Baik Li Bing dan A San, keduanya sama-sama terkejut. Sedikit pun mereka tidak menyangka bahwa ketiga orang itu akan tewas secara mendadak.
Keduanya saling pandang untuk beberapa saat. Setelah itu Li Bing menggusur ketiga mayat tersebut ke tempat yang lebih terang. Selanjutnya dia langsung memeriksa dengan seksama. "Mereka tewas karena di serang oleh senjata rahasia yang datang secara bersamaan," ucapnya setelah beberapa saat melakukan pemeriksaan. A San penasaran. Dia pun segera berjongkok dan memeriksanya sendiri. Rupanya di antara leher mereka ada sebuah titik hitam. Bekas luka itu sangat kecil. Jika tidak diperiksa secara teliti, mustahil luka tersebut akan terlihat. "Apakah pelakunya lebih dari satu orang?" tanya A San yang kini tampak bingung. "Tidak," jawab Li Bing sambil menggelengkan kepala. "Pelakunya hanya satu, cuma kemampuan dia dalam melemparkan senjata rahasia sudah diatas rata-rata," Li Bing sangat yakin akan dugaannya tersebut. Apalagi dia sudah menyaksikannya dengan jelas. "Tapi siapakah orang itu, Tuan Muda?" "Untuk saat ini aku belum bisa menjawabnya. Apalagi yang menggunakan senjata rahasia berupa jarum, jumlahnya sangat banyak," Dalam dunia persilatan, pendekar yang pandai menggunakan jarum sebagai senjata rahasia memang sangat banyak. Bahkan setiap pendekar hampir bisa melakukannya. Tetapi, tidak setiap pendekar itu mampu menguasai ilmu melemparkan senjata rahasia sampai ke titik tertinggi. Apalagi seperti yang dialami saat ini. "Dalam dunia persilatan dewasa ini, yang mampu melempar senjata rahasia dengan sempurna, jumlahnya mungkin tidak lebih dari sepuluh orang," "Tapi seingatku, Keluarga Li tidak pernah mempunyai masalah dengan orang-orang tersebut," kata A San. "Setelah mendiang Ayahku mengundurkan diri dari dunia persilatan, Keluarga Li pun tidak pernah mencari gara-gara. Tapi toh tetap saja ada orang yang ingin membunuhnya," Pada saat berkata demikian, terlihat ekspresi wajah Li Bing sedikit berubah. Seolah-olah pada setiap patah kata itu mengandung rasa sakit yang tidak bisa digambarkan. "Hati manusia, memangnya siapa yang tahu?" lanjutnya dengan suara yang terdengar sangat jauh. Ungkapan itu sangat sesuai dengan kenyataan. Dalam kehidupan ini, memangnya siapa yang bisa mengetahui isi hati manusia secara sempurna? Walaupun gunung tinggi, meskipun samudera dalam, tapi keduanya masih bisa diukur. Masih bisa diketahui. Sedangkan isi hati manusia? Jangankan bisa tahu, bahkan untuk merabanya pun belum tentu setiap orang sanggup melakukannya. "Lalu apa yang harus kita lakukan sekarang, Tuan Muda?" tanya A San yang kini sudah ikut bangkit berdiri. "Tentu saja kita harus membereskan semua persoalan ini. Kita harus tahu siapa dalang pembunuhan belasan tahun lalu. Kita pun harus tahu siapa yang telah menyerangku tadi," "Tapi, ke mana kita harus mencari informasinya, Tuan Muda?" "Ke orang yang tahu," Jawaban Li Bing tidak salah. Malah itu adalah jawaban yang paling benar. Tetapi, siapa orangnya? A San tidak berbicara lagi. Dia langsung diam dan merenung untuk beberapa saat. "Bagaimana kalau kita temui si Tua Jie saja, Tuan Muda?" Si Tua Jie adalah salah satu orang yang dulu ikut bekerja di Keluarga Li. Bahkan dia sudah bekerja lebih dulu daripada A San