Begitu pintu menutup, Damar jatuh terduduk di kursinya. Wajahnya tertunduk dalam, kedua tangannya menutupi mata yang akhirnya tumpah dengan penyesalan. “Maafkan aku…,” gumamnya berulang-ulang meski orang yang dituju tak lagi berada di sana.
Sementara itu, Zanitha berjalan menyusuri koridor keluar dari kantor itu dengan langkah gontai. Air matanya masih berlinang, tapi dalam hati ada sedikit kelegaan. Beban yang selama ini menyesak di dadanya perlahan terangkat. Ia sudah mengucapkan semuanya yang perlu diucapkan. Sudah saatnya menutup bab kelam itu.Di lobi, Ananta dan Ares segera menghampiri saat melihat Zanitha muncul. Wajah Zanitha tampak letih, namun ada ketenangan baru terpancar darinya.Ananta meraih jemari Zanitha dengan cemas. “Kamu baik-baik aja?” tanyanya lembut, mencari wajah istrinya.Zanitha menghapus sisa-sisa air mata di sudut matanya, lalu mengangguk pelan. “Aku baik-baik aja,” jawabnya lemah tapi pasti. “Semua udah kusampaikan padanya.”AnantMalam itu, Zanitha tidur dengan perasaan letih namun lega. Seakan beban di pundaknya terasa jauh berkurang. Ia telah berdamai dengan masa lalunya. Kini yang tersisa adalah menatap masa depan.Keesokan harinya, masih ada satu hal penting yang harus Zanitha lakukan sebelum meninggalkan tanah air. Pagi itu, ia mengundang Bella untuk bertemu di Petal Home — butik florist yang selama ini mereka kelola bersama dan telah menjadi buah hati dari kerja keras mereka berdua.Bella tiba di Petal Home dengan wajah muram bercampur tabah. Ia sudah mendengar kabar dari Zanitha bahwa sahabatnya itu akan segera pindah ke luar negeri. Mereka memilih duduk di sudut ruangan toko bunga yang masih belum buka di pagi hari itu, demi privasi percakapan mereka. Hanya ada harum segar bunga mawar dan lili yang menemani.Bella menatap Zanitha dengan mata yang mulai basah. “Jadi ini keputusan finalmu?” tanyanya pelan.Zanitha mengangguk mantap. “Iya, Bell. Aku akan berangkat besok.”Bella
Begitu pintu menutup, Damar jatuh terduduk di kursinya. Wajahnya tertunduk dalam, kedua tangannya menutupi mata yang akhirnya tumpah dengan penyesalan. “Maafkan aku…,” gumamnya berulang-ulang meski orang yang dituju tak lagi berada di sana.Sementara itu, Zanitha berjalan menyusuri koridor keluar dari kantor itu dengan langkah gontai. Air matanya masih berlinang, tapi dalam hati ada sedikit kelegaan. Beban yang selama ini menyesak di dadanya perlahan terangkat. Ia sudah mengucapkan semuanya yang perlu diucapkan. Sudah saatnya menutup bab kelam itu.Di lobi, Ananta dan Ares segera menghampiri saat melihat Zanitha muncul. Wajah Zanitha tampak letih, namun ada ketenangan baru terpancar darinya.Ananta meraih jemari Zanitha dengan cemas. “Kamu baik-baik aja?” tanyanya lembut, mencari wajah istrinya.Zanitha menghapus sisa-sisa air mata di sudut matanya, lalu mengangguk pelan. “Aku baik-baik aja,” jawabnya lemah tapi pasti. “Semua udah kusampaikan padanya.”Anant
