Share

Sebuah Kesepakatan

Yukk ke tkp yuk..

“Setuju” Tanyaku pasti pada wanita yang berdiri tepat di hadapanku

“Setuju” Jawabnya dengan semangat

“Baguslah. Jika kamu sudah setuju, sore pukul 17.00 datang ke tempat ini” Ucapku sambil menyodorkan secarik kertas bertuliskan sebuah alamat.

Wanita dihadapanku ini tidak menjawab perkataanku, dia hanya mengambil kertas yang aku sodorkan lalu menganguk saja dan itu artinya dia mengiyakan semua perkataanku. Dari pada aku berlama-lama berdiri dengannya disini, lebih baik aku ke kantor,gumamku. Banyak hal yang harus ku urus.

***

Setelah berpamitan, aku bergegas masuk ke mobil dan melaju dengan kencang membelah keramaian kota Zue. Sesekali aku mengingat Adelia yang sudah pergi meninggalkan aku seorang diri. Wajahnya masih terbayang-bayang di benaku. Ada rasa sesak yang bertahkta di dalam dada. Rasa sesak yang bercampur dengan rasa bersalah. 

Mobilku ku paksa menepi di tengah-tengah keramaian kota. Sejenak aku berpikir bahwa aku terlalu ego. Ego karena baru beberapa jam yang lalu Adelia meninggal dunia namun aku sudah disibukan dengan banyak pekerjaan. 

Namun, tolong maafkan aku sayang. Akan aku pastikan kamu akan bahagia melihat apa yang aku lakukan untukmu dari sini, batin ku.

***

Luis sudah menunggu kedatanganku. Luis adalah orang ke dua yang tau segalanya tentang diriku selain Adelia. Bahkan ayah ibuku pun tak pernah bertanya, apakah aku selama ini baik-baik saja. Mereka hanya sibuk dengan saham perusahaan dan nilai perusahaan yang ayahku rintis berpuluh-puluh tahun lamanya.

***

“ Luis apa yang saya minta kamu sudah siapkan?” Tanyaku kepada Luis ketika aku memasuki Lobby depan kantor

“Sudah Bro, tinggal menuggu revisi dari kamu ajah”  Jawab Luis cepat sambil menyamakan langkah denganku yang sudah berjalan mendahului Luis

“Baguslah kalau begitu” Ucapku sambil berjalan memasuki Lift.

***

Aku segera bergegas masuk ke ruangan apalagi saat melihat berkas –berkas yang Luis bawakan. Entah kenapa aku sangat ingin mengeceknya satu-persatu. Ku angkat berkas-berkas yang terbungkus di map cokelat itu dan segera ku perhatikan.

Wah, rupanya wanita ini dari keluarga berada. Dan sepertinya orangtuanya juga pasti Ayah kenal. Tapi terserah. Itu urusannya yang penting dia sudah menyetujui kesepakatan yang aku buat. Tapi tunggu dia datang dengan alasan konyol. Yang benar sajah dia tidak memiliki seorang kekasih, mustahil.  Ahh aku tau, karena dia tidak memiliki seorang kekasih maka dia juga membutuhkan ku agar menolak pertunangan yang ayahnya rencanakan. Ohh rupanya begitu, tapi baguslah semua rencana yang akan aku lakukan bisa berjalan dengan mulus. Tutur ku dengan senyuman puas sambil kembali meletakan berkas-berkas itu di meja.

***

Alea Pov

“Iya Maa..iya Maa…iyaa” Ucap ku, saat berbicara dengan Mama di telfon.

“Alea, kamu udah gak mudah lagi sayang. Usia kamu sudah matang untuk menikah nak. Jika kamu tidak setuju dengan pertunangan ini, tolonglah. Mama ingin kamu bawa pacar kamu ke papa kamu. Kasihan dia nanya-nanya terus, nak.” Kata Naura, Mama Alea.

“Iya Maa.. iya” Jawabku sambil berjalan dengan langkah cepat.

“Yaudah, kamu pulang hari ini yah, mama rindu. Ohya, hari ini Mama sama Papa ada undangan ke luar Alea jadi Mama harap kamu pulangnya cepat yah.” Ucap Naura dengan tegas

“Iya Maa, memangnya Mama- ” Ucapanku terhenti, ketika mataku tepat melihat seorang anak perempuan berusia 8 tahun lari ke tengah jalan untuk mengambil sebuah teddy bear. 

Seketika juga aku memutuskan panggilan sepihak dan berlari ke tengah jalan menghampiri bocah itu namun saat aku hendak mendekat dan menarik tangan bocah itu suatu suara menghentikan langkah ku seketika.

“Awas nona” Sebuah perkataan yang berhasil membuat ku terperanjat dan menyadari bahwa ada sebuah truk dengan kecepatan tinggi melaju ke arah kami. Aku yang berdiri pun dengan cepat menarik tangan bocah itu dan saat aku menarik tangan bocah ini, aku menyadari kami sudah dalam bahaya. Namun, tiba-tiba ada seorang wanita yang berlari ka arah kami dengan cepat dan mendorong aku dan bocah  itu sehingga kami terpental jauh dari jalan, lebih tepatnya dekat bibir trotoar.

“Bruggh”

Suara dentuman besar itu yang terakhir kalinya aku dengar setelah tubuh kami jatuh terpapar begitu saja di aspal. Ketika ku buka mata perlahan-lahan betapa terkejutnya aku mendapati seorang wanita sudah berlumuran darah jatuh terpelungkup tepat di hadapanku.  Sementara anak kecil ini masih di pelukanku dan aku yang shock pun tak mampu mengucapkan kata-kata lagi. Aku melepaskan anak ini dalam pelukanku dan membiarkannya pergi ke pada orangtuanya, sedangkan aku perlahan merayap mendekati wanita yang sudah tak berdaya ini.

 Hembusan nafasnya masih terdengar jelas namun perlahan-lahan memberat dan kemudian tak terdengar lagi. Aku yang tak tau harus melakukan apa-apa kepada wanita ini pun memilih menangis.

 Antara bingung, sedih, sakit dan rasa bersalah yang berkecamuk di dalam dada. Namun, semua itu melebihi rasa bersalah yang teramat dalam bagiku. Wanita cantik ini harus terkapar seperti sekarang ini karena menolong kami.

Saat aku menangis di samping wanita ini tiba-tiba seorang lelaki datang dan turut menangis bersamaku. Ketika dia menatap ku dan bertanya, siapa sebenarnya aku, namun, aku hanya memilih untuk diam saja.

Setelah aku disampingnya dalam waktu yang cukup lama, aku menyimpulkan bahwa wanita yang menolong aku dan anak ini adalah tunanganku. Aku semakin merasa bersalah ketika mendengar penuturan dari laki-laki ber-jas hitam ini. Aku menyadari, akulah orang yang telah merusak hubungan mereka. Aku tau apa yang lelaki ini rasakan. Tentu saja sangat terpukul, apalagi lelaki di sampingku ini melihat dengan jelas wanita ini di tabrak. 

Huuh, aku juga sangat terpukul melihat kejadian seperti ini, gumamku sambil meremas teddy bear yang anak kecil itu jatuhkan tadi. Namun, lelaki disampingku ini memandang ku sekali lagi. Matanya masih penuh dengan butiran-butiran air asin yang menetes begitu saja. Kemudian, tanganya dengan cepat menarik teddy bear yang aku gengam. Dari sorot matanya terlihat sangat kesal ketika dia menarik boneka itu lalu kembali berkata padaku di sela- sela isak tangis. 

Pertanyaan yang sama lagi ia katakan kepadaku. Kamu siap sebenarnya? Pertanyaan itu membuatku cukup takut karena dia dengan tegas mengatakannya kepada ku. Namun, aku tidak menjawab dan memilih diam sambil menangis.

Sementara aku sedang menangis, tiba-tiba sebuah mobil polisi datang dan memintaku memberi keterangan di kantor polisi. Aku meyetujui hal itu dan segera berlalu pergi dengan sisa-sisa butiran halus yang masih bertahkta di ke dua netra hitam, milik ku. 

***

Di kantor polisi

Sudah sejam aku disini. Di interogasi untuk mengambil beberapa hal akurat dariku. Namun, pikiranku terus memikirkan wanita yang telah bersimbah darah saat menolongku tadi. Apakah dia selamat ataukah dia sudah benar-benar pergi, gumamku sambil bermonolog sendiri.  

Saat aku sedang asik-asiknya berpikir seorang polisi berbadan gemuk datang menghampiri ku yang sedang duduk di kursi.

“Menurut data-data yang nona berikan dan ditambah pengakuan anak kecil itu, ini semua adalah murni kecelakaan. Juga sopir truknya sedang kami selidiiki. Baiklah itu saja yang dapat saya sampaikan, terimakasih atas kerja samanya nona” Ucap lelaki dihadapanku ini

“Tapi Pak. Saya merasah sangat bersalah dengan kejadian tadi, untuk itu demi kelancaran penyelidikan kasus ini, jangan sungkan hubungi saya. Hitung-hitung sebagai permintaan maaf saya kepada wanita yang sudah menyelamatkan saya. Karena, jujur saya sangat merasa bersalah.” Ucapku sambil tersenyum

“Kami sangat menghargai bantuan nona, terimakasih sebelumnya nona” Ujar polisi itu

“Ya sudah kalau begitu, saya mohon pamit Pak. Permisi” ucapku berpamitan pada pak polisi ini.

Namun, saat polisi yang berdiri di hadapanku hendak membalas  ucapanku, tiba-tiba seseorang datang dan memotong pembicaraan kami.

“Rupanya anda memang merasa bersalah? Apakah anda pantas untuk dikeluarkan, seharusnya anda juga membusuk saja di balik sel saja” Tukas seorang lelaki dari belakang.

Aku yang sedang berdiri pun hanya bisa menelan ludah ketika mendengar penuturan kasar yang  keluar dari mulut lelaki di belakang kami itu. Jujur perkataannya membuatku hatiku sakit namun jika aku pikir-pikir ada benarnya juga perkataanya itu. Perkataannya itu kembali membuat ku merasa bersalah lagi. 

Aku tidak berani memalingkan muka ka arahnya apalagi menatapnya. Aku hanya menunduk dan seperti biasa,  memainkan jari-jariku saja.

Sementara, polisi yang di depanku ini sudah tidak tahan dengan perkataan lelaki di belakang kami ini. Pak polisi yang dihadapanku ini, semula diam, kembali memilih membuka percakapan.

“Silahkan ke sini,tuan. Anda sangatlah tidak sopan jika hanya berdiri disana.”

“Saya disini saja. Saya tidak ingin disana dengan pembunuh” Ucapnya dengan penuh penekanan di akhir kalimat

Pembunuh? Apa Katanya barusan? Dia pikir dia siapa disini, gumamku sambil memalingkan wajahku untuk menatapnya, dan betapa terkejutnya aku saat melihatnya.

Bersambung**

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status