LOGINMalam jatuh lebih cepat di Kastil Devereux. Lucianne diterima tanpa pengumuman. Tidak ada pelayan yang mengiringi terlalu jauh. Ia tahu jalannya, dan rumah itu tahu kapan harus diam. Lady Vareen duduk di dekat perapian, punggungnya tegak, tangan bersandar ringan pada sandaran kursi. Cahaya api memantul di perhiasan kecil di lehernya—tenang, terkontrol. “Kau melihat sesuatu di pasar,” kata Lady Vareen, tanpa menoleh. Lucianne tidak langsung menjawab. Ia berdiri beberapa langkah dari kursi itu, memilih kata seperti memilih pisau—tajam, tapi bersih. “Avelinne,” katanya akhirnya. Nada suaranya datar. “Ia ada di sana.” Lady Vareen menoleh perlahan. “Sendiri?” “Dengan adiknya,” jawab Lucianne. “Dan… tidak seperti dulu.” Ia berhenti sejenak. Tidak lama. Cukup untuk memberi ruang agar bayangan itu tumbuh sendiri. “Tubuhnya berubah,” lanjutnya. “Mantel terlalu rapat. Cara berjalan terlalu hati-hati.” Lady Vareen tidak bereaksi. Wajahnya tetap tenang. Tapi jari-jarinya ber
Malam belum sepenuhnya jatuh ketika Marcus meninggalkan ruang pertemuan. Langkahnya ringan. Tidak tergesa, tidak ragu. Di lorong batu kastil, para pelayan menyingkir dengan naluri yang terlatih—bukan karena perintah, melainkan karena aura seseorang yang tahu ke mana ia menuju. Di tangannya, bukan map tebal atau catatan audit. Hanya segelas anggur. Ia berhenti sejenak di dekat jendela tinggi yang menghadap ke halaman dalam. Di bawah sana, kereta pengangkut keluar masuk tanpa jeda. Peti-peti disusun. Roda berputar. Tidak ada segel lilin. Tidak ada sunyi yang menahan napas. Marcus mengamati itu dengan senyum tipis. “Pasar tak pernah menunggu,” gumamnya, lebih pada dirinya sendiri. Anggur di gelasnya diputar perlahan. Warnanya jernih. Aroma bersih. Bukan anggur terbaik Devereux—tapi cukup baik untuk bergerak, cukup aman untuk dijual. Dan yang terpenting: tersedia. Seorang rekan bangsawan baru saja pergi dengan janji yang belum diucapkan keras-keras, namun sudah dipaham
Gudang sudah gelap ketika Sebastian kembali. Lampu-lampu dinyalakan seperlunya, meninggalkan bayangan panjang di antara tong-tong yang tak lagi boleh bergerak. Lady Vareen menunggunya. Ia berdiri di dekat meja pencatatan, mantel gelapnya masih terpasang rapi, seolah tidak berniat lama—atau justru sebaliknya. “Kau tidak pulang,” katanya tanpa pembuka. Sebastian meletakkan sarung tangannya. “Gudang ini butuh aku.” “Sejak pernikahan itu batal,” lanjut Lady Vareen, suaranya tetap tenang, “kau hampir tidak pernah kembali ke kastil.” Sebastian tidak menjawab. Ia menuang segelas anggur—batch lama, yang masih aman. Gerakannya terukur. “Kau tetap bagian dari keluarga ini,” kata Lady Vareen. “Dan keluarga tidak ditinggalkan saat sedang diawasi.” “Aku tidak meninggalkannya,” jawab Sebastian datar. “Aku menjaga apa yang tersisa.” Lady Vareen menatapnya lebih lama. Lalu, dengan nada yang tampak ringan namun disengaja, ia berkata, “Marcus sudah mulai bergerak.” Sebastian be
Avelinne masih membelakangi jalan ketika suara langkah sepatu berhenti tak jauh darinya. Tidak tergesa. Tidak ragu. Langkah seseorang yang tahu ke mana ia datang. “Avelinne.” Namanya jatuh di udara, jelas—terlalu jelas untuk pasar yang bising. Tubuh Avelinne menegang seketika. Ia tidak menoleh. Jari-jarinya merapatkan mantel lebih erat di dada, seolah kain itu bisa menyembunyikan sesuatu yang tak boleh terlihat. Nafasnya tertahan setengah detik terlalu lama, lalu dilepaskan perlahan, terkontrol. Sebastian berdiri beberapa langkah di belakangnya. Ia melihat punggung itu. Garis bahu yang ia kenal. Cara tubuh itu diam—bukan tenang, tapi menahan. Ia tidak mendekat. “Pasar ramai hari ini,” katanya datar. “Bagaimana gosip selalu lebih cepat dari kereta anggur.” Avelinne tetap diam. Sebastian melanjutkan, suaranya tertata, seolah ia sedang berbicara di ruang rapat, bukan pada perempuan yang pernah ia kenal lebih dekat dari siapa pun. “Aku diminta menarik batch yan
Pagi datang lebih cepat di rumah Avelinne. Cahaya masih pucat ketika Avelinne mengikat rambutnya, sementara Elowen memasukkan keranjang ke dekat pintu. Mereka berencana berangkat lebih awal—sebelum matahari naik dan panas membuat pasar sesak. “Kalau terlambat sedikit saja, anggur segar tinggal sisa,” gumam Elowen. Avelinne mengangguk. Ia meraih mantel tipisnya—lalu berhenti. Ketukan terdengar di pintu. Bukan ketukan tetangga. Terlalu ragu, terlalu terukur. Osric berdiri di ambang pintu, mantel kerjanya belum sempat diganti. Wajahnya menunjukkan malam yang tidak benar-benar usai. “Ada yang terjadi?” tanya Avelinne tanpa basa-basi. “Gudang,” jawab Osric. “Pagi ini.” Itu saja sudah cukup membuat udara berubah. Ia menjelaskan singkat: inspeksi mendadak, segel lilin, keputusan Sebastian menghentikan distribusi. Kata-katanya tenang, tapi jeda-jeda kecil di antaranya berbicara lebih jujur daripada kalimat mana pun. Avelinne mendengarkan tanpa menyela. Seharusnya ia me
Gudang kembali bergerak, tetapi dengan irama yang pincang. Sebastian berdiri di ruang atas, menghadap halaman gudang yang mulai dipenuhi pekerja. Wajah-wajah yang sama, tangan-tangan yang selama ini ia percayai untuk menjaga nama Devereux—kini menunggu tanpa tahu apa yang akan diputuskan atas hidup mereka. Osric berdiri di sisinya. Tidak bicara. Tidak bertanya. Ia sudah cukup lama mengenal tuannya untuk tahu: saat Sebastian diam seperti ini, keputusan sudah diambil. Sebastian melangkah maju. Tidak ada panggung. Tidak ada upacara. Hanya suara sepatu di lantai kayu dan pagi yang masih setengah dingin. “Mulai hari ini,” katanya, suaranya jelas namun tanpa tekanan, “distribusi untuk batch terakhir dihentikan.” Beberapa kepala terangkat. “Fermentasi akan dikaji ulang. Gudang timur ditutup sementara. Produksi dipersempit sampai audit selesai.” Sunyi menyusul, berat dan kental. Ia melanjutkan, sama tenangnya. “Sebagian dari kalian akan dipulangkan lebih awal. Bukan karena







