Share

Bab 7

Penulis: Pilar Waisakha
last update Terakhir Diperbarui: 2025-10-14 18:58:59

Setelah ujian berkuda, Sylvette dan Lucianne menyelinap ke sebuah ruangan sempit di sayap kastil, jauh dari pandangan tamu maupun peserta lain. Cahaya lilin memantul di dinding batu, menimbulkan bayangan panjang yang bergerak seolah ikut mendengarkan rahasia mereka.

Sylvette merapikan gaun biru safirnya, wajahnya masih bersemu merah akibat jatuh tadi. Lucienne berdiri di sampingnya, tangan bertolak pinggang, tatapannya seperti bilah tipis yang siap menusuk.

“Kau hampir mempermalukan dirimu di arena,” ujarnya lembut, namun tajam.

Sylvette menunduk, suaranya bergetar.

“Aku… hampir saja. Tapi aku masih terlihat anggun, bukan?”

Lucianne tersenyum tipis, senyum yang lebih dekat pada ejekan daripada pujian.

“Anggun saja tidak cukup. Kau harus menjadi pilihan yang tak bisa Sebastian tolak. Kau bukan sekadar peserta, Sylvette. Kau sepupuku. Dan aku punya kepentingan.”

Sylvette mendongak, membaca maksud yang tersembunyi di balik kata-kata itu.

“Artinya aku harus menang… apa pun caranya?”

Lucianne mengangguk pelan, matanya tetap dingin.

“Apa pun caranya. Jangan biarkan Rosse itu menguasai panggung. Jika kau yang menikah dengan Sebastian, nama keluarga kita naik. Dan lebih dari itu—kita yang memegang kendali di dalam kastil.”

Sylvette menarik napas panjang. Bayangan Avelinne di arena kembali menghantuinya, namun tekad Lucienne terasa lebih kuat daripada ketakutannya sendiri. Senyum tipis terbit di bibirnya, berubah menjadi garis licik.

“Akan kulakukan sesuai aturanmu. Dengan cara apa pun.”

Lucianne menepuk bahunya sekali, lembut tapi mengandung perintah.

“Bagus. Ingat, kita adalah satu paket. Di mata Sebastian kau harus sempurna… sedangkan Rosse hanyalah penyusup. Pastikan ia tetap terlihat seperti itu.”

Bayangan keduanya menempel di dinding, menyatu, berlapis—sepupu dan ambisi, bersekongkol dalam satu tujuan, tak peduli siapa yang harus dijatuhkan di jalan menuju kemenangan.

******

Pintu kayu berat menutup rapat, meredam dunia luar. Cahaya bulan menyelinap lewat jendela kecil, jatuh di perabot sederhana dan ranjang tempat dua saudara itu duduk berdekatan. Seekor kucing abu-abu melingkar di kaki mereka, sesekali menggesek manja.

“Apa kau sadar tadi, saat ujian kuda?” bisik Elowen, matanya berbinar penuh semangat.

“Ya,” jawab Aveline, menarik napas panjang. “Mereka jelas mencoba menjebak. Tapi kuda itu… bisa ditundukkan dengan benar. Dan itu yang terpenting.”

Elowen menyunggingkan senyum nakal, seolah sudah menyiapkan rahasia kecilnya.

“Besok, kalau kita masuk lagi… aku akan beri mereka kejutan. Kau akan lihat, wajah mereka pasti berubah.”

Avelinne menoleh curiga.

“Elowen… apa yang kau rencanakan?”

Gadis kecil itu mengangkat toples mungil berisi seekor ulat bulu yang bergerak pelan. Matanya bersinar puas.

“Tenang, tidak berbahaya. Hanya sedikit hiburan. Bayangkan kalau ulat ini tiba-tiba muncul di lipatan gaun Sylvette.”

Avelinne menutup mulut dengan tangan, menahan tawa.

“Kau benar-benar gila. Tapi pastikan tak seorang pun melihatmu. Kita tetap harus tampak anggun.”

“Percayakan padaku. Aku sudah ahli menyelinap,” kata Elowen sambil menepuk bahu kakaknya. Senyumnya penuh kenakalan yang tak bisa disembunyikan.

