Sebuah pedang terbuat dari perunggu arsenik tertancap di batu hitam, tampak samar dengan gagang berwarna coklat kekuningan di antara bunga mirabilis berwarna kuning yang bermekaran di senja hari.
Pedang itu sudah tertancap ribuan tahun. Dahulu banyak tokoh sakti berusaha mencabutnya, pedang itu tak bergeser sedikit pun, akhirnya pedang itu terlupakan. Seorang pemuda tampak berlari ketakutan dari arah lembah, padahal tidak ada yang mengejar. Pedang itu menarik perhatiannya. Ia mencoba mencabutnya. Pedang itu tercabut dengan mudah. Kemudian berkumandang suara di angkasa, "Banga Adikara! Kau datang untuk menjemput takdirmu sebagai pewaris pedang kalkolitik!" Padahal Banga datang ke pegunungan utara karena diperintah ibunya untuk kabur. Awalnya Banga bersikeras menolak. Orang tuanya pasti kena murka Ratu Nayaka kalau ia melarikan diri. Menentang sabda sri ratu berarti siap menerima hukuman terkejam. "Pergilah sejauh-jauhnya!" desak ibunya. "Aku merasa sia-sia melahirkan dirimu kalau menjadi selir ratu durjana!" Ratu Nayaka meminta klan bangsawan menyediakan pemuda untuk diseleksi menjadi selir utama. Banga pun terpilih, bahkan ketampanannya memikat Ratu Nayaka untuk dijadikan pangeran pengganti, sebab pangeran yang menjadi pendamping hidupnya sakit-sakitan. "Menjadi budak nafsu ratu durjana adalah kehinaan bagi ibumu!" "Aku pergi karena ibu," kata Banga. "Aku berjanji, suatu saat aku kembali untuk ibu." Banga pergi sebelum prajurit kerajaan datang menjemput. Ia tidak tahu apa yang terjadi dengan orang tuanya. Ia pergi ke pegunungan utara, di mana manusia kecut untuk mendaki karena angker dan penuh misteri. Banyak pendekar tidak kembali. Banga mengedarkan pandang ke angkasa, dan berteriak, "Siapa kau? Apakah kau siluman bayu?" "Aku adalah utusan dari Kerajaan Dewa, membawa bingkisan untuk kerajaan Salakanagara! Aku sudah menunggu kedatanganmu dari zaman perunggu!" Zaman perunggu disebut juga zaman kalkolitik, di mana manusia mulai menggunakan perunggu untuk senjata perang dan kehidupan sehari-hari. "Kau adalah pewaris pedang kalkolitik! Banyak pendekar dari masa ke masa berusaha mencabut pedang itu, tapi usahanya nihil!" Banga adalah bangsawan terpelajar yang menimba ilmu di kerajaan Han Timur, Tiongkok. Jadi ia tahu peradaban setiap zaman. Zaman kalkolitik adalah masa akhir prasejarah dengan kebudayaan Dongson. Ajaib sekali, pedang itu tidak berkarat melewati ribuan musim, tetap berkilau memancarkan cahaya coklat kekuningan. "Pedang kalkolitik ... namanya terdengar sangat asing. Aku ganti saja namanya supaya familier di telingaku ... pedang mirabilis, sebab aku menemukan pedang ini di antara bunga mirabilis ... bunga yang biasa digunakan untuk mencuci perabotan di rumah." Suara itu kembali membahana di angkasa, "Geserlah batu hitam itu, di bawahnya ada kotak perunggu berisi kitab kuno untuk kau pelajari!" Banga menggeser batu hitam, benar, di bawahnya ada kotak perunggu dan serangka pedang, tampak sangat mengkilap, tak terpengaruh pergantian musim. Di dalam kotak itu terdapat lembaran tipis perunggu bertuliskan aksara kuno, pada lembaran lain terdapat gambar manusia memainkan pedang. "Semuanya ada lima belas lembar," kata Banga. "Sepuluh lembar jurus pedang, sisanya ilmu kedigdayaan." Banga sedikit kesulitan memperagakan jurus yang tertera di kitab kuno. Ia biasa memegang pena, belum pernah memainkan senjata. Namun tekad Banga sudah membaja, ia ingin menguasai ilmu dalam kitab kuno untuk perlindungan diri. Ilmu yang dimiliki hanya berguna untuk mencari hakekat hidup, manakala berbenturan dengan kezaliman, ia tak kuasa membela diri. "Aku akan mempelajari kitab ini betapa pun sulitnya, demi orang tuaku." Banga berlatih dengan tekun. Kadang sampai lupa waktu. Untuk bertahan hidup, Banga memakan umbi-umbian. Banyak ikan di ngarai, tapi ia lupa membawa pemantik api. Banga mencoba menggosokkan batu dengan batu untuk menciptakan api, gagal dan gagal lagi. "Aku tidak boleh