Share

Pengantin Dari Sebuah Tragedi
Pengantin Dari Sebuah Tragedi
Author: Erna Azura

Sebuah Tragedi

Author: Erna Azura
last update Last Updated: 2025-01-17 21:31:28

Ananta Victor von Rotchchild, CEO blasteran Swiss-Indonesia yang kini menjadi pimpinan tertinggi Helvion Group di Indonesia itu sedang mematut diri di depan cermin sambil menautkan kancing di lengan kemeja, kerutan halus tampak di antara kedua alisnya yang tebal padahal pria itu begitu tampan mengenakan tuxedo di hari pernikahannya ini.

Mungkin karena Ananta membenci hari ini lantaran terpaksa menikahi seorang gadis hanya untuk mendapatkan keturunan.

Adik sepupunya yang bernama Rafael telah menikah dan memiliki anak laki-laki membuat kakek mereka sang Chairman of the Board di perusahan Helvion Group Swiss merasa senang dan digadang-gadang Rafael akan menggantikan posisi beliau sebagai pemimpin tertinggi perusahaan melangkahi Ananta.

Itu kenapa Ananta mengutus Ryan-sekretarisnya mencarikan seorang gadis untuk dijadikan istri kontrak dan mau melahirkan keturunannya.

Namun setelah anak itu lahir, Ananta akan menceraikannya dengan memberikan imbalan yang besar.

Ananta tidak pernah membayangkan akan menikah dengan gadis yang tidak dia cintai, tapi selama ini pun dia tidak pernah mengenal cinta, Ananta tidak memiliki waktu untuk asmara meski begitu di usianya yang ke tiga puluh tahun—Ananta tetap rutin menyalurkan kebutuhan biologisnya dengan menggunakan jasa wanita panggilan kelas atas.

Ting …

Tong …

Bel pintu kondominiumnya berbunyi. Ananta melirik arloji seharga satu koma dua Milyar di pergelangan tangan lalu menyadari kalau sekarang sudah waktunya.

Dia keluar dari kamar menuju pintu utama dan mendapati Ryan berdiri di baliknya.

Wajah pria itu tampak pucat, tubuhnya juga sedikit bergetar.

“Ada apa?” tanya Ananta dingin dengan wajah mengeras dan tatapan tajam serta alis bertaut menandakan kalau dia tahu ada sesuatu yang tidak beres.

“Erina … calon istri Tuan, mengalami kecelakaan dan meninggal dunia dalam perjalanan ke rumah sakit.” Ryan memberikan informasi dengan suara parau dan raut wajah cemas.

“Apa? Kenapa bisa?” Nada suara Ananta naik satu oktaf dengan tatapan nyalang.

Ryan tidak bisa menjelaskan apapun karena dia juga baru saja dihubungi oleh pihak kepolisian yang mendapati namanya di panggilan terakhir ponsel Erina.

Ananta tampak berpikir. “Cari tahu dalang dibalik semua ini karena tidak mungkin secara kebetulan calon pengantinku tewas di hari pernikahan.” Ananta mencurigai sesuatu.

“Ada saksi yang mungkin akan ditetapkan sebagai tersangka dan dia sekarang sedang dibawa ke kantor Polisi, apa Tuan mau langsung mengintrogasinya?” kata Ryan lagi.

“Oke, kita ke sana sekarang!”

Ananta ingin tahu apakah kecelakaan itu murni kecelakaan biasa atau ulah pamannya yang tidak ingin dia memiliki istri dan keturunan sehingga bisa membuat Rafael tidak jadi menggantikan posisi kakek.

“Ryan!” Ananta menghentikan langkahnya.

“Jangan lupa urus pemakaman Erina dengan layak,” titah Ananta, suaranya pelan dan dalam.

Dalam hati Ananta merasa bersalah kalau terbukti dugaannya benar, sang paman yang bernama Leonardo adalah otak dari penghilangan nyawa gadis yatim piatu malang itu.

***

Sampai di kantor polisi, Ananta langsung disuguhkan oleh rekaman CCTV dari toko yang berada tepat di depan tempat kejadian perkara.

Ananta, Ryan dan salah satu petugas kepolisian mengamati detik demi detik video diputar.