“Siapa yang akan curiga pada pelayan kecil sepertiku?”

Tawa mereka pecah lirih, hampir tertelan suara angin malam. Kucing abu-abu mengeong pelan, seakan ikut memberi restu pada rencana nakal itu.

******

Keesokan siang, para kandidat berkumpul di ruang pertemuan. Lady Varenne duduk di ujung meja panjang, dingin bak patung.

Sylvette duduk anggun dengan senyum penuh percaya diri, sementara Lucianne berpose seperti penasihat setia. Tatapan mereka ke arah Aveline jelas—hari ini kau harus kami tekan.

“Nona Rosse,” suara Lady Verenne tajam. “Kemarin kau menguasai kuda. Hari ini mari lihat apakah kau bisa menguasai percakapan sosial.”

Para gadis langsung berlomba bicara. Ada yang memamerkan hafalan puisi, ada yang menyelipkan gosip bangsawan. Sylvette mencibir manis:

“Ah, Nona Rosse… gadis dari desa tentu butuh waktu belajar agar bisa duduk manis di meja bangsawan.”

Lucianne menambahkan dengan tawa kecil:

“Mungkin kita mulai dari cara menahan sendok? Atau… cara tidak menumpahkan minuman?”

Avelinne tetap tenang, hanya menjawab singkat:

“Pengalaman mengajarkanku lebih banyak daripada etiket kosong.”

Ruangan hening. Gadis-gadis lain saling lirik, menahan tawa.

Sementara itu, di bawah meja, Elowen sudah siap dengan “senjata rahasia.” Ia menyelipkan seekor ulat bulu kecil ke lipatan gaun Sylvette, lalu mundur cepat dengan napas tertahan, seperti pencuri cilik yang baru berhasil menanam jebakan.

Beberapa menit berlalu damai… sampai Sylvette tiba-tiba meloncat kecil di kursinya.

“Ahhh! Apa ini?!” jeritnya melengking. Kursi berderit, sendok terjatuh ke lantai dengan tranggg!

Lucianne refleks berdiri, tapi malang—ulat itu jatuh ke arah gelasnya. Ia terperanjat, menepis meja hingga minuman merah tumpah ke taplak putih.

Tawa tertahan menggema di antara para gadis; kipas-kipas terbuka tergesa menutupi wajah yang nyaris pecah tawa.

Avelinne menahan senyum, wajahnya tetap kalem. Ia hanya menatap lurus ke depan, seolah tidak terjadi apa-apa.

Lady Verenne mengetuk meja keras.

“Diam! Semua duduk!” suaranya bagai cambuk.

Keheningan turun, meski beberapa bahu masih bergetar pelan.

Sylvette terengah, wajah merah padam.

“Ah… hanya… hanya… nyamuk besar, ya! Sangat… besar.”

Lucianne menatap Avelinne dengan mata menyala, mencoba menyelamatkan wibawa.

“Kau… sangat menyebalkan, Nona Rosse.”

Di luar ruangan, Elowen sudah kabur dari bawah meja. Ia mengintip dari balik pintu yang terbuka, menutup mulut dengan tangan, hampir meledak tawa.

Kucing abu-abu di bawah kakinya mengeong sekali, seolah ikut terhibur.

“Mocha,” bisiknya geli, “lihat? Sedikit ulat… jauh lebih ampuh daripada puisi manis mereka, bukan?”

Lady Varenne hanya menghela napas panjang.

“Cukup untuk sekarang. Ujian berikutnya… setelah makan siang.”

******

Lorong kastil yang sepi bergema oleh langkah Lady Verenne, mantel hitamnya berayun ringan tiap kali ia melangkah menuju ruang ujian berikutnya. Di ujung lorong, langkahnya terhenti—Sebastian berdiri di sana, seakan sengaja menghalangi jalannya.

“Sebastian,” suaranya lembut namun dingin, “kupikir setidaknya kau akan hadir untuk menyaksikan mereka langsung.”

Sebastian menatap ibunya, wajahnya tenang tapi kaku.

“Aku tidak punya waktu untuk terus menyimak… permainanmu.”

Alis Lady Varenne sedikit terangkat.