menyerah," ujar Banga menghibur diri. "Kecuali doyan ikan mentah." Banga mempelajari kitab kuno siang malam. Ia berhenti beberapa hari jika buntu memahami sebuah gambar. Kemudian mulai lagi setelah mendapat ide dari gerakan binatang di sekitar. Suatu hari Banga berhasil menciptakan api dengan menggesekkan kayu kering. Ia berburu angsa hutan dan mencari rempah untuk bumbu. Banga menyalakan api unggun menjelang malam, angsa hutan diberinya bumbu rempah sebelum dibakar. "Aku tidak perlu menawari suara gaib itu," kata Banga setelah angsa bakar siap dinikmati. "Ia pasti sudah pergi sejak lama." Hari demi hari dilewatinya dengan sabar. Ia tak menemukan manusia di pegunungan utara selain dirinya sendiri. Hingga suatu malam kitab kuno terbakar secara sendirinya, pertanda ia sudah mendapat pengukuhan sebagai Pendekar Pedang Kalkolitik. "Sudah waktunya untuk membebaskan orang tuaku." Arjuna meninggalkan pegunungan utara, pulang ke kampung halaman.Debu beterbangan di udara laksana asap membumbung. Lima ratus prajurit kotaraja memacu kuda dengan cepat, mereka mengenakan zirah serta bersenjata tombak dan panah.Pasukan itu dipimpin seorang jendral perang, turut bersamanya dua puluh tokoh silat istana dengan berbagai senjata pusaka.Kuda berlari melambat mendekati rumah kepala kampung. Jendral perang memberi isyarat untuk berhenti saat tiba di pintu benteng yang rusak parah."Aku belum pernah melihat pemandangan keji sebelumnya," kata jendral perang marah. Matanya memandang nanar mayat yang bergeletakan di halaman. "Prajuritku di perlakukan secara hina dina."Belasan mayat di dekat pintu gerbang diguyur air comberan sehingga penuh lumpur dan berbau busuk, bahkan di beberapa mayat terdapat tinja."Kau jendral munafik!" seru Banga, yang berdiri dengan gagah di beranda sambil menggenggam pedang kalkolitik. "Kau berperan serta dalam pembantaian klan Adikara! Mereka dibunuh secara biadab! Kebiadaban kalian tidak pernah dilakukan makhlu
Komandan legiun berkeringat dingin melihat seluruh pendekar dan prajurit bergelimpangan di halaman. Penduduk bahkan meludahi beberapa mayat yang semasa hidupnya sangat kejam menindas rakyat.Komandan legiun menyesal membiarkan kepala pengawal pergi ke dalam rumah. Tapi ia tidak gentar, ia mencabut pedang komando untuk bertarung sampai mati."Kau bukan ksatria," geram komandan legiun. "Kau iblis yang haus darah. Apakah hanya kematian yang ada di pikiranmu?""Hukuman bagi kaki tangan istana adalah kematian," tegas Banga. "Untukmu aku ada toleransi, kau ingin mati dengan cara apa?""Bedebah!" umpat komandan legiun dengan kemarahan memuncak. "Kau harus membayar perbuatanmu kepada anak buahku!""Aku akan membayar biaya pemakaman mereka, juga pemakaman dirimu!"Komandan legiun menyerang sambil berteriak, "Hiiaaat!"Trang! Trang!Pedang mereka bentrok menimbulkan percikan bunga api. Dua potongan pedang jatuh ke pelataran.Komandan legiun bengong sebelum akhirnya terjungkal dengan nyawa lepa
Kepala pengawal tidak peduli ksatria perang berasal dari klan mana, ia tak mungkin mampu melawan kekuatan besar istana.Legenda itu hanyalah cerita turun temurun yang entah dari mana asalnya. Kemunculan ksatria perang tidak terdapat dalam kitab kuno istana, selain pedang kalkolitik yang sangat misterius itu.Persetan dengan semua itu.Ia hanyalah pendekar bayaran yang diperintahkan melindungi keselamatan kepala kampung. Orang yang dilindungi sekarang sudah pergi ke kotaraja. Lalu apa lagi yang membuatnya perlu bertahan di rumah ini?"Aku memeriksa situasi di dalam dulu," kata kepala pengawal. "Apakah semua pelayan sudah meninggalkan rumah ini?"Kepala kampung pergi naik kereta lewat belakang rumah, membawa harta kekayaan dan beberapa perempuan peliharaan. Ia hanya menyisakan beberapa pelayan tua dan tidak berguna di ranjang."Rumah sudah kosong sebelum ksatria itu datang," kata komandan legiun. "Tinggal dua gundikmu saja. Bukankah ia diminta menunggu?"Kepala pengawal tersenyum licik.
