Sejak kelahiran Qin Shan, desa kecil di kaki gunung itu tak pernah benar-benar tenang.
“Lihat, itu anaknya Qin Yuan…” bisik seorang wanita di pasar.
Tapi bocah itu, Qin Shan, hanya tersenyum tiap kali mendengar orang berbisik.
Sore itu, Qin Shan sedang duduk di tepi sawah, menatap langit yang berwarna keemasan.
Ia mengepalkan tangan mungilnya, seolah berjanji pada diri sendiri.
Keesokan harinya, saat kabut masih menggantung di antara pepohonan, Qin Shan berlari kecil ke arah hutan belakang desa.
Qin Shan mengangguk, meski ibunya tentu tak bisa melihat. Langkahnya ringan, melompat di atas akar dan batu tanpa ragu. Ia suka berada di hutan — tempat itu terasa seperti rumah keduanya.
Namun hari itu berbeda.
Qin Shan langsung menegakkan tubuhnya. “Hah? Ada orang?”
“Paman!” seru Qin Shan kaget. Ia segera berlari mendekat. “Paman, apa kau baik-baik saja?!”
Pria itu membuka matanya sedikit. Pandangannya kabur, tapi ia bisa melihat wajah polos bocah kecil itu.
Tanpa berpikir panjang, Qin Shan berlari menuju sungai kecil, menadahkan tangannya lalu kembali dengan air yang menetes dari sela jemarinya. Ia menuangkannya perlahan ke bibir pria itu.
Qin Shan menggeleng cepat. “Ibu bilang, kalau ada orang terluka, aku harus bantu. Luka paman parah sekali. Aku tahu sedikit tentang obat, biar aku bantu ya.”
Pria itu menatap bocah itu heran, tapi senyum tipis muncul di bibirnya. “Heh… anak kecil aneh. Baiklah… lakukan sesukamu…”
Qin Shan pun berlari lagi, mencari tumbuhan obat. Tangannya cekatan memetik daun dan akar.
“Rasanya panas ya, Paman? Tapi tahan sedikit, ini akan menghentikan darahnya.”
Qin Shan mengerjap. “Mata?”
Bocah itu menunduk malu. “Hehe, Ibu bilang mataku aneh karena waktu lahir aku kena kilat.”
Malam itu, Qin Shan membuatkan api kecil dan menemaninya tidur. Tiga hari ia rawat pria itu, memberinya makanan dan air, bahkan melindungi dari serangan rubah liar di malam kedua.
Saat akhirnya pria itu bisa duduk, ia menatap Qin Shan lama sekali.
Ia merogoh jubahnya yang compang-camping dan mengeluarkan sebuah buku kecil usang.
“Apa ini, Paman?” tanya Qin Shan penasaran.
Qin Shan menerima buku itu dengan kedua tangan. “Terima kasih, Paman. Aku akan mengingat kata-kata Paman.”
Pria itu bangkit perlahan. “Aku harus pergi… masih ada urusan yang belum selesai.”
Ia pun melangkah pergi, meninggalkan Qin Shan yang berdiri memandangi punggungnya sampai menghilang di antara pepohonan.
Dua tahun berlalu.
“Haaah!”
Suatu siang, ketika sedang mencari herbal di hutan, Qin Shan tiba-tiba merasakan sesuatu.
Ia berjalan pelan, memeriksa dinding batu yang ditumbuhi lumut. Ketika menyentuhnya, jari-jarinya tersengat arus listrik kecil.
Ia mengingat kembali ajaran ayahnya tentang energi spiritual, lalu menutup mata, mencoba melihat dengan kesadarannya. Samar-samar, muncul garis cahaya biru membentuk pola melingkar.
“Kalau aku memukul di titik ini…” Qin Shan mengangkat tinjunya. “Teknik Tinju Harimau Guntur—Hentak Petir!”
Bzzzt!
Di dalamnya, udara dingin dan lembap, tapi terasa ada sesuatu yang hidup di balik kegelapan.
Di tengahnya ada peti kayu hitam, di sampingnya kolam kecil yang memancarkan cahaya biru lembut. Airnya beriak halus seperti bernapas.
“Indah sekali…” Qin Shan mendekat dan menelusuri permukaan peti. “Apa isinya ya?”
Ketika tutupnya dibuka, cahaya menyilaukan menyembur keluar, menembus seluruh goa. Aura kuat menyelimuti tubuh Qin Shan, membuat garis darahnya bergetar dan segelnya retak halus.
“Aghh…! Apa ini…” Ia menggigit bibir, menahan rasa panas di tubuhnya.
