"Cilla tidur bersamaku, ya, Yul?" tanya Aira pada Yulia. Kini mereka baru selesai menunaikan shalat isya berjamaah dengan Maulida. Sedangkan Alan, memilih shalat ke mesjid. "Tidak usah, Mbak," jawabnya dengan sungkan."Tidak apa-apa, biar Cilla malam ini tidur denganku. Aku ingin merasakan menjadi ibu di malam hari. Waktu itu kan aku sudah merasakan pada siang hari," jawab Aira disertai cengiran khasnya. Lagi-lagi itu yang Aira jadikan alasan. Jika sudah begitu, bagaimana Yulia bisa menolak? Toh, kini Cilla bukan hanya anaknya, kan?"Tapi ... nanti Mbak kerepotan, loh." "Enggak, Yul. Malah aku bakalan senang kalau kamu izinkan. Ya, boleh, ya?" Aira menampilkan wajah memelas, membuat Yulia menelan ludah. "B-baiklah." "Asyik, makasih, Yul. Aku janji bakalan jadi ibu yang baik buat Cilla." Yulia menanggapi dengan senyuman kikuk. Ia bukan anak kecil yang tak mengerti maksud terselubung dibalik permintaan Aira itu. Tapi ia benar-benar tak habis fikir, bagaimana bisa ada istri yang sa
Merasa tak kuat lagi, Yulia pun bangkit dengan cepat dan mengatur deru nafasnya yang sempat memburu. Ia takut, ia cemas, ia juga tak berani melakukannya. Alan hanya milik Aira, itu tekad di hatinya."Mas!" Yulia membalikkan badan, menatap Alan yang kini sudah menjadi suaminya itu dengan tatapan datar. "Jangan!" Satu kata itu berhasil membuat Alan heran. Ia menatap istri mudanya itu dengan penuh tanya. "Jangan lakukan ini. Saya ... Saya tahu Mas sangat mencintai Mbak Aira. Saya juga sudah sangat berdosa padanya. Saya tidak mau menambah lukanya."Alan masih membisu, ia berusaha mencerna apa yang dikatakan Yulia dan mencari kesungguhan dalam sorot matanya."Saya sudah sangat berterima kasih dengan Mas Alan menikahi saya. Menanggung semua kebutuhan saya dan Cilla, dan menganggap kami yang sebatang kara ini sebagai bagian dari keluarga Mas Alan. Sungguh, seperti ini pun saya sudah terlalu benyak berhutang dan sekaligus berdosa pada kalian. Saya hanya ingin hidup nyaman dan normal seperti
Pagi hari telah tiba. Setelah melakukan sarapan bersama, semua orang pun beralih melakukan aktifitas masing-masing. Maulida langsung pamit karena ia tak bisa lama-lama meninggalkan Uminya. Sedangkan Alan langsung berangkat ke kantor. "Mbak, saya saja yang nyuci," ucap Yulia saat Aira mengangkut pakaian-pakaian kotor ke belakang.Aira yang hendak menjawab malah terpaku menatap Yulia. Rambut wanita itu terlihat kering, tak terlihat tanda-tanda orang telah keramas. "Yul, apa kamu ... emm ... semalam ... " Aira bingung bagaimana cara menanyakannya. Tentu saja ia segan. Tetapi, ternyata Yulia sudah mengerti apa yang dimaksud Aira. Ia langsung memegang rambutnya. Lalu terlihat berfikir keras untuk membuat sebuah alasan."Ooh ... Ini ... Sudah kering, Mbak." Sebisa mungkin Yulia mengatakannya dengan hati-hati. Ia serba salah. Takut menyakiti hati Aira, tetapi ternyata wanita itu juga yang malah bertanya. Dengan terpaksa Yulia bersikap seolah memang telah terjadi sesuatu semalam. Walau seben
"Saya masih banyak pekerjaan, Bu. Saya harus menyapu halaman. Mbak Aira yang nyuruh saya." "Lalu? Kamu mau protes, iya?" Vina tersenyum sinis. Lalu berteriak. "Airaaa ... Aira ..." Aira keluar kamar, ia pun mendatangi suara keributan di ruang tamu dengan kebingungan."Ibu? Kenapa berteriak?" tanyanya dengan kening berkerut. Ia memandang Yulia dan Vina bergantian."Lihat wanita sok polos ini! Ternyata apa yang Ibu curigai selama ini itu benar, Aira. Wanita ini tak sepolos penampilannya. Dia ingin enak-enak saja di rumah ini. Dia ingin seperti nyonya. Dia ingin menguasai rumah ini." Aira semakin mengernyit, ia memandang Yulia yang tanpa ekspresi itu. "Ada apa sebenarnya, Bu?" tanya Aira."Ibu menyuruhnya membersihkan kamar yang akan Ibu tempati. Tetapi dia menolak. Sepertinya dia sudah mulai besar kepala dengan menjadi bagian dari keluarga ini." "Yuli, kamu jangan seperti itu, ini juga ibu kamu. Kamu bersihkan kamarnya, ya, sekarang?" ucap Aira semakin membuat Yulia menyangka adanya
Setiap hari, baik Yulia maupun Aira sama-sama kompak mengurusi segala keperluan rumah maupun lainnya. Aira selalu membantu Yulia, dan Yulia pun selalu membantu pekerjaan Aira. Mereka memang sangat cocok. Jika saja tidak ada Vina di antara mereka. "Awas, bersihinnya yang bener. Jangan sampai masih kotor." Vina mengawasi Yulia yang sedang mengepel lantai, wanita paruh baya itu terus saja mengoceh. Namun, dengan sabar Yulia menurut saja tanpa mengatakan sepatah kata pun. Hal ini jadi pemandangan yang biasa semenjak kedatangan Vina. Alan selalu merasa kasihan, ia juga sudah berusaha menjelaskan pada Vina bahwa Yulia tak seperti yang ia kira. Tetapi, Vina tak ingin mendengar. Baginya, Yulia adalah wanita licik yang berniat menguasai Alan dan semua hartanya. Ia terus menyangka kalau semua kebaikan Yulia yang terlihat oleh semua orang itu tidak tulus."Ibu, sudah dong. Selama ini Yulia selalu mengerjakan semuanya dengan baik. Tidak perlu terus diperingatkan seperti itu." Aira yang sedang me
"A-apa maksud Mas?" "Jawab saja. Apa kamu selama ini menganggap Mas suami kamu?" Yulia membuang muka, dia menyelipkan rambut yang sebagian menghalangi wajahnya. Yulia bingung dengan sikap Alan yang tiba-tiba saja berubah."Jawab, Yulia." Alan memegang kedua bahu wanita itu, membuat mereka saling menatap. Yulia terkejut dengan sikap Alan. Ia yang masih tak mengerti apa maksud suaminya itu menatap kedua mata hitam Alan dengan penuh tanya. Melihat sorot kebingungan dari kedua mata Yulia, Alan melepaskan pegangannya dan menghembuskan nafas dengan kasar. Dalam hati, ia merutuki dirinya sendiri yang tak bisa mengendalikan emosi. Yulia masih terus menatap Alan dengan penuh tanya, namun ia tak berani bertanya lebih. "Sudah, lupakan saja. Bagaimana kata dokter tadi?" Yulia mengerjapkan matanya berkali-kali, lalu memalingkan wajahnya. "Cilla baik-baik saja. Kata dokter hanya demam biasa." "Apa kata Mas juga. Cilla tidak akan kenapa-napa. Kita pulang saja, yuk? Nanti Aira akan membantu kamu
Esok harinya, Yulia tak bisa melakukan pekerjaan rumah seeprti biasa karena Cilla yang masih terus rewel. Ia tidak mau di turunkan dari gendongan. Jadi, Aira lah yang melakukan semuanya. Dari mulai membuat sarapan, sampai membereskan rumah. "Kamu kok sibuk sendiri, Ra? Mana pelakor itu?" tanya Vina yang baru memasuki ruang makan.Aira yang sedang menata sarapan di meja menoleh sejenak. "Siapa maksud Ibu?" tanyanya. Walau Aira sudah mengerti maksud Vina, tetapi ia tak menyukai sebutan yang Vina sematkan pada adik madunya itu."Siapa lagi kalau bukan Yulia?"Aira menghela nafas. Baru saja ia hendak menjawab ucapan Vina, Alan datang dan menyelanya."Yulia mana, Dek?" tanya Alan setelah celingukan. "Itu, Yulia sibuk, Mas. Cilla tidak mau ditinggal. Maunya digendong terus." "Masih panas?""Tadi udah mendingan, sih, Mas. Tapi mungkin tinggal rewelnya aja." Alan pun mengangguk mengerti. "Nanti kamu bantu dia, ya?" ucap Alan. "Aduh Alan, kamu ini kenapa sih terus ngerepotin Aira? Biarin
Mengingat pesan Alan, Yulia yang melihat Cilla masih tertidur dengan nyenyak pun mengambil posisi berniat untuk memejamkan matanya walau sedetik. Ia merasa lelah, dan kepalanya sedikit sakit. Mungkin ia memang kurang tidur dan kurang makan juga."Yuliiaaa ... Yuliaaaa ...."Baru saja Yulia menutup mata, suara lengkingan Vina membuatnya bangun. Yulia menepuk-nepuk tubuh Cilla yang sedikit menggeliat mendengar teriakan Vina. Takut Vina berteriak kembali, ia pun segera ke luar dari kamar untuk mendatanginya."Iya, Bu?" tanyanya dengan lesu."Kamu kok jam segini masih, iihh ... Gak bisa ngurus diri sekali. Rambut acak-acakan, wajah juga kusam sekali. Mana mungkin Alan bisa suka sama kamu?" ucapnya membuat Yulia memegangi rambutnya. "Heh! Kamu ngapain aja, sih, di kamar? Ini sudah siang. Ayo kerja."Yulia mengedarkan pandangan ke sekeliling. Semuanya terlihat sudah bersih. "Kerja apa, Bu?" tanyanya."Malah nanya, lagi. Cepat setrikain baju-baju yang sudah menumpuk di ruang gosok." Yuli