LOGINBagai tersambar oleh petir surgawi, Ki Arya Saloka terpaku di tempatnya berdiri. Segudang kalimat yang ingin ia katakan tiba-tiba lenyap saat itu juga.
"Eyang ... aku ingat betul sebelum aku terlelap kondisiku baik-baik saja. Tapi kenapa sekarang seperti ini?" Surya Yudha terlihat kecewa dengan kondisinya yang menyedihkan. Begitu pemuda itu bangun, tenaga dalam miliknya tak bisa ia keluarkan. Padahal ia yakin jika tenaga dalamnya masih tersisa bahkan dalam kondisi penuh.
Sejenak, Ki Arya Saloka menghela napas panjang. Pria tua itu menatap Raja Wirya Semitha dan Panglima Besar Indra Yudha bergantian. Panglima Besar Indra Yudha mengangguk lalu keluar bersama dengan Dewi Mayangsari dan Raja Wirya Semitha.
Perlahan Ki Arya Saloka mendekati Surya Yudha dan duduk di sampingnya. Ki Arya Saloka terlihat ingin menyampaikan sesuatu, tetapi seperti tak bisa mengungkapnya.
Surya Yudha akhirnya mengalah dan memulai pembicaraan. "Katakan saja, Eyang. Maaf jika aku menyakiti hati Eyang. Aku ... aku hanya terkejut."
Ki Arya Saloka mengangguk. Jika apa yang dialami oleh Surya Yudha menimpa dirinya, kemungkinan besar dia akan bersikap lebih parah.
"Kamu pernah mendengar matahari yang tertutup bulan?"
Surya Yudha mengangguk. "Maksud Eyang gerhana matahari?"
"Benar. Dan hal itu adalah yang kamu alami saat ini," ucap Ki Arya Saloka hati-hati. "Kamu adalah matahari, dan tenaga dalam yang kamu miliki adalah sinar. Saat ini kencana wungu berperan sebagai bulan. Seberapa lama Gerhana ini akan berlangsung hanya kamu yang bisa menentukan."
Surya Yudha kembali mengangguk. Firasat tentang tenaga dalamnya terbukti benar. Pemuda itu menatap Ki Arya Saloka dengan sendu, tetapi ada setitik cahaya terlihat dalam mata Surya Yudha. "Lalu apa yang harus aku lakukan?"
"Ikut dengan Eyang. Eyang akan mengantarmu ke kerajaan Jalu Pangguruh."
"Ada apa di tempat itu, Eyang?" tanya Surya Yudha penasaran.
"Kamu pernah mendengar Padepokan Raga Geni?"
"Apa yang eyang maksud adalah padepokan yang melatih tenaga dalam hawa panas?" Surya Yudha kembali berpikir, "tapi, aku sudah tidak bisa menggunakan tenaga dalamku. Untuk apa aku ke tempat itu?"
"Surya, tenaga dalammu bisa terbuka lagi asal kamu mengkonsumsi mengkudu emas. Sepengetahuan Eyang, di kerajaan jalu Pangguruh ada tanaman itu. Padepokan Raga Geni hanya sebagai pijakan. Kamu paham?"
"Jika itu yang terbaik, aku akan melakukannya. Tapi ... aku harus menjaga Pangeran Abimanyu." Surya Yudha kembali teringat dengan tugasnya sebagai pengawal pribadi Pangeran Abimanyu.
"Ayahmu sudah mencopotmu dari militer. Dia kecewa karena sifat keras kepala Abimanyu menyeretmu dalam masalah sepelik ini."
Mata Surya Yudha melebar, tak menyangka dengan keputusan Sang Ayah. Sejenak ada rasa sakit di hatinya, tetapi dengan cepat ia singkirkan karena tahu jika Ayahnya orang yang berpikir ke depan.
"Apa Pangeran Abimanyu tidak mencegahnya?"
"Siapa yang bisa menentang ayahmu? Dia begitu setia pada kerajaan, jika permintaan kecil seperti ini saja tidak diindahkan, untuk apa pengabdiannya?"
"Eyang benar. Ayah juga pasti kecewa, dan orang yang paling sakit hati dengan ini semua pasti ayah. Eyang ... aku sudah mengecewakan ayah. Apa ayah masih mau menerimaku?"
Pletak!
Sebuah jitakan keras mendarat di dahi Surya Yudha membuat pemuda itu meringis.
"Kamu sadar dengan yang kamu katakan? Jika Ayahmu tahu kamu meragukannya, bisa-bisa dia langsung gantung diri!" pekik Ki Arya Saloka. "Dia sedih, tapi dia juga bahagia karena kamu masih hidup. Kekuatan boleh hilang, tapi tidak dengan nyawa. Paham?"
Lama kelamaan Surya Yudha bisa menerima kondisinya dengan lapang dada. Hal yang harus ia lakukan saat ini adalah sembuh. Dan setelah saat itu tiba, dia akan pergi dalam waktu lama.
Sebulan setelah penyerangan di hutan pejagalan, luka luar Surya Yudha sudah sembuh total. Hari ini saatnya pemuda itu pergi meninggalkan kehidupan lamanya.
"Surya, kamu masih memiliki tempat untuk pulang. Kembalilah ketika kamu ingin kembali. Jika kamu mendapat kesulitan besar, jangan ragu meminta bantuan ayah."
"Terima kasih, Ayah. Aku pasti akan pulang."
Panglima Besar Indra Yudha mengangguk dan memeluk putranya sebagai tanda perpisahan. Entah kapan dirinya bisa bertemu dengan putranya lagi. Dewi Mayangsari juga melepas putranya dengan airmata.
"Ibu, aku pasti akan pulang. Saat pulang nanti aku akan menjadi manusia yang lebih baik lagi."
Akhirnya, hari itu Surya Yudha meninggalkan istana dan menuju utara, tempat tinggal Ki Arya Saloka.
Para prajurit yang melihat kepergian Surya Yudha membungkuk hormat, apalagi para pengawal pribadi Pangeran Abimanyu yang memang teman seperjuangannya. Surya Yudha hanya membalasnya dengan senyuman, tanpa kata-kata.
Saat Ki Arya Saloka dan Surya Yudha sudah di luar gerbang kerajaan, Ki Arya Saloka mulai membuka pembicaraan karena merasa bosan. Jalur ini membelah hutan Nara Artha agar perjalanan bisa ditempuh dengan lebih cepat.
"Perjalanan kita akan membutuhkan waktu sekitar 2 hari. Nanti kita akan menginap di hutan saja," ucap Ki Arya Saloka.
"Tidak masalah, Eyang. Jika aku masih memiliki tenaga dalam pasti akan lebih singkat." Surya Yudha hanya tersenyum kecut saat mengingat dirinya saat ini hanyalah manusia biasa.
"Jangan merendahkan diri sendiri. Kamu hanya tidak memiliki tenaga dalam. Wanita tidak akan memikirkannnya karena kamu memiliki ketampanan dan kekayaan. Di lain itu, kamu juga memiliki kekuatan fisik yang tangguh."
"Sepertinya itu semua tidak cukup, Eyang. Aku tidak pandai mengungkap perasaan. Wanita mana yang mau denganku?"
"Hahaha! Persis seperti ayahmu."
Saat mereka asyik bercengkerama, Surya Yudha menarik tali kekang yang ia pegang hingga bintang-kuda perang miliknya berhenti. Ki Arya Saloka ikut berhenti dan menatap cucunya penasaran.
"Ada apa?" tanya Ki Arya Saloka penasaran.
"Aku mendengar sesuatu, Eyang. Sebentar." Surya Yudha turun dari kudanya dan berjalan ke arah semak-semak.
Ki Arya Saloka yang penasaran ikut turun dan mengikuti Surya Yudha.
"Surya, sebaiknya kita tidak ikut campur."
"Eyang, wanita itu sedang dalam kesusahan, aku harus menolongnya," bisik Surya Yudha.
Tak jauh di depan mereka berdua, terlihat tiga orang pria setengah telanjang sedang mengitari seorang perempuan yang tak berbusana. Wanita itu begitu ketakutan, tetapi tidak ada suara yang keluar karena masing-masing dari tiga orang itu menodongkan clurit.
"Jika begitu, majulah!" ucap Ki Arya Saloka dengan suara tertahan.
Surya Yudha mengangguk, lalu keluar dari tempat persembunyiannya.
"Hentikan!" teriak Surya Yudha saat melihat salah satu dari tiga pria di depannya mulai mendekati tubuh si wanita. Orang yang awalnya sudah dalam posisi jongkok kini berdiri dan mengacungkan clurit pada Surya Yudha.
"Bocah! Mau apa kau?"
Surya Yudha mendengkus. Pemuda itu menarik pedang dan menyerang pria di depannya.
"Orang seperti kalian tidak pantas hidup!" teriak Surya Yudha.
Denting dari pedang dan clurit yang saling berbenturan memekakkan telinga. Dua orang yang awalnya hanya melihat kini maju menyerang Surya Yudha.
Trang!
Tiga orang yang memegang clurit merasa kebas saat beradu senjata dengan Surya Yudha, menandakan jika kekuatan Surya Yudha berada di atas mereka. Berbeda dengan Surya Yudha yang dengan mudah menepis setiap serangan dan memberikan serangan balik.
Kres!
"Argh!" Raungan kesakitan terdengar setelah Surya Yudha memotong pergelangan salah satu penyerang. Orang itu menggeliat di tanah seraya memegang pergelangan tangan yang putus.
Surya Yudha menyeringai, menampakkan wajah haus darah yang selama ini jarang terlihat. Surya Yudha merengsek maju berniat menghabisi orang yang sudah terluka, tetapi niatnya dihalangi oleh dua lawan lainnya yang kembali maju.
Seorang penyerang mengarahkan serangan ke kepala Surya Yudha, sedangkan satu lagi menebas ke arah perut.
"Hanya ini?"
Surya Yudha menendang tangang penyerang yang ingin merobek perutnya hingga terdengar suara tulang patah. Tangan kanannya juga menangkis clurit yang terarah ke kepala dengan pedang. Orang itu mundur beberapa langkah, tetapi Surya Yudha terus mengejar dan menebas kepala orang itu.
Darah menyembur keluar dari leher tanpa kepala yang sedang menggelinjang di tanah seperti ayam yang baru disembelih. Orang itu tewas seketika.
"Aku Surya Yudha! Tak akan membiarkan kebiadaban berdiri di tanah Maja Pura!" teriak Surya Yudha murka. Dua orang lawan yang masih hidup hanya bisa bersujud memohon ampun.
"Ampun ... ampuni kami!"
Surya Yudha mendengkus dan menatap dua orang di depannya dengan tajam. "Kalian sudah cacat. Jika kalian mengulangi ini, aku bersumpah akan membabad keluarga kalian hingga anak cucu habis tak bersisa! Camkan itu!"
Bab 121Surya Yudha menatap ayahnya dengan lembut. Dia sudah memprediksi hal ini akan terjadi dan dia juga sudah menyiapkan jawaban untuk ini. Dengan tenang dia berkata pada Indra Yudha. “Ayah, maaf, untuk saat ini aku belum ingin kembali.”“Kenapa?”“Aku ingin berkelana lebih lama. Ada banyak hal yang ingin aku lihat.”Indra Yudha mengerutkan keningnya hingga alisnya tertaut. “Kau yakin? Dengan kemampuanmu sekarang, kau bisa mendapatkan jabatan yang tinggi.”Surya Yudha mengangguk. “Tentu saja. Aku sudah memikirkan semua ini, Ayah.”“Kau tidak ingin kembali? Kenapa? Jika kau ingin melihat dunia, kau juga bisa melihat dunia saat menjalankan misi, kan?”Surya Yudha menatap Gendon sejenak, lalu tersenyum tipis. “Aku ingin pergi bersama Gendon. Menjelajahi dunia dan menambah pengalaman. Di Nara Artha, aku memang mendapatkan banyak pengalaman bertarung, tetapi tidak untuk pengalaman hidup.”“Kau sudah memikirkannya matang-matang?”“Aku sudah memikirkannya, Ayah. Sejak melihat bagaimana
Bab 120Surya Yudha membeku mendengar ucapan Ki Arya Saloka. Dia menatap Ki Arya Saloka dengan tatapan memohon. Namun, bukannya diam, ki Arya Saloka malah mengatakan sesuatu yang membuat situasi semakin panas.“Wanita pertama yang mengenal Surya mungkin adalah Rengganis. Wanita pertama yang dilamar secara resmi oleh Surya mungkin adalah Ningrum. Namun, aku jamin, wanita pertama yang membuatnya tidak bisa tidur nyenyak adalah Sekar.”Wajah Surya Yudha memerah, dia kembali membayangkan bagaimana moleknya tubuh Sekar saat gadis itu dikelilingi para bandit. Namun, bayangan itu tidak bertahan lama karena Surya Yudha merasakan tatapan mengintimidasi ke arahnya. Dia menoleh dan melihat Rengganis dan Ningrum yang kompak memberikan tatapan tajam.“Kalian jangan salah paham. Aku … aku tidak melakukan apa pun.”Ningrum mendengus. “Kau pikir aku akan percaya?”“Apa kau pikir aku akan percaya setelah kau melakukan hal itu padaku?” ucap Rengganis dengan tatapan tajam.Surya Yudha menunduk, dia ingi
Bab 119Pintu ruang terbuka dengan keras, sosok Ki Arya Saloka yang menggunakan jubah coklat tanah kini berdiri di ambang pintu dengan tatapan tajam jatuh pada Gendon.Gendon yang tidak menyangka gurunya mendengar ucapannya, ketakutan setengah mati. Jika biasanya dia bisa mengalihkan pembicaraan saat gurunya sedang marah, kali ini dia tidak bisa berkutik.“Kau tidak mau menuruti perkataanku, dan kau membicarakanku di belakang, apa kau masih pantas menjadi muridku?”Gendon bisa merasakan kemarahan di setiap ucapan Ki Arya Saloka. Dia bergegas menghampiri gurunya dan menjatuhkan lututnya ke lantai.“Guru, maafin Gendon. Bukan maksud Gendon mau membantah.”Ki Arya Saloka mendengus. “Apa kau pikir berlututmu ini cukup untuk membuatku memaafkanmu?”Gendon mengangkat wajahnya, berusaha bersikap setenang mungkin meski suaranya kini bergetar. “Guru, gendon nerima ajian lumut ini juga bukan tanpa alasan. Kalo gendon punya jatah hidup tak terbatas kan bisa buat bantu-bantu guru juga.”“Kau piki
Bab 118Pasar budak menjadi begitu ramai setelah berita tentang kehancuran kelompok Harimau Besi menyebar ke beberapa kerajaan sekitar. Banyak di antara mereka yang dulu keluarganya diambil paksa oleh kelompok Harimau Besi, datang dengan harapan keluarga mereka menjadi salah satu budak yang masih selamat.Di tengah keramaian tersebut, pasar budak kembali digemparkan dengan kelompok iring-iringan yang membawa bendera kerajaan Nara Artha. Panji-panji pasukan putting beliung berkibar, tanda jika kelompok tersebut berasal dari militer Nara Artha, yaitu pasukan putting beliung.Kuda perang berwarna cokelat berjalan dengan gagah, di atasnya seorang pria patuh baya duduk dengan tenang, tatapan matanya tajam memindai sekitarnya. Hanya dalam sekali lihat, orang-orang isa tahu jika dia bukan sosok biasa.Sementara itu, di dalam penginapan, Surya Yudha sedang duduk bersama Ningrum dan Rengganis. Kedua wanita itu tampak baik-baik saja di permukaan, tetapi di belakang, mereka berdua tidak bisa ber
Bab 117Begitu kalimat tersebut terucap, Maung Bodas mengembuskan napas terakhirnya dalam posisi duduk. Gendon melotot tak percaya, segera bangkit dan mengguncang tubuh Maung Bodas. Namun, tidak ada jawaban, dan saat Gendon memeriksa nadi di pergelangan tangan, tidak ada denyut yang terasa.Gendon menghela napas panjang dan menatap Surya Yudha. “Yah, Den, gimana ini? Padahal belum dibunuh tapi udah meninggal duluan.”Ki Antasena yang awalnya terkesan dengan tindakan Gendon, tidak bisa tidak mendengus kesal.“Kupikir kau peduli dengannya. Ternyata oh ternyata.”“Ya kan perjanjiannya kalo Gendon udah nurunin ajian lumut ini den Bagus bakal bunuh Ki Maung, lha ini belum diapain kok udah meninggal duluan, kan ingkar janji namanya.”Surya Yudha menggelengkan kepala. Dia bahkan sudah kehilangan keinginan untuk membunuh Maung Bodas, bagaimana mungkin Gendon yang mendapat pertolongan dari sosok tersebut malah sangat bersemangat? Dia benar-benar kehabisan kata-kata.“Eh, tapi kita jangan bany
Bab 116Apa yang baru saja Gendon katakan seperti petir di telinga Ki Arya saloka. Tubuhnya gemetar karena marah. Dia menoleh, menatap muridya itu dengan mata memerah.“Apa yang kau katakan?”Gendon menunduk, lalu kembali menatap gurunya dengan ragu-ragu. “Gendon mau, Guru. Gendon harus hidup untuk mencapai cita-cita Gendon.”Ki Arya Saloka menggertakkan giginya. “Kau adalah murid tunggal Arya Saloka, tabib terbaik di tanah majapura, kau masih khawatir tidak bisa mencapai cita-citamu itu?”Gendon mencoba mengubah posisi duduknya menjadi bersimpuh. “Guru, Gendon sudah pernah baca tentang racun tulang putih. Gendon tau kalo racun itu sangat berbahaya meski tidak langsung matiin Gendon.”“Kau meragukan kemampuanku?”“Gendon mana berani, Guru?”“Lalu kenapa kau mengatakan itu?”Gendon mengangkat wajahnya, matanya sudah memerah. “Gendon … Gendon Cuma takut. Gendon tau efek racun itu. tulang-tulang Gendon akan serapuh kapur, kalo apes, Gendon bakal mati dengan tubuh lemes tanpa bentuk. Kal







