Share

PTSI 6

last update Last Updated: 2024-09-01 15:27:43

LIMA TAHUN RUMAH TANGGA KAMI BAHAGIA, TIBA-TIBA SUAMI MENGAJUKAN PERMOHONAN TALAK. KUKIRA KARENA TAK KUNJUNG HADIRNYA BUAH HATI, TERNYATA ....

Hari itu, hidup keduanya terasa kelabu, seperti cuaca pagi ini.

Mendung, meski tak pula hujan.

Keputusan keduanya adalah kembali bersama, dan Fandi akan mengakhiri semua dengan Indah.

“Mas berangkat kerja dulu.” Dikecupnya kening Irena.

Di mana sang istri masih berbaring tak bersemangat untuk melakukan aktifitas.

Matanya sayu, sembab.

Irena mengabaikan panggilan sang suami saat dirinya akan berangkat kerja.

Wanita cantik itu terus mengusap perutnya yang rata.

“Maafkan bunda, Sayang. Kehadiranmu diiringi tangis pilu bunda.” Irena kembali melow, wanita hamil itu memang sedang sensitif perasaannya.

*

Fandi menghela napas kala mengetahui Indah yang tak masuk kerja.

“Ke mana dia?” tanya Fandi para anak magang lain.

Tentunya mereka mengetahui hubungan Indah dan Fandi.

“Katanya sih sakit,” jawab sang anak magang itu.

Fandi meraup wajahnya kasar, dirinya susah payah memohon pada Irena untuk bisa bersamanya lagi.

Keputusannya yang begitu gegabah membuat rumah tangga runyam.

“Seharusnya aku membuat Irena bahagia kala kehadiran jabang bayi. Ya Allah, jahatnya aku!” Fandi mengusap dadanya.

Seharian itu, Fandi tak bisa konsentrasi pada pekerjaannya.

Pikirannya bercabang antara Irena dan Indah.

Terlebih, Indah mengirim pesan pada Fandi.

[Mas, ke tempatku. Ada hal yang harus kita bicarakan]

Begitulah pesan Indah.

Fandi yang bertekad mengakhiri semua, memilih menemui Indah di kediamannya.

Gadis itu menunggu di ruang depan. Wajahnya pucat dengan riasan yang sepertinya tak dihapus dari kemarin.

Indah begitu berantakan.

“Ndah,” panggil Fandi iba.

“Mas!” Indah langsung memeluk Fandi erat, tangisnya tak tertahan.

“Jangan tinggalkan aku. Aku tak sanggup rupanya jika berpisah darimu,” pinta Indah menghiba.

Fandi menggenggam erat tangan Indah yang terasa panas.

“Indah, kamu—”

Fandi tak berkata lagi, saat itu tubuh Indah luruh.

Gadis itu demam tinggi.

Mau tak mau Fandi pun memanggil beberapa teman Indah yang ternyata bekerja di kantor yang sama.

“Tolong urus dia.” Fandi memberi obat yang sudah dia beli di apotek.

“Mas Fandi gak nungguin Indah?” tanya seorang teman Indah.

“Gak, saya harus pulang.” Fandi berlalu begitu saja.

Saat mobilnya sudah menjauh dari tempat tinggal Indah, ponsel Fandi berdering.

Senyumnya lebar, saat tahu sang istri yang menghubungi.

“Halo Sayang,” sapa Fandi mesra.

“Halo, Mas … Umi dan Fera di rumah. Segeralah pulang, jangan singgah ke tempat lain dulu.” Suara Irena pelan, tetapi begitu mengandung makna bagi Fandi.

“Siap Ibu Bos!”

*

Irena tak menyangka, siang itu di kala dirinya merenung di kamar. Sang asisten rumah tangga mengetuk pintu kamarnya.

Dengan malasnya Irena beranjak.

“Ada apa?” tanya Irena ketus.

“Maaf, Nyonya. Di bawah ada mertua Nyonya bersama Ipar Nyonya, Mbak Fera.” Asisten rumah tangga yang kerap dipanggil Mbok itu bergegas turun dan menyiapkan hidangan tanpa menunggu perintah dari Irena.

Wanita cantik itu segera mengganti pakaiannya dengan dress cantik serta menggunakan make up tipis. Bibirnya dipoles lipstik merah kesukaannya.

Parfum kesukaannya pun menambah meyakinkan penampilan Irena.