“Stop!” Ananta berseru membuat sang petugas menghentikan rekaman.

“Dia loncat dari sebuah mobil atau memang didorong?” Ananta bertanya kepada petugas.

“Jika dilihat dari tangannya yang terulur ke depan seakan mencari pegangan, sepertinya calon istri Tuan sengaja didorong.” Sang petugas memberikan pendapat profesionalnya.

Detik selanjutnya bersamaan dengan terhempasnya Erina dari pintu mobil Gran Max putih, sebuah sedan mewah yang sedang melintas dari arah berlawanan langsung menghantam tubuh Erina hingga terpental beberapa meter yang menyebabkan gadis itu tewas di tempat.

“Dari rekaman CCTV ini kami tidak bisa menentukan plat nomor mobil Grand Max tersebut tapi akan kami lacak terus,” kata petugas Polisi memberi harapan kepada Ananta.

Di saat mereka bertiga masih mengamati rekaman CCTV, suara raungan seorang gadis terdengar memekakan telinga dari ruangan sebelah.

“Aku enggak bersalah, Pak … Bu …perempuan itu yang tiba-tiba loncat ke depan mobil aku, tolong jangan penjarakan aku, Pak… Bu.” Kalimat permohonan tersebut terdengar di antara isak tangis.

Ananta menoleh menatap sang petugas, seolah bertanya apa yang terjadi dengan gadis itu.

“Itu pengemudi mobil yang menghantam calon istrinya Tuan.” Sang petugas memberitahu.

“Jadi pengemudinya seorang perempuan?” Ryan yang bertanya.

“Ya, gadis berusia dua puluh lima tahun … anak dari Damar Wiranata, pasti Tuan mengenalnya karena perusahaan Wiranata bergerak di bidang Shipping juga.”

Ananta dan Ryan saling menatap, tentu saja mereka mengenal Damar Wiranata karena pria itu sering menyabotase operasional Helvion Group yang menyebabkan kerugian.

Damar Arif Wiranata adalah pria licik yang akan melakukan segala cara untuk membuat Helvion Group merugi lalu meninggalkan Indonesia sehingga perusahaannya bisa menjadi raja shipping di Negara ini.

“Aku ingin bicara dengan gadis itu,” kata Ananta tegas penuh wibawa.

“Mari saya antar, dia ada di ruangan sebelah.” Petugas Polisi menuntun Ananta dan Ryan ke ruangan sebelah.

Saat petugas Polisi membuka pintu, seorang gadis tampak sedang dibujuk oleh dua orang petugas Polisi pria dan wanita untuk dimintai keterangan karena sedari tadi gadis itu duduk di lantai pojok ruangan memeluk kedua kakinya yang ditekuk.

Petugas Polisi yang bersama Ananta mengajak kedua rekannya keluar dan membiarkan Ananta serta Ryan di sana untuk bicara dengan sang gadis.

Setelah pintu ditutup, Ananta melangkah pelan mendekati sang gadis yang menenggelamkan wajahnya di antara lutut.

Ananta berjongkok di depan gadis itu, nafasnya menderu penuh emosi.

Menghirup aroma mascullin dari parfum eksclusive yang dia tahu harganya sangat fantastis, Zanitha langsung mendongak mencari tahu siapa gerangan yang mendatanginya karena dia belum berani menghubungi siapapun.

Dan pria tampan bertubuh atletis dengan rahangnya yang tegas bak Malaikat memenuhi pandangan matanya namun tatapan tajam penuh kebencian itu membuat Zanitha berpikir kalau pria di depannya ini adalah Malaikat maut.

“Siapa namamu?” Ananta bertanya dingin.

“Kamu siapa?” Zanitha balas bertanya ketus melupakan sejenak trauma yang tengah melandanya.

“Aku adalah calon suami dari perempuan yang kamu tabrak hingga tewas tadi pagi,” jawab Ananta semakin tajam tatapannya menghujam Zanitha.

Mata Zanitha membulat begitu juga dengan mulutnya.

