Malam yang biasanya tenang mendadak berubah menjadi lautan kegelapan mencekam. Angin meraung, guntur bergemuruh, dan petir menyambar-nyambar tanpa henti. Suara dentuman begitu kuat hingga tanah bergetar seolah hendak pecah.
Di desa kecil di kaki gunung, orang-orang berhamburan keluar dari rumah mereka. Wajah pucat, mata penuh ketakutan. “Ya Dewa… apa ini akhir dunia?” bisik seorang lelaki tua sambil memeluk cucunya erat. “Lihat langit itu! Petirnya bukan warna biru atau ungu… tapi keemasan!” teriak seorang pemuda. “Tidak… tidak mungkin! Itu petir langit ilahi! Itu tak pernah muncul sejak zaman leluhur!” seru tetua desa, suaranya bergetar. Di udara, aliran energi menekan begitu kuat hingga anak-anak menangis dan hewan-hewan bersembunyi ketakutan. Tapi tak seorang pun tahu, di balik badai petir itu, takdir besar sedang terbentuk. Sementara itu, di rumah kayu sederhana di tengah desa— “AAAHHH!” jerit seorang wanita menggema dari dalam ruangan. “Xue’er, bertahanlah! Sedikit lagi!” ujar seorang pria muda dengan wajah tegang. Tubuhnya dipenuhi keringat, tapi matanya penuh kasih dan kekhawatiran. Ia adalah Qin Yuan, kepala keluarga muda dari garis utama klan kecil di wilayah itu. Seorang dukun wanita tua di sampingnya berteriak, “Dorong lagi! Aku bisa lihat kepalanya!” Li Xue, istrinya, menggigit bibir hingga berdarah, tangannya mencengkeram kuat lengan suaminya. “Yuan… aku… aku bisa merasakan… sesuatu yang besar… turun dari langit…” Qin Yuan menatap istrinya tajam. “Jangan bicara dulu! Fokuslah, Xue’er!” Tangis bayi akhirnya pecah. Tapi bersamaan dengan itu, seluruh langit di atas desa menyala terang—petir yang tadinya mengamuk tiba-tiba berhenti. Semua orang terdiam. Petir yang sebelumnya menembus awan kini membentuk bentuk aneh… seekor naga. Bukan naga biasa. Tubuhnya sebesar gunung, sisiknya bersinar keemasan, dan dari tubuhnya keluar percikan petir yang seperti hujan cahaya. “NA… NAGA! Lihat itu!” seseorang di luar rumah menjerit. “Empat… empat kepala! Dan dua belas mata!? Itu naga ilahi!” seru tetua desa sampai lututnya lemas. Langit seluruh dunia bergetar. Petir menyambar tanpa suara, tapi tekanan energinya membuat galaksi lain turut merasakan gejolak. Di istana raja galaksi, di ruang meditasi para leluhur abadi, di kerajaan-kerajaan jauh—semua merasakan hal yang sama. “Apa ini? Apakah ada makhluk ilahi yang turun ke dunia fana?” ujar seorang kaisar surgawi, matanya menyipit. “Kekuatan ini… bahkan melampaui dewa naga!” jawab yang lain dengan nada gemetar. Namun, sebelum siapa pun sempat bertindak, naga itu tiba-tiba menundukkan kepala dan lenyap—melesat turun menuju rumah kayu tempat bayi itu lahir. Cahaya menyilaukan memenuhi ruangan. Qin Yuan hampir kehilangan keseimbangan. “Apa yang—!? Tidak mungkin!” Dari tubuh bayi mungil di pelukan Li Xue, cahaya keemasan menyala terang. Udara di sekitarnya mendidih. Petir berputar lembut di udara, lalu menyatu ke tubuh mungil itu—bersamaan dengan sosok naga tadi. “Yuan…” suara Li Xue lemah. “Apa yang terjadi… dengan anak kita?” Qin Yuan menatap bayi itu lama, matanya membulat tak percaya. “Dia… dia menyerap naga itu… semua petir langit… masuk ke tubuhnya.” “Tidak mungkin,” gumam dukun tua di sudut ruangan. “Itu… itu kekuatan yang bahkan kaisar abadi pun tak sanggup menahan!” Tangisan bayi berhenti. Di wajah mungilnya muncul senyum lembut, dan cahaya keemasan menyelimuti seluruh tubuhnya. Lalu sesuatu yang lebih mencengangkan terjadi—langit yang tadinya gelap kembali cerah, dan untuk pertama kalinya dalam sejarah, matahari, bulan, dan bintang bersinar bersamaan. “Lihat ke langit!” teriak seseorang dari luar. “Tiga