“Assalamualaikum, Nak Mantu. Ya Allah, umi pangling Nak. Kamu semakin cantik saja,” sapa sang mertua.

Dipeluknya Irena dengan erat, layaknya ibu dan anak.

“Wa’alaikumsalam Umi, alhamdulillah Irena sama Mas Fandi sehat. Rejeki lancar, semua karena doa Umi yang tak putus untuk kami.” Irena menuntun mertuanya duduk di sofa empuk.

Disapanya Fera juga Wisnu, sepasang suami istri.

“Mbak makin cantik saja, Fera jadi pengen bisa bersolek kayak Mbak,” puji sang adik ipar.

Di depan mereka semua, Irena bisa menyembunyikan pilu hatinya.

Dirinya tersenyum, tertawa, bahkan heboh kala mendengar cerita mertua dan adik iparnya.

“Apa umi merepotkan, Nak? Datang gak bilang-bilang?” Mertua Irena mengusap punggung tangan sang menantu.

“Gak Um, lagian Irena juga lagi istirahat,” tanggap Irena lemah lembut.

“Umi gak tenang, sudah tiga hari ini umi gak bisa tidur. Jika tertidur pun selalu bermimpi buruk. Umi bermimpi, menantu umi yang cantik ini tengah menangis seorang diri.” Diusapnya pipi Irena.

“Hm, mungkin karena ada dia.” Irena menunjuk ke arah perutnya.

Membuat heboh mertua dan sang ipar. Saat yang sama, ibu dan ayah Irena datang setelah mendengar kabar dari Irena mengenai kedatangan sang mertua.

“Besan, bagaimana kabarnya? Kenapa gak bilang kalau mau kemari. Biar saya yang jemput.” Begitulah akrabnya orang tua Irena dan orang tua Fandi.

Meski berbeda status sosial, tak membuat keluarga Irena membedakan keluarga Fandi.

Meski memang Irena lebih condong ke keluarganya sendiri.

Mereka bersiap makan malam, di saat yang sama Fandi datang dan langsung memeluk ibunya.

Bertemu dengan sang ibu, serta mendengar alasan ibunya rela jauh-jauh datang ke kota tempat dirinya tinggal. Membuat hati Fandi terenyuh.

Kembali rasa sesal telah menyakiti Irena mencuat. Kala dilihatnya sang istri begitu baik pada ibunya.

Di mana setiap ucapan sang ibu, selalu ada doa yang terselip untuk kebahagiaan mereka.

“Makan yang banyak, Calon Ayah.” Fandi terkejut kala ayah Irena menepuk pundak Fandi.

Senyumnya lebar dan begitu tampak bahagia. Bagaimanapun menimang cucu adakah keinginan kedua orang tua Irena.

Sayangnya, kebahagiaan itu hanya berlaku di luar kamar sepasang suami istri pemilik rumah.

Di dalam kamar, Irena kembali diam dan memberi ponselnya pada Fandi.

“Lihat ini! Jadi ini yang membuat kamu merasa hidup berwarna itu? Dikirim poto menggugah h@srat kelelakianmu. Begitu, Mas?” Irena kembali menitikkan air mata.

“Aku kira kamu serius ingin kita kembali bersama, tapi dengan menemui Indah serta peduli padanya terus. Percuma kamu cabut ajuan permohonan talak itu Mas. Percuma!” Wanita itu benar-benar hancur.

Andai tak ada mertua di kediamannya sekarang. Irena ingin menjerit dan melampiaskan amarahnya.

“I—ini,” ucap Fandi terbata-bata.

Foto seksi Indah dan foto bu gilnya dikirim Indah ke nomor W******p Irena.

Nekad!

Fandi tak bisa mengelak, dirinya tak menyangka Indah senekad itu.

Fandi diam seribu bahasa, tak bisa mengelak dan tak mampu mengatakan iya.

Membuat kamar itu hening, Irena meringkuk di ranjang tanpa suara. Meski hatinya sakit dan air matanya tak henti mengalir.

Tak ingin menambah masalah, Fandi keluar dari kamar dan menuju ke arah dapur. Lelaki tampan itu meneguk air putih hingga habis satu gelas.

Rasanya haus, tenggorokannya kering hingga tak bisa berkata apa pun.