“Aku mohon percaya lah … aku enggak sengaja nabrak calon istri kamu, sumpah! Dia lompat gitu aja entah dari mana … please … percaya sama aku … aku enggak sengaja menabraknya, aku bukan pembunuh… aku sedang dalam perjalanan ke kantor tadi.” Zanitha meremat lengan kemeja Ananta sambil berderai air mata.

“Seharusnya aku menikah hari ini, tapi kamu malah merenggut nyawa calon istriku ….” Ananta menggeram, sorot matanya memaku Zanitha hingga dia sesak nafas.

“Kamu harus menggantikan dia menjadi pengantinku!” seru Ananta penuh penekanan membuat tangis Zanitha terhenti seketika dan rasanya dia kesulitan bernafas.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Amerta Purba
selamat siang
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Pengantin Dari Sebuah Tragedi   Keadilan Untuk Erina

    Zanitha tiba di ruang teh yang terletak di sisi barat mansion Rafael. Ruang itu indah, dipenuhi cahaya matahari pagi dan aroma mawar dari taman kaca yang mengelilinginya. Di sana sudah duduk Winna, Seraina, dan Livia. Di atas meja terhidang kue-kue kecil, teh earl grey, dan buah-buahan segar.“Selamat pagi, Zanitha,” sapa Winna sambil tersenyum. “Senang akhirnya kamu bergabung.”“Selamat pagi,” balas Zanitha sopan, lalu duduk di kursi yang disiapkan di sebelah Seraina.“Aku sudah minta pelayan menyajikan teh melati. Kudengar itu favoritmu,” ucap Winna sambil menuangkan teh ke cangkir Zanitha.Zanitha sedikit terkejut, tapi tetap menjaga senyum. “Terima kasih, Winna. Itu perhatian yang tidak terduga.”“Oh, kami semua sudah berubah, Zanitha. Kembalinya kamu ke mansion membuat suasana berbeda. Apalagi setelah Ananta resmi menjadi Chairman, kamu otomatis jadi pusat perhatian,” kata Winna, nadanya halus tapi mengandung ujian tersembunyi.“Dan kamu tahu,” sam

  • Pengantin Dari Sebuah Tragedi   Membuktikan

    Pagi itu dimulai dengan panggilan tak terduga. Klaus datang menghampiri Ananta yang tengah bersiap turun ke ruang makan.“Tuan Sebastian meminta Anda datang ke ruang kerjanya. Sendirian,” lapor Klaus dengan nada netral dan ekspresi serius.Ananta menarik napas panjang, lalu mengangguk. Ia tahu pertemuan ini tak bisa dihindari. Sudah lama sang kakek diam, mengamati dari balik tirai Mansionnya tanpa sepatah kata pun tentang Zanitha.“Baiklah ….” Ananta menyahut, tapi sebelum dia pergi menemui sang kakek, Ananta harus sarapan dulu agar kuat menghadapi beliau.Zanitha yang sedang menata meja tersenyum pelik menatap Ananta, dia mendengar apa yang disampaikan Klaus tadi.“Sarapan sayang …,” kata Zanitha basa-basi.Ananta mendekat lalu mengecup pelipis Zanitha sembari mengusap punggungnya lembut.“Makasih sayang,” balasnya lalu menghempaskan bokong di kursi makan di ujung meja.“Ares belum bangun?” Zanitha menggelengkan kepala. “Tadi pagi sekali dia terbangun … karena itu sekarang

  • Pengantin Dari Sebuah Tragedi   Perempuan Tangguh

    Aroma roti hangat dari dapur mansion Von Rotchschild menyusup ke sela-sela tirai kamar dan menggoda Ares yang sudah lebih dulu bangun dan kini tengah duduk di meja makan kecilnya sambil mengayunkan kaki.Zanitha duduk di seberang meja, masih mengenakan kaus tidur putih lembut dan cardigan tipis. Rambutnya digelung seadanya, wajahnya polos tanpa riasan. Tapi ada ketenangan baru di matanya— tampak seperti ketenangan yang datang dari keberanian untuk kembali dan bertahan.Ananta menyusul ke ruang makan beberapa menit kemudian, mengenakan kaus hitam dan celana rumah. Ia menatap istri dan putranya dari balik pintu, membiarkan matanya menyapu pemandangan yang dulu hanya ia impikan—Zanitha menyuapi Ares dengan sendok kecil, sambil sesekali tertawa kecil melihat anaknya mengotori bibir dengan selai cokelat.“Pagi sayang,” gumam Ananta sambil berjalan mendekat lalu melabuhkan kecupan di puncak kepala Zanitha.Zanitha mendongak lalu tersenyum. “Selamat pagi, Tuan rumah,” godanya.Ananta me

  • Pengantin Dari Sebuah Tragedi   Lembaran Baru Kehidupan

    Malam semakin larut. Setelah semua tamu keluarga berpamitan, Ananta menggandeng Zanitha kembali ke kamar mereka. Kamar itu tampak persis seperti dulu, bahkan gaun malam favorit Zanitha masih tergantung rapi di balik pintu lemari. Hanya saja, kini suasananya terasa lebih hangat.Zanitha berdiri di tengah kamar, memandangi pantulan dirinya di cermin. Tubuhnya sedikit lunglai karena lelah dan emosi, tapi ada aura berbeda—ia terlihat seperti perempuan yang telah melalui badai dan kembali dengan kekuatan baru.Ananta mendekat dari belakang, tangannya melingkari pinggang istrinya. “Kamu kelihatan luar biasa malam ini,” bisiknya.Zanitha menunduk, suaranya pelan. “Aku gugup .…”“Kenapa?” tanya Ananta lembut.“Karena ini pertama kalinya aku kembali ke sini sebagai perempuan yang kamu perjuangkan. Bukan sebagai istri kontrak.”Ananta membalikkan tubuh Zanitha, menatapnya lekat. “Kamu bukan hanya istri yang aku perjuangkan, Zanitha. Kamu adalah satu-satunya perempuan yang ingin aku habisk

  • Pengantin Dari Sebuah Tragedi   Pulang

    Langit Zurich sore itu bersih dan membiru, seolah menyambut kembalinya Zanitha ke tanah yang pernah menjadi saksi cinta dan luka hatinya.Mobil hitam yang menjemput mereka dari bandara melaju pelan di jalan-jalan beraspal mulus, melintasi pepohonan yang mulai menunjukkan warna musim semi.Ares tertidur di pelukan Zanitha, kelelahan setelah penerbangan panjang, sementara Ananta sesekali melirik ke arah istrinya dengan ekspresi yang tak bisa disembunyikan—bahagia, lega, dan takut semuanya hanyalah mimpi.Zanitha menatap keluar jendela sepanjang jalan, dan ketika mobil mulai memasuki gerbang utama mansion Von Rotchschild, napasnya tercekat. Ia mengenal setiap sudut bangunan itu, setiap pot bunga di sepanjang jalur masuk, setiap jendela yang dulu mengurungnya dalam sepi—dan kini menyambutnya kembali sebagai seorang istri dan ibu.Pintu utama terbuka begitu mobil berhenti. Klaus, kepala pelayan senior yang telah bertugas selama puluhan tahun, berdiri dengan tubuh tegap di depan pintu b

  • Pengantin Dari Sebuah Tragedi   Masa Depan Bersama Zanitha

    Malam itu, Zanitha tidur dengan perasaan letih namun lega. Seakan beban di pundaknya terasa jauh berkurang. Ia telah berdamai dengan masa lalunya. Kini yang tersisa adalah menatap masa depan.Keesokan harinya, masih ada satu hal penting yang harus Zanitha lakukan sebelum meninggalkan tanah air. Pagi itu, ia mengundang Bella untuk bertemu di Petal Home — butik florist yang selama ini mereka kelola bersama dan telah menjadi buah hati dari kerja keras mereka berdua.Bella tiba di Petal Home dengan wajah muram bercampur tabah. Ia sudah mendengar kabar dari Zanitha bahwa sahabatnya itu akan segera pindah ke luar negeri. Mereka memilih duduk di sudut ruangan toko bunga yang masih belum buka di pagi hari itu, demi privasi percakapan mereka. Hanya ada harum segar bunga mawar dan lili yang menemani.Bella menatap Zanitha dengan mata yang mulai basah. “Jadi ini keputusan finalmu?” tanyanya pelan.Zanitha mengangguk mantap. “Iya, Bell. Aku akan berangkat besok.”Bella

