LOGIN
“Walaupun kamu menampar pipimu sampai merah, itu semua tak mengubah apa pun.”
Suara itu membuat Ayasa membalikkan tubuh. Dia terkejut melihat sosok tubuh tinggi tegap yang menjulang di hadapannya. Regas Tenggara—kekasih kakaknya—Bella. Bahkan sekarang Ayasa tidak tahu di mana Bella berada. Dia merasa menjadi orang bodoh yang hanya menerima dan tak diberi penjelasan lebih. "Kenapa harus aku, Mas? Dan mengapa tidak ada yang memberitahuku alasan kak Bella kabur? Kalian semua bungkam, padahal aku juga korban di sini, " kata Ayasa datar. Mereka sudah sampai di kediaman Regas setelah melangsungkan pernikahan pagi ini, seminggu yang lalu Bella kabur entah ke mana, membuat Keluarga Tenggara murka. Lantas, jalan yang mereka tempuh adalah tetap melangsungkan pernikahan, dan tentunya Ayasa yang menggantikan kakaknya. Untuk orang berduit seperti Keluarga Regas Tenggara, tentu sangat mudah mengurus dokumen ini itu, apalagi pernikahan ini sangat tertutup. Hanya dihadiri keluarga inti dan beberapa teman dekat. "Terkadang semakin sedikit yang kamu ketahui, itu semakin baik," balas Regas dingin. Ayasa menelan ludah susah payah. Regas menjulang di depannya, begitu mendominasi. Baru kali ini mereka benar-benar berhadapan, meskipun sudah puluhan tahun mengenal. "Tapi kalian melibatkan aku, dan bagaimana mungkin tidak ada yang memberitahuku tentang semua yang terjadi?" tanya Ayasa memberanikan diri untuk menyuarakan keresahannya. Di dunia ini, dia sangat menghindari beberapa hal. Salah satunya berurusan dengan Regas Tenggara, model yang sudah melanglang buana dengan berbagai prestasi serta skandal. Walaupun pria ini sudah menjadi kekasih kakaknya sejak SMA, tetap saja Ayasa tak bisa akrab dengannya. Dia terlalu awam untuk dunia orang dewasa seperti Regas dan Bella. Regas tersenyum sinis. Dia menunduk, menyamakan tingginya dengan wanita di hadapannya. Ayasa berdiri kaku ketika napas Regas menerpa wajahnya. "Daripada mempertanyakan semua hal yang tidak seharusnya kamu ketahui, mengapa tidak belajar menjadi istri yang baik seperti yang ibumu katakan? Melayani dan patuh kepada saya. Bahkan itu pun tidak cukup untuk membayar luka yang saya terima." Jemari Regas menyentuh wajah Ayasa, mulai dari pipi, rahang, hidung, dan mengelus kelopak mata wanita itu, membuat Ayasa terpejam dengan napas memburu. Regas mengamati dalam diam reaksi wanita yang sudah berstatus menjadi istrinya. “Kamu gugup?” tanya Regas serak, mendekatkan bibirnya pada telinga Ayasa, sengaja meniupnya perlahan. “Ti–tidak, tolong menjauh. Ak–aku tidak bisa bernapas,” pinta Ayasa dengan wajah memerah, dia tidak pernah sedekat ini dengan lawan jenis. Membuat perutnya mulas, jantung berdegup kencang serta aliran darah ke seluruh tubuh juga meningkat. “Mas Regas, lepas … tolong ….” Lirih Ayasa dengan mata berkaca-kaca, dia tak suka dengan respon tubuhnya saat ini. Wajah Regas terlihat mengeras, matanya menatap Ayasa tajam. Geraman rendah keluar dari bibirnya., “Akh!” Ayasa berteriak kaget ketika pinggangnya ditarik lalu punggungnya membentur dinginnya tembok. Regas mengurungnya. Ayasa semakin ketakutan melihat tatapan gelap pria di hadapannya ini. “Ma–mas Regas, mau apa? Jika Mas Regas melakukan hal buruk, akan aku adukan pada Ibu dan Ayah!” ancam Ayasa. Regas tertawa serak. Alih-alih terlihat garang, wanita ini justru terlihat seperti anak kucing yang minta dielus. Regas menyentuh leher putih dan jenjang Ayasa, lalu mencekiknya