Fandi menghela napas panjang berkali-kali. Saat dirinya hendak kembali ke kamar, sang ibu keluar dari kamar yang dihuninya.

“Belum tidur?” tanya sang ibu.

Fandi tersenyum dan menjawab, “Belum, Umi sendiri … kenapa belum tidur?”

Tak dijawabnya pertanyaan sang anak. Wanita berumur enam puluh tahun itu mengajak Fandi duduk di luar, di taman yang terdapat ayunan dekat kolam renang.

“Apa terjadi sesuatu pada rumah tanggamu, Nak?” tanya sang ibu lembut.

“Umi—”

“Irena memang tersenyum, tapi sorot matanya tampak terluka. Ada apa sebenarnya?” Ibu Fandi mengusap punggung sang anak meski dicecarnya dengan banyak pertanyaan.

Pengabdian Terakhir Seorang Istri

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Pengabdian Terakhir Seorang Istri    Season 2 (1)

    Di Jakarta, kehidupan keluarga Moon berubah ketika Irena dan Carlos memutuskan untuk kembali ke Indonesia setelah lama tinggal di Jerman. Kembali ke tanah air bukanlah keputusan yang mudah bagi Carlos, seorang dokter spesialis yang bekerja di salah satu rumah sakit terkenal di Jerman. Namun, permintaan dari orang tua Irena agar mereka pulang dan menetap di Indonesia menjadi dorongan utama untuk perubahan besar ini. Meski Carlos sempat ragu, kecintaannya pada keluarga membuatnya akhirnya setuju untuk bekerja di rumah sakit swasta di Jakarta. Irena, seperti biasa, tetap menjadi ibu rumah tangga. Itu adalah kesepakatan yang dibuat sejak awal pernikahan mereka, sebuah perjanjian yang Carlos pinta agar Irena dapat lebih fokus pada Alana, anak mereka. Namun, kehidupan baru di Indonesia membawa beberapa pertanyaan dalam benak Alana, yang kini beranjak sepuluh tahun. Di sekolahnya yang baru, Alana berteman dengan Aldo Moon, seorang anak laki-laki yang bersekolah di tempat yang sama. Kebetula

  • Pengabdian Terakhir Seorang Istri    Ending ss 1

    Saat itu, keluarga Irena begitu panik dan bergegas membawa Musda ke rumah sakit.Musda melahirkan secara normal, bayi berjenis kelamin laki-laki itu begitu lucu dan sangat mirip Roy.Tangis Roy pecah kala menggendong bayinya pertama kali, tangannya gemetar begitu pun suaranya kala mengadzani sang bayi mungil.“Mbak, beri anak Roy nama. Kami berdua sudah sepakat agar Mbak Irena yang memberi nama untuk bayi kami,” ujar Roy.Irena yang tengah menggendong Alana, kini menyerahkan Alana yang manja pada Carlos sedang dirinya mendekat ke arah bayi yang menggeliat dalam dekapan Roy.“Ren, jangan lupa sematkan nama ayah.” Sosok lelaki yang kini menggendong Aldo, sempat-sempatnya mengingatkan sang anak agar menyematkan namanya.Irena mengangguk, “Tentu Ayah.”Wanita cantik itu mengusap pipi dan pucuk kepala bayi yang masih terpejam dan tenang dalam buaian sang ayah.“Ada nama yang ingin disematkan dari kalian?” tanya Irena pada Roy dan Musda.“Muhamad, Roy dan Musda berharap Mbak menyematkan jug

  • Pengabdian Terakhir Seorang Istri    50

    “Innalilahi wa innailaihi Raji'un.” “Ada apa?” Carlos mendekat begitu mendengar sang istri berucap.“Fera,” sahut Irena pelan.***Wanita yang tengah mengandung itu masih mengerang kesakitan, selain menyebut nama Allah … dirinya hanya menyebut nama Irena, di mana keadaannya dalam setengah sadar.Fera, wanita cantik yang sedang mengandung itu mengalami kemalangan.Kandungannya yang sudah menginjak usia matang untuk lahir. Kini bermasalah dan harus segera dilarikan ke rumah sakit berkat rujukan bidan setempat.Maka berangkatlah mereka dengan ambulance milik desa.Ambulance yang membawanya hendak ke rumah sakit terdekat, mengalami kecelakaan beruntun di jalan raya. Imbas dari pengguna jalan yang tak sabar dan hendak menyalip ambulans tersebut.Wisnu dan kedua anak kembarnya tak selamat, ajaibnya Fera yang terpental dari ambulans selamat meski dalam keadaan bersimbah darah.Para pengguna jalan yang menolong, segera membawa wanita hamil itu ke rumah sakit. “To—tolong hubungi Mbak Irena,”