  • Pengantin Dari Sebuah Tragedi   Selamat Tinggal

    Begitu pintu menutup, Damar jatuh terduduk di kursinya. Wajahnya tertunduk dalam, kedua tangannya menutupi mata yang akhirnya tumpah dengan penyesalan. “Maafkan aku…,” gumamnya berulang-ulang meski orang yang dituju tak lagi berada di sana.Sementara itu, Zanitha berjalan menyusuri koridor keluar dari kantor itu dengan langkah gontai. Air matanya masih berlinang, tapi dalam hati ada sedikit kelegaan. Beban yang selama ini menyesak di dadanya perlahan terangkat. Ia sudah mengucapkan semuanya yang perlu diucapkan. Sudah saatnya menutup bab kelam itu.Di lobi, Ananta dan Ares segera menghampiri saat melihat Zanitha muncul. Wajah Zanitha tampak letih, namun ada ketenangan baru terpancar darinya.Ananta meraih jemari Zanitha dengan cemas. “Kamu baik-baik aja?” tanyanya lembut, mencari wajah istrinya.Zanitha menghapus sisa-sisa air mata di sudut matanya, lalu mengangguk pelan. “Aku baik-baik aja,” jawabnya lemah tapi pasti. “Semua udah kusampaikan padanya.”Anant

  • Pengantin Dari Sebuah Tragedi   Memaafkan

    Keesokan harinya, seperti rencana, Ananta mengantar Zanitha ke gedung kantor milik Damar Wiranata. Pagi itu langit mendung tipis, seolah turut mencerminkan kegundahan hati Zanitha.Di lobi gedung megah tersebut, Zanitha berdiri mematung beberapa saat. Kakinya terasa dingin, tangannya gemetar menggenggam tas kecilnya. Aku bisa, ia berbisik menyemangati diri sendiri. Aku harus menyelesaikan ini.Dengan langkah mantap meski hati berdebar, Zanitha menghampiri meja resepsionis. “Selamat pagi, saya Zanitha. Saya ada keperluan mendesak untuk bertemu pak Damar Wiranata,” ujarnya sopan namun tegas kepada petugas di sana.Resepsionis itu mengangkat wajah, tampak sedikit terkejut mendapati wajah yang tak asing baginya. Kemarin Zanitha datang membawa kue ulang tahun untuk Damar dan Damar sengaja tidak mau menemui Zanitha karena menganggap akan menagih hutang. Wanita itu tersenyum canggung. “Maaf, Ibu Zanitha. Bapak Damar sedang ada rapat pagi ini. Apakah sudah membuat janji sebelumnya?”Zanit

  • Pengantin Dari Sebuah Tragedi   Demi Ares

    Ruangan itu sunyi sesaat setelah kata-kata Zanitha terucap lirih. “Aku akan ikut kalian kembali ke Zurich,” ucapnya dengan suara bergetar namun pasti.Ananta menatap istrinya tak percaya. Mata laki-laki itu perlahan membesar dan berkilat haru. “Kamu… serius, sayang?” tanyanya nyaris berbisik, seolah khawatir harapannya hanya ilusi semata.Zanitha mengangguk pelan. Wajahnya pucat, tetapi sorot matanya menunjukkan tekad yang bulat. “Demi Ares, aku akan ikut,” ulangnya, lebih tegas.Sejenak Ananta terpaku, lalu senyum hangat merekah di wajahnya. Tanpa ragu ia merengkuh Zanitha ke dalam pelukannya. “Terima kasih, Zanitha,” bisik Ananta dengan suara serak menahan haru, “Kamu enggak tahu betapa bahagianya aku sekarang.”Di dekat mereka, Ares yang sedari tadi mendengarkan percakapan orangtuanya tiba-tiba bersorak girang. Bocah laki-laki itu melompat-lompat kecil di sofa. “Horeee! Mommy ikut ke Zurich! Mommy ikut!” serunya dengan tawa riang. Tangannya yang mungil bertepuk-tepuk kegirangan

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status