perlahan. Wanita itu sontak membulatkan mata, memukul-mukul tangan Regas agar melepaskannya. Ayasa menangis, tubuhnya bergetar ketakutan. Dia merasa kematian sudah di hadapannya. “Ah, menyebalkan. Ternyata kamu tidak sekuat itu.” Regas melepaskan Ayasa begitu saja, membuat wanita itu terduduk dengan napas memburu. Dia terbatuk hebat, memegang lehernya yang begitu perih, tampak menyedihkan dengan tubuh yang masih mengenakan baju pengantin. "Kenapa Mas Regas melakukan ini? Apa salahku? Aku tidak pernah menyinggung Mas sedikit pun. Pernikahan ini juga bukan atas kemauanku!" Ayasa menangis keras, menatap Regas ketakutan. Wanita 24 tahun itu terlihat sangat menyedihkan. Regas tersenyum dingin, perlahan berjongkok. Dia membenarkan rambut Ayasa yang terlihat sangat berantakan. Lantas, berbisik, “Jika kamu ingin mengetahui semuanya, tanyakan saja pada keluargamu, karena merekalah yang membuatmu berada di posisi ini.”"Ma, jangan ngomong gitu. Regas tetap harus hormati istrinya juga, Mama juga tidak usah mendukung dia kalau memang putra kita salah," tegur Arvin. Marissa semakin berang saat suaminya berkata hal demikian. Jelas-jelas ini memang salah Ayasa, seharusnya menantunya Bella, atau kalau tidak Laluna. Bukan malah wanita dari antah berantah seperti ini. "Udalah, Papa jangan bela dia. Nanti kepalanya semakin besar!" Kesal Marissa. Entah mengapa bawaannya emosi terus saat melihat Ayasa. Arvin menghembuskan napas berat, istrinya ini memang tak tanggung-tanggung jika tidak menyukai seseorang. "Ma, Papa udah—" Perkataan Arvin terhenti saat ponselnya berbunyi. "Papa angkat telepon dulu." Pria itu bergegas pergi ke dalam, sepertinya ada sesuatu yang penting. Setelah kepergian Arvin, tinggallah Ayasa dan Marissa. Sedari tadi, Ayasa menunduk. Bibirnya terkatup rapat, masih terdengar jelas jika sang mama mertua dengan tega mendukung jika Regas dan Laluna mempunyai hubungan. "Saya t
Setiap harinya Ayasa merasa tak tenang, bagaimana tidak. Ancaman Regas membuatnya kettar-ketir, pria itu seolah-olah ingin menghukumnya membabi buta.Dia tidak tahu, di mana letak kesalahan fatalnya. Regas memang selalu punya celah untuk menyalahkannya. “Ay, kamu baik-baik aja, ‘kan?” tanya Dina serius, apalagi Ayasa tampak pendiam akhir-akhir ini. Ayasa tersenyum kaku, lalu menggeleng pelan. “Tidak apa-apa, kok. Aku cuma kurang enak badan aja, soalnya pulang kantor harus ke rumah sakit juga setiap harinya.” Benar, Ayasa menjaga ayahnya yang sudah selesai operasi, sang ibu memang ada. Akan tetapi, Risma jarang ke rumah sakit dengan alasan mem-back up pekerjaan suaminya. “Aduh, kayaknya kamu terlalu memporsir tenaga kamu deh, Ay.” Dina menatap khawatir sahabatnya. Dari dulu sampai detik ini Ayasa memang selalu memberikan yang terbaik bagi keluarganya, maka dari itu Dina kesal ketika Risma mengatakan Ayasa tak seperti Bella, yang mampu memberikan apa pun keinginannya. Anak bukanla
“Jadi, apa maksud dan tujuan kamu menemui saya?” Regas membawa Ayasa ke ruangan yang digunakan untuk istirahat, Regas duduk di kuris yang ada di sana. Menatap Ayasa penuh kuasa. Manajer-nya dan Laluna dia biarkan menunggu di luar, karena bagaimanapun … pasti ini menyangkut hal pribadi. “Ak–aku ….” Ayasa meremas kedua tangannya gugup. “Aku ingin meminjam uang pada Mas Regas, apakah boleh? Aku berjanji akan mengembalikannya secepat mungkin.” Wajah Ayasa merah padam, dia menunduk, tak berani menatap tepat ke wajah sang suami. “Berapa?” Ayasa tersentak kaget saat Regas dengan cepat merespons, tanpa sadar dia langsung mendongak. “Ti–tiga ratus juta, Mas. Sebelah alis Regas terangkat, menatap Ayasa dari atas sampai bawah dengan pandangan mencela. Hal itu tentu membuat Aysa merasa rendah diri. “Orang sepertimu sangat memuakkan,” tekan Regas dingin, tak lupa melempar senyum sinis. Jantung Ayasa seolah merosot ke perut, jangan tanya bagaimana keadaan hatinya yang berdarh
