarik. Dia mengajak Danu duduk di belakang rumah. Di sebuah kursi panjang berwarna cokelat di bawah sebuah pohon beringin Danu mengatakan apa alasannya mengakan suka kepada Diana.
“Ini bukan soal pandangan pertama, Diana! Aku adalah pendekar. Aku diajarkan untuk melihat sesuatu berdasarkan kesan pertama, pada pandangan pertama. Aku sudah membuktikannya beberapa kali, bahkan sering, dan itu sesuai dengan kenyataan.” Mata Danu memandang langit-langit jauh. Beberapa daun beringin yang menguning jatuh berguguran diterpa angin.
“Misalnya?” tanya Diana. Dia duduk bersampingan dengan Danu. Cepat sekali mereka akrab meski beberapa kali saling menyebalkan.
“Saat itu aku melihat seseorang yang tengah berjalan, dia memakai pakaian serba putih. Orang itu berasal dari tanah selatan. Orang-orang menghormatinya sebab dia termasuk keturunan orang terpandang di negerinya. Semua berjabat tangan, mengambil hikmah dari dirinya.” Mata Danu memandang langit di kejauhan. Beberapa daun terlihat berjatuhan diterpa angin, daun yang menguning. “Tapi aku tidak. Aku menangkap sebuah aura buruk dan merusak dari dalam dirinya.”
“Terus?” Diana tidak sabaran mendengarkan.
“Aku mengusirnya dengan ilmu kanuragan yang aku pelajari. Aku sadar bahwa aku salah mengusir orang buruk itu dengan kekerasan. Tapi aku bersyukur, keburukan yang mengancam masyarakat tidak datang. Namun...,” kata Danu, dia diam sejenak. “Semua itu harus aku bayar dengan harga yang sangat mahal.”
“Apa itu?” tanya Diana.
“Ibuku harus menebus dengan nyawanya.” Suara Danu terdengar bergetar.
“Berarti sekarang kamu hanya bersama dengan bapakmu?” tanya Diana prihatin.
“Bapakku juga demikian. Ah, sudahlah, aku tidak sudi mengingat kejadian silam itu.” Danu menolak bercerita. Memang Diana tidak ingin pula mendengar ceritanya.
“Baiklah!” komentar Diana. “Ke mana bapak ini?” Diana kembali berdiri dan sepertinya akan kembali ke dalam rumah.
“Diana, bisakah kau memberikan senyum terbaikmu sebelum aku benar-benar pergi?” Tiba-tiba Danu menyeletuk sembarangan.
“Untuk apa?” tanya Diana penasaran.
“Sebagai kenang-kenangan seandainya kita tidak bertemu lagi.”
“Bukankah kamu bisa membaca kesan pertama pada seseorang? Apakah kamu tidak menangkap kesan bahwa kita akan bertemu lagi?” kata Diana. Kali ini dia tersenyum.
“Itu adalah doa terbaik dalam hidupku,” sahut Danu.
Petani-petani pulang dari sawah, menenteng cangkul di tangannya atau menambatkan cangkul pada salah satu pundaknya. Wajah mereka tampak letih, namun semangat tetap ada di sana. Celana hitam-hitam setinggi lutut mereka pakai, melindungi diri dari teriknya matahari, dipadukan dengan topi lebar dari anyaman bambu.“Mari, Tuan Abimana!” sapa salah seorang petani yang melewati rumah Abimana.Danu dan Abimana sekarang duduk-duduk santai di depan rumahnya, membincangkan berbagai hal. Siang hari matahari bersinar terik, tapi panasnya tidak begitu terasa sebab halaman rumah itu penuh dengan pepohonan.“Sebenarnya aku ingin putriku satu-satunya itu menjadi seorang pengembara hebat, menemukan belahan-belahan dunia baru,” kata Abimana meneruskan pembicaraan yang terhenti ketika petani yang lewat menyapa. “Tapi, setidaknya ada dua alasan yang sampai sekarang mengganjal hatiku untuk melepasnya.”“Kalau boleh tahu apakah dua hal
“Cepat keluar, Abimana!” salah satu dari belasan orang itu berteriak. Sepertinya itu adalah pemimpin pasukan. Rambutnya gondrong, tangannya membawa parang panjang, berkilauan diterpa sinar matahari. Tubuhnya gempal, tegap berdiri. “Sepertinya dia terlalu pengecut, Kawan! Maka, mari kita masuk ke dalam dengan jalan pintas!” kata orang itu kepada kawan-kawannya, tapi dengan suara yang keras Danu mendengarnya. “Sialan! Tetap saja manusia bangsat itu menjadi pengecut!” Salah satu dari mereka menimpali. “Sekarang kita akhiri hidup manusia tua bangka itu!” salah satunya lagi menimpali. Belasan orang itu segera merangsek maju dengan parang teracung. Danu berusaha menghadang mereka. Entah bahaya apa yang akan Danu terima. Bagi Danu pertempuran adalah sebuah hal yang sudah biasa. “Hai, kau tidak usah mencampuri urusan kami,” kata sang pemimpin, matanya mendelik, marah dengan tingkah Danu. “Apa hak kalian sehingga bebas berkeliaran di rumah ini?
Tubuh Diana lemas, dia tidak sanggup lagi berdiri. Matanya nanar, pandangannya kabur, tubuhnya benar-benar lemas. Diana tidak sanggup lagi berdiri. Tubuhnya jatuh terkulai di lantai. Bulir air mata pertama keluar dari pelupuk mata, memanas, mengalir pada pipi yang lembut itu. Ingin Diana berteriak, tapi seakan suara tercekat ketika akan melewati tenggorokan. Diana tidak tahu apakah ini mimpi atau nyata.Sesaat yang lalu, Diana masih duduk bersama, mendengar nasehat dari ibunya, saling mengerti hati untuk merelakan ketika pergi. Tapi, lihatlah, ibu Diana menghianati apa yang telah direncanakan oleh hati. Ibu Diana pergi terlebih dahulu, meninggalkan Diana yang kini duduk terkulai di lantai.“Danu, sekarang bawalah pergi Diana!” kata Abimana tegas. Ia meringis kesakitan. Lengan sebelah kanannya terkena parang, darah mengalir dari luka itu, menetes di lantai.“Baiklah!” sahut Danu mantap. Dia tidak merasakan luka goresan parang pada tangan k
“Aduh, aduh!” terdengar seseorang mengaduh. Itu adalah anak buah Hussa. Mendengar rintihan tersebut Danu langsung kembali marah. Dia teringat dengan anak buah Hussa lainnya yang membawa pergi Diana, membunuh Abimana serta istrinya. Danu berdiri, mendekati orang yang meringis memegangi lututnya, orang itu duduk lemas. Danu meraih parang yang tidak jauh dari orang itu, berbekas darah pada kedua sisinya. Danu bermaksud untuk menyudahi hidup orang itu dengan memenggal kepalanya. Parang terangkat ke atas, Danu bersiap, giginya mengeram. Tapi tiba-tiba orang itu memohon kepada Danu. “Aku mohon jangan bunuh aku!” Suara memelas. Danu tidak menurunkan parangnya yang siap menebas. “Dengan alasan apa aku tidak membunuhmu?” tanya Danu geram. “Setidaknya aku bisa menunjukkan di mana markas Hussa dan anak buahnya!” jawab orang itu. Itu adalah sebuah jawaban yang berhasil membuat Danu menurunkan parangnya. Memang saat ini Danu membutuhkan ses
Danu terperanjat melihat parang hanya berjarak beberapa jari dari lehernya, tidak menyangka bahwa Baung yang telah diberinya hidup malah akan membunuhnya.“Mati kau!” teriak Baung sesaat sebelum parang benar-benar menebas leher Danu.Danu sudah pasrah, menghindarkan pun itu tidak akan banyak membantu. Jarak antara parang dan lehernya sekarang hanya setengah jari. Tapi Danu dan Baung sama-sama tidak menyangka bahwa ada seorang penyelamat yang datang tepat waktu.“Haaaa!” Terdengar suara bersamaan dengan sebuah tangan menepis parang yang Baung ayunkan.Parang panjang mengkilap diterpa cahaya bulan itu jatuh ke tanah. Baung benar-benar tidak menyangka bahwa akan ada seorang penyelamat yang tiba-tiba datang dan menggagalkan rencananya.Sosok yang datang tiba-tiba itu menendang keras-keras perut Baung. Baung terpental beberapa langkah ke belakang, tersungkur, meringis kesakitan.“Kamu tidak apa-apa, Dan
Danu dan Permata telah hanyut dalam mimpi masing-masing. Tangan Danu memegang erat baju tebal yang diberikan Permata, menahan dinginnya udara malam. Sedang tidak jauh darinya, seorang gadis putih, cantik, berambut panjang, hitam, dan lurus, tengah terbaring tanpa bantal. Tangannya mendekap pada dada, menahan dingin malam dengan kain seadanya. Jika dilakukan dengan senang hati, maka akan menghadirkan sebuah rasa bahagia yang tiada tara.Dari balik keremangan, di bawah sebuah pohon, berjalanlah seorang manusia yang mengendap-endap, tangan kanannya terkulai ke bawah tidak berdaya. Baung berjalan mendekati Danu dan Permata yang tengah terlelap, sepertinya ini adalah waktu tepat untuk mengakhiri hidup mereka berdua.Tangan kiri Baung memegang erat sebuah parang panjang, bergetar. Ini adalah jalan terakhirnya untuk balas dendam kepada Danu juga Permata yang telah membuat tangannya lumpuh. Andai saja gagal, maka Baung tidak dapat membayangkan apa yang akan terjadi kepadanya.
Pagi-pagi sebelum matahari keluar dari peraduannya Danu terbangun. Suara ayam saling bersahutan membangunkan manusia. Mata Danu mengerjap-ngerjap, memandang sekitar. Permata adalah pemandangan pertama yang membuat pandangannya bertahan beberapa saat.“Cantik!”Kata itu dengan sendirinya mengalir dari bibir Danu. Matanya masih memandang Permata untuk beberapa saat berikutnya. Bahkan sekarang Danu merangkak mendekati Permata yang mendekap dalam-dalam dadanya, menahan dinginnya pagi walaupun belum sepenuhnya dia tersadar.Danu ragu untuk membangunkan Permata. Tangannya bergerak mendekati kepala Permata, tapi tidak jadi menyentuhnya. Kini tangan Danu mendekati lengan Permata, membangunkan, tapi tidak jadi lagi. Ah, bingung sendiri bagian mana yang akan dia pegang untuk membangunkan. Sejenak Danu menatap buah dada Permata, tapi buru-buru dia mengalihkan pandangannya pada kaki Permata. Dia memberanikan diri untuk menyentuh kaki Permata, menggoyang-goyangka
Pagi kesekian datang dengan sinar matahari yang merekah, bak senyum seorang gadis berbibir merah. Petani-petani berjalan menenteng cangkul di tangan atau bahkan menyandangnya di pundak kanan, sesekali mereka mengundang tawa sesamanya ketika bertemu di kelokan jalan. Ayam-ayam berkejaran, memburu mangsa apa saja adanya. Burung-burung beterbangan membentuk sebuah pola yang mustahil manusia membuatnya.“Apakah kau sudah siap, Permata?” tanya Danu yang mendatangi rumah Permata. Pagi itu rencananya mereka akan berangkat memulai sebuah petualangan baru.Permata tersenyum manja, menyambut pagi dengan indahnya hati. “Aku sudah siap. Semua keperluan sudah aku siapkan meski tidak terlalu banyak. Bagaimana denganmu sendiri, Danu?” tanya balik Permata. Dia mempersilakan Danu untuk duduk sejenak di ruang tamu. Rumah Permata tampak sepi.“Syukurlah, aku sudah siap lahir batin,” jawab Danu sembari menatap lukisan besar di sisi dinding sebela