Di dalam peti terdapat beberapa kitab kuno, pil berwarna emas yang masih memancarkan energi walau sudah berumur ribuan tahun, dan sebuah pedang patah berkarat.
“Kenapa… pedang ini seperti memanggilku?” gumamnya.
Ia mengambil salah satu kitab dan membuka halamannya. Tulisan di dalamnya berkilau samar.
Namun sebelum ia sempat melanjutkan, udara di sekitar berubah dingin.
“Anak muda… jika kau bisa menembus formasi itu, berarti kau ditakdirkan. Semua yang ada di sini adalah warisanku.”
Qin Shan menatapnya lebar-lebar. “Kau siapa, Kakek?”
Qin Shan mengangguk dengan sungguh-sungguh. “Aku mengerti, Kakek. Aku ingin jadi kuat, tapi bukan untuk berkuasa… aku ingin melindungi orang-orang yang kucintai.”
Bayangan itu terdiam sejenak, lalu tersenyum samar. “Kau punya hati yang murni. Itulah alasan warisan ini memilihmu. Sekarang, gunakan kolam itu untuk memurnikan tubuhmu. Biarkan energi dunia mengalir di tulang dan darahmu.”
“Baik, Kakek.” Qin Shan menatap kolam biru itu dan mengambil napas dalam. “Kalau begitu… aku akan mulai sekarang.”
Ia melompat masuk.
“Arghh!!” teriaknya, menggigit bibir sampai berdarah. Tapi ia tidak keluar.
Hari berganti hari. Qin Shan bertahan, berlatih, menyerap energi murni yang menembus tulang-tulangnya. Kadang ia berteriak kesakitan, kadang tertawa keras seperti orang gila karena merasakan kekuatannya tumbuh.
Hingga suatu malam, ia keluar dari kolam itu. Matanya bersinar seperti bintang.
Di dinding goa, bayangan jiwa tua itu muncul sekali lagi, tersenyum penuh kebanggaan.
Kabut hitam berputar liar di dalam ruang batu itu. Suara raungan menggelegar bergema hingga ke lorong, memantul berkali-kali seperti ribuan roh sedang menjerit bersama. Dinding bergetar, debu turun dari langit-langit, dan obor kecil di tangan Li Feng hampir padam.“Astaga… ini bukan kabut biasa,” desis Li Feng, menutup mulut dan hidung dengan lengan bajunya. “Udara ini dingin seperti kematian.”Li Mei berdiri di belakangnya, kedua tangannya bergetar sambil menggenggam jimat putih kecil. “Aku bisa merasakan aura kebencian yang sangat kuat… seperti roh ini sudah terperangkap di sini selama ratusan tahun.”Di depan mereka, Qin Shan berdiri tegak meski tubuhnya penuh luka. Napasnya berat, namun sorot matanya sama sekali tidak surut. “Batu itu… aku bisa merasakannya,” katanya pelan, matanya tertuju pada pilar batu teratai yang bersinar samar di tengah ruangan. “Dia ada di balik semua ini.”Roh penjaga menggeram rendah. Matanya merah membara, dan sekali ayunan cakar hitamnya menghantam lant
Hening.Hutan yang tadinya penuh ledakan dan raungan kini tenggelam dalam keheningan mencekam. Hanya suara napas berat Qin Shan, Li Feng, dan Li Mei yang masih menggema di antara pepohonan. Asap tipis masih mengepul dari bekas luka besar di tanah tempat Ular Bermata Emas mati tergeletak.Tubuh raksasa itu membentang seperti tembok emas yang hancur, sisiknya retak, darahnya mengalir hitam ke tanah. Udara berbau logam dan amis.Li Mei menelan ludah, berbisik, “Benar-benar sudah mati, kan?”Li Feng menjawab tanpa yakin, “Kelihatannya begitu… tapi entah kenapa aku masih merasa dia mengawasi.”Qin Shan tidak menanggapi. Ia berdiri dengan wajah serius, memandangi bangkai itu dalam diam.Beberapa detik kemudian ia berucap pelan, “Aku merasa… sesuatu di dalamnya masih hidup.”Li Feng langsung menoleh cepat. “Apa maksudmu?”“Ada energi… bukan energi binatang buas biasa,” jawab Qin Shan sambil menunduk. “Seolah sesuatu di dalam tubuhnya berdenyut.”Li Mei spontan mundur setengah langkah. “Kau j
