Jaka warangan melepas kuda-kuda nya. Lalu melangkah menghampiri mayat warok druga. Setelah mendekat ia pun menggelengkan kepalanya.
"Warok..warok..seharusnya kau bertobat. Malah kau mencariku pula. Hadehhh..sekarang kau mati percuma. Coba kau bayangkan kelakuan anak buahmu itu warok. Sudahlah merampok. Membunuh. Memperkosa. Dosa kok diborong. Jelaslah ku bantai semua...ah sudahlah. Malah aku ngobrol sama mayat. Mending aku cari ular kobra.." Setelah memeriksa mayat sang warok sejenak. Pemuda itu pun kembali melangkahkan kakinya menuju entah kemana. Sementara itu dua orang yang menyaksikan pertarungan itu dari kejauhan tampak terkejut dan kecewa dengan kematian warok druga. Mereka adalah para perampok yang berasal dari hutan alas roban. Sengaja mereka bersembunyi agar bisa menyaksikan lalu melaporkan hasil pertarungan itu ke warok tertinggi di alas roban. Sepak terjang Jaka warangan memang menjadi buah bibir di kalangan perampok alas roban. Sudah banyak korban berjatuhan karena tindak-tanduk Jaka Warangan yang selalu mengagalkan perampokan yang mereka lakukan. Bahkan Jaka Warangan tak segan-segan membunuh bila mendapat laporan dari warga bahwa terdapat rampok yang berkelakuan bengis. "Kakang Sura..bagaimana ini?? Ternyata Warok Druga bisa dikalahkan..." Sura pun menghela nafas panjang. Sama dengan teman yang disampingnya. Ia juga tak habis pikir bila Warok Druga begitu mudahnya di kalahkan "Hmmm..yah aku pun tak menyangka kejadian ini. Jaka Warangan memang mempunyai ilmu yang lebih tinggi dari Warok Druga. Sekarang kita lebih baik pergi dari sini dan melaporkannya ke Warok bandar jati.." "Baiklah kang.." Jawab temannya Mereka pun meninggalkan tempat tersebut dan kembali menuju markas mereka di hutan alas roban. Jaka warangan sebenarnya sadar bahwa ada dua orang yang bersembunyi di balik semak belukar. Walau tempat itu jauh tapi dengan ketinggian panca inderanya. Ia bisa melihat kedua orang itu. Namun ia membiarkannya. Karena suatu saat ia pun akan berhadapan dengan mereka. Dan dengan santainya ia kembali menyalakan rokoknya dan bernyanyi seperti tak terjadi apa-apa ########## Besok nya warga desa jantilan gempar dengan ditemuinya sesosok mayat di pinggir sungai praga. Dan warga pun mengetahui siapa mayat itu. Mereka sangat hapal dengan kekejaman warok druga. Hingga kematian nya pun disambut dengan suka cita. Tak hanya merampok. Tapi anak buahnya sering meminta uang jasa keamanan kepada mereka. Hingga warga desa pun sangat terbebani dengan keberadaan komplotan warok druga. Ki Demang Antasena pun seperti tutup mata dengan hal ini. Padahal sebagai orang yang mengepalai beberapa desa, sudah seharusnya ia bertanggung jawab. "Ki Demang..sudah saat nya kau bergerak. Komplotan Warok bandar jati sudah meresahkan kademanganmu. Apa kau hanya diam saja melihat ini semua??" Tanya Ki jagabaya. Ia adalah seorang pamong keamanan di Kademangan. "Ki jagabaya..kau tak usah mengajariku. Aku sudah melakukan yang ku bisa. Tapi pasukan kita tak mencukupi untuk mengamankan seluruh desa di kademangan kita.." "Lalu bagaimana dengan kota raja...?" Tanya Ki Jagabaya lagi "Hahh.mereka hanya bisa mengumbar janji. Sudah seringkali aku menghadap. Tapi pasukan yang dijanjikan tak kunjung tiba. Kau jangan salah ki. Aku pun ingin mengobrak-abrik sarang warok itu namun pasukan kita tak mencukupi. Lagi pula..kemampuan silat yang dimiliki pasukan kita berada jauh dibawah komplotan warok bandar jati" Jelas Ki Demang Selagi mereka serius berbicara tiba-tiba seorang pengawal kademangan datang menghadap. "Ki demang ada kabar penting yang ingin kusampaikan.." Ki demang pun memandang pengawalnya itu yang datang dengan tergesa-gesa. "Duduklah jarot. Katakan kabar penting apa itu..?" Lalu ki jagabaya mempersilakan jarot untuk duduk di sampingnya. "Maaf ki demang bila aku mengganggu. Tapi kabar