LOGINAyasa memijat pelipisnya. Wajahnya pucat pasi dan keringat dingin mulai mengalir dari pelipisnya.
"Ayasa, kamu tidak apa-apa?" tanya Dina, sahabat sekaligus rekan kerjanya. "Astaga, badanmu hangat! Istirahat saja dulu, atau kamu mau izin pulang? Nanti aku infokan ke HRD." Ayasa menghembuskan napas pelan. Sejak sampai di kantor, dia memang merasa tidak enak badan, tapi tetap memaksakan diri. Puncaknya pada siang ini, ketika jam istirahat, dia langsung ke kamar mandi untuk memuntahkan semua isi perutnya. "Tidak usah, aku hanya butuh tidur. Nanti juga sembuh." Dina langsung membawa Ayasa menuju salah satu ruangan tempat istirahat. "Sebentar, aku ambil obat dulu." Selang beberapa saat, Dina muncul membawa sepotong sandwich dan obat. "Buat ganjel perut ya, baru minum obatnya." Ayasa mengangguk lemah, setelah meminum obatnya dia mencoba memejamkan mata, tapi Ayasa tidak kunjung tidur. Dia menghembuskan napas berat, membuka mata perlahan dan menatap langit-langit ruangan itu dengan mata berkaca-kaca. "Ayasa, ada masalah? Tapi tidak apa-apa jika kamu tak mau cerita sekarang," ujar Dina pelan. “Kak Bella ….” Lirih Ayasa, lalu air matanya mengalir deras. Ayasa tidak tahu apa yang terjadi pada dirinya, yang jelas dia hanya ingin menumpahkan air mata. Dia juga tidak tahu mau cerita kepada siapa karena sangat mustahil jika memberitahukan segalanya pada Dina. Dina menenangkan Ayasa. "Aku tahu kalau kamu pasti sedih karena pernikahan Kak Bella dan Mas Regas batal, apalagi beritanya sudah di mana-mana. Sebagai public figure yang namanya sangat besar, pasti keluarga mereka juga kena dampaknya. Untungnya selama ini tidak ada yang tahu kamu adalah adik Kak Bella, setidaknya kamu tidak dikejar-kejar awak media serta orang-orang yang kepo terkait berita ini." Sejujurnya Dina ingin bertanya mengapa pernikahan itu bisa batal, padahal pernikahan yang dianggap couple goals itu sudah ditunggu-tunggu oleh netizen. Namun, dia tahu Ayasa belum siap menceritakan masalah kakaknya itu. “Sekarang kamu istirahat ya.” Dina mengalihkan pembicaraan karena melihat Ayasa yang kembali melamun. Tiga jam kemudian, Ayasa terbangun dengan kondisi tubuh yang sudah mendingan. Dia tersentak kaget ketika melihat seorang pria yang duduk di kursi samping kasurnya. "Maaf, saya mengagetkan kamu ya?" Malvin tersenyum tak enak. "Tidak Pak, tidak. Justru saya minta maaf karena tidur di jam kerja." Ayasa bergegas bangkit dari kasur, tapi langsung memegang kepalanya ketika merasakan pusing. "Astaga, pelan-pelan! Tidak apa-apa, kamu lanjut istirahat saja. Tadi Dina sudah menjelaskan kepada saya tentang kondisimu. Nanti kalau mau pulang katakan saja, biar saya antar.” Ayasa menggeleng kuat. "Tidak usah, Pak. Nanti Dina saja yang mengantar saya pulang." "Dina lagi meeting. Mungkin selesainya 2 jam lagi," timpal Malvin. Ayasa terdiam, menatap sekeliling dengan wajah ragu. "Saya mau pesan taksi saja, Pak.” Final Ayasa, jika boleh jujur … dari dulu dia tidak nyaman dengan segala perhatian Malvin. Tak enak saja kepada rekan kerjanya yang lain. Takut menjadi gosip liar dan merugikan dirinya. Malvin akhirnya mengalah, tahu bahwa Ayasa kurang nyaman karena didesak. "Baiklah, tapi jangan menolak ketika saya antar ke bawah." Ayasa mengangguk, tidak ingin berdebat dengan bosnya ini. Ketika sudah masuk taksi, sepanjang perjalanan menuju rumahnya, Ayasa terdiam. Dia merindukan ibu dan ayahnya, walaupun sangat kecewa karena mereka menjerumuskannya ke dalam pernikahan ini. “Kenapa kamu pulang? Memang tidak bekerja?” tanya Rima. Tubuh Ayasa membeku. Baru saja sampai di depan pintu rumahnya, dia langsung dicecar pertanyaan seperti itu. "Kamu sudah izin suamimu ke sini? Ingat Ayasa, kamu bukan seorang yang bebas sekarang, karena kamu sudah menikah. Jadi, apa pun yang kamu lakukan harus izin ke suamimu terlebih dahulu!" tegas Hakim, menatap putrinya datar. "Kamu tidak bisa larut