Share

Bab 6

last update Last Updated: 2025-10-13 19:07:43

Udara aula timur masih menyimpan ketegangan. Bisik-bisik belum reda, setiap langkah terdengar lebih keras dari seharusnya. Di tengah arus gadis-gadis yang bergerak menuju pintu, Sylvette justru berbalik—gaun biru safirnya berkilau saat ia melangkah langsung ke arah Aveline.

“Kau bicara soal kebun tua tadi dengan begitu… yakin. Menarik, sebab biasanya hanya bangsawan atau pemilik kebun besar yang mengerti seluk-beluk seperti itu.”

Beberapa gadis lain segera mengerumuni, pura-pura ingin mendengar. Sylvette menundukkan kepala tipis, suaranya tetap lembut—tapi tajam seperti pisau bersarung beludru.

“Atau… mungkinkah kau punya pengalaman pribadi, Nona Rosse?”

Lucienne mendekat, matanya berbinar dingin.

“Ah, aku juga penasaran. Dari kota mana sebenarnya asalmu, Avelinne Rosse? Aku tidak ingat pernah mendengar namamu di lingkaran bangsawan.”

Avelinne menahan napas. Di dadanya, luka lama berdenyut—bayangan ayahnya, kebun anggur yang direbut, rumah yang hilang. Tapi wajahnya tetap tenang. Ia menatap Sylvette lalu Lucienne, menjawab pelan namun jelas:

“Aku memang bukan dari keluarga mana pun yang kalian kenal. Itu sebabnya aku belajar dari tempat berbeda: dari tanah yang diolah, dari tangan yang bekerja. Anggur tidak pernah berbohong—siapa pun yang mau mendengarnya akan tahu.”

Keheningan jatuh. Beberapa gadis terdiam, sebagian menahan senyum canggung. Sylvette mencoba tertawa, tapi terdengar kaku. Lucienne justru mengangkat sudut bibirnya, senyum tipis seperti seekor kucing yang baru menemukan mainan baru.

“Menarik,” ujarnya datar. “Seorang gadis kecil yang berani mengajariku tentang anggur. Aku tak sabar melihat… sejauh mana kau bisa bertahan di sini.”

Tatapan mereka bersilang—dingin melawan dingin.

Di kejauhan, Sebastian berdiri dengan tangan bersedekap. Ia tak bicara, tak membela; hanya mengamati seperti penilai anggur yang tahu, satu buah asing bisa saja mengubah rasa seluruh panen.

Dari kursinya, Lady Varenne mengangkat cangkir sekali lagi.

“Cukup untuk pagi ini. Ujian berikutnya akan dimulai siang nanti. Persiapkan diri kalian.”

Nada suaranya tetap tenang, tapi pandangan matanya pada Avelinne terasa seperti ujian yang jauh lebih berbahaya daripada sekadar memilih anggur.

Saat para gadis mulai berbalik menuju pintu, bisik-bisik halus meletup di udara:

“Pasti hanya beruntung menebak.”

“Lidahnya terlalu berani untuk seseorang tanpa nama.”

“Bayangkan… berani menantang Lucienne di depan Lady Varenne.”

Tawa kecil menutupinya, manis di luar, kejam di dalam. Avelinne berjalan lurus melewati mereka, kepalanya tegak, seolah tak mendengar. Tapi setiap bisikan itu menempel seperti duri di balik kulitnya.

******

Di balik tembok kastil yang megah, ada rahasia yang bernafas dalam diam.

Marcus berdiri di depan jendela tinggi, menatap halaman di bawah. Para pelayan bergegas, para kandidat berlatih senyum mereka—semua sibuk dalam permainan kecil yang disusun keluarga Devereux. Senyum tipis terlukis di wajah Marcus, tapi matanya dingin.

Langkah ringan terdengar dari belakang. Lucianne mendekat, jemari lentiknya menyentuh bahu Marcus seolah isyarat kesepakatan rahasia.

“Lihatlah mereka,” ujar Marcus pelan, nadanya sinis. “Berpura-pura jadi bagian dari panggung… tanpa sadar hanya bidak.”

Lucianne mencondongkan wajahnya sedikit, bisikannya halus namun beracun.

“Ya. Saat Sebastian dan Ibu sibuk dengan sayembara murahan ini, kita jalankan rencana kita tentang anggur itu.”

Marcus menegakkan bahu, suaranya semakin rendah.

“Kebun itu… adalah jantung Devereux. Siapa pun yang menguasainya, menguasai darah keluarga ini.”

Senyum Lucianne melengkung, nyaris seperti bayangan bulan sabit.

“Dan aku tidak berniat selamanya jadi penonton. Anggur-anggur itu akan jadi milik kita—bukan hanya untuk diminum, tapi untuk memabukkan seluruh nama besar Devereux.”

Marcus menatap istrinya singkat, lalu mengangguk lambat.

“Selama Sebastian sibuk dengan ujian pilihannya, kita sibuk dengan kekuasaan. Biarkan ia menari dengan bidaknya… sementara kita yang menggerakkan papan.”

Di luar, lonceng kastil berdentang. Tapi di balik kaca, dua bayangan itu telah menyalakan permainan lain—lebih senyap, lebih berbahaya.

******

Lapangan luas berumput menggantikan aula megah. Pagar kayu tinggi melingkari arena, kuda-kuda berdiri gagah dengan pelana berhias kain brokat yang berkilau di bawah terik matahari siang. Para gadis bangsawan satu per satu naik, berusaha menampilkan postur anggun, gerakan terlatih, dan senyum yang tak tergoyahkan.

Sylvette Charbonneau melangkah dengan percaya diri. Rambut pirangnya berkilau, gaun biru safirnya seolah menantang cahaya. Ia duduk tegak di pelana, menebar senyum seolah kemenangan sudah di tangannya. Namun hanya sekejap—kuda itu meronta liar. Sylvette kehilangan kendali dan tergelincir, jatuh menghantam rerumputan dengan dramatis.

Beberapa gadis menutup mulut menahan tawa. Yang lain pucat, khawatir giliran mereka akan bernasib sama. Dari jauh, Lucienne menatap dengan bibir mengerucut; jelas amarahnya tertahan.

Kegagalan Sylvette membuat kuda-kuda lain gelisah, riuh kecil merambat cepat di arena. Para peserta mulai panik,

keseimbangan mereka goyah.

Sylvette bangkit, wajahnya memerah. Senyumnya paksa, namun matanya menyala, langsung tertuju pada Avelinne—tatapan menantang, seolah berkata: kalau aku jatuh, kau pun takkan bertahan lama.

Saat Avelinne naik, ia segera menyadari sesuatu: pelana kudanya sedikit lebih longgar. Sebuah manuver halus, cukup untuk menjerumuskannya. Jantungnya berdetak kencang, tapi napasnya tetap teratur. Ia mencondongkan badan, menguatkan kendali, menepuk lembut leher kuda itu.

“Tenang… kau tahu jalannya,” bisiknya, teringat pada ayahnya yang dulu mengajarinya di kebun anggur.

Kuda itu mereda, langkahnya mantap. Avelinne menuntunnya dengan percaya diri. Gerakannya bukan sekadar anggun—ia menyatu dengan hewan itu, gaunnya berkibar indah, memperlihatkan keseimbangan yang nyaris mustahil dicapai seorang pendatang baru.

Sylvette hanya bisa menatap dari pinggir lapangan, bibirnya melengkung tipis menahan iri.

Di balik jendela atas, Lucienne mengepal tangannya, suaranya dingin berbisik pada diri sendiri:

“Tidak mungkin… gadis jelata itu mampu menundukkan kuda besar secepat itu. Kalau dibiarkan, ia akan mengacaukan rencana kita.”

Ia berbalik meninggalkan ruangan, membiarkan Marcus tetap berdiri, matanya masih mengamati lapangan dengan senyum samar yang penuh perhitungan.

Sebastian di sisi arena berdiri tegak, bersedekap. Sorot matanya tajam, menilai setiap gerakan, namun wajahnya tetap datar—tak ada sanjungan, tak ada celaan.

Elowen, bersembunyi di balik pagar, menahan napas sambil mencatat dengan mata berbinar. Ia tahu, kakaknya baru saja membalikkan sabotase menjadi kemenangan.

“Luar biasa… benar-benar tak terduga,” gumam Finn, pelayan muda, di sudut lapangan.

Garrick, pelayan tua, menyilangkan tangan. “Hanya gadis desa yang bisa begitu,” sahutnya tenang.

Avelinne menurunkan kudanya dengan anggun. Tepuk tangan sopan terdengar, namun lebih banyak tatapan terperangah dan bisik-bisik berputar di antara para bangsawan muda. Senyum tipisnya muncul—bukan untuk kerumunan, melainkan kemenangan kecil yang hanya ia pahami.

Di balkon atas, Lady Varenne menegakkan tubuh. Jemarinya mengetuk pagar batu perlahan, matanya tak beranjak dari arena.

“Tidak goyah… untuk seorang yang jelas bukan bagian dari lingkaran kita. Menarik, bagaimana seorang asing bisa begitu cepat menyesuaikan diri.”

Senyum tipis melintas di bibirnya—lebih dekat pada ancaman daripada pujian. Ia berbalik, mantel hitamnya berayun ringan saat menuruni tangga.

Sebastian sudah menunggu di bawah, berdiri dengan tangan bersedekap. Lady Varenne berhenti di sampingnya, suaranya tenang, namun ada baja tersembunyi di dalamnya.

“Ujian berikutnya akan lebih menyingkap siapa mereka sebenarnya. Jangan biarkan penampilan sesaat membutakanmu.”

Sebastian menoleh sekilas, sorot matanya gelap namun tenang.

“Aku hanya menilai apa yang kulihat, Ibu.”

“Ya…” Lady Varenne membalas lirih,

tatapannya kali ini melayang antara putranya dan Avelinne yang baru saja dituntun turun dari kuda. Senyumnya samar, nyaris tidak terbaca.

“Dan terkadang, apa yang kita lihat… hanyalah topeng pertama.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Pengantin Bangsawan Yang Kubenci   Bab 19

    Bau jerami lembap dan kayu basah meruap di udara. Seekor kuda meringkik pelan, memecah keheningan malam. Elowen duduk di atas bal jerami, mulut sibuk mengunyah roti kering yang ia selundupkan dari dapur. Matanya berkilat nakal saat menceritakan kejailannya. “ Kau harusnya lihat wajah Sylvette tadi pagi… begitu kecoak itu muncul, dia melompat seperti anak kucing yang ekornya terjepit pintu! Aku hampir tersedak menahan tawa.” Avelinne ikut tertawa, bersandar pada dinding kayu yang dingin. “ Elowen, kalau sampai ketahuan, kau bukan cuma tidur di kandang. Bisa-bisa kau diusir lebih cepat dari yang kau kira.” Elowen hanya cengengesan, menggigit lagi rotinya. “ Ah, biarlah… seseorang harus membuat pesta ini sedikit lebih hidup. Lagi pula, Lucianne selalu muncul diam-diam, menutupi kekurangan Sylvette. Rasanya seperti dua serigala yang berbagi mangsa.” Kening Avelinne berkerut, sorot matanya menajam. “ Ya, mereka licik sekaligus rapi. Tidak heran satu per satu peserta lain tumban

  • Pengantin Bangsawan Yang Kubenci   Bab 18

    Cahaya pucat menembus jendela tinggi, membelah kabut tipis fermentasi yang menggantung di udara. Debu dan uap alkohol berputar samar di antara deretan drum kayu. Bau anggur masam bercampur kelembapan lantai basah, menekan dada seperti beban tak kasat mata. Langkah Sebastian berderap masuk, bukan menuju kantor, melainkan ruang laboratorium kecil di ujung gudang—tempat sampel anggur diuji sebelum resmi menyandang nama Devereux. Osrich sudah menunggunya dengan clipboard di tangan. “Selamat pagi, Tuan.” “Pagi. Kau sudah kerjakan semua yang kuperintahkan kemarin?” “Ya, Tuan. Ini hasilnya.” Sebastian menerima laporan itu. Angka-angka tercetak rapi, namun setiap baris seperti duri menusuk matanya. Ia menghela napas berat. “Persis… seperti yang dikatakan gadis itu,” bisiknya, lebih mirip pengakuan pada dirinya sendiri. Osrich menambahkan, suaranya rendah:

  • Pengantin Bangsawan Yang Kubenci   Bab 17

    Malam menyelimuti atap kastil Devereux, jendela-jendela besar menjulang seolah mata curiga yang mengawasi siapa pun yang melintas. Di ruang makan utama, denting sendok dan garpu terdengar nyaring, memecah keheningan megah. Para gadis peserta sayembara menunduk anggun, menikmati hidangan mereka dengan khidmat. Namun jelas, sebagian besar hanya menjadi hiasan di panggung permainan keluarga Devereux. Di sisi meja utama, Lady Vareen duduk tegak, ditemani Marcus, Lucianne, dan Sylvette yang mendapat kursi dekat keluarga inti—sebuah penegasan halus akan posisinya yang istimewa. Lady Vareen perlahan meletakkan tangannya di meja. Pandangannya jatuh pada kursi kosong di hadapannya. “Marcus, di mana Sebastian? Mengapa dia tidak hadir?” Marcus mengangkat kepala, bibirnya melengkung tipis. “Mungkin ia sedang tidur bersama botol-botol anggur di gudangnya,” jawabnya, nada sinis seolah mengejek kakaknya sendiri. Lucianne menoleh sekilas pada suaminya, lalu kembali pada piringny

  • Pengantin Bangsawan Yang Kubenci   Bab 16

    Kereta kuda berderit melewati pagar besi tinggi berukir lambang keluarga Devereux—seperti rahang monster yang menjaga rahasia di dalamnya. Roda berhenti di pintu belakang gudang anggur, bangunan batu tua yang hari itu riuh oleh para pekerja. Laki-laki berotot mondar-mandir memanggul keranjang anggur segar, aroma manis bercampur asam memenuhi udara, diselingi sengatan tajam alkohol yang menusuk hidung. Mereka turun dari gerobak. Saat Avelinne menjejakkan kaki di tanah, ia sempat mengernyit tipis, lalu menarik napas panjang, seakan seluruh indranya menimbang tempat itu. Elowen melirik kakaknya—ia tahu tatapan itu bukan sekadar kagum, melainkan penuh perhitungan. Mereka ikut membantu pelayan tua menurunkan peti-peti berat. Di dalam, pemandangan lebih mencengangkan. Rak kayu menjulang dipenuhi botol berlabel emas, drum besar dari kayu ek berbaris rapi di sepanjang dinding. Beberapa pekerja sibuk memeriksa fermentasi; suara cai

  • Pengantin Bangsawan Yang Kubenci   Bab 15

    Siang itu, aula kastil riuh oleh tawa dan bisik-bisik para gadis bangsawan. Seperti pesta tanpa akhir, mereka saling menonjolkan kelebihan, berlomba menjadi bintang paling bersinar. Hari-hari di kastil terasa lebih seperti pameran kecantikan ketimbang ujian.Di sisi tangga besar, Sylvette menuruni anak-anak undakan dengan langkah mantap. Dagu terangkat, gaun sutra berdesir, menyapu permadani merah tua yang terbentang. Cahaya siang dari kaca patri memantul di rambut emasnya, membuatnya tampak seolah baru turun dari lukisan.Para peserta di bawah aula serentak menoleh; beberapa menahan napas, yang lain sekadar terpaku.Di pojok ruangan, Martha dan seorang pelayan tengah merangkai bunga, berbisik lirih di balik denting piring perak.“Lihatlah… betapa anggun wanita itu.”“Aku yakin, dialah yang paling pantas menjadi istri Tuan Sebastian.”Sylvette mendengar. Senyum tipis melengkung di bibirnya, penuh keyakinan diri. Ia mela

  • Pengantin Bangsawan Yang Kubenci   Bab 14

    Kabut pagi menyelimuti halaman kastil, tipis seperti tirai putih yang menggantung rendah. Dari atap kandang, sisa hujan menetes satu-satu, jatuh ke genangan kecil di tanah becek. Udara lembap menusuk hidung, bercampur bau jerami basah dan kuda yang meringkik resah.Avelinne menggeliat di antara jerami, tubuhnya kaku oleh dingin malam. Saat membuka mata, ia merasakan sesuatu yang asing—hangat yang tidak ada sebelumnya. Selimut.Ia terbangun cepat, jemarinya meraba kain itu dengan ragu. Alisnya berkerut dalam.“Elowen…” bisiknya sambil menggoyang bahu adiknya, “siapa yang menaruh selimut di sini?”Elowen hanya menggumam, lalu mengucek mata. Rambutnya berantakan, dipenuhi helaian jerami. Ia menguap panjang sebelum menjawab malas, “Mungkin… hantu kastil. Atau arwah bangsawan yang mati penasaran.”“Jangan bercanda,” Aveline mendesis. Nada suaranya lebih tegang daripada marah.Elowen terkekeh kecil, meski wajahnya masih set

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status