  • Pengabdian Terakhir Seorang Istri    49

    Pagi ini Irena terjaga di tempat tidur bersama sosok lain yang kini menjadi imamnya.Semalam, selesai acara resepsi … keduanya memulai sholat berjamaah.Hal yang dulu hanya Irena lakukan bersama sang mantan. Bahkan, sebelum perpisahan itu terjadi … Irena melakukan sholat berjamaah bersamanya.Kini, senyum Irena begitu merekah kala meraih koko serta sarung untuk sang imam.Wajahnya yang masih basah oleh air wudhu, menambah ketampanan yang hakiki. Ya, begitulah kata hati Irena.Setelah sholat berjamaah, keduanya bersiap untuk sarapan bersama keluarga Irena. Ya, mereka masih tinggal di rumah orang tua Irena. Bukan tak mau tinggal terpisah, tetapi Irena dan Carlos akan kembali ke Singapure. Di mana tempat itu sudah menjadi rumah bagi keduanya.“Hari ini jadi ke panti?” tanya Carlos pagi itu.Irena mengangguk, “Katanya Indah sakit, jadi gak bisa hadir di pernikahan kita.”“Ckckck, Mbak ini … masih saja begitu peduli sama dia,” celetuk Rani.“Sttt, gak baik begitu ah.” Sang suami mencubit

  • Pengabdian Terakhir Seorang Istri    48

    Pengajian Akbar hari itu tak sepenuhnya didengar oleh Irena. Hatinya terasa kacau dan bimbang.Namun, kepalanya yang tertunduk tiba-tiba terangkat kala mendengar kutipan kalimat yang diucapkan oleh pendakwah kondang tersebut.“Janganlah kau ragu akan janji Allah. Pasrahkan dirimu pada-Nya dan yakinlah jika skenario Allah itu indah dan paling terbaik untukmu. Ingat … jodoh, maut, dan rejeki merupakan rahasia Allah yang sudah ditetapkan untuk kita. Bersabarlah, ikhlas, dan selalu tawakal.” Kata-kata pendakwah itu menyejukkan hati wanita cantik tersebut.‘Ya Allah, hamba berserah pada-Mu,’ batin Irena.Satu jam kajian, akhirnya selesai dengan baik. Irena sudah tak ambil pusing kala dua wanita tadi masih berceloteh dan berangan-angan tentang Carlos.Dirinya bahkan tersenyum dan menyapa keduanya kala keluar dari tempat kajian terlebih dahulu.Baru saja keluar, tiba-tiba ujung hijabnya ditarik seseorang.“Eh,” celetuk Irena.Wanita cantik itu menoleh dan mendapati pria tampan berkoko putih

  • Pengabdian Terakhir Seorang Istri    47

    “Roy? Kamu ngapain ke sini?” Irena tercengang, kala melihat sang adik yang garuk-garuk kepala menanggapi perkataannya.“Anu … mau sunat, hehehe!” Roy berbisik pelan ke telinga sang kakak, tak hanya itu … di ujung sana ayah dan ibunya turut datang.“Dianter Mamah?” tanya Irena lagi.“Hm, takut sakit.”Kini, Roy mengaduh karena Irena memukul punggungnya sembari tak henti mengomel.Kini, di sinilah mereka. Ada ayah dan ibu Irena yang duduk dekat Roy. Irena sendiri duduk di samping Carlos yang terus beristighfar.Kala menunggu itu, Roy menerima panggilan telepon dan sempat tersenyum manis.“Dari siapa?” tanya Irena penasaran.“Bidadari,” sahut Roy singkat.Tak sempat Irena mengulik lebih dalam, Roy meminta ijin untuk keluar terlebih dahulu.Kebetulan masih antrean anak-anak yang dikhitan.“Mah, kok Roy minta disunat sekarang?” Irena yang kini duduk di samping sang ibu menggantikan Roy, berbisik pelan demi satu jawaban.Wanita yang sudah berumur itu tersenyum dan mengusap pipi sang anak su

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status