Udara sore di hutan itu terasa berat. Angin hampir tak berhembus, dan kabut lembap bergelayut di antara pepohonan tinggi. Cahaya matahari terperangkap di balik awan tipis, menciptakan suasana yang seolah berhenti di ambang senja. Tak ada kicau burung, tak ada dengung serangga—hutan itu sunyi seperti sedang menahan napas.Qin Shan berdiri di tanah berlumut yang licin, tubuhnya tegang tapi matanya tajam. Di hadapannya, seekor ular raksasa bersisik emas menggeliat perlahan. Panjangnya lebih dari sepuluh meter, tubuhnya sebesar batang pohon tua, dan kedua matanya memancarkan cahaya merah menyala seperti bara api.Ular itu bukan binatang biasa—ini adalah Ular Bermata Emas, penguasa wilayah timur hutan. Binatang buas yang sudah lama menjadi legenda di kalangan pemburu, karena tak ada yang pernah kembali hidup setelah menantangnya.Li Feng dan Li Mei berdiri beberapa langkah di belakang, wajah mereka tegang.“Qin Shan…,” bisik Li Feng pelan, suaranya bergetar. “Kau… yakin mau melawannya send
Cahaya pagi menembus dedaunan, jatuh dalam bentuk kilau hijau keemasan di tanah hutan. Embun yang belum sempat mengering memantulkan sinar mentari pertama, menebar aroma segar tanah dan dedaunan.Qin Shan berdiri diam di depan mulut goa kuno, tangan terlipat di dada, wajahnya tenang seperti batu tapi matanya tajam seperti pedang. Di hadapannya, dua anak kecil duduk bersila di atas batu rata. Li Feng masih tampak kelelahan, napasnya berat setelah semalaman berlatih di kolam. Li Mei di sebelahnya menguap kecil, lalu buru-buru menutup mulutnya.“Mulai hari ini,” kata Qin Shan datar, “aku akan tahu seberapa besar tekad kalian.”Li Feng segera menegakkan tubuhnya. “Aku siap, Qin Shan!” serunya dengan suara serak, mencoba terdengar tegas walau bahunya masih gemetar.Li Mei memandang kakaknya, lalu menatap Qin Shan. “A-aku juga,” katanya pelan tapi pasti.Qin Shan mengangguk tipis. “Bagus. Tapi ingat, mulai sekarang aku bukan penyelamat kalian. Aku pemimpin kalian. Dan pemimpin tidak butuh b
Langit pagi masih diselimuti kabut tipis ketika Qin Shan membuka matanya. Udara lembap menyentuh kulitnya, membawa aroma tanah dan dedaunan basah. Di luar, suara jangkrik dan lolongan serigala bersahutan, tapi telinganya sudah terbiasa dengan semua itu. Ia duduk perlahan, lalu menatap dua sosok kecil yang tidur di dekat perapian kecil—Li Feng dan Li Mei.Tatapan matanya melembut.“Mereka bahkan belum siap menghadapi kerasnya dunia ini… tapi kalau aku biarkan tetap lemah, mereka akan mati begitu saja,” gumamnya lirih.Ia menatap api yang mulai padam, lalu menambahkan ranting kering. Api kembali menyala, menari lembut di udara.“Ibu selalu bilang, siapa pun bisa jadi kuat kalau berani bertahan hidup. Kalau begitu…” Qin Shan menarik napas dalam. “Aku akan bantu mereka. Karena aku juga tidak ingin lagi berjalan sendirian.”Beberapa jam kemudian, sinar matahari pertama menembus pepohonan. Qin Shan menepuk bahu Li Feng yang masih tertidur.“Bangun. Sudah pagi. Ada tempat yang harus kalian l
jalan yang sunyi.Langit pagi itu tampak muram.Awan kelabu menggantung berat di atas puncak pegunungan, menutupi cahaya matahari yang seharusnya hangat.Kabut tipis menjalar perlahan di antara pepohonan tinggi di hutan belakang gunung, menebar hawa dingin yang menusuk tulang.Suasana terasa sepi, terlalu sepi.Qin Shan berjalan perlahan di jalur berbatu yang lembap, membawa sebilah pisau kecil yang terselip di pinggangnya. Pisau itu sederhana—terbuat dari besi hitam, sedikit tumpul di gagangnya, tapi tajam di ujungnya. Pisau buatan ayahnya sendiri, satu-satunya peninggalan yang selalu ia bawa ke mana pun.Setiap langkah kecilnya menimbulkan suara pelan di tanah yang berlumut. Ia baru berusia delapan tahun, tapi cara dia berjalan, caranya menggenggam pisau itu, menunjukkan bahwa dia bukan anak kecil biasa. Di matanya ada kewaspadaan, dan di napasnya ada ketenangan yang lahir dari pengalaman hidup yang keras.“Hari ini aku hanya akan mencari beberapa herbal,” gumamnya pelan. “Ibu bila