sendiri. Selama belasan tahun, si Tua Jie bekerja di sana sebagai tukang bersih-bersih kebun. Meskipun usianya cukup jauh jika dibandingkan dengan A San, tetapi hubungan keduanya bisa dibilang lumayan akrab. Maka dari itulah, A San ingin bertanya kepada orang tua itu. "Apakah Paman Jie masih ada?" tanya Li Bing setelah teringat akan nama tersebut. "Dia masih ada, Tuan Muda. Hanya saja usianya sudah sangat tua. Tahun ini mungkin mencapai tujuh puluh empat," "Kau tahu di mana rumahnya?" "Ya," katanya mengangguk. "Walaupun sudah sangat lama aku tidak berkunjung lagi ke sana, tapi aku masih ingat di mana rumah si Tua Jie," "Bagus. Kita akan ke sana besok pagi," "Kenapa tidak sekarang saja, Tuan Muda?" "Sekarang hari sudah larut malam. Udara pun semakin dingin. Daripada harus pergi jauh, lebih baik kita mencari warung arak yang masih buka sekalian beristirahat," "Baiklah," A San tidak berani membantah lagi. Mereka berdua langsung kembali ke kereta kuda. Terhadap mayat ketiga orang tadi, Li Bing sama sekali tidak memperdulikannya. Waktu tiba di sana, rupanya dua ekor kuda jempolan itu sudah keinginan. Untung saja kuda-kuda itu merupakan hewan terbaik di tempatnya. Kalau tidak, mungkin sudah sejak tadi keduanya tewas karena tidak tahan dengan hawa dingin. Mengetahui akan hal tersebut, A San langsung mengambil tindakan cepat. Dia melarikan kereta kuda cukup kencang. Tidak berapa lama kemudian, mereka berhasil menemukan sebuah rumah makan sekaligus penginapan yang cukup besar. A San langsung menuju ke sana. Dengan cepat dia menuju ke belakang, ke tempat di mana kuda para pengunjung di simpan. "Tolong rawat dan hangatkan kedua kuda ini. Ini uang tip untukmu," ucap A San kepada salah satu penjaga kuda sambil memberikan sedikit uang tip. "Baik, Tuan, Baik. Aku pasti akan merawatnya," kata penjaga kuda itu yang terlihat sangat senang. A San mengangguk perlahan. Setelah itu, dia segera kembali ke depan di mana Li Bing sudah menunggunya. Waktu terus berlalu. Mentari pagi mulai menyingsing di ufuk sebelah timur. Walaupun kehangatannya tidak seperti saat musim panas, tetapi saat musim dingin seperti ini, kehangatan itu sudah lebih daripada cukup. Li Bing dan A San sudah melanjutkan perjalanannya lagi. Kini mereka berada di sebuah jalan kecil yang terletak di pinggiran Kota Yu Nan. "Apakah rumah Paman Jie masih jauh?" tanya Li Bing sambil melihat-lihat pemandangan di luar. "Tidak, Tuan Muda. Sebentar lagi kita akan sampai," A San segera mempercepat lari kuda. Lima belas menit kemudian, mereka sudah tiba di depan sebuah rumah yang tidak terlalu besar. Rumah itu jaraknya cukup jauh dari rumah-rumah yang lain. "Kita sudah sampai," A San berkata cukup keras. Dia langsung turun dan berjalan menuju ke rumah tersebut. "Orang tua, orang tua Jie. Apakah kau ada di dalam?" tanyanya setengah berteriak. "Siapa di luar?" sebuah suara yang agak serak tiba-tiba terdengar dari dalam rumah. "Sahabat lama di Keluarga Li," "Benarkah?" Tiba-tiba pintu terbuka. Dari balik pintu segera muncul sosok pria tua yang wajahnya sudah dipenuhi oleh keriput. "A San?" tanya orang tua itu setelah dia berada tepat di hadapan A San. "Si Tua Jie?" Mereka berpandangan untuk beberapa saat. Sedetik berikutnya, kedua orang itu langsung berpelukan. Mereka tampak bahagia karena pertemuan tersebut. Li Bing hanya berdiri di belakang A San. Dia pun tersenyum melihat kejadian itu. "Apa kabar? Mengapa kau baru muncul sekarang?" tanya si Tua Jie kemudian. "Kabarku baik. Kau sendiri bagaimana, orang tua?" jawabnya seraya tersenyum. "Belakangan ini aku selalu sibuk. Jadi aku belum punya waktu untuk menengokmu," Si Tua Jie manggut-manggut. Dia cukup mengerti akan hal itu. Tiba-tiba dia menoleh ke belakang, ke arah Li Bing. "Siapa pemuda ini, A San?" tanyanya heran.Tie Gu, sang penjaga lembah, mengeluarkan jurus Bayangan Menusuk Sumsum, membuat dua pendekar Balai Hitam tersungkur sambil memuntahkan darah hitam.Di sisi lain, Nona Lin melompat ringan di antara reruntuhan dan melepaskan belasan jarum perak dari lengan bajunya. Tujuh dari jarum itu menancap di dada dan leher lawan, membuat mereka roboh bahkan sebelum menyadari arah datangnya serangan.Li Bing tidak bergerak. Ia masih berdiri dan menunggu.Seorang lelaki bertopeng dengan jubah ungu-abu melangkah ke depan. Gerakannya tidak cepat, tapi angin di sekitar tubuhnya seolah mundur dari jalannya. Di dadanya, terdapat lambang Balai Hitam dengan tiga cakar melingkar."Tuan Muda Li," ucapnya, suaranya dalam seperti gua tua. "Berikan peta itu, dan kami akan biarkan tempat ini tetap berdiri.""Tempat ini mungkin akan roboh," jawab Li Bing pelan. "Tapi kalian akan roboh lebih dulu."Dan pertempuran pun meletus!Lelaki bertopeng melancarkan jurus Jaring Racun Bayangan Jiwa, serangan berbentuk ling
Dalam dunia persilatan yang diliputi kabut dan darah, tak ada jalan yang benar-benar lurus. Hanya mereka yang bersedia mengorbankan ketenangan jiwanya yang sanggup menembus tirai rahasia dan menemukan cahaya di ujung lorong gelap. Li Bing, pemuda yang memikul warisan leluhur, melangkah tidak sekedar dengan tekad, tapi juga dengan luka yang terus menganga.Di perbatasan selatan, gerimis menyambut langkah kaki mereka. Kabut menggantung rendah, seakan menutupi jalan menuju nasib yang tak menentu. Di sanalah berdiri desa tua bernama Mingzhi, desa perantara menuju wilayah Perguruan Ular Emas—sebuah tempat yang disebut-sebut dalam bisik-bisik sebagai sarang dari segala tipu muslihat.Desa itu sunyi, malah terlalu sunyi. Tidak ada suara ayam, tidak ada tawa anak-anak, hanya suara embusan angin yang menerpa dedaunan. Pintu-pintu rumah terkunci, jendela-jendela tertutup rapat. Hanya satu kedai tua tampak terbuka separuh, digoyang angin seperti ingin menelan siapa pun yang masuk.Di dalam k
Angin dari utara membawa bau dingin dan samar getir darah. Sepanjang perjalanan, kabut tipis menyelimuti hutan cemara yang menjulang di kanan kiri jalan tanah. Li Bing dan Nona Lin berjalan dalam diam, seakan waktu pun segan memecah kesunyian mereka. Sejak keluar dari Kota Arwah, langkah kaki keduanya menjadi lebih berat, bukan karena lelah, melainkan oleh beban pertanyaan dan takdir yang kian menyesakkan."Bahkan langit pun seperti menyimpan rahasia," gumam Nona Lin pelan. "Mendung terus menggantung, tapi tak pernah benar-benar turun hujan."Li Bing tidak menoleh, tapi bibirnya menggerakkan satu kalimat."Karena langit pun sedang ragu, apakah yang akan turun adalah hujan ..., atau darah."Setelah tiga hari perjalanan tanpa nama, mereka tiba di depan gerbang Perguruan Batu Langit. Dulu, tempat ini adalah pusat ilmu dan kebijaksanaan, para pendekar dari utara dan selatan menaruh hormat yang dalam. Namun kini, gerbang batu itu ditumbuhi lumut dan cat tembok mulai retak."Tak ada penja
Bayangan Tua tidak datang sendiri. Empat orang muncul dari bayang-bayang pilar kuil, masing-masing membawa senjata pusaka lama—bukan untuk membunuh, tapi untuk menguji."Jika kau tidak lolos, maka dunia akan tahu bahwa warisan itu bukan untukmu," ucap mereka bersamaan.Li Bing maju tanpa ragu. Pertarungan pun dimulai.Satu lawan empat.Tapi jurus-jurus Li Bing telah matang. Ia menggabungkan jurus Bayangan Kematian Menyelimuti Dunia dengan jurus Langkah Naga Sakti, bergerak seperti hantu dan membalas secepat kilat. Pertarungan berlangsung dalam diam. Tidak ada sorak, hanya suara napas dan hantaman tenaga dalam.Nona Lin hanya bisa menyaksikan dari kejauhan, tangan menggenggam gagang pedangnya dengan erat. Hawa di sekitar tubuhnya terasa dingin menusuk, tapi ia tahu, ini adalah ujian pribadi Li Bing.Satu per satu, para penjaga itu jatuh berlutut. Tidak terluka parah, hanya dibuat tak sanggup melanjutkan."Kau lulus ..., bukan karena kekuatanmu, tapi karena kau tidak membunuh kami," kat
Fajar baru belum sempat mengoyak kabut yang menyelimuti Lembah Sunyi. Embun membeku di ujung-ujung dedaunan, dan udara mengandung keheningan yang dalam, seolah seluruh alam berhenti sejenak untuk menyaksikan perubahan besar yang baru saja terjadi.Li Bing berdiri menghadap timur. Di belakangnya, Kitab Leluhur Langit telah kembali ke altar, menyimpan rahasia agung dalam keheningan suci. Nona Lin berada di sampingnya, wajahnya tenang namun matanya menyimpan ribuan tanya. Jian Yu berdiri beberapa langkah di belakang, memberi ruang bagi pemuda itu untuk menyelami apa yang telah ia pelajari."Apa yang akan kau lakukan sekarang, Tuan Muda Li?" tanya Jian Yu, suaranya nyaris seperti bisikan angin.Li Bing tidak segera menjawab. Tatapannya jauh, menembus awan-awan tipis yang menggantung rendah."Aku harus kembali ke utara. Ke Perguruan Batu Langit. Di sana, guruku dulu menyimpan naskah perjanjian lima leluhur. Jika benar Balai Hitam bergerak, maka mereka pasti mengincar pusaka yang tersebar
"Tapi Balai Hitam mengincar ini!" Nona Lin menyela. "Mereka bahkan mengirim pembunuh bayaran untuk menghentikan kami! Jika ini berbahaya, bukankah kita harus mencegah mereka mendapatkannya?" "Mereka memang menginginkannya, dan itulah mengapa aku tidak bisa membiarkan siapa pun, bahkan kalian, mengambil risiko." Jian Yu menarik napas panjang. "Kitab Leluhur Langit hanya bisa diaktifkan oleh keturunan langsung dari lima leluhur pendiri perguruan. Dan dari sisa darah yang mengalir di dunia persilatan saat ini, kau adalah satu-satunya yang memenuhi syarat, Tuan Muda Li." Li Bing terdiam. Ucapan itu menggaung dalam benaknya, mengaitkan dengan potongan-potongan informasi yang ia kumpulkan, keluarganya, Peta Rahasia Langit, dan kini Kitab Leluhur Langit. Jadi, semua ini memang terhubung dengan darahnya. "Lalu, apa yang akan kau lakukan?" tanya Li Bing, menatap lurus ke mata Jian Yu. "Kau akan menghentikan kami dengan paksa?" Jian Yu mengangkat kedua tangannya. Tidak ada tan