Banga melompat terbang melewati pagar tinggi dan mendatangi sekumpulan pendekar yang menunggu di beranda. Puluhan prajurit yang berbaris siaga di halaman segera membubarkan diri dan mengepung Banga. Kepala kampung tidak kelihatan. Banga curiga ia melarikan diri. Tindakan bodoh kalau bersembunyi di dalam rumah. "Aku ingin bertemu dengan kepala kampung," kata Banga. "Adakah di antara kalian yang ingin menjelaskan?" Banga tidak mengenal kepala kampung, tapi bisa dibedakan dari pakaian ningrat yang dikenakan. Di antara mereka tidak ada yang memakai emblem istana. Banga tidak akan terpedaya jika kepala kampung berpakaian pendekar atau prajurit, karakter pemimpin congkak tidak bisa disembunyikan. "Kau tidak perlu tahu keberadaan kepala kampung," kata kepala pengawal yang berdiri di dekat komandan legiun. "Ia akan muncul untuk melihat mayatmu." Banga mendengus sinis. "Cecunguk istana itu takkan pernah melihat mayatku, selain mayat kalian." "Sombong sekali kau anak muda! Ja
Banga tidak bermaksud menyindir mereka, namun kakek bongkok mendadak berubah pikiran. Ia keluar dari antrian, matanya memandang nanar ke arah penduduk yang berduyun-duyun masuk ke halaman rumah. Mereka adalah tetangga yang setiap hari minum kopi di kedainya, dan paling gigih mengkritik kepala kampung, Hari ini mereka jadi pecundang. Takut mati, padahal kehidupan mereka sudah mati. "Kalian bodoh semua!" sergah kakek bongkok. "Untuk apa minta perlindungan pada kepala kampung yang menginginkan kematian kalian?" "Kau kesurupan apa, Ki Lontong?" tanya kakek sebaya. "Kau sering ceramah bahwa kita perlu bertahan hidup untuk membantu perjuangan. Kita menginap semalam saja di rumah kepala kampung, setelah itu mengalir lagi sumpah serapah untuknya." Ki Lontong mengetukkan tongkat ke tanah sehingga debu beterbangan dan hinggap di kakinya. Ia mendelik marah, seakan hatinya sudah tersinari cahaya perjuangan anak cucunya. "Sumpah serapah tidak akan menghentikan kepala kampu
Sebuah rumah megah dan besar dengan halaman luas dikelilingi pagar tinggi. Di pintu gerbang dua orang penjaga berwajah sangar sibuk memungut biaya untuk masuk ke rumah itu. Penduduk antri panjang. Dewasa, remaja, anak-anak, berdesak-desakan ingin segera masuk dengan wajah berpeluh. Maklumat untuk berlindung di rumah kepala kampung membuat mereka rela antri dalam panggangan matahari. Mereka tidak berani tinggal di rumah sendiri karena akan menjadi target pasukan kotaraja. "Kapan kepala kampung berbuat kebaikan untuk rakyatnya?" gerutu seorang bapak yang antri paling belakang. "Minta perlindungan saja dipungut biaya. Aku curiga ia bekerja sama dengan pasukan kotaraja." "Bukankah kongkalingkong sudah membudaya sejak Ratu Nayaka berkuasa? Aku berharap ksatria perang datang untuk menumpas kesewenang-wenangan." "Kemunculan ksatria perang hanyalah mimpi di zaman kita." "Perbuatan mereka sudah melampaui batas. Menunggu sampai kapan lagi dewa perang mengutus sang pewaris?"
