Share

PTSI 7

last update Huling Na-update: 2024-09-01 15:28:31

LIMA TAHUN RUMAH TANGGA KAMI BAHAGIA, TIBA-TIBA SUAMI MENGAJUKAN PERMOHONAN TALAK. KUKIRA KARENA TAK KUNJUNG HADIRNYA BUAH HATI, TERNYATA ....

“Kami baik-baik saja, Irena sedang dalam masa mood yang bisa berubah-ubah karena pengaruh kehamilannya, Umi. Kami tak sedang dalam masalah. Kami bahagia, apalagi akan menyambut buah hati yang sudah begitu dirindukan,” jelas Fandi.

“Umi tahu itu, hanya saja … umi harap anak umi selalu menjadi suami yang baik, menjadi imam yang baik. Hingga kelak menjadi ayah yang baik. Yang bisa membahagiakan keluarga. Irena wanita baik. Meski awalnya pernikahan kalian memang tak sesuai syariat. Akan tetapi, Irena mulai berbenah perlahan-lahan. Jadi, tetaplah menjadikan bahumu sebagai sandaran Irena. Jadikan dirimu tempatnya berpulang.” Ibu Fandi sampai menitikkan air mata kala menasihati sang anak.

Malam itu, Fandi lama menatap Irena yang memunggunginya.

Kata-kata sang ibu membuatnya semakin bersalah pada wanita yang tengah mengandung anaknya itu. Wanita yang menghabiskan lima tahun bergandeng tangan bersamanya.

Memang, awal pertemuannya dengan Irena bukanlah suatu hal yang bisa dibanggakan.

Mereka sedang asyik di club malam, mabuk dan berakhir di kamar hotel.

Setelah itu, hubungan tak halal itu terus berlanjut hingga akhirnya Irena mengandung. Mau tak mau Fandi menikahinya.

Ibu Fandi sampai pingsan saat mendengar alasan Fandi ingin menikah tanpa rencana sebelumnya.

Akan tetapi, ibu Fandi mencoba menerima sang menantu hingga saat Irena keguguran, ibu Fandi pun menemani di rumah sakit.

Perlahan-lahan, tahun ke tahun … Irena bak anaknya sendiri. Meski wanita itu tak mau menginap di rumah orang tua Fandi.

Dua hari kemudian, Ibu Fandi bersama adik Fandi pulang. Kali ini mereka tak akan menunggu bis. Sebab orang tua Irena menyiapkan mobil untuk mengantar mereka pulang.

Andai Fandi mau membuka mata hatinya, keluarga Irena begitu baik dan tak pernah membedakan antara dirinya juga keluarga. Hanya saja, hasutan setan telah membutakan mata hati Fandi.

Sepeninggal keluarga, rumah itu kembali sepi. Fandi terus merayu sang istri agar tak marah seperti ini.

Berbagai macam janji Fandi lontarkan.

Hingga Fandi bersedia keluar dari perusahaan dan bekerja di perusahaan sang mertua demi mendapat kepercayaan Irena kembali.

Sayangnya, Irena malah berkata. “Entah mengapa, aku tak yakin kau melupakan dia.”

“Aku akan meninggalkan dia, untuk bisa bersama anak dan istri. Aku janji!” Fandi merengkuh tubuh Irena, memeluknya erat.

“Aku mohon, percayalah pada suamimu ini. Sekali lagi!”

*

*

*

Fandi pun membuktikan perkataannya, dia keluar dari perusahaan tersebut dan bersedia bekerja di perusahaan ayah mertuanya.

Fandi pun menempati posisi yang dia kuasai.

Semua itu Fandi lakukan demi dapat melihat Irena tersenyum kembali.

Sebulan berlalu, tak ada lagi Indah yang mengusik Fandi maupun Irena.

Perihal mengirim foto, Rani … adiknya Irena mengambil bagian untuk memberi pelajaran pada sang wanita tak tahu diri tersebut.

Irena tak bercerita, tetapi mendengar sang kakak hamil. Rani langsung menemuinya dan bermaksud menghibur Irena.

Siapa sangka, saat dirinya datang … Irena tampak seperti tak bersemangat.

Rani berhasil memancing sang kakak untuk bercerita dan akhirnya dia pun mengetahui kasus tersebut dari mulut Irena.

Pikirnya, tak perlu lagi mengadu, sebab Irena sudah tahu sendiri.

Saat itulah Irena mengatakan perihal lancangnya Indah mengirim Poto tak senonoh itu pada Irena langsung.

“Mbak tenang saja, biar aku yang memberi dia pelajaran.” Rani tersenyum menyeringai.

Siapa sangka, Rani mengancam Indah akan menyebarkan Poto tak senonohnya itu ke media sosial. Dengan begitu saja wanita itu ketakutan.

“To—tolong jangan sebarin,” pinta Indah memelas.

“Ada syaratnya!” seru Rani.

“Apa itu?” tanya Indah.

“Menjauhlah dan jangan pernah mengusik kebahagiaan wanita bernama Irena. Jika tidak, bommm!” Rani meniup poni Indah, sembari mendorong tubuh wanita itu hingga terjerembab di lantai.

“Jangan macam-macam dengan keluarga kami,” gumam Rani.

*

*

*

“Sayang,” panggil Fandi pada sang istri.

Saat itu, Irena sudah menyambutnya lagi. Senyum wanita itu kembali lebar untuk Fandi.

Ya, seiring waktu Irena kembi menjadi istri yang begitu bahagia.

Fandi selalu menghabiskan waktu untuk Irena dan si jabang bayi.

Fandi menjadi suami yang selalu ada, bahkan kala jam bekerja. Saat Irena ingin bersamanya, lelaki itu akan mencari waktu buat pulang.

Meski hanya sebentar. Terkadang, Irena hanya meminta Fandi pulang untuk makan siang bersama, atau sekedar memeluknya sekejap.

Fandi merasa semua kembali seperti sedia kala.

Namun siapa sangka, bayang Indah hanya hilang kala tak bertemu saja.

Saat dirinya tengah bekerja, ponselnya bergetar di dalam saku.

Fandi meraih ponselnya, dia pikir sang istri yang menelpon.

Ternyata, nomor yang suka lama dia hapus dari kontak. Kini menelpon dirinya kembali.

Lelaki itu begitu hapal angka per angka nomor ponsel yang kini menelpon dirinya.

Lama Fandi menatap layar ponsel, hatinya bimbang, antara menerima ataukah mengabaikan panggilan itu.

Dirinya tak mau salah langkah, terlebih dirinya punya janji dengan sang istri akan menemani istrinya periksa kandungan.

Diraupnya wajah, sempat meneguk air putih di meja kerjanya. Kini, Fandi mengangkat panggilan tersebut.

“Ya halo!”

Fandi berdiri, langsung dirinya bergegas keluar.

“Tunggu! Saya akan ke sana! Di rumah sakit mana?” Fandi masih menerima panggilan sembari keluar dari kantor.

Tanpa dirinya sadari, sepasang mata menatapnya tajam.

Ya, siapa lagi kalau bukan mertuanya.

“Fandi kenapa panik begitu? Coba telepon Irena. Dia di rumah saja ‘kan?” Ayah Irena menelpon sang anak. Di mana Irena tengah bersiap untuk berangkat ke kantor mengajak sang suami ke dokter kandungan.

“Keluar? Panik? Irena belum menelpon Mas Fandi malah,” tanggap Irena tenang.

Irena tak tinggal diam, wanita cantik itu langsung melacak keberadaan Fandi melalui aplikasi. Di mana keberadaan sang suami ada di sebuah rumah sakit.

“Ngapain Mas Fandi ke rumah sakit?”

Perasaan Irena sudah tak karuan, tetapi tak inginbberoikir yang tidak-tidak.

Wanita cantik dengan perut yang mulai membesar itu perlahan keluar dari kamar dan bergegas ke garasi.

Mobil yang digunakan Irena meluncur ke rumah sakit di mana Fandi berada. Bukan ke dokter kandungan yang sudah dibuat janji temu dengannya.

Tak butuh waktu lama buat Irena sampai di rumah sakit tersebut.

Langkahnya pelan ketika berada di pelataran rumah sakit.

Diraihnya ponsel dan diteleponnya sang suami.

“Halo, Mas. Lagi di mana?” tanya Irena.

“Hm, Mas ada di … kantor,” jawab Fandi.

Irena langsung mengakhiri panggilan itu.

Dirinya berada di ruang IGD, di mana seorang wanita tengah meraung kesakitan karena kecelakaan dan tangannya menggenggam erat tangan Fandi.

Irena memejamkan mata kala melihat Fandi mengecup kening wanita itu di setiap kali sang wanita meraung sakit.

“Sakit Mas, kakiku rasanya patah,” rengek sang wanita.

Tak lain adalah Indah.

“Iya, tenang! Ada Mas di sini!” Dikecupnya lagi kening Indah, tangan keduanya seolah tak akan terpisah karena bertaut erat.

Irena melangkah pelan, tangannya terasa dingin, lalu disentuhnya pundak sang suami.

“Jika sudah selesai urusannya, segera pulang ya,” ucap Irena tenang.

Pengabdian Terakhir Seorang Istri

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Pengabdian Terakhir Seorang Istri    Season 2 (1)

    Di Jakarta, kehidupan keluarga Moon berubah ketika Irena dan Carlos memutuskan untuk kembali ke Indonesia setelah lama tinggal di Jerman. Kembali ke tanah air bukanlah keputusan yang mudah bagi Carlos, seorang dokter spesialis yang bekerja di salah satu rumah sakit terkenal di Jerman. Namun, permintaan dari orang tua Irena agar mereka pulang dan menetap di Indonesia menjadi dorongan utama untuk perubahan besar ini. Meski Carlos sempat ragu, kecintaannya pada keluarga membuatnya akhirnya setuju untuk bekerja di rumah sakit swasta di Jakarta. Irena, seperti biasa, tetap menjadi ibu rumah tangga. Itu adalah kesepakatan yang dibuat sejak awal pernikahan mereka, sebuah perjanjian yang Carlos pinta agar Irena dapat lebih fokus pada Alana, anak mereka. Namun, kehidupan baru di Indonesia membawa beberapa pertanyaan dalam benak Alana, yang kini beranjak sepuluh tahun. Di sekolahnya yang baru, Alana berteman dengan Aldo Moon, seorang anak laki-laki yang bersekolah di tempat yang sama. Kebetula

  • Pengabdian Terakhir Seorang Istri    Ending ss 1

    Saat itu, keluarga Irena begitu panik dan bergegas membawa Musda ke rumah sakit.Musda melahirkan secara normal, bayi berjenis kelamin laki-laki itu begitu lucu dan sangat mirip Roy.Tangis Roy pecah kala menggendong bayinya pertama kali, tangannya gemetar begitu pun suaranya kala mengadzani sang bayi mungil.“Mbak, beri anak Roy nama. Kami berdua sudah sepakat agar Mbak Irena yang memberi nama untuk bayi kami,” ujar Roy.Irena yang tengah menggendong Alana, kini menyerahkan Alana yang manja pada Carlos sedang dirinya mendekat ke arah bayi yang menggeliat dalam dekapan Roy.“Ren, jangan lupa sematkan nama ayah.” Sosok lelaki yang kini menggendong Aldo, sempat-sempatnya mengingatkan sang anak agar menyematkan namanya.Irena mengangguk, “Tentu Ayah.”Wanita cantik itu mengusap pipi dan pucuk kepala bayi yang masih terpejam dan tenang dalam buaian sang ayah.“Ada nama yang ingin disematkan dari kalian?” tanya Irena pada Roy dan Musda.“Muhamad, Roy dan Musda berharap Mbak menyematkan jug

  • Pengabdian Terakhir Seorang Istri    50

    “Innalilahi wa innailaihi Raji'un.” “Ada apa?” Carlos mendekat begitu mendengar sang istri berucap.“Fera,” sahut Irena pelan.***Wanita yang tengah mengandung itu masih mengerang kesakitan, selain menyebut nama Allah … dirinya hanya menyebut nama Irena, di mana keadaannya dalam setengah sadar.Fera, wanita cantik yang sedang mengandung itu mengalami kemalangan.Kandungannya yang sudah menginjak usia matang untuk lahir. Kini bermasalah dan harus segera dilarikan ke rumah sakit berkat rujukan bidan setempat.Maka berangkatlah mereka dengan ambulance milik desa.Ambulance yang membawanya hendak ke rumah sakit terdekat, mengalami kecelakaan beruntun di jalan raya. Imbas dari pengguna jalan yang tak sabar dan hendak menyalip ambulans tersebut.Wisnu dan kedua anak kembarnya tak selamat, ajaibnya Fera yang terpental dari ambulans selamat meski dalam keadaan bersimbah darah.Para pengguna jalan yang menolong, segera membawa wanita hamil itu ke rumah sakit. “To—tolong hubungi Mbak Irena,”