“Permainan?” Nada suaranya nyaris menegur, tapi tetap terkendali. “Aku melakukan ini untukmu. Dan jangan lupa—kau adalah kepala keluarga Devereux setelah ayahmu tiada. Wibawamu bukan milikmu seorang, melainkan milik seluruh nama besar kita. Jangan kau runtuhkan hanya karena ego.”

Sebastian tidak menjawab. Sorot mata abu-abunya, dingin dan membeku, menatap ibunya lama—hening yang jauh lebih menusuk daripada seribu kata.

Lalu perlahan, ia menggeser pandangannya melewati Lady Varenne, ke arah pintu ruang ujian yang masih terbuka. Tawa dan bisik-bisik dari ruang ujian terdengar baginya seperti gema rantai—indah, berkilau, tapi menjerat.

Ia tidak menoleh lagi. Segala yang disebut kehormatan keluarga hanyalah nama lain dari penjara yang diwariskan dengan bangga.

Langkahnya meninggalkan lorong itu tanpa suara, namun setiap hentakannya menyimpan makna penolakan yang tak perlu diucap.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Pengantin Bangsawan Yang Kubenci   Bab 19

    Bau jerami lembap dan kayu basah meruap di udara. Seekor kuda meringkik pelan, memecah keheningan malam. Elowen duduk di atas bal jerami, mulut sibuk mengunyah roti kering yang ia selundupkan dari dapur. Matanya berkilat nakal saat menceritakan kejailannya. “ Kau harusnya lihat wajah Sylvette tadi pagi… begitu kecoak itu muncul, dia melompat seperti anak kucing yang ekornya terjepit pintu! Aku hampir tersedak menahan tawa.” Avelinne ikut tertawa, bersandar pada dinding kayu yang dingin. “ Elowen, kalau sampai ketahuan, kau bukan cuma tidur di kandang. Bisa-bisa kau diusir lebih cepat dari yang kau kira.” Elowen hanya cengengesan, menggigit lagi rotinya. “ Ah, biarlah… seseorang harus membuat pesta ini sedikit lebih hidup. Lagi pula, Lucianne selalu muncul diam-diam, menutupi kekurangan Sylvette. Rasanya seperti dua serigala yang berbagi mangsa.” Kening Avelinne berkerut, sorot matanya menajam. “ Ya, mereka licik sekaligus rapi. Tidak heran satu per satu peserta lain tumban

  • Pengantin Bangsawan Yang Kubenci   Bab 18

    Cahaya pucat menembus jendela tinggi, membelah kabut tipis fermentasi yang menggantung di udara. Debu dan uap alkohol berputar samar di antara deretan drum kayu. Bau anggur masam bercampur kelembapan lantai basah, menekan dada seperti beban tak kasat mata. Langkah Sebastian berderap masuk, bukan menuju kantor, melainkan ruang laboratorium kecil di ujung gudang—tempat sampel anggur diuji sebelum resmi menyandang nama Devereux. Osrich sudah menunggunya dengan clipboard di tangan. “Selamat pagi, Tuan.” “Pagi. Kau sudah kerjakan semua yang kuperintahkan kemarin?” “Ya, Tuan. Ini hasilnya.” Sebastian menerima laporan itu. Angka-angka tercetak rapi, namun setiap baris seperti duri menusuk matanya. Ia menghela napas berat. “Persis… seperti yang dikatakan gadis itu,” bisiknya, lebih mirip pengakuan pada dirinya sendiri. Osrich menambahkan, suaranya rendah:

  • Pengantin Bangsawan Yang Kubenci   Bab 17

    Malam menyelimuti atap kastil Devereux, jendela-jendela besar menjulang seolah mata curiga yang mengawasi siapa pun yang melintas. Di ruang makan utama, denting sendok dan garpu terdengar nyaring, memecah keheningan megah. Para gadis peserta sayembara menunduk anggun, menikmati hidangan mereka dengan khidmat. Namun jelas, sebagian besar hanya menjadi hiasan di panggung permainan keluarga Devereux. Di sisi meja utama, Lady Vareen duduk tegak, ditemani Marcus, Lucianne, dan Sylvette yang mendapat kursi dekat keluarga inti—sebuah penegasan halus akan posisinya yang istimewa. Lady Vareen perlahan meletakkan tangannya di meja. Pandangannya jatuh pada kursi kosong di hadapannya. “Marcus, di mana Sebastian? Mengapa dia tidak hadir?” Marcus mengangkat kepala, bibirnya melengkung tipis. “Mungkin ia sedang tidur bersama botol-botol anggur di gudangnya,” jawabnya, nada sinis seolah mengejek kakaknya sendiri. Lucianne menoleh sekilas pada suaminya, lalu kembali pada piringny

