Share

Bab 2. Tragedi

Author: Enday Hidayat
last update Last Updated: 2025-04-04 17:09:24

Menjelang siang, Arjuna tiba di perkampungan.

"Untuk apa anak itu pulang?"

Pemilik kedai kopi yang biasa dipanggil Pak Tua heran melihat kemunculan Banga dengan pedang kalkolitik di punggung.

"Cari mati!"

Beberapa warga yang sedang minum kopi meremehkan Banga.

"Ia membawa pedang! Apakah ia sudah jadi jagoan?"

"Barangkali ia berubah pikiran ingin menjadi pangeran pengganti! Sungguh hina sekali!"

"Ia sudah menyia-nyiakan pengorbanan ibunya! Dasar anak durhaka!"

Banga berjalan memasuki kedai dan duduk di depan Pak Tua. Ia memesan kopi tubruk.

"Sebaiknya kau lekas pergi," kata Pak Tua. "Jangan sia-siakan pengorbanan mereka."

"Aku pulang untuk membebaskan orang tuaku," sahut Banga dingin. "Apakah kau ingin mengahalangi diriku?"

"Aku bukan menghalangi, aku menghormati bangsawan Adikara meskipun mereka dinistakan."

Ucapan pemilik kedai menunjukkan kalau orang tuanya masuk penjara dan disiksa, sampai anaknya bersedia menjadi selir.

"Aku tahu orang tuaku berada di penjara bawah tanah yang gelap, mereka diikat di palang kayu dengan sedikit makanan."

"Orang tuamu tidak ditahan. Satu pun klan Adikara tidak ada yang ditahan."

Banga memandang bingung. "Apa maksudmu, Pak Tua?"

"Klan Adikara dimusnahkan. Aku tidak tahu apakah ada yang berhasil meloloskan diri, selain dirimu."

"Dimusnahkan...?"

Banga hampir tak percaya mendengarnya. Sebuah kebiadaban yang sangat sulit diterima daya nalar.

Ratu Nayaka telah melakukan kesalahan besar dengan membantai klan Adikara.

Tubuh Banga terasa panas terbakar amarah.

"Laki-laki dihukum digantung, perempuan digagahi secara bergilir lalu dibunuh, bahkan ibumu diikat terlentang di alun-alun kampung untuk digagahi pria yang lewat sampai mati. Separuh kampung habis dibakar, dan itu adalah rumah klan Adikara."

Banga sulit membayangkan kebiadaban yang terjadi. Ia sampai memecahkan gelas kopi yang dipegangnya karena dendam memuncak.

Matanya berkobar-kobar dibakar api kebencian. Dada hampir meledak menahan kemarahan yang menggelegak.

"Jangan sampai kalian terlibat di dalamnya, sebab kampung akan kehilangan penduduk," geram Banga sambil meremas gelas sampai menjadi abu. "Adakah di antara kalian yang berpesta pora dalam pemusnahan klanku?"

"Tidak ada."

Pak Tua tampak ngeri melihat kemurkaan Banga, juga simpati. Kemurkaan tiada arti.

Mereka trauma dengan peristiwa itu, bahkan menutup pintu dan jendela karena tak sanggup menyaksikan.

Mereka berharap penguasa langit menghentikan kekejian itu, namun tak kunjung datang.

"Maafkan kami tak bisa berbuat apa-apa. Kami memintamu segera pergi bukan lantaran benci, kau adalah satu-satunya klan Adikara yang tersisa, kau perlu membangun kekuatan untuk menghentikan kebengisan Ratu Nayaka. Klan Adikara tidak boleh musnah, kami yakin dari klan itu akan lahir ksatria besar yang menggantikan ratu durjana."

"Ksatria besar itu sudah lahir."

Pak Tua memandang dengan riak-riak harapan yang membuncah.

"Siapakah gerangan?"

"Aku."

Keluhan kekecewaan meluncur dari mulut Pak Tua, menghempaskan harapan yang sempat melambung. Banga membunuh semut saja tidak pernah.

Kerjanya hanya menulis dan menciptakan filsafat indah.

"Bagaimana kongsi dagang klan Adikara?" tanya Banga.

"Usaha keluargamu diambil alih kepala kampung sebagai kaki tangan istana."

"Ia adalah orang pertama yang mati."

Pak Tua semakin iba melihat kedunguan pemuda itu. Dendam kesumat telah menutup akal sehatnya. Ia butuh kekuatan besar untuk merobohkan tirani, butuh ksatria-ksatria pemberani.

Pernah terjadi pemberontakan, Ratu Nayaka melenyapkan mereka secara brutal dan bengis.

Sejak pemberontakan berdarah itu, belum ada lagi ksatria memimpin pergerakan untuk menggulingkan sri ratu.

"Aku tahu pedangmu sangat bagus, bahkan mata tuaku baru melihat pedang yang demikian indah. Tapi kau bukan siapa-siapa tanpa bantuan para ksatria gagah berani. Kau bisa minta bantuan pendekar dari kerajaan Han Timur, kau pernah belajar bertahun-tahun di sana."

Ksatria dan para pendekar di wilayah ini kecut untuk membangun kekuatan, kaki tangan istana bukan hanya memburu mereka, juga menghabisi keluarga.

Mereka perlu mengungsikan seluruh keluarga ke luar wilayah sebelum melakukan perjuangan, dan itu mustahil.

Orang sebatang kara adalah sosok yang diharapkan menjadi pejuang, namun menjadi ksatria membutuhkan proses rumit dan berat.

"Pergilah ke negeri Han, mintalah bantuan pada Kaisar Shun. Bukan datang sendiri seperti ini. Perjuanganmu akan berhenti di kampung ini. Kau takkan pernah mencapai istana."

"Mengapa Pak Tua berpikir demikian?"

"Kampung ini adalah salah satu kampung dengan kekuatan terbaik, kepala kampung didukung ratusan prajurit sena dan pendekar kelas satu."

Kepala kampung adalah pimpinan terendah dalam hirarki kekuasaan, di bawah koordinasi kepala distrik, kemudian adipati dan gubernur.

Kepala kampung adalah pimpinan terkejam dalam memperlakukan rakyat. Kenyamanan hidup hanya milik para saudagar dan bangsawan karena upeti besar.

Perlindungan tidak berlaku kalau sabda ratu sudah keluar, dan itulah yang terjadi pada klan Adikara.

"Datanglah suatu hari nanti dengan para ksatria dan pendekar untuk membalas kekejian mereka atas klan Adikara."

"Aku sudah datang hari ini. Aku meminta bantuanmu untuk mengelola kongsi dagang klan Adikara, sebab besok kepala kampung dan kaki tangannya sudah lenyap dari muka bumi."

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Pendekar Pedang Mirabilis   Bab 22. Simbol Kekuasaan Langit

    Debu beterbangan di udara laksana asap membumbung. Lima ratus prajurit kotaraja memacu kuda dengan cepat, mereka mengenakan zirah serta bersenjata tombak dan panah.Pasukan itu dipimpin seorang jendral perang, turut bersamanya dua puluh tokoh silat istana dengan berbagai senjata pusaka.Kuda berlari melambat mendekati rumah kepala kampung. Jendral perang memberi isyarat untuk berhenti saat tiba di pintu benteng yang rusak parah."Aku belum pernah melihat pemandangan keji sebelumnya," kata jendral perang marah. Matanya memandang nanar mayat yang bergeletakan di halaman. "Prajuritku di perlakukan secara hina dina."Belasan mayat di dekat pintu gerbang diguyur air comberan sehingga penuh lumpur dan berbau busuk, bahkan di beberapa mayat terdapat tinja."Kau jendral munafik!" seru Banga, yang berdiri dengan gagah di beranda sambil menggenggam pedang kalkolitik. "Kau berperan serta dalam pembantaian klan Adikara! Mereka dibunuh secara biadab! Kebiadaban kalian tidak pernah dilakukan makhlu

  • Pendekar Pedang Mirabilis   Bab 21. Berjuang Di Kemudian Hari

    Komandan legiun berkeringat dingin melihat seluruh pendekar dan prajurit bergelimpangan di halaman. Penduduk bahkan meludahi beberapa mayat yang semasa hidupnya sangat kejam menindas rakyat.Komandan legiun menyesal membiarkan kepala pengawal pergi ke dalam rumah. Tapi ia tidak gentar, ia mencabut pedang komando untuk bertarung sampai mati."Kau bukan ksatria," geram komandan legiun. "Kau iblis yang haus darah. Apakah hanya kematian yang ada di pikiranmu?""Hukuman bagi kaki tangan istana adalah kematian," tegas Banga. "Untukmu aku ada toleransi, kau ingin mati dengan cara apa?""Bedebah!" umpat komandan legiun dengan kemarahan memuncak. "Kau harus membayar perbuatanmu kepada anak buahku!""Aku akan membayar biaya pemakaman mereka, juga pemakaman dirimu!"Komandan legiun menyerang sambil berteriak, "Hiiaaat!"Trang! Trang!Pedang mereka bentrok menimbulkan percikan bunga api. Dua potongan pedang jatuh ke pelataran.Komandan legiun bengong sebelum akhirnya terjungkal dengan nyawa lepa

  • Pendekar Pedang Mirabilis   Bab 20. Sudah Terlambat

    Kepala pengawal tidak peduli ksatria perang berasal dari klan mana, ia tak mungkin mampu melawan kekuatan besar istana.Legenda itu hanyalah cerita turun temurun yang entah dari mana asalnya. Kemunculan ksatria perang tidak terdapat dalam kitab kuno istana, selain pedang kalkolitik yang sangat misterius itu.Persetan dengan semua itu.Ia hanyalah pendekar bayaran yang diperintahkan melindungi keselamatan kepala kampung. Orang yang dilindungi sekarang sudah pergi ke kotaraja. Lalu apa lagi yang membuatnya perlu bertahan di rumah ini?"Aku memeriksa situasi di dalam dulu," kata kepala pengawal. "Apakah semua pelayan sudah meninggalkan rumah ini?"Kepala kampung pergi naik kereta lewat belakang rumah, membawa harta kekayaan dan beberapa perempuan peliharaan. Ia hanya menyisakan beberapa pelayan tua dan tidak berguna di ranjang."Rumah sudah kosong sebelum ksatria itu datang," kata komandan legiun. "Tinggal dua gundikmu saja. Bukankah ia diminta menunggu?"Kepala pengawal tersenyum licik.

  • Pendekar Pedang Mirabilis   Bab 19. Pewaris Dewa Perang

    Banga melompat terbang melewati pagar tinggi dan mendatangi sekumpulan pendekar yang menunggu di beranda. Puluhan prajurit yang berbaris siaga di halaman segera membubarkan diri dan mengepung Banga. Kepala kampung tidak kelihatan. Banga curiga ia melarikan diri. Tindakan bodoh kalau bersembunyi di dalam rumah. "Aku ingin bertemu dengan kepala kampung," kata Banga. "Adakah di antara kalian yang ingin menjelaskan?" Banga tidak mengenal kepala kampung, tapi bisa dibedakan dari pakaian ningrat yang dikenakan. Di antara mereka tidak ada yang memakai emblem istana. Banga tidak akan terpedaya jika kepala kampung berpakaian pendekar atau prajurit, karakter pemimpin congkak tidak bisa disembunyikan. "Kau tidak perlu tahu keberadaan kepala kampung," kata kepala pengawal yang berdiri di dekat komandan legiun. "Ia akan muncul untuk melihat mayatmu." Banga mendengus sinis. "Cecunguk istana itu takkan pernah melihat mayatku, selain mayat kalian." "Sombong sekali kau anak muda! Ja

  • Pendekar Pedang Mirabilis   Bab 18. Ingin Mati Di Rumah Sendiri

    Banga tidak bermaksud menyindir mereka, namun kakek bongkok mendadak berubah pikiran. Ia keluar dari antrian, matanya memandang nanar ke arah penduduk yang berduyun-duyun masuk ke halaman rumah. Mereka adalah tetangga yang setiap hari minum kopi di kedainya, dan paling gigih mengkritik kepala kampung, Hari ini mereka jadi pecundang. Takut mati, padahal kehidupan mereka sudah mati. "Kalian bodoh semua!" sergah kakek bongkok. "Untuk apa minta perlindungan pada kepala kampung yang menginginkan kematian kalian?" "Kau kesurupan apa, Ki Lontong?" tanya kakek sebaya. "Kau sering ceramah bahwa kita perlu bertahan hidup untuk membantu perjuangan. Kita menginap semalam saja di rumah kepala kampung, setelah itu mengalir lagi sumpah serapah untuknya." Ki Lontong mengetukkan tongkat ke tanah sehingga debu beterbangan dan hinggap di kakinya. Ia mendelik marah, seakan hatinya sudah tersinari cahaya perjuangan anak cucunya. "Sumpah serapah tidak akan menghentikan kepala kampu

  • Pendekar Pedang Mirabilis   Bab 17. Untuk Apa Bernafas

    Sebuah rumah megah dan besar dengan halaman luas dikelilingi pagar tinggi. Di pintu gerbang dua orang penjaga berwajah sangar sibuk memungut biaya untuk masuk ke rumah itu. Penduduk antri panjang. Dewasa, remaja, anak-anak, berdesak-desakan ingin segera masuk dengan wajah berpeluh. Maklumat untuk berlindung di rumah kepala kampung membuat mereka rela antri dalam panggangan matahari. Mereka tidak berani tinggal di rumah sendiri karena akan menjadi target pasukan kotaraja. "Kapan kepala kampung berbuat kebaikan untuk rakyatnya?" gerutu seorang bapak yang antri paling belakang. "Minta perlindungan saja dipungut biaya. Aku curiga ia bekerja sama dengan pasukan kotaraja." "Bukankah kongkalingkong sudah membudaya sejak Ratu Nayaka berkuasa? Aku berharap ksatria perang datang untuk menumpas kesewenang-wenangan." "Kemunculan ksatria perang hanyalah mimpi di zaman kita." "Perbuatan mereka sudah melampaui batas. Menunggu sampai kapan lagi dewa perang mengutus sang pewaris?"

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status