“Ayo kita teruskan perjalanan, Permata!” ajak Danu setelah selesai makan dan membayarnya.
Mereka berdua meneruskan perjalanan di bawah alunan sinar matahari yang semakin meninggi, semakin meninggi dan sinarnya terasa panas. Saat ini belum ada halangan yang berarti bagi mereka berdua, semua masih berjalan dengan lancar.
Mereka masih berada di pusat kota, berbagai pedagang datang dari penjuru-penjuru dunia jauh. Berbagai dagangan mereka jajakan, mulai dari kain, pakaian jadi, bahan pangan, bahkan jasa pengangkutan menggunakan kuda juga manusia.
“Minggir! Minggir! Minggir!” Seorang prajurit kerajaan terlihat menyibak-nyibak keramaian, memberikan jalan entah kepada siapa.
Danu bertanya kepada salah satu pedagang yang ada di dekatnya. “Siapa yang akan lewat, Paman?”
“Putra Mahkota!” jawab orang itu singkat, tidak lama berselang dia kembali melayani pembeli-pembeli yang datang.
“Menepi! Putra Mahkota akan lewat!” Prajurit itu berteriak-teria
Hai, teman-teman! Bagaimana dengan alur ceritaku? Apakah menarik? Jangan lupa selalu memberikan masukan-masukan kepada penulis agar menjadi lebih baik dari sekarang. Aku harap, teman-teman merasa terhibur dengan tulisanku dan mendapatkan pelajaran dari cerita tersebut. Terima kasih masih setia membaca sampai sejauh ini. Kalian adalah orang-orang hebat yang akan merubah peradaban dunia, percayalah kata-kataku!
Pertarungan jarak dekat terjadi, baku hantam antara puluhan orang melawan dua orang, satu wanita pula. Danu dan Permata masih bisa menepis bahkan membalas pukulan, bahkan beberapa orang telah dibuat pingsan oleh Danu. Permata menendang-nendang siapa saja yang ada di depannya. Dua orang telah dibuat lumpuh olehnya, orang itu meringis kesakitan. Sepertinya tidak bisa meneruskan pertarungan ketika yang dipatahkan adalah kakinya. Beberapa orang terlihat menjauh dari area pertempuran sembari meringis kesakitan.“Ah...” terdengar suara rintihan Permata. Danu berhenti sejenak dari serangannya. Permata tampak meringis memegangi pipinya.“Kamu kenapa, Permata?” tanya Danu khawatir.“Oh, aku tidak apa-apa, Danu! Aku hanya lengah sejenak!” jawab Permata.Saat itulah Danu tidak menyadari bahwa pertahanannya terbuka begitu lebar. Kesempatan itu tidak disia-siakan oleh lawan. Mereka langsung menyerang dengan pukulan bertubi-tubi. Lim
“Apakah kau sadar dengan kata-katamu, Danu?” tanya Permata. Tangannya mengelap air mata yang terus mengalir. “Sadar!” sahut Danu ringan. “Apakah kau benar-benar dan sungguh-sungguh mengatakannya?” “Iya,” sahut Danu lagi, ringan saja dia mengucapkan. Melihat dan mendengar hal itu, para perampok tertawa keras-keras, bulu tangan Permata berdiri. Takut. “Danu, kau benar-benar... akan...” suara Permata terputus-putus sebab air matanya yang terus mengalir. “Malam ini kita akan menikmati tubuh indah gadis itu!” seorang perampok berambut gondrong, gigi tengahnya ompong, berbicara demikian disambut tawa oleh teman-temannya. Permata saat itu benar-benar benci kepada mereka, benar-benar benci kepada Danu. “Cepat kau pergi dan tinggalkan gadis itu, bangsat! Pengecut!” kata salah satu perampok. “Aku akan meninggalkan gadis cantik ini untuk kalian!” sekali lagi Danu meyakinkan. Danu mengecup kening Permata. Seandainya keadaan
Bayangan di kejauhan yang seperti kerikil, yang kian lama kian mendekat, berubah membesar dan menampakkan diri itu terus berjalan. Semakin mendekat dan semakin mendekat, ternyata itu adalah empat orang yang menunggang kuda, mengenakan pakaian prajurit. Empat kuda itu berlarian menuju tempat Danu dan Permata istirahat. Tanda tanya memenuhi kepala Danu juga Permata. Namun orang yang menggembala kambing itu tenang-tenang saja, tidak ada tanda bahwa dia mempunyai kekhawatiran, sebab dia masih tidur dan berjalan dalam dunia mimpi. “Apakah tujuan mereka?” tanya Danu entah pada siapa, matanya memandang jauh kepada empat prajurit itu. “Apakah mereka mencari kita?” tanya Permata setengah kebingungan. Mereka semakin mendekat, melewati beberapa kambing dengan gagahnya, kambing itu berlarian memberikan jalan kepada kuda prajurit. Kini hanya tinggal beberapa puluh meter jarak Danu dan Permata dengan para prajurit berkuda. “Apakah kalian yang merusak desa K