cahaya surgawi muncul sekaligus!” Qin Yuan mendongak, wajahnya berubah serius. “Tiga cahaya… matahari, bulan, dan bintang… berkumpul di satu titik.” Ia menatap anaknya lagi. “Apa mungkin… semuanya terserap ke tubuhnya?” Li Xue menatap suaminya dengan wajah ketakutan. “Yuan, apakah… apakah anak kita akan baik-baik saja?” Qin Yuan memegang tangan istrinya, mencoba menenangkan. “Tenanglah. Aku tidak tahu apa yang terjadi, tapi aku yakin… dia bukan bayi biasa.” Bayi itu menatap mereka dengan mata berwarna emas terang, seperti dua potongan matahari kecil. Keesokan harinya, badai sudah mereda, tapi dunia belum sepenuhnya tenang. Qin Yuan membawa Li Xue dan bayinya menuju gua rahasia di balik gunung. “Yuan, ke mana kita pergi?” tanya Li Xue dengan napas terengah. “Ke tempat yang aman,” jawabnya singkat. “Aku harus memastikan sesuatu.” Gua itu dipenuhi ukiran kuno dan formasi spiritual yang memantulkan cahaya redup. Di tengah ruangan berdiri sebuah altar batu dengan harta kuno berbentuk mangkuk kristal besar—Alat Uji Garis Darah Kuno—warisan keluarga dari era abadi. “Ini…” Li Xue menatap benda itu dengan mata lebar. “Kau ingin mengujinya?” Qin Yuan mengangguk. “Aku harus tahu siapa—atau apa—anak ini.” Dengan hati-hati, ia meletakkan bayi itu di atas wadah tersebut. Sesaat hening… lalu—BOOM! Cahaya menyilaukan meledak ke seluruh penjuru gua. Simbol-simbol kuno berputar cepat di udara. Formasi di dinding bergetar, lalu mulai retak. “Yuan! Apa yang terjadi!?” jerit Li Xue. “Dia… dia menghancurkan alatnya!” Qin Yuan mundur dengan wajah pucat. Benda suci yang seharusnya abadi—retak, lalu hancur berkeping-keping. Ledakannya memicu gelombang energi yang menyapu gunung. Suara gemuruh terdengar sejauh ribuan mil. Desa di bawah ikut berguncang, dan di kejauhan, beberapa kultivator kuat yang tengah bermeditasi langsung terbatuk darah. “Tidak mungkin…” Qin Yuan memeriksa bayi itu lagi. “Dia… dia bukan hanya menyerap naga petir.” “Apa maksudmu?” tanya Li Xue khawatir. Qin Yuan menatap bayi itu dengan wajah antara kagum dan takut. “Dia punya empat garis darah berbeda… naga petir, matahari, bulan, dan bintang. Empat dantian terbentuk di dalam tubuhnya.” “Empat dantian?” Li Xue membeku. “Tapi itu… mustahil…” “Ya,” jawab Qin Yuan pelan. “Bahkan leluhur abadi pun hanya punya satu inti energi. Tapi dia… dia memiliki empat.” Qin Yuan mengangkat tangannya, dan seberkas cahaya spiritual muncul, menyorot tubuh bayi. Cahaya itu menyingkap kekuatan tersembunyi dalam tubuh kecil itu. “Ranah Leluhur Bela Diri… tingkat dua,” bisiknya tak percaya. “Dia lahir dengan kultivasi setinggi itu.” Li Xue menatap anaknya dengan mata berkaca. “Yuan… apakah ini berkah atau kutukan?” Qin Yuan terdiam lama, lalu berkata, “Bisa jadi keduanya.” Ia mengambil napas panjang, lalu mengeluarkan sebuah buku kuno dari cincin penyimpanannya. Sampulnya hitam pekat dengan simbol bintang di tengahnya. “Buku itu… bukankah itu…?” tanya Li Xue terkejut. “Ya,” jawab Qin Yuan. “Pusaka keluarga kita. Kitab Kultivasi Semesta. Teknik yang bahkan para dewa pun tidak mampu menembusnya sepenuhnya.” Ia menatap bayi itu dan berbisik lembut, “Shan’er… suatu hari nanti, kalau kau sudah cukup kuat, kitab ini akan jadi penuntunmu.” Li Xue menyentuh pipi bayinya. “Kau akan membawa cahaya baru ke dunia ini, Nak…” Tapi Qin Yuan tahu, cahaya besar selalu menarik bayangan besar pula. Ia menatap ke arah mulut gua. “Kita harus menyegel kekuatannya dulu.” Ia mengeluarkan artefak berbentuk batu giok transparan. “Ini adalah Harta Penyembunyi Esensi. Dengan ini, semua energi dan garis darahnya akan tersegel sampai waktu yang tepat.” Cahaya