ini memang sangat penting dan kupikir ini juga kabar yang menggembirakan." Jarot berhenti sebentar untuk mengatur nafas lalu melanjutkan. "Warga desa jantilan telah menemukan mayat warok druga di pinggir kali praga.." Terkejutlah ki demang dan ki jagabaya mendengar laporan itu. "Maksudmu tangan kanan warok bandar jati yang terkenal bengis itu..?" Tanya Ki Demang dengan wajah yang penasaran "Benar Ki Demang. Aku sendiri sudah memastikan kabar itu dengan mendatangi desa jantilan. Dan mayat itu memang mayat warok druga.." Jelas Jarot "Luar biasa...lalu apa kau tahu siapa yang membunuhnya...?" Kembali Ki Demang bertanya "Itulah yang disayangkan Ki. Warga desa tak ada yang mengetahuinya. Tapi aku mendapat sebuah petunjuk dari mayat itu ki.." "Katakan jarot.." Jarot mengatur nafas sejenak sambil menunduk dan mengingat segala keterangan dan bukti yang ia dapat. Tak lama ia pun memandangi lagi wajah Ki Demang "Kau pasti mendengar beberapa perampokan yang digagalkan oleh seorang pemuda yang memakai pakaian hitam dan punya perangai yang aneh kan ki..??" Ki demang berpikir sejenak lalu menjawab. "Jaka warangan..." Ki Demang menjawab dengan nada tegas "Benar ki. Mayat warok druga pun mempunyai ciri yang sama dengan mayat-mayat yang dibunuh oleh jaka warangan..." Jarot menegaskan "Hmm tubuhnya pasti telah menghijau karena racun yang ganas. Bukankah begitu jarot..?" "Betul ki.." Ki demang pun menghela nafasnya dalam-dalam "Hmmm..Tapi sayang jaka warangan adalah seorang pendekar yang bekerja sendiri.." Sesal Ki Demang sambil menopang dagunya. Tapi yang tak disangka pun terjadi. Tiba-tiba dari luar rumah ki demang menyahut seseorang dengan suara yang lantang. "Siapa bilang ki demang..!!??"Langit Mandira menjadi gelap tak wajar. Bukan karena malam, tapi karena sesuatu yang lebih tua dari malam itu sendiri. Di ujung cakrawala, awan membentuk pusaran kelam. Cahaya petir menyambar tanpa suara. Di barak Pengawal Dalam, Raja Mandira menatap peta yang kini berubah warna. Jalur ke Gunung Sepuh menghitam. Tinta pada kertas menetes sendiri, seperti luka yang mengalirkan darah. > “Gerbangnya terbuka...” bisik Raja. Panglima Adikara berdiri gelisah di belakangnya. > “Paduka, pasukan siap digerakkan. Tapi kabut yang datang... menghapus jejak.” > “Kita terlambat,” jawab sang Raja. “Satu-satunya harapan kita… adalah Warangan.” --- Di kaki Gunung Sepuh, Jaka dan rombongan membangun perlindungan darurat bagi anak-anak korban ritual. Kabut tipis terus menyelimuti tanah, dan hawa menjadi dingin seperti habis hujan padahal langit kering. Putri Lintang duduk di samping api kecil, menggenggam tangan seorang anak perempuan yang masih gemetar. > “Namamu siapa?” > “Nira,” b
Kabut pagi menyelimuti tepian Sungai Rengganis, tempat Jaka Warangan dan rombongannya mendirikan kemah darurat. Api unggun telah padam, menyisakan bara merah yang nyaris mati. Burung-burung rawa belum bernyanyi, seakan tahu dunia sedang tak tenang. Jaka berdiri di tepi air, mencuci wajah. Di balik aliran sungai, bayangan perbukitan Gunung Sepuh menjulang pucat. Tempat itu kini menjadi petunjuk yang harus mereka kejar. Putri Lintang muncul dari balik pohon, mengenakan pakaian rakyat biasa. Rambutnya dikepang seadanya. Tak ada lagi sanggul atau perhiasan. Tapi matanya masih menyala—bukan dengan kebangsawanan, tapi tekad. > “Aku sudah siap,” katanya pelan. Jaka menatapnya sebentar. Tak ada yang diucapkan, tapi pandangan itu cukup. Mereka saling percaya. Dan itu lebih penting dari segala sumpah. --- Di sisi lain, Tarno memeriksa tali pelana kuda sewaan mereka. Ia bersiul kecil, tapi sorot matanya gelisah. > “Kang,” gumamnya ke Sura, “kalau ketahuan kita bawa Putri, kita bisa dicap
Langit Mandira menyambut Jaka Warangan dengan awan kelabu. Gerbang utama istana terbuka perlahan, diiringi suara genderang kecil dari penjaga kehormatan. Tapi tak ada perayaan, tak ada senyum.Karena yang ia bawa… bukan kemenangan, melainkan tuduhan.Sura dan Tarno menyusul di belakang, berdebat soal nasi bungkus yang katanya dicuri penjaga gudang. Tapi Jaka hanya diam. Langkahnya ringan, tapi pikirannya berat.---Di dalam Balairung Wiyata, tempat para penasihat kerajaan berkumpul, suasana terasa panas. Pangeran Wirabasa duduk dengan tenang, memainkan cincin emas di jarinya. Di sampingnya, Putri Lintang menunduk dalam. Ratu Ayu tak hadir—konon sedang sakit karena kabut mimpi dari arah selatan.> “Jaka Warangan,” ujar Raja Mandira, suaranya berat. “Apa yang kau temukan di Langgasari?”Jaka meletakkan sehelai kain bersimbol darah di atas meja batu.Semua menahan napas.> “Aku menemukan pengkhianatan. Tapi bukan dari Langgasari… dari dalam.”> “Kau menuduh siapa?” tanya sang Raja.Jaka
Tiga hari setelah Festival Pendekar berakhir, Istana Langit Timur kembali sunyi. Namun pagi itu, langit berubah kelabu. Seekor burung hitam raksasa—Rajawali Gelap dari Kerajaan Langgasari—mendarat di pelataran istana, membawa dua orang bertudung ungu.Mereka adalah utusan khusus dari Raja Langgasari, kerajaan di utara yang selama ini bersikap netral, namun terkenal dengan siasat politik dan kekuatan mata-mata.> “Kami datang membawa undangan pertemuan rahasia,” kata salah satu utusan. Suaranya berat, matanya tajam seperti menyimpan racun.> “Dan kami minta satu orang saja untuk datang mewakili Kerajaan Mandira: Jaka Warangan.”---Raja Mandira terdiam lama saat menerima berita itu. Para penasihat protes. Bahkan Panglima Agung menolak keras.> “Itu jebakan! Kita tidak tahu siapa mereka sebenarnya!”Namun Putri Lintang berdiri, menatap ayahnya.> “Kalau mereka ingin bicara dengan Jaka… maka biarlah ia yang memutuskan. Bukan kita.”Jaka hanya mengangguk.> “Aku akan pergi. Tapi aku tak a
Fajar menyapu langit dengan warna emas pucat ketika genderang istana mulai ditabuh. Turnamen Cahaya Timur—ajang silat tertua antar perguruan di seluruh negeri—resmi dimulai. Kali ini, bukan hanya kehormatan yang dipertaruhkan, tapi juga aliansi politik dan takhta masa depan.Jaka Warangan berdiri di barisan peserta, mengenakan pakaian hitam sederhana, tak membawa lambang perguruan manapun. Di sebelahnya, Sura dan Tarno bersandar di pagar kayu, tak ikut bertanding, tapi ikut berjaga.> “Kau yakin ikut ini, Kang?” tanya Sura. “Pendekar dari segala arah datang. Ada yang pernah melawan harimau, ada yang katanya bisa membelah batu pakai suara.”> “Justru itu. Aku ingin tahu… apakah dunia masih sekejam dulu, atau sudah lebih adil untuk orang-orang seperti kita,” jawab Jaka tenang.---Turnamen dimulai.Babak penyisihan berlangsung cepat. Pendekar-pendekar saling menunjukkan teknik khas: jurus kipas sakti, pukulan halilintar, langkah kabut, bahkan gaya bertarung dari barat yang mirip tari pe
Langit di atas Kerajaan Mandira mulai cerah, tapi angin tetap dingin membawa kabar buruk dari timur. Di pelataran batu istana, Jaka Warangan berdiri di antara para pengawal. Jubahnya sudah berganti—bukan lagi gelap dan penuh luka, melainkan jubah biru laut dengan motif awan perak.Sura dan Tarno, kini berpakaian seperti ksatria istana, berdiri di sampingnya. Tarno bahkan mengenakan ikat kepala baru bertuliskan “ANTI SETAN”, hasil kreativitasnya sendiri.> “Kakang, kita sekarang jadi orang penting ya?” bisik Tarno sambil menyikut Sura.> “Iya, penting buat bersih-bersih kalau disuruh,” sahut Sura datar.Tapi suasana berubah saat seorang wanita turun dari tandu istana—anggun, berselendang merah muda, dan membawa tongkat bergagang kristal.Dialah Putri Lintang Madura, anak Raja Mandira yang dikabarkan memiliki ilmu membaca mimpi dan pengendali hujan. Dan begitu matanya bertemu dengan Jaka…> “Jadi… ini dia, pendekar yang katanya bisa mengusir kutukan langit?” katanya dengan senyum tipis.