Banga memutuskan untuk tinggal beberapa waktu di kampung ini. Ia memperkirakan prajurit kerajaan akan mengobrak-abrik rumah penduduk jika menemukan para petani muda itu sudah melarikan diri. Adipati terlalu menganggap enteng. Ia hanya mengirimkan pasukan reguler dan komandan peleton berkemampuan standar untuk menangkap dirinya. Kampung ini berbatasan dengan kota kadipaten. Tidak banyak prajurit ditempatkan di kedukuhan, juga beberapa tokoh silat saja, kebanyakan pendekar lokal. "Aku pergi ke rumah kepala kampung lebih dahulu," kata Banga. "Aku kira ia sudah mendapat kabar tentang peristiwa di perbatasan ini." Banga tidak meminta Abimanyu untuk kembali jika kampung ini berhasil ditaklukkan. Ia ingin menyerahkan kepada tokoh kampung untuk mengelola. Berani menentang kehendaknya, berarti siap menjadi korban pedang kalkolitik. Mereka mesti diancam agar berani menegakkan kebenaran dan keadilan. Mereka sudah saatnya bangkit untuk merobohkan tirani. Hidup dalam ketakutan tak
Mihira protes. "Jangan asal. Bagaimana kau menyebut mereka pengkhianat? Mereka sudah bersamaku sejak di Han Barat." Mihira menganggap Banga sudah dibutakan dendam. Ia menjatuhkan hukuman mati secara serampangan. Sepasang pengantin baru itu maniak bercinta. Mereka akan bercinta di mana saja jika muncul hasrat. Kebiasaan di Han Barat terbawa pulang ke Salakanagara. Mereka bahkan pernah berbuat di semak-semak tanpa peduli situasi. Mereka jatuh sakit jika libido tak tersalurkan. "Menurut tabib Han Barat, mereka memiliki kelainan. Sebagian anak muda di perkotaan Salakanagara juga mengalami gejala serupa." Banga tersenyum dingin. "Jangan meyakinkan diriku dengan mencatut tabib asing. Mereka bukan klan Adikara. Kau sudah tertipu." "Mereka tinggal di kotaraja," sanggah Mihira. "Jadi kau tidak mengenal mereka." "Aku sangat mengenal budaya klan Adikara, meski tidak mengenal orangnya. Anak muda klan Adikara tidak pernah memanggil tuan kepada pemuda seusia." Mihira terdiam.
Mihira memandang sedih. Ia sama sekali tak menyangka akan mendengar jawaban yang membuat kemarau hatinya. Padahal ia ingin melaksanakan amanah terakhir orang tuanya. Perkawinan bukan duri untuk perjuangan. Menggulingkan Ratu Nayaka butuh kekuatan besar. Mustahil berjuang sendiri. Hanya mengantarkan nyawa pada tiang gantungan. "Aku tahu di antara kita tidak ada cinta," kata Mihira kelu. "Sejak kecil di hati kita hanya ada rasa persahabatan. Aku berusaha menyingkirkan rasa itu untuk menghibur orang tuaku di alam langgeng." "Aku bukan menolak perjodohan kita," elak Banga tidak enak. "Aku menghormati perjanjian orang tua kita. Namun mengertilah, pedang mirabilis menuntut aku untuk menjadi ksatria perang." "Tiada larangan bagi ksatria perang untuk berumah tangga. Bukankah semakin banyak istri semakin menunjukkan kebesaran namamu?" Istri adalah lambang kebesaran pada abad pertengahan. Semakin banyak istri semakin tinggi derajat suami. Kebesaran nama lelaki dilihat dari berapa