MasukSetelah ujian berkuda, Sylvette dan Lucianne menyelinap ke sebuah ruangan sempit di sayap kastil, jauh dari pandangan tamu maupun peserta lain. Cahaya lilin memantul di dinding batu, menimbulkan bayangan panjang yang bergerak seolah ikut mendengarkan rahasia mereka.
Sylvette merapikan gaun biru safirnya, wajahnya masih bersemu merah akibat jatuh tadi. Lucienne berdiri di sampingnya, tangan bertolak pinggang, tatapannya seperti bilah tipis yang siap menusuk. “Kau hampir mempermalukan dirimu di arena,” ujarnya lembut, namun tajam. Sylvette menunduk, suaranya bergetar. “Aku… hampir saja. Tapi aku masih terlihat anggun, bukan?” Lucianne tersenyum tipis, senyum yang lebih dekat pada ejekan daripada pujian. “Anggun saja tidak cukup. Kau harus menjadi pilihan yang tak bisa Sebastian tolak. Kau bukan sekadar peserta, Sylvette. Kau sepupuku. Dan aku punya kepentingan.” Sylvette mendongak, membaca maksud yang tersembunyi di balik kata-kata itu. “Artinya aku harus menang… apa pun caranya?” Lucianne mengangguk pelan, matanya tetap dingin. “Apa pun caranya. Jangan biarkan Rosse itu menguasai panggung. Jika kau yang menikah dengan Sebastian, nama keluarga kita naik. Dan lebih dari itu—kita yang memegang kendali di dalam kastil.” Sylvette menarik napas panjang. Bayangan Avelinne di arena kembali menghantuinya, namun tekad Lucienne terasa lebih kuat daripada ketakutannya sendiri. Senyum tipis terbit di bibirnya, berubah menjadi garis licik. “Akan kulakukan sesuai aturanmu. Dengan cara apa pun.” Lucianne menepuk bahunya sekali, lembut tapi mengandung perintah. “Bagus. Ingat, kita adalah satu paket. Di mata Sebastian kau harus sempurna… sedangkan Rosse hanyalah penyusup. Pastikan ia tetap terlihat seperti itu.” Bayangan keduanya menempel di dinding, menyatu, berlapis—sepupu dan ambisi, bersekongkol dalam satu tujuan, tak peduli siapa yang harus dijatuhkan di jalan menuju kemenangan. ****** Pintu kayu berat menutup rapat, meredam dunia luar. Cahaya bulan menyelinap lewat jendela kecil, jatuh di perabot sederhana dan ranjang tempat dua saudara itu duduk berdekatan. Seekor kucing abu-abu melingkar di kaki mereka, sesekali menggesek manja. “Apa kau sadar tadi, saat ujian kuda?” bisik Elowen, matanya berbinar penuh semangat. “Ya,” jawab Aveline, menarik napas panjang. “Mereka jelas mencoba menjebak. Tapi kuda itu… bisa ditundukkan dengan benar. Dan itu yang terpenting.” Elowen menyunggingkan senyum nakal, seolah sudah menyiapkan rahasia kecilnya. “Besok, kalau kita masuk lagi… aku akan beri mereka kejutan. Kau akan lihat, wajah mereka pasti berubah.” Avelinne menoleh curiga. “Elowen… apa yang kau rencanakan?” Gadis kecil itu mengangkat toples mungil berisi seekor ulat bulu yang bergerak pelan. Matanya bersinar puas. “Tenang, tidak berbahaya. Hanya sedikit hiburan. Bayangkan kalau ulat ini tiba-tiba muncul di lipatan gaun Sylvette.” Avelinne menutup mulut dengan tangan, menahan tawa. “Kau benar-benar gila. Tapi pastikan tak seorang pun melihatmu. Kita tetap harus tampak anggun.” “Percayakan padaku. Aku sudah ahli menyelinap,” kata Elowen sambil menepuk bahu kakaknya. Senyumnya penuh kenakalan yang tak bisa disembunyikan. “Siapa yang akan curiga pada pelayan kecil sepertiku?” Tawa mereka pecah lirih, hampir tertelan suara angin malam. Kucing abu-abu mengeong pelan, seakan ikut memberi restu pada rencana nakal itu. ****** Keesokan siang, para kandidat berkumpul di ruang pertemuan. Lady Varenne duduk di ujung meja panjang, dingin bak patung. Sylvette duduk anggun dengan senyum penuh percaya diri, sementara Lucianne berpose seperti penasihat setia. Tatapan mereka ke arah Aveline jelas—hari ini kau harus kami tekan. “Nona Rosse,” suara Lady Verenne tajam. “Kemarin kau menguasai kuda. Hari ini mari lihat apakah kau bisa menguasai percakapan sosial.” Para gadis langsung berlomba bicara. Ada yang memamerkan hafalan puisi, ada yang menyelipkan gosip bangsawan. Sylvette mencibir manis: “Ah, Nona Rosse… gadis dari desa tentu butuh waktu belajar agar bisa duduk manis di meja bangsawan.” Lucianne menambahkan dengan tawa kecil: “Mungkin kita mulai dari cara menahan sendok? Atau… cara tidak menumpahkan minuman?” Avelinne tetap tenang, hanya menjawab singkat: “Pengalaman mengajarkanku lebih banyak daripada etiket kosong.” Ruangan hening. Gadis-gadis lain saling lirik, menahan tawa. Sementara itu, di bawah meja, Elowen sudah siap dengan “senjata rahasia.” Ia menyelipkan seekor ulat bulu kecil ke lipatan gaun Sylvette, lalu mundur cepat dengan napas tertahan, seperti pencuri cilik yang baru berhasil menanam jebakan. Beberapa menit berlalu damai… sampai Sylvette tiba-tiba meloncat kecil di kursinya. “Ahhh! Apa ini?!” jeritnya melengking. Kursi berderit, sendok terjatuh ke lantai dengan tranggg! Lucianne refleks berdiri, tapi malang—ulat itu jatuh ke arah gelasnya. Ia terperanjat, menepis meja hingga minuman merah tumpah ke taplak putih. Tawa tertahan menggema di antara para gadis; kipas-kipas terbuka tergesa menutupi wajah yang nyaris pecah tawa. Avelinne menahan senyum, wajahnya tetap kalem. Ia hanya menatap lurus ke depan, seolah tidak terjadi apa-apa. Lady Verenne mengetuk meja keras. “Diam! Semua duduk!” suaranya bagai cambuk. Keheningan turun, meski beberapa bahu masih bergetar pelan. Sylvette terengah, wajah merah padam. “Ah… hanya… hanya… nyamuk besar, ya! Sangat… besar.” Lucianne menatap Avelinne dengan mata menyala, mencoba menyelamatkan wibawa. “Kau… sangat menyebalkan, Nona Rosse.” Di luar ruangan, Elowen sudah kabur dari bawah meja. Ia mengintip dari balik pintu yang terbuka, menutup mulut dengan tangan, hampir meledak tawa. Kucing abu-abu di bawah kakinya mengeong sekali, seolah ikut terhibur. “Mocha,” bisiknya geli, “lihat? Sedikit ulat… jauh lebih ampuh daripada puisi manis mereka, bukan?” Lady Varenne hanya menghela napas panjang. “Cukup untuk sekarang. Ujian berikutnya… setelah makan siang.” ****** Lorong kastil yang sepi bergema oleh langkah Lady Verenne, mantel hitamnya berayun ringan tiap kali ia melangkah menuju ruang ujian berikutnya. Di ujung lorong, langkahnya terhenti—Sebastian berdiri di sana, seakan sengaja menghalangi jalannya. “Sebastian,” suaranya lembut namun dingin, “kupikir setidaknya kau akan hadir untuk menyaksikan mereka langsung.” Sebastian menatap ibunya, wajahnya tenang tapi kaku. “Aku tidak punya waktu untuk terus menyimak… permainanmu.” Alis Lady Varenne sedikit terangkat. “Permainan?” Nada suaranya nyaris menegur, tapi tetap terkendali. “Aku melakukan ini untukmu. Dan jangan lupa—kau adalah kepala keluarga Devereux setelah ayahmu tiada. Wibawamu bukan milikmu seorang, melainkan milik seluruh nama besar kita. Jangan kau runtuhkan hanya karena ego.” Sebastian tidak menjawab. Sorot mata abu-abunya, dingin dan membeku, menatap ibunya lama—hening yang jauh lebih menusuk daripada seribu kata. Lalu perlahan, ia menggeser pandangannya melewati Lady Varenne, ke arah pintu ruang ujian yang masih terbuka. Tawa dan bisik-bisik dari ruang ujian terdengar baginya seperti gema rantai—indah, berkilau, tapi menjerat. Ia tidak menoleh lagi. Segala yang disebut kehormatan keluarga hanyalah nama lain dari penjara yang diwariskan dengan bangga. Langkahnya meninggalkan lorong itu tanpa suara, namun setiap hentakannya menyimpan makna penolakan yang tak perlu diucap.Di dapur yang mulai sunyi, Sebastian menumpuk mangkuk terakhir. Gerakannya teratur seperti biasa, namun tiba-tiba ia berhenti—seolah ada sesuatu yang melintas begitu halus di udara hingga hanya naluri paling dasar yang mampu menangkapnya. Ia menegakkan tubuh, memiringkan kepala sedikit. Elowen, yang sedang mengeringkan tangan dengan kain lusuh, memperhatikannya. “Ada apa? Kau seperti… mendengar sesuatu.” Sebastian tidak langsung menjawab. Tatapannya mengarah ke lorong menuju kamar tempat Avelinne beristirahat—bukan curiga, hanya kepekaan tak jelas yang membuatnya meraih lentera. “Aku ingin memastikan Avelinne baik-baik saja.” Elowen menghela napas kecil, lalu mengambil Mocha yang mengekor di kakinya. “Baiklah. Sekalian aku bawa Mocha tidur.” Mereka berjalan menyusuri lorong remang menuju kantor, langkah keduanya lembut agar tidak mengganggu siapa pun yang mungkin sudah terlelap. Elowen sebenarnya ingin bercanda, tetapi melihat raut Sebastian—hati-hati, tapi tidak geli
Langit di luar sudah menghitam ketika para pekerja pulang satu per satu, meninggalkan gudang dalam keheningan yang nyaman. Bangunan besar itu, yang biasanya dipenuhi suara langkah berat, denting perkakas, dan bisik-bisik percakapan para pekerja, kini seperti menutup dirinya sendiri. Hanya dapur kecil di sudut bangunan itu yang masih bercahaya—sebuah titik hangat di tengah gelapnya malam—beraroma sup dan rempah yang mengepul lembut, mengisi udara dengan kenyamanan sederhana yang sulit dijelaskan.Avelinne baru saja menutup panci ketika Elowen melahap suap demi suap dengan semangat yang hanya dimiliki gadis kelaparan. Gerakan tangannya cepat, seolah takut mangkuk itu akan direbut darinya kapan saja. “Pelan sedikit, Elowen. Kau bisa tersedak,” tegur Avelinne sambil tersenyum. “Ini terlalu enak untuk pelan,” jawab Elowen, mulutnya masih penuh. Ia menunduk pada Mocha di bawah meja. “Iya kan, Mocha?” Mocha mengeong kecil, mengunyah potongan daging yang diberi Elowen seolah menyetujui.
Cahaya jingga senja merayapi kebun anggur Devereux yang mulai pulih. Sulur-sulur merambat naik, daun muda bergetar oleh angin lembut, dan bulir-bulir anggur menggantung berat, berkilau seolah dilapisi madu tipis. Marcus berjalan perlahan di antara deretan tanaman itu, sepatu botnya menginjak tanah lembap dengan ritme yang hampir sombong. Lucianne menyusul satu langkah di belakangnya—anggun, diam, namun mata hijaunya memantulkan perhitungan yang tak pernah padam. “Luar biasa,” gumam Lucianne sambil menyentuh satu tandan anggur. “Sepertinya sudah siap panen.” “Lebih dari siap,” sahut Marcus, dagunya terangkat sedikit. “Tak lama lagi aku punya bisnis anggurku sendiri. Devereux akan kembali bersinar di tanganku.” Lucianne tersenyum—senyum tipis seorang wanita yang tahu betul apa artinya berada di sisi pemenang. Dan aku, pada akhirnya akan menjadi satu-satunya nyonya Devereux di kastil itu, batinnya puas. Namun pikiran itu tergelincir begitu nama tertentu muncul dalam benaknya.
Begitu mobil berhenti, aroma fermentasi anggur menyambut mereka—hangat, manis, dan nyaris menenangkan. Avelinne menarik napas dalam-dalam seperti sedang kembali ke tempat yang selalu memeluknya. Elowen, lupa sejenak pada kecemasannya, berlari kecil sambil menggendong Mocha. “Osric! Kami kembali!” Osric muncul dari balik tumpukan tong kayu, wajahnya berseri. “Elowen! Nona Rosse. Senang melihat kalian lagi.” “Bagaimana fermentasi dan selainya?” tanya Elowen, matanya berbinar. “Semua berjalan baik,” jawab Osric. “Meski—jika boleh jujur—kami merindukan kehadiran kalian di sini.” Sebastian mendekat, senyum tipis menghiasi wajahnya. “Kabar baiknya, aku sudah memutuskan menikahi Avelinne.” Osric terbelalak.
Matahari siang memukul ladang anggur Marlowe dengan panas yang tak biasa—panas yang membuat udara bergetar, dan membuat setiap napas terasa seperti menelan logam. Di dalam rumah kecilnya, Marlowe duduk membungkuk, memperbaiki gunting besar yang bilahnya sudah tumpul. Ritme krek—krek dari batu asah memecah keheningan. Tiga ketukan keras menghajar pintu. Tidak ada salam. Tidak ada seruan nama. Marlowe berhenti. Gunting di tangannya nyaris terpeleset. Dengan napas berat, ia bangkit. Sepatu bot tuanya menghantam lantai batu dengan bunyi pendek yang seakan menandai awal sesuatu yang buruk. Ia membuka pintu hanya separuh. Di luar berdiri dua pria asing berjaket gelap, topi hitam menunduk rendah, wajah mereka tertutup bayangan. “Siapa kalian?” suara Marlowe serak, namun masih berusaha tegar. Pria di depan menjawab cepat, seperti seseorang yang tidak terbiasa ditanya balik. “Apa kau mengenal Avelinne Rosse?” Nama itu menghantam ruangan kecil itu seperti badai. Namun M
Pagi itu meja makan keluarga Devereux terasa terlalu sunyi. Hanya denting halus gelas teh Marcus yang beradu dengan piring—ritme kecil yang justru membuat keheningan tampak lebih tajam. Lucianne duduk di sampingnya dengan anggun; bahunya tegak, posturnya nyaris santai. Seperti seorang nyonya yang kembali menikmati paginya… walau semua orang tahu semalam kastil nyaris hancur moralnya. Pintu ruang makan terbuka perlahan. Lady Vareen masuk. Kecantikannya—yang biasanya begitu sempurna dan menuntut penghormatan—pagi ini tampak retak. Bekas cakaran Mocha masih memerah di sisi wajahnya, menurunkan wibawa itu beberapa derajat. Ada guratan lelah yang bahkan bedak tipis pun tak mampu sembunyikan. Marcus yang pertama bersuara. “Selamat pagi, Ibu.” Lucianne menyusul, suaranya lembut namun sarat ironi terbungkus satin. “Bagaimana lukamu? Sudah membaik?” Lady Vareen menarik napas sebelum duduk, seperti seseorang yang tidak yakin tubuhnya masih sanggup menahan martabatnya sendiri. “Aku tid