  • Pengabdian Terakhir Seorang Istri    49

    Pagi ini Irena terjaga di tempat tidur bersama sosok lain yang kini menjadi imamnya.Semalam, selesai acara resepsi … keduanya memulai sholat berjamaah.Hal yang dulu hanya Irena lakukan bersama sang mantan. Bahkan, sebelum perpisahan itu terjadi … Irena melakukan sholat berjamaah bersamanya.Kini, senyum Irena begitu merekah kala meraih koko serta sarung untuk sang imam.Wajahnya yang masih basah oleh air wudhu, menambah ketampanan yang hakiki. Ya, begitulah kata hati Irena.Setelah sholat berjamaah, keduanya bersiap untuk sarapan bersama keluarga Irena. Ya, mereka masih tinggal di rumah orang tua Irena. Bukan tak mau tinggal terpisah, tetapi Irena dan Carlos akan kembali ke Singapure. Di mana tempat itu sudah menjadi rumah bagi keduanya.“Hari ini jadi ke panti?” tanya Carlos pagi itu.Irena mengangguk, “Katanya Indah sakit, jadi gak bisa hadir di pernikahan kita.”“Ckckck, Mbak ini … masih saja begitu peduli sama dia,” celetuk Rani.“Sttt, gak baik begitu ah.” Sang suami mencubit

  • Pengabdian Terakhir Seorang Istri    48

    Pengajian Akbar hari itu tak sepenuhnya didengar oleh Irena. Hatinya terasa kacau dan bimbang.Namun, kepalanya yang tertunduk tiba-tiba terangkat kala mendengar kutipan kalimat yang diucapkan oleh pendakwah kondang tersebut.“Janganlah kau ragu akan janji Allah. Pasrahkan dirimu pada-Nya dan yakinlah jika skenario Allah itu indah dan paling terbaik untukmu. Ingat … jodoh, maut, dan rejeki merupakan rahasia Allah yang sudah ditetapkan untuk kita. Bersabarlah, ikhlas, dan selalu tawakal.” Kata-kata pendakwah itu menyejukkan hati wanita cantik tersebut.‘Ya Allah, hamba berserah pada-Mu,’ batin Irena.Satu jam kajian, akhirnya selesai dengan baik. Irena sudah tak ambil pusing kala dua wanita tadi masih berceloteh dan berangan-angan tentang Carlos.Dirinya bahkan tersenyum dan menyapa keduanya kala keluar dari tempat kajian terlebih dahulu.Baru saja keluar, tiba-tiba ujung hijabnya ditarik seseorang.“Eh,” celetuk Irena.Wanita cantik itu menoleh dan mendapati pria tampan berkoko putih

  • Pengabdian Terakhir Seorang Istri    47

    “Roy? Kamu ngapain ke sini?” Irena tercengang, kala melihat sang adik yang garuk-garuk kepala menanggapi perkataannya.“Anu … mau sunat, hehehe!” Roy berbisik pelan ke telinga sang kakak, tak hanya itu … di ujung sana ayah dan ibunya turut datang.“Dianter Mamah?” tanya Irena lagi.“Hm, takut sakit.”Kini, Roy mengaduh karena Irena memukul punggungnya sembari tak henti mengomel.Kini, di sinilah mereka. Ada ayah dan ibu Irena yang duduk dekat Roy. Irena sendiri duduk di samping Carlos yang terus beristighfar.Kala menunggu itu, Roy menerima panggilan telepon dan sempat tersenyum manis.“Dari siapa?” tanya Irena penasaran.“Bidadari,” sahut Roy singkat.Tak sempat Irena mengulik lebih dalam, Roy meminta ijin untuk keluar terlebih dahulu.Kebetulan masih antrean anak-anak yang dikhitan.“Mah, kok Roy minta disunat sekarang?” Irena yang kini duduk di samping sang ibu menggantikan Roy, berbisik pelan demi satu jawaban.Wanita yang sudah berumur itu tersenyum dan mengusap pipi sang anak su

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status