Ayasa tersentak kaget mendengar pernyataan ibunya. Bagaimana mungkin dia dengan santainya meminta hal seperti itu pada Regas? "Bu, aku nggak bisa. Apalagi meminta ratusan juta ... kami juga menikah bukan karena cinta, melainkan—" Ayasa membeku, tubuhnya sampai tersungkur. "Kurang ajar!" Rima menampar Ayasa dengan amarah membeludak. "Bisa-bisanya kamu memikirkan hal seperti itu di saat ayahmu kritis! Apa kamu punya otak, Ayasa!" Ayasa memegang pipinya yang terasa kebas. Dia yakin, sudut bibirnya juga pasti terluka karena merasakan asin pada indra pengecapnya. "Baru segini aja kamu udah berkoar-koar, apalagi jika berkorban seperti Bella yang melakukan segalanya demi keluarga. Pergi kamu sekarang dan cepat temui Regas! Kalau kamu tidak bisa mendapatkan uang untuk operasi ayahmu, lebih baik jangan panggil saya ibu lagi selamanya!" sentak Rima frustrasi melihat kelakuan Ayasa. Ayasa tergugu di tempatnya, air matanya sudah mengalir deras. "Bu—" "Tidak ada tapi-tapian, Ayasa! C
Ayasa menatap kosong langit-langit kamarnya. Matanya membengkak karena menangis semalaman. Regas benar-benar keterlaluan. Pria itu bak monster yang membuatnya bergidik ngeri. "Kamu sudah bangun?" Regas baru saja keluar dari kamar mandi, dia bersedekap dada, menatap Ayasa dengan wajah datar. Pria ini sangat santai, seolah tak ada rasa bersalah sedikit pun pada sang istri. Ayasa bergeming, sama sekali tidak mengindahkan ucapan Regas. Saat ini dia benar-benar sakit, baik fisik maupun hati. "Kita sudah menjadi suami istri. Lantas, apa salahnya? Kamu juga menikmatinya," ujarnya datar. "Satu lagi, jangan lupa minta maaf pada Laluna, akibat kecerobohanmu, kakinya sampai membengkak dan merah." Ayasa yang sejak tadi membisu perlahan menolehkan kepalanya. "Apa maksud Mas Regas?" tanyanya dengan napas memburu. "Saya tidak suka mengulangi perkataan yang sama, saya harap kamu segera meminta maaf pada Laluna," ujar Regas sambil berjalan santai dengan hanya mengenakan handuk. Wanita itu m
Ayasa merasa bersalah karena selalu mematikan ponselnya, sehingga dia tidak tahu bahwa Nina sudah menghubunginya mengenai kedatangan sang mertua. Ayasa menggigit bibir bawahnya resah. Dia bahkan hanya mengenakan dress sederhana yang dimilikinya. Wajahnya hanya dipoles sedikit untuk menyamarkan wajah kusutnya dan menutupi kesedihannya. Ayasa turun tergesa-gesa dan hampir jatuh dari tangga jika dia tidak berpegangan. Dia kembali menuruni undakan tangga, takut jika mertuanya sudah sampai, dan—langkah Ayasa tiba-tiba terhenti. Dia menelan ludah susah payah saat melihat Laluna dan ibu mertuanya sedang bercanda ringan, sementara Regas duduk tenang sambil menerima telepon. “Hai! Sini Ayasa, duduk di sini.” Sambutan Laluna membuat Ayasa tersenyum. Kini dia yang seperti tamu. Ayasa melihat ke arah Marissa–mama mertuanya. "Selamat malam, Ma." Marissa hanya mengangkat sebelah alis, lalu kembali berbincang bersama Laluna. Ayasa tersenyum kikuk, dia ingin mencium punggung tangan Marissa, tapi