  • Pengantin Bangsawan Yang Kubenci   Bab 16

    Kereta kuda berderit melewati pagar besi tinggi berukir lambang keluarga Devereux—seperti rahang monster yang menjaga rahasia di dalamnya. Roda berhenti di pintu belakang gudang anggur, bangunan batu tua yang hari itu riuh oleh para pekerja. Laki-laki berotot mondar-mandir memanggul keranjang anggur segar, aroma manis bercampur asam memenuhi udara, diselingi sengatan tajam alkohol yang menusuk hidung. Mereka turun dari gerobak. Saat Avelinne menjejakkan kaki di tanah, ia sempat mengernyit tipis, lalu menarik napas panjang, seakan seluruh indranya menimbang tempat itu. Elowen melirik kakaknya—ia tahu tatapan itu bukan sekadar kagum, melainkan penuh perhitungan. Mereka ikut membantu pelayan tua menurunkan peti-peti berat. Di dalam, pemandangan lebih mencengangkan. Rak kayu menjulang dipenuhi botol berlabel emas, drum besar dari kayu ek berbaris rapi di sepanjang dinding. Beberapa pekerja sibuk memeriksa fermentasi; suara cai

  • Pengantin Bangsawan Yang Kubenci   Bab 15

    Siang itu, aula kastil riuh oleh tawa dan bisik-bisik para gadis bangsawan. Seperti pesta tanpa akhir, mereka saling menonjolkan kelebihan, berlomba menjadi bintang paling bersinar. Hari-hari di kastil terasa lebih seperti pameran kecantikan ketimbang ujian.Di sisi tangga besar, Sylvette menuruni anak-anak undakan dengan langkah mantap. Dagu terangkat, gaun sutra berdesir, menyapu permadani merah tua yang terbentang. Cahaya siang dari kaca patri memantul di rambut emasnya, membuatnya tampak seolah baru turun dari lukisan.Para peserta di bawah aula serentak menoleh; beberapa menahan napas, yang lain sekadar terpaku.Di pojok ruangan, Martha dan seorang pelayan tengah merangkai bunga, berbisik lirih di balik denting piring perak.“Lihatlah… betapa anggun wanita itu.”“Aku yakin, dialah yang paling pantas menjadi istri Tuan Sebastian.”Sylvette mendengar. Senyum tipis melengkung di bibirnya, penuh keyakinan diri. Ia mela

  • Pengantin Bangsawan Yang Kubenci   Bab 14

    Kabut pagi menyelimuti halaman kastil, tipis seperti tirai putih yang menggantung rendah. Dari atap kandang, sisa hujan menetes satu-satu, jatuh ke genangan kecil di tanah becek. Udara lembap menusuk hidung, bercampur bau jerami basah dan kuda yang meringkik resah.Avelinne menggeliat di antara jerami, tubuhnya kaku oleh dingin malam. Saat membuka mata, ia merasakan sesuatu yang asing—hangat yang tidak ada sebelumnya. Selimut.Ia terbangun cepat, jemarinya meraba kain itu dengan ragu. Alisnya berkerut dalam.“Elowen…” bisiknya sambil menggoyang bahu adiknya, “siapa yang menaruh selimut di sini?”Elowen hanya menggumam, lalu mengucek mata. Rambutnya berantakan, dipenuhi helaian jerami. Ia menguap panjang sebelum menjawab malas, “Mungkin… hantu kastil. Atau arwah bangsawan yang mati penasaran.”“Jangan bercanda,” Aveline mendesis. Nada suaranya lebih tegang daripada marah.Elowen terkekeh kecil, meski wajahnya masih set

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status