Keesokan harinya, seperti rencana, Ananta mengantar Zanitha ke gedung kantor milik Damar Wiranata. Pagi itu langit mendung tipis, seolah turut mencerminkan kegundahan hati Zanitha.Di lobi gedung megah tersebut, Zanitha berdiri mematung beberapa saat. Kakinya terasa dingin, tangannya gemetar menggenggam tas kecilnya. Aku bisa, ia berbisik menyemangati diri sendiri. Aku harus menyelesaikan ini.Dengan langkah mantap meski hati berdebar, Zanitha menghampiri meja resepsionis. “Selamat pagi, saya Zanitha. Saya ada keperluan mendesak untuk bertemu pak Damar Wiranata,” ujarnya sopan namun tegas kepada petugas di sana.Resepsionis itu mengangkat wajah, tampak sedikit terkejut mendapati wajah yang tak asing baginya. Kemarin Zanitha datang membawa kue ulang tahun untuk Damar dan Damar sengaja tidak mau menemui Zanitha karena menganggap akan menagih hutang. Wanita itu tersenyum canggung. “Maaf, Ibu Zanitha. Bapak Damar sedang ada rapat pagi ini. Apakah sudah membuat janji sebelumnya?”Zanit
Ruangan itu sunyi sesaat setelah kata-kata Zanitha terucap lirih. “Aku akan ikut kalian kembali ke Zurich,” ucapnya dengan suara bergetar namun pasti.Ananta menatap istrinya tak percaya. Mata laki-laki itu perlahan membesar dan berkilat haru. “Kamu… serius, sayang?” tanyanya nyaris berbisik, seolah khawatir harapannya hanya ilusi semata.Zanitha mengangguk pelan. Wajahnya pucat, tetapi sorot matanya menunjukkan tekad yang bulat. “Demi Ares, aku akan ikut,” ulangnya, lebih tegas.Sejenak Ananta terpaku, lalu senyum hangat merekah di wajahnya. Tanpa ragu ia merengkuh Zanitha ke dalam pelukannya. “Terima kasih, Zanitha,” bisik Ananta dengan suara serak menahan haru, “Kamu enggak tahu betapa bahagianya aku sekarang.”Di dekat mereka, Ares yang sedari tadi mendengarkan percakapan orangtuanya tiba-tiba bersorak girang. Bocah laki-laki itu melompat-lompat kecil di sofa. “Horeee! Mommy ikut ke Zurich! Mommy ikut!” serunya dengan tawa riang. Tangannya yang mungil bertepuk-tepuk kegirangan
Setelah makan malam, Mathias pamit pulang.“Ayah pulang dulu, kamu dan Ares tinggal lah di sini … Ares pasti masih merindukan mommynya.”“Makasih Yah, untuk semuanya.” Ananta mengantar ke pintu depan.“Kamu anak Ayah satu-satunya dan sekarang kamu Chairman Helvion Group, bersikaplah dewasa Ananta … tahan emosimu, berpikir dua kali sebelum bertindak meski itu menyangkut istri dan anakmu.” Mathias menasihati.“Iya Ayah … aku mengerti sekarang.”Mathias menganggukan kepala, menepuk pundak Ananta lantas menarik langkah pergi meninggalkan Penthouse Zanitha.Ryan dan Bella juga undur diri.“Kalau Ares mimpi buruk lagi, teriak aja ya, Aunty langsung datang ke sini!” ujar Bella sambil mencium pipi Ares.Ares mengangguk pelan disertai cengiran yang memamerkan dua gigi kelincinya.Sambil menggendong Ares, Zanitha mengantar mereka sampai pintu.Saat pintu tertutup, keheningan menyelimuti.Zanitha kembali ke ruang tengah lalu meletakan Ares di sofa yang langsung pindah ke pangkuan Anan
Lorong-lorong di dalam Polres Jakarta Selatan mulai sepi ketika matahari mulai turun dari langit. Aroma kopi basi dari ruang petugas bercampur dengan wangi AC tua dan kertas laporan. Langkah kaki terdengar pelan namun pasti, membelah keheningan menuju ruang pelaporan.Pintu terbuka.Satria melangkah masuk.Wajahnya masih menunjukkan bekas lebam di pelipis dan rahang. Tapi bukan itu yang membuat penyidik menatap dua kali—melainkan sorot matanya. Tidak ada marah. Tidak ada puas. Hanya sunyi. Seolah dia telah melewati perang besar… dan kalah.“Pak Satria?” sapa salah satu penyidik yang sedang menyusun berkas.Satria mengangguk. “Saya ingin mencabut laporan saya… atas nama Ananta Victor Von Rotchschild.”Penyidik terdiam sejenak, saling pandang dengan rekan di sampingnya.“Apakah Anda yakin, Pak?” tanya penyidik itu pelan, mencoba memastikan. “Laporan Anda sudah masuk tahap lanjutan. Proses klarifikasi dan pemeriksaan sudah berjalan. Kami juga mencatat bahwa Anda sempat mengajukan
Keesokan harinya, penyidik menghubungi Zanitha untuk datang memberikan keterangan.Pagi itu, di ruang pemeriksaan yang terasa dingin dan sunyi, Zanitha duduk dengan tenang. Tangannya menggenggam tas kecil di pangkuan, namun jemarinya menggigil halus.“Bu Zanitha, terima kasih sudah datang. Kami ingin mendengar dari sisi Ibu sebagai istri dari terlapor sekaligus sebagai saksi kunci di kejadian tersebut.”Zanitha mengangguk. “Saya akan bantu sebisanya.”“Bisa Ibu ceritakan dari awal kejadian hingga benturan fisik terjadi?”Zanitha mulai bicara. Pelan, runut, tanpa drama.“Sore itu saya sedang berjalan menuju kafe untuk urusan kerja… saya tidak tahu kalau Ares dan Daddynya ada di taman. Saya benar-benar terkejut melihat Ares menghampiri saya. Reaksinya begitu polos… dan saat saya sedang memeluk Ares, Satria yang baru saja memarkirkan mobil muncul … saya memang datang bersama Satria, dia mampir ke toko untuk membeli bunga kemudian karena tujuan kita sama, jadi dia mengajak saya menu
Kantor Kepolisian Resor Jakarta Selatan tampak sibuk pagi itu. Wartawan dari berbagai media berkumpul di luar pagar, sebagian berdiri di belakang garis kuning, menunggu perkembangan dari kasus viral yang melibatkan pewaris Helvion Group.Di dalam ruangan penyidik, suasana lebih tenang tapi tegang. Ananta duduk dengan wajah serius di seberang meja penyidik. Luka lebam di bawah matanya belum sepenuhnya sembuh, tapi sorot matanya tetap tajam, menahan berbagai emosi yang ingin meledak.Seorang penyidik berpangkat AKP membuka berkas tebal berisi kronologi kejadian, video bukti, dan laporan saksi.“Saudara Ananta Victor Von Rotchschild, kami telah menerima laporan dari saudara Satria Yudhistira terkait dugaan penganiayaan yang Anda lakukan di ruang publik. Video kejadian sudah tersebar luas dan menjadi bahan perhatian masyarakat,” ucap penyidik dengan nada formal.Ananta tidak menyela. Ia hanya mengangguk.“Namun…,” lanjut sang penyidik, “Kami juga menerima beberapa laporan tambahan da
“Tuan sangat menyayangi Ares, sejak Nyonya pergi … Tuan selalu menyempatkan ke kamar Ares bermain dengan Ares sepulang kerja sepenat dan selelah apapun tuan di kantor … di sela-sela bermain dengan Ares, tuan selalu menunjukkan foto Nyonya dan memberitahu kalau wanita di foto itu adalah mommynya Ares.” Sang Nanny mengusap air mata, suaranya pecah menahan tangis.Zanitha mendengarkan sembari memeluk tubuh Ares yang terlelap dalam gendongannya setelah menangis kejer tadi.Perkelahian Daddynya pasti akan membekas dalam ingatan Ares menorehkan trauma, sekarang ditambah menyaksikan sang daddy dijemput polisi.“Nyonya … Tuan pernah dijