"Saya masih banyak pekerjaan, Bu. Saya harus menyapu halaman. Mbak Aira yang nyuruh saya." "Lalu? Kamu mau protes, iya?" Vina tersenyum sinis. Lalu berteriak. "Airaaa ... Aira ..." Aira keluar kamar, ia pun mendatangi suara keributan di ruang tamu dengan kebingungan."Ibu? Kenapa berteriak?" tanyanya dengan kening berkerut. Ia memandang Yulia dan Vina bergantian."Lihat wanita sok polos ini! Ternyata apa yang Ibu curigai selama ini itu benar, Aira. Wanita ini tak sepolos penampilannya. Dia ingin enak-enak saja di rumah ini. Dia ingin seperti nyonya. Dia ingin menguasai rumah ini." Aira semakin mengernyit, ia memandang Yulia yang tanpa ekspresi itu. "Ada apa sebenarnya, Bu?" tanya Aira."Ibu menyuruhnya membersihkan kamar yang akan Ibu tempati. Tetapi dia menolak. Sepertinya dia sudah mulai besar kepala dengan menjadi bagian dari keluarga ini." "Yuli, kamu jangan seperti itu, ini juga ibu kamu. Kamu bersihkan kamarnya, ya, sekarang?" ucap Aira semakin membuat Yulia menyangka adanya
Setiap hari, baik Yulia maupun Aira sama-sama kompak mengurusi segala keperluan rumah maupun lainnya. Aira selalu membantu Yulia, dan Yulia pun selalu membantu pekerjaan Aira. Mereka memang sangat cocok. Jika saja tidak ada Vina di antara mereka. "Awas, bersihinnya yang bener. Jangan sampai masih kotor." Vina mengawasi Yulia yang sedang mengepel lantai, wanita paruh baya itu terus saja mengoceh. Namun, dengan sabar Yulia menurut saja tanpa mengatakan sepatah kata pun. Hal ini jadi pemandangan yang biasa semenjak kedatangan Vina. Alan selalu merasa kasihan, ia juga sudah berusaha menjelaskan pada Vina bahwa Yulia tak seperti yang ia kira. Tetapi, Vina tak ingin mendengar. Baginya, Yulia adalah wanita licik yang berniat menguasai Alan dan semua hartanya. Ia terus menyangka kalau semua kebaikan Yulia yang terlihat oleh semua orang itu tidak tulus."Ibu, sudah dong. Selama ini Yulia selalu mengerjakan semuanya dengan baik. Tidak perlu terus diperingatkan seperti itu." Aira yang sedang me
"A-apa maksud Mas?" "Jawab saja. Apa kamu selama ini menganggap Mas suami kamu?" Yulia membuang muka, dia menyelipkan rambut yang sebagian menghalangi wajahnya. Yulia bingung dengan sikap Alan yang tiba-tiba saja berubah."Jawab, Yulia." Alan memegang kedua bahu wanita itu, membuat mereka saling menatap. Yulia terkejut dengan sikap Alan. Ia yang masih tak mengerti apa maksud suaminya itu menatap kedua mata hitam Alan dengan penuh tanya. Melihat sorot kebingungan dari kedua mata Yulia, Alan melepaskan pegangannya dan menghembuskan nafas dengan kasar. Dalam hati, ia merutuki dirinya sendiri yang tak bisa mengendalikan emosi. Yulia masih terus menatap Alan dengan penuh tanya, namun ia tak berani bertanya lebih. "Sudah, lupakan saja. Bagaimana kata dokter tadi?" Yulia mengerjapkan matanya berkali-kali, lalu memalingkan wajahnya. "Cilla baik-baik saja. Kata dokter hanya demam biasa." "Apa kata Mas juga. Cilla tidak akan kenapa-napa. Kita pulang saja, yuk? Nanti Aira akan membantu kamu
Esok harinya, Yulia tak bisa melakukan pekerjaan rumah seeprti biasa karena Cilla yang masih terus rewel. Ia tidak mau di turunkan dari gendongan. Jadi, Aira lah yang melakukan semuanya. Dari mulai membuat sarapan, sampai membereskan rumah. "Kamu kok sibuk sendiri, Ra? Mana pelakor itu?" tanya Vina yang baru memasuki ruang makan.Aira yang sedang menata sarapan di meja menoleh sejenak. "Siapa maksud Ibu?" tanyanya. Walau Aira sudah mengerti maksud Vina, tetapi ia tak menyukai sebutan yang Vina sematkan pada adik madunya itu."Siapa lagi kalau bukan Yulia?"Aira menghela nafas. Baru saja ia hendak menjawab ucapan Vina, Alan datang dan menyelanya."Yulia mana, Dek?" tanya Alan setelah celingukan. "Itu, Yulia sibuk, Mas. Cilla tidak mau ditinggal. Maunya digendong terus." "Masih panas?""Tadi udah mendingan, sih, Mas. Tapi mungkin tinggal rewelnya aja." Alan pun mengangguk mengerti. "Nanti kamu bantu dia, ya?" ucap Alan. "Aduh Alan, kamu ini kenapa sih terus ngerepotin Aira? Biarin
Mengingat pesan Alan, Yulia yang melihat Cilla masih tertidur dengan nyenyak pun mengambil posisi berniat untuk memejamkan matanya walau sedetik. Ia merasa lelah, dan kepalanya sedikit sakit. Mungkin ia memang kurang tidur dan kurang makan juga."Yuliiaaa ... Yuliaaaa ...."Baru saja Yulia menutup mata, suara lengkingan Vina membuatnya bangun. Yulia menepuk-nepuk tubuh Cilla yang sedikit menggeliat mendengar teriakan Vina. Takut Vina berteriak kembali, ia pun segera ke luar dari kamar untuk mendatanginya."Iya, Bu?" tanyanya dengan lesu."Kamu kok jam segini masih, iihh ... Gak bisa ngurus diri sekali. Rambut acak-acakan, wajah juga kusam sekali. Mana mungkin Alan bisa suka sama kamu?" ucapnya membuat Yulia memegangi rambutnya. "Heh! Kamu ngapain aja, sih, di kamar? Ini sudah siang. Ayo kerja."Yulia mengedarkan pandangan ke sekeliling. Semuanya terlihat sudah bersih. "Kerja apa, Bu?" tanyanya."Malah nanya, lagi. Cepat setrikain baju-baju yang sudah menumpuk di ruang gosok." Yuli
"Dasar wanita gak becus! Pelakor!" Yulia hanya diam menunduk. Lagi-lagi gelar itu yang Vina gunakan untuk menyebutnya. "Heran saya sama nasib baik kamu. Kamu gak cantik, gak seksi, gak pintar, dan gak becus apa-apa. Tapi berhasil menjerat Alan untuk menikahimu. Atau mungkin benar, palkor itu gak perlu cantik. Yang penting punya otak licik kaya kamu!" Yulia tetap diam membisu. Hanya Cilla yang mulai merengek dan menarik-narik rambut Yulia. Mungkin bayi itu ikut merasakan apa yang sedang terjadi pada ibunya.Aira langsung meraih Cilla dari pangkuan Yulia. Aira menggendong Cilla. Dan Vina tak melarangnya. "Sudahlah, Bu. Jangan berlebihan seperti itu." "Ya gak bisa. Kesalahan sedikit di maafkan nanti ke depannya dia bakalan membuat masalah yang lebih besar lagi. Hah! Kamu bikin saya naik darah terus, Yulia. Gak ada gunanya kamu nampung wanita ini, Aira."Vina langsung melenggang pergi setelah menggebrak pintu. "Ya Allah, Ibu ... " lirih Aira sambil terus menggendong Cilla."Yul, kam
"Ya. Karena Mas tak bisa membiarkannya," ucap Alan berhasil membuat Aira merubah raut wajahnya."Izinmu memang penting bagi Mas. Tapi Mas juga tidak akan diam saja karena kau tak mengizinkan. Bagaimana, ya, rasanya Mas tidak bisa meninggalkan Yulia, Dek, walau tidak ada perasaan spesial apapun terhadapnya. Mas merasa tak berdaya di hadapannya, Mas merasa tidak bisa menghindarinya. Entahlah, Mas juga bingung."Aira tersenyum kecut. Hatinya merasa sedikit tercubit mendengar pengakuan Alan."Jadi Mas minta, tolong kamu berjanji untuk selalu berada di sisi Mas selamanya, membantu meringankan beban Mas, dan selalu akur dengan Yulia. Mas tidak akan bisa memilih antara kamu dan Yulia jika saja suatu saat kamu mendesak Mas untuk memilih. Kamu sangat Mas cintai. Tetapi Yulia, Mas merasa mempunyai tanggung jawab yang besar terhadapnya. Tetaplah akur, walau apapun yang terjadi. Kita sudah terlanjur terjun ke dalam tantangan ini, dan Mas tidak mau kamu, ataupun Yulia menyerah dalam menjalani semu
"Ya ampun! Jam segini belum bangun!" pekik Vina."Heh! Bangun!"Yulia yang sebenarnya tidak tidur pun membuka matanya, ia bangkit dari kasur dan menoleh dengan malas. "Ada apa, Bu?" tanyanya."Ada apa, ada apa. Ini sudah siang, Yuli! Bangaun, kamu! Beresin rumah!" ucap Vina dengan jengkel."Kan ada Mbak Aira?" tanya Yulia dengan ketus. Vina langsung berkacak pinggang mendapatkan sikap acuh Yulia. Aira sendiri melongo tak percaya, kenapa Yulia tiba-tiba seperti ini?"Aira, Aira. Kamu yang harus gerak sekarang. Aira sudah buatin sarapan, menyapu, dan mencuci piring. Lah, kamu? Malah tiduuur aja kerjaannya." Yulia menggaruk lehernya. Ia sama sekali tak menggubris cerocosan Vina. Vina yang merasa tak dihormati dengan sikap Yulia itu langsung naik pitam. Ia menarik tangan Yulia ke luar kamar, sedangkan Aira tercengang dan mengikuti keduanya. Vina membawa Yulia ke kamar mandi."Tuh! Cuci sekarang," ucap Vina sambil menunjuk keranjang yang penuh dengan baju kotor miliknya, Aira, dan Alan