“Kalian tahu berapa kerugian yang aku tanggung?” tanya orang itu sekali lagi. “Memangnya apa yang kami lakukan sehingga kau bertanya begitu kepada kami?” Danu yang sudah tahan sejak tadi akhirnya membuka mulut. “Masih juga belum paham dengan hal bodoh yang kalian lakukan?” sahut orang itu dengan nada sinis. “Apa?” tanya Danu singkat, matanya memandang tajam kepada laki-laki bermahkota. “Kalian telah menghancurkan ladang bisnisku yang tidak ternilai harganya! Eh, perkenalkan terlebih dahulu namaku Anjasari, pembesar kerajaan Kalimas!” Dia mengenalkan diri dengan nama Anjasari. Danu tidak memedulikan nama itu, dia masih heran dengan ladang bisnis yang Anjasari katakan. Bagaimana bisa seorang pembesar kerajaan mempunyai bisnis yang bekerja sama dengan para perampok? Memang, lokasi desa itu sangat strategis, hampir semua pedagang yang dari barat melewatinya, dan tentunya membawa barang dagangan juga harta. Maka, jika berhasil sekali saja dal
Serapi apa pun manusia menyimpan bangkai, pada suatu saat kemungkinan besar akan tercium, setidaknya akan diketahui oleh manusia lain jejak-jejak yang ia lahirkan dalam kebusukan tersebut. Itulah misi yang Danu lakukan bersama tiga orang lainnya. Sudah semestinya perjuangan untuk mengangkat kebenaran akan selalu berat. “Bagaimana caranya, Soga?” tanya Kumbra. Kakek penggembala yang tidak lain adalah Soga menjawab, “Aku sudah mempunyai rencana yang sangat matang, semoga saja dengan kerja sama yang baik rencana itu akan berhasil!” “Apa kau bisa menceritakannya kepada kami?” Danu ikut bicara. “Tidak perlu!” sahut Soga cepat. “Nanti kalian juga akan mengetahuinya sendiri!” “Aku percaya denganmu, Soga!” Kumbra berkata. Malam telah memenuhi bumi dengan cahaya gelapnya. Bukan karena mereka melihat matahari yang hilang sehingga mengetahui bahwa ini malam hari, hanya lebih mengarah pada perkiraan mata yang mengantuk. Tapi, mereka malam ini tida
Utusan dari kerajaan datang untuk menyelidiki berita yang dibawa oleh seorang prajurit yang seharusnya bekerja untuk tuannya. Namun dengan adanya penekanan dari Danu semua terlihat berbeda, dia tidak berani melawan.“Di mana Anjasari?” tanya orang bermahkota itu. Dia adalah utusan dari kerajaan.“Beliau tengah menjalankan tugas, Tuan!” jawab seorang prajurit.“Di mana tiga tahanan baru itu?” tanya orang bermahkota itu lagi.“Di penjara bawah tanah, Tuan!”“Antarkan aku sekarang!”Seorang yang mengenakan mahkota itu berjalan diiringi oleh dua prajurit bertombak dan membawa tameng di tangannya. Suara kaki tegap itu terdengar melangkah dengan mantap, obor-obor yang menempel pada tembok terombang-ambing terkena desiran angin tiga orang itu. Udara pengap mulai terasa, mereka telah memasuki ruangan penjara bawah tanah.“Di mana?” tanya orang bermahkota tidak sabaran.
“Bolehkah aku mencium keningmu, Permata?” tanya Danu sekali lagi. Wajah Permata memerah, malu, senang, semua perasaan berebut masuk ke dalam hati Permata menjadi satu. “Apa yang kamu katakan, Danu? Apakah aku tidak salah dengar?” tanya Permata, matanya menyelidik. “Tidak, Permata, kamu tidak salah dengar. Aku ingin mencium keningmu!” sahut Danu, mendekatkan bibir pada telinga Permata. Udara hangat menjalar pada telinga Permata, suara nafas Danu terdengar begitu menegangkan bagi Permata. “Boleh,” kata Permata malu-malu, matanya memandang jauh ke atas. “Dalam mimpi aku ingin mengecup keningmu, Permata!” kata Danu lagi. Permata tidak menyangka bahwa yang dimaksudkan Danu adalah demikian. Dia tidak mengira bahwa Danu ingin mengecupnya dalam dunia nyata. Permata menahan malu, tapi rasa bahagia lebih dominan datang kepadanya. “Selamat tidur!” kata Permata. “Selamat tidur juga, Permata,” sahut Danu. Akhirnya mereka mengakhiri
Darah mengucur deras dari leher yang terpotong dengan kepalanya. Darah segar mengalir deras seperti aliran sungai. Semua mata memandangnya ngeri, kecuali Danu di sana yang tetap melihat dengan mata mendelik. Bahkan Danu pernah berada di posisi manusia yang memenggal kepala seperti itu, tidak hanya menyaksikan. “Apakah nanti siang kita akan melanjutkan perjalanan, Danu?” tanya Permata sembari menahan ngilu. “Semoga saja kita nanti siang bisa melanjutkan perjalanan!” sahut Danu. Kerumunan satu per satu mulai meninggalkan balai pertemuan. Anak kecil berlarian mengejar orang tuanya, begitu pula orang-orang tua mencari anaknya. Darah telah hilang, beberapa prajurit telah mengurusnya, bahkan mengurus pemakaman mayat yang berpisah dengan kepalanya. Meskipun Anjasari selama hidupnya banyak kesalahan, tetapi dia akan dikuburkan selayaknya manusia, sebab orang mati itu telah melewati masa peleburan dosa, telah dihukum di dalam dunia. “Kalian ikut denganku!” Tiba-tiba Kumbra mu