lembut keluar dari batu giok itu, menyelimuti tubuh Qin Shan. Aura besar yang tadi bergetar kini menghilang, digantikan dengan keheningan. Li Xue tersenyum lega. “Sekarang dia… terlihat seperti bayi biasa.” Qin Yuan memandangi wajah kecil itu dengan senyum getir. “Itu yang kuinginkan.” Ia berjongkok, menatap langsung ke mata anaknya yang mulai terpejam. “Shan’er… kau akan membawa badai besar ke dunia ini. Tapi ingatlah, selama ayah dan ibumu masih hidup, tak akan ada yang bisa menyentuhmu.” Li Xue menatap suaminya lembut. “Kau yakin akan meninggalkan kami untuk melanjutkan kultivasi?” Qin Yuan menatap jauh ke dalam gua yang gelap. “Aku harus. Dunia ini akan berubah begitu dia tumbuh. Aku perlu kekuatan untuk melindunginya.” Ia mendekat, mencium kening Li Xue dan anaknya. “Jaga dia untukku.” Li Xue menggenggam tangannya. “Kembalilah… sebelum semuanya terlambat.” Qin Yuan tersenyum samar. “Aku berjanji.” Ia melangkah pergi, dan bayangannya lenyap dalam kegelapan gua. Malam itu, langit kembali tenang. Tapi di balik ketenangan itu, seluruh alam semesta seakan tahu—telah lahir seorang bayi yang kelak mengguncang semua dunia. Qin Shan, pewaris empat garis darah ilahi, bayi yang lahir di bawah teriakan naga langit. Dan dengan kelahirannya, takdir dunia mulai bergerak.Kabut hitam berputar liar di dalam ruang batu itu. Suara raungan menggelegar bergema hingga ke lorong, memantul berkali-kali seperti ribuan roh sedang menjerit bersama. Dinding bergetar, debu turun dari langit-langit, dan obor kecil di tangan Li Feng hampir padam.“Astaga… ini bukan kabut biasa,” desis Li Feng, menutup mulut dan hidung dengan lengan bajunya. “Udara ini dingin seperti kematian.”Li Mei berdiri di belakangnya, kedua tangannya bergetar sambil menggenggam jimat putih kecil. “Aku bisa merasakan aura kebencian yang sangat kuat… seperti roh ini sudah terperangkap di sini selama ratusan tahun.”Di depan mereka, Qin Shan berdiri tegak meski tubuhnya penuh luka. Napasnya berat, namun sorot matanya sama sekali tidak surut. “Batu itu… aku bisa merasakannya,” katanya pelan, matanya tertuju pada pilar batu teratai yang bersinar samar di tengah ruangan. “Dia ada di balik semua ini.”Roh penjaga menggeram rendah. Matanya merah membara, dan sekali ayunan cakar hitamnya menghantam lant
Hening.Hutan yang tadinya penuh ledakan dan raungan kini tenggelam dalam keheningan mencekam. Hanya suara napas berat Qin Shan, Li Feng, dan Li Mei yang masih menggema di antara pepohonan. Asap tipis masih mengepul dari bekas luka besar di tanah tempat Ular Bermata Emas mati tergeletak.Tubuh raksasa itu membentang seperti tembok emas yang hancur, sisiknya retak, darahnya mengalir hitam ke tanah. Udara berbau logam dan amis.Li Mei menelan ludah, berbisik, “Benar-benar sudah mati, kan?”Li Feng menjawab tanpa yakin, “Kelihatannya begitu… tapi entah kenapa aku masih merasa dia mengawasi.”Qin Shan tidak menanggapi. Ia berdiri dengan wajah serius, memandangi bangkai itu dalam diam.Beberapa detik kemudian ia berucap pelan, “Aku merasa… sesuatu di dalamnya masih hidup.”Li Feng langsung menoleh cepat. “Apa maksudmu?”“Ada energi… bukan energi binatang buas biasa,” jawab Qin Shan sambil menunduk. “Seolah sesuatu di dalam tubuhnya berdenyut.”Li Mei spontan mundur setengah langkah. “Kau j
Udara sore di hutan itu terasa berat. Angin hampir tak berhembus, dan kabut lembap bergelayut di antara pepohonan tinggi. Cahaya matahari terperangkap di balik awan tipis, menciptakan suasana yang seolah berhenti di ambang senja. Tak ada kicau burung, tak ada dengung serangga—hutan itu sunyi seperti sedang menahan napas.Qin Shan berdiri di tanah berlumut yang licin, tubuhnya tegang tapi matanya tajam. Di hadapannya, seekor ular raksasa bersisik emas menggeliat perlahan. Panjangnya lebih dari sepuluh meter, tubuhnya sebesar batang pohon tua, dan kedua matanya memancarkan cahaya merah menyala seperti bara api.Ular itu bukan binatang biasa—ini adalah Ular Bermata Emas, penguasa wilayah timur hutan. Binatang buas yang sudah lama menjadi legenda di kalangan pemburu, karena tak ada yang pernah kembali hidup setelah menantangnya.Li Feng dan Li Mei berdiri beberapa langkah di belakang, wajah mereka tegang.“Qin Shan…,” bisik Li Feng pelan, suaranya bergetar. “Kau… yakin mau melawannya send
Cahaya pagi menembus dedaunan, jatuh dalam bentuk kilau hijau keemasan di tanah hutan. Embun yang belum sempat mengering memantulkan sinar mentari pertama, menebar aroma segar tanah dan dedaunan.Qin Shan berdiri diam di depan mulut goa kuno, tangan terlipat di dada, wajahnya tenang seperti batu tapi matanya tajam seperti pedang. Di hadapannya, dua anak kecil duduk bersila di atas batu rata. Li Feng masih tampak kelelahan, napasnya berat setelah semalaman berlatih di kolam. Li Mei di sebelahnya menguap kecil, lalu buru-buru menutup mulutnya.“Mulai hari ini,” kata Qin Shan datar, “aku akan tahu seberapa besar tekad kalian.”Li Feng segera menegakkan tubuhnya. “Aku siap, Qin Shan!” serunya dengan suara serak, mencoba terdengar tegas walau bahunya masih gemetar.Li Mei memandang kakaknya, lalu menatap Qin Shan. “A-aku juga,” katanya pelan tapi pasti.Qin Shan mengangguk tipis. “Bagus. Tapi ingat, mulai sekarang aku bukan penyelamat kalian. Aku pemimpin kalian. Dan pemimpin tidak butuh b
Langit pagi masih diselimuti kabut tipis ketika Qin Shan membuka matanya. Udara lembap menyentuh kulitnya, membawa aroma tanah dan dedaunan basah. Di luar, suara jangkrik dan lolongan serigala bersahutan, tapi telinganya sudah terbiasa dengan semua itu. Ia duduk perlahan, lalu menatap dua sosok kecil yang tidur di dekat perapian kecil—Li Feng dan Li Mei.Tatapan matanya melembut.“Mereka bahkan belum siap menghadapi kerasnya dunia ini… tapi kalau aku biarkan tetap lemah, mereka akan mati begitu saja,” gumamnya lirih.Ia menatap api yang mulai padam, lalu menambahkan ranting kering. Api kembali menyala, menari lembut di udara.“Ibu selalu bilang, siapa pun bisa jadi kuat kalau berani bertahan hidup. Kalau begitu…” Qin Shan menarik napas dalam. “Aku akan bantu mereka. Karena aku juga tidak ingin lagi berjalan sendirian.”Beberapa jam kemudian, sinar matahari pertama menembus pepohonan. Qin Shan menepuk bahu Li Feng yang masih tertidur.“Bangun. Sudah pagi. Ada tempat yang harus kalian l
jalan yang sunyi.Langit pagi itu tampak muram.Awan kelabu menggantung berat di atas puncak pegunungan, menutupi cahaya matahari yang seharusnya hangat.Kabut tipis menjalar perlahan di antara pepohonan tinggi di hutan belakang gunung, menebar hawa dingin yang menusuk tulang.Suasana terasa sepi, terlalu sepi.Qin Shan berjalan perlahan di jalur berbatu yang lembap, membawa sebilah pisau kecil yang terselip di pinggangnya. Pisau itu sederhana—terbuat dari besi hitam, sedikit tumpul di gagangnya, tapi tajam di ujungnya. Pisau buatan ayahnya sendiri, satu-satunya peninggalan yang selalu ia bawa ke mana pun.Setiap langkah kecilnya menimbulkan suara pelan di tanah yang berlumut. Ia baru berusia delapan tahun, tapi cara dia berjalan, caranya menggenggam pisau itu, menunjukkan bahwa dia bukan anak kecil biasa. Di matanya ada kewaspadaan, dan di napasnya ada ketenangan yang lahir dari pengalaman hidup yang keras.“Hari ini aku hanya akan mencari beberapa herbal,” gumamnya pelan. “Ibu bila