Share

Selendang Kehidupan

Petani-petani pulang dari sawah, menenteng cangkul di tangannya atau menambatkan cangkul pada salah satu pundaknya. Wajah mereka tampak letih, namun semangat tetap ada di sana. Celana hitam-hitam setinggi lutut mereka pakai, melindungi diri dari teriknya matahari, dipadukan dengan topi lebar dari anyaman bambu.

“Mari, Tuan Abimana!” sapa salah seorang petani yang melewati rumah Abimana.

Danu dan Abimana sekarang duduk-duduk santai di depan rumahnya, membincangkan berbagai hal. Siang hari matahari bersinar terik, tapi panasnya tidak begitu terasa sebab halaman rumah itu penuh dengan pepohonan.

“Sebenarnya aku ingin putriku satu-satunya itu menjadi seorang pengembara hebat, menemukan belahan-belahan dunia baru,” kata Abimana meneruskan pembicaraan yang terhenti ketika petani yang lewat menyapa. “Tapi, setidaknya ada dua alasan yang sampai sekarang mengganjal hatiku untuk melepasnya.”

“Kalau boleh tahu apakah dua hal itu?” tanya Danu.

“Pertama, tentu ibunya Diana sangat berat untuk melepasnya. Kedua, pengembaraanku sendiri dahulu yang membuatku ragu, akankah putriku itu mengikuti jejak langkah burukku ini?” mata Abimana menerawang jauh ke depan.

“Pendapatku, maaf lancang! Jika dibekali dengan ilmu yang cukup, aku rasa Diana akan menjadi pengembara yang hebat. Aku adalah seorang pendekar, meski tidak hebat, aku bisa membaca aura seseorang dalam tatapan pertama, dan aku menemukan hal hebat pada putri bapak dalam tatapan pertama tersebut.”

“Oh, iya?” tanya Abimana penasaran, tertarik. “Siapa yang mengajarimu?”

“Itu adalah kemampuanku sejak lahir, kemudian diasah oleh guruku,” jawab Danu dengan sopan. Dia tidak membanggakan diri. Abimana semakin tertarik.

“Hal hebat apa yang kamu lihat dari putriku, Danu?” tanya Abimana tidak sabaran.

“Aura hebat. Aura seorang pendekar hebat yang mampu meluluhkan aura kejahatan, dari orang-orang terdekatnya, juga dari belahan dunia baru, mengubahnya menjadi aura kebaikan,” kata Danu. “Tapi entahlah, hanya itu yang bisa aku terjemahkan. Namun aku sangat yakin, bahwa Diana pasti akan menjadi pendekar hebat jika menjalani proses semestinya.”

Itu adalah sebuah kesan pertama yang nantinya akan mengubah jalan hidup Danu. Tapi dia belum menyadarinya sekarang.

“Hebat! Aku juga pernah mendengar teman seperguruanku berkata demikian. Syukurlah, sekarang aku bertambah yakin bahwa putriku adalah calon pendekar hebat,” kata Abimana berbunga-bunga.

Beberapa saat suasana hening, hanya ada beberapa suara burung saling sahut-sahutan. Mereka hinggap di dahan-dahan pohon depan rumah, beberapa saat beterbangan kembali, saling mengejar.

“Danu!” kata Abimana dengan suara datar. “apakah kau bisa menerima amanatku ini?” tanya Abimana.

“Apa itu?” tanya Danu.

“Aku ingin putriku menjadi seorang pendekar. Aku ingin Diana menemukan hal-hal baru dalam hidupnya, menambah wawasan hidup agar menjadi lebih baik. Aku ingin putriku menjadi pengubah dunia yang telah dipenuhi dengan manusia-manusia busuk,” kata Abimana, matanya menerawang jauh ke atas langit.

“Lalu apa yang bisa aku bantu untuk mewujudkannya?” tanya Danu.

“Nah, itulah amanat yang aku maksudkan. Aku bermaksud untuk menitipkan Diana bersamamu, agar dia menjadi pendekar, menjadi seorang pengembara,” kata Abimana.

Der...

Jantung Danu bergetar hebat, entah kenapa. Atau, mungkin ini adalah keinginan yang Danu inginkan sejak tadi?

“Apakah aku tidak salah dengar?” tanya Danu, matanya menelisik.

“Tidak! Kau tidak salah dengar, Danu! Aku berencana mengirim Diana bertualang bersamamu, menjadi seorang pengembara hebat dan menjadi pengubah dunia,” kata Abimana berbunga-bunga. “Sebentar!” Abimana beranjak berdiri, berjalan masuk rumah.

Danu memandangi pepohonan yang sesekali diterpa angin. Daun-daun yang menguning berjatuhan, burung-burung beterbangan. Beberapa saat kemudian angin berhenti, burung-burung pun kembali bertengger pada dahannya.

“Duduklah, Diana!” kata Abimana. Dia keluar bersama dengan Diana di belakangnya.

“Ada apa, bapak?” tanya Diana lembut.

“Bukankah keinginanmu adalah menjadi seorang pengembara? Menemukan dunia-dunia baru dalam hidupmu?” tanya Abimana.

Diana menjawab samar-samar, ragu-ragu,  belum sepenuhnya mengerti alur pembicaraan. “Iya, Bapak!”

“Nah, sekarang mengembaralah! Bapak rasa kamu sudah dewasa, Diana. Kau akan mengembara bersama Danu. Meskipun baru mengenalnya, rasa-rasanya Danu adalah anak yang baik,” kata Abimana.

Sebenarnya dalam hati Abimana juga mengetahui bahwa ada sifat-sifat buruk yang Danu miliki, tapi itu adalah hal yang bisa diubah. Bukankah Diana mempunyai kemampuan untuk mengubah keburukan menjadi kebaikan?

Abimana sepertinya telah menceritakan keseluruhan apa yang akan mereka lakukan.

“Bagaimana, Diana?” tanya Danu.

“Mengembara adalah impianku sejak kecil, dan kali ini aku mendapatkan kesempatan yang sangat besar,” kata Diana. Jari-jemarinya mengatup, sesekali dipatah-patahkannya. “Aku sangat bahagia mendengar kabar ini. Tapi yang masih aku ragukan,” Diana berhenti sejenak, “apakah ibu juga mengizinkan, Bapak?”

“Sudah. Beberapa saat lalu sebelum memanggilmu aku sudah mengatakannya kepada ibumu, ibumu setuju dengan itu semua.” Abimana menerangkan dengan semangat.

Wajah Diana tampak berseri-seri, ada juga rasa bersedih di wajah cantik nan manis itu. Bukankah pengembaraan adalah hal besar? Bukankah sebuah hal besar pastilah membutuhkan pengorbanan yang besar?

“Jangan khawatirkan ibu dan bapak, kami akan baik-baik saja.” Abimana seperti bisa membaca apa yang menjadi keresahan anaknya.

“Tapi...” sahut Diana. Belum selesai, Abimana kembali berbicara.

“Sebuah hal besar pastilah membutuhkan perjuangan yang besar pula. Jadi, pengembaraan pastilah membutuhkan pengorbanan yang setimpal dengan harganya,” kata Abimana. “Ah, ini sangat besar, Diana, kau harus menata hatimu sebelum berangkat!”

“Baik, Bapak! Sepertinya memang demikian,” sahut Diana. Matanya berkaca-kaca.

“Berpamitanlah dengan ibumu, jelas dia akan menangis,” kata Abimana. “Sebentar, ambilkan kotak kecil di kamar bapak, Diana!”

Tanpa banyak tanya, Diana beranjak berdiri. Beberapa saat kemudian dia kembali. Di sana sudah ada ibunya, bergabung bersama dengan Danu dan Abimana.

“Ini, Bapak!” Diana menyerahkan kotak cokelat kecil itu.

Abimana membuka kotak itu. Di dalamnya terdapat sebuah kain berwarna hijau. Itu adalah selendang yang ratusan tahun tersimpan di dalam kotak cokelat tersebut, bahkan Diana juga tidak pernah membukanya. Bahkan dia baru sekali ini menyentuh kotak itu, ketika Abimana menyuruh untuk mengambilnya.

“Ini adalah Selendang Kehidupan, Diana!” Abimana mulai bercerita. “Mungkin saat ini kamu belum bisa atau belum tahu cara menggunakannya. Tapi suatu saat, dalam pengembaraanmu, bapak yakin kamu akan menemukan cara menggunakannya.” Abimana menyerahkan kotak cokelat itu kepada Diana. Diana menerimanya dengan tangan bergetar.

“Ibu, Diana pamit untuk bertualang!” Mata Diana tidak dapat lagi menahan air mata perpisahan.

“Baiklah, Diana. Semoga apa yang kamu impikan selama ini terwujud!” kata ibunya.

Tidak banyak pesan yang diberikan ibu Diana kepada anaknya. Tidak banyak. Namun dari tatapan mata yang mengalirkan air mata itu, dari pelukan hangat yang tidak segera dilepaskan, jelas terletak sebuah harapan besar dari seorang ibu.

“Nah, Danu, ini adalah amanat untukmu!” kata Abimana. Danu mendengarnya dengan saksama.

“Sekarang ibu akan menyiapkan makan siang!” kata ibu Diana. “Diana, kamu persiapkan segala kebutuhan yang Diana perlukan, tidak usah membantu ibu memasak.” Dia beranjak berdiri.

Diana juga beranjak berdiri. Abimana pergi entah ke mana. Danu duduk termenung sendiri di teras rumah itu, di atas sebuah kursi panjang berwarna cokelat.

“Akankah aku bisa menunaikan amanah berat ini?” tanya Danu pada dirinya sendiri.

Namun renungan Danu tidak berlangsung lama. Tiba-tiba dari sudut halaman rumah ada tiga orang yang masuk tanpa permisi. Tangan mereka membawa sebuah parang. Panjang.

“Hai, di manakah Abimana?” tanya salah seorang dari mereka dengan kasar.

Ah, sekarang tidak hanya tiga orang. Mereka lebih dari sepuluh orang.

“Abimana? Ada urusan apa kau dengannya?” tanya Danu. Suaranya juga meninggi. Entah kenapa Danu mudah sekali marah.

“Ah, tidak usah banyak tanya. Abimana, keluarlah!” teriak beberapa orang dari halaman rumah. Mereka berusaha masuk tapi Danu menghalanginya, menahannya agar tidak masuk ke dalam rumah.

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Hikmatul Muhajirin
Semoga saja tidak terjadi apa-apa dengan Abimana dan Danu
goodnovel comment avatar
Indo Smart
Wah, ceritanya membuat penasaran. Andai saja ceritanya gratis, aku tidak punya koin soalnya untuk membuka bab terkunci. Hihihi.
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status