dengan kesedihan seolah-olah tersakiti begitu dalam. Daripada meratapi nasib, lebih baik kamu menerima semuanya dengan lapang dada dan mulai menjadi istri yang baik untuk Regas," ungkap Rima dingin. "Jika kamu ke sini hanya untuk menumpahkan keluh kesahmu, lebih baik pulang. Karena masalah kami jauh lebih besar daripada masalahmu. Ke depannya, cobalah jangan sering-sering ke sini dan mulai fokus pada kehidupan rumah tanggamu," Hakim ikut menimpali. Dada Ayasa terasa sesak. Ternyata dari dulu memang dia tidak diinginkan oleh siapa pun, termasuk kedua orang tuanya. Ayasa mengepalkan tangan di sisi tubuhnya, ingin meraung menangis sekeras-kerasnya. Apakah jika dia bisa mengambil hati Regas dan membuat usaha kedua orang tuanya kembali berjaya, mereka akan menganggapnya ada? Jika memang itu yang mereka inginkan, Ayasa akan membuktikannya. “Baik, maaf telah mengganggu Ibu dan Ayah atas kehadiranku. Awalnya aku ke sini karena merindukan kalian.” Ayasa tertawa pahit. “Tapi memang aku yang kurang sadar diri. Maaf sekali lagi, aku permisi.” Hakim dan Rima tertegun, mereka hanya melihat dalam diam punggung Ayasa yang bergetar seraya berlari menjauh. Ayasa pulang ke rumah Regas sekitar pukul delapan malam, karena dia berdiam diri di taman untuk menenangkan diri. Matanya bengkak dan kesedihan masih melingkupinya, tapi hidup terus berjalan … mendengar pernyataan orang tuanya membuat Ayasa kembali berpikir, jika dia akan membuktikan pada orang tuanya bahwa dirinya pantas dihargai dan dicintai. “Nyonya, sebaiknya Anda bersiap-siap.” Ayasa tersentak kaget ketika baru saja membuka pintu dan disambut oleh Nina. Nina dengan sigap dan cepat menuntun Ayasa menuju kamarnya. “Ada apa memangnya?” tanya Ayasa bingung. Nina terdiam sejenak, lalu berkata, “Mertua Anda akan datang ke sini, mungkin 10 menit lagi dia akan sampai.”"Ma, jangan ngomong gitu. Regas tetap harus hormati istrinya juga, Mama juga tidak usah mendukung dia kalau memang putra kita salah," tegur Arvin. Marissa semakin berang saat suaminya berkata hal demikian. Jelas-jelas ini memang salah Ayasa, seharusnya menantunya Bella, atau kalau tidak Laluna. Bukan malah wanita dari antah berantah seperti ini. "Udalah, Papa jangan bela dia. Nanti kepalanya semakin besar!" Kesal Marissa. Entah mengapa bawaannya emosi terus saat melihat Ayasa. Arvin menghembuskan napas berat, istrinya ini memang tak tanggung-tanggung jika tidak menyukai seseorang. "Ma, Papa udah—" Perkataan Arvin terhenti saat ponselnya berbunyi. "Papa angkat telepon dulu." Pria itu bergegas pergi ke dalam, sepertinya ada sesuatu yang penting. Setelah kepergian Arvin, tinggallah Ayasa dan Marissa. Sedari tadi, Ayasa menunduk. Bibirnya terkatup rapat, masih terdengar jelas jika sang mama mertua dengan tega mendukung jika Regas dan Laluna mempunyai hubungan. "Saya t
Setiap harinya Ayasa merasa tak tenang, bagaimana tidak. Ancaman Regas membuatnya kettar-ketir, pria itu seolah-olah ingin menghukumnya membabi buta.Dia tidak tahu, di mana letak kesalahan fatalnya. Regas memang selalu punya celah untuk menyalahkannya. “Ay, kamu baik-baik aja, ‘kan?” tanya Dina serius, apalagi Ayasa tampak pendiam akhir-akhir ini. Ayasa tersenyum kaku, lalu menggeleng pelan. “Tidak apa-apa, kok. Aku cuma kurang enak badan aja, soalnya pulang kantor harus ke rumah sakit juga setiap harinya.” Benar, Ayasa menjaga ayahnya yang sudah selesai operasi, sang ibu memang ada. Akan tetapi, Risma jarang ke rumah sakit dengan alasan mem-back up pekerjaan suaminya. “Aduh, kayaknya kamu terlalu memporsir tenaga kamu deh, Ay.” Dina menatap khawatir sahabatnya. Dari dulu sampai detik ini Ayasa memang selalu memberikan yang terbaik bagi keluarganya, maka dari itu Dina kesal ketika Risma mengatakan Ayasa tak seperti Bella, yang mampu memberikan apa pun keinginannya. Anak bukanla
“Jadi, apa maksud dan tujuan kamu menemui saya?” Regas membawa Ayasa ke ruangan yang digunakan untuk istirahat, Regas duduk di kuris yang ada di sana. Menatap Ayasa penuh kuasa. Manajer-nya dan Laluna dia biarkan menunggu di luar, karena bagaimanapun … pasti ini menyangkut hal pribadi. “Ak–aku ….” Ayasa meremas kedua tangannya gugup. “Aku ingin meminjam uang pada Mas Regas, apakah boleh? Aku berjanji akan mengembalikannya secepat mungkin.” Wajah Ayasa merah padam, dia menunduk, tak berani menatap tepat ke wajah sang suami. “Berapa?” Ayasa tersentak kaget saat Regas dengan cepat merespons, tanpa sadar dia langsung mendongak. “Ti–tiga ratus juta, Mas. Sebelah alis Regas terangkat, menatap Ayasa dari atas sampai bawah dengan pandangan mencela. Hal itu tentu membuat Aysa merasa rendah diri. “Orang sepertimu sangat memuakkan,” tekan Regas dingin, tak lupa melempar senyum sinis. Jantung Ayasa seolah merosot ke perut, jangan tanya bagaimana keadaan hatinya yang berdarh
Ayasa tersentak kaget mendengar pernyataan ibunya. Bagaimana mungkin dia dengan santainya meminta hal seperti itu pada Regas? "Bu, aku nggak bisa. Apalagi meminta ratusan juta ... kami juga menikah bukan karena cinta, melainkan—" Ayasa membeku, tubuhnya sampai tersungkur. "Kurang ajar!" Rima menampar Ayasa dengan amarah membeludak. "Bisa-bisanya kamu memikirkan hal seperti itu di saat ayahmu kritis! Apa kamu punya otak, Ayasa!" Ayasa memegang pipinya yang terasa kebas. Dia yakin, sudut bibirnya juga pasti terluka karena merasakan asin pada indra pengecapnya. "Baru segini aja kamu udah berkoar-koar, apalagi jika berkorban seperti Bella yang melakukan segalanya demi keluarga. Pergi kamu sekarang dan cepat temui Regas! Kalau kamu tidak bisa mendapatkan uang untuk operasi ayahmu, lebih baik jangan panggil saya ibu lagi selamanya!" sentak Rima frustrasi melihat kelakuan Ayasa. Ayasa tergugu di tempatnya, air matanya sudah mengalir deras. "Bu—" "Tidak ada tapi-tapian, Ayasa! C
Ayasa menatap kosong langit-langit kamarnya. Matanya membengkak karena menangis semalaman. Regas benar-benar keterlaluan. Pria itu bak monster yang membuatnya bergidik ngeri. "Kamu sudah bangun?" Regas baru saja keluar dari kamar mandi, dia bersedekap dada, menatap Ayasa dengan wajah datar. Pria ini sangat santai, seolah tak ada rasa bersalah sedikit pun pada sang istri. Ayasa bergeming, sama sekali tidak mengindahkan ucapan Regas. Saat ini dia benar-benar sakit, baik fisik maupun hati. "Kita sudah menjadi suami istri. Lantas, apa salahnya? Kamu juga menikmatinya," ujarnya datar. "Satu lagi, jangan lupa minta maaf pada Laluna, akibat kecerobohanmu, kakinya sampai membengkak dan merah." Ayasa yang sejak tadi membisu perlahan menolehkan kepalanya. "Apa maksud Mas Regas?" tanyanya dengan napas memburu. "Saya tidak suka mengulangi perkataan yang sama, saya harap kamu segera meminta maaf pada Laluna," ujar Regas sambil berjalan santai dengan hanya mengenakan handuk. Wanita itu m
Ayasa merasa bersalah karena selalu mematikan ponselnya, sehingga dia tidak tahu bahwa Nina sudah menghubunginya mengenai kedatangan sang mertua. Ayasa menggigit bibir bawahnya resah. Dia bahkan hanya mengenakan dress sederhana yang dimilikinya. Wajahnya hanya dipoles sedikit untuk menyamarkan wajah kusutnya dan menutupi kesedihannya. Ayasa turun tergesa-gesa dan hampir jatuh dari tangga jika dia tidak berpegangan. Dia kembali menuruni undakan tangga, takut jika mertuanya sudah sampai, dan—langkah Ayasa tiba-tiba terhenti. Dia menelan ludah susah payah saat melihat Laluna dan ibu mertuanya sedang bercanda ringan, sementara Regas duduk tenang sambil menerima telepon. “Hai! Sini Ayasa, duduk di sini.” Sambutan Laluna membuat Ayasa tersenyum. Kini dia yang seperti tamu. Ayasa melihat ke arah Marissa–mama mertuanya. "Selamat malam, Ma." Marissa hanya mengangkat sebelah alis, lalu kembali berbincang bersama Laluna. Ayasa tersenyum kikuk, dia ingin mencium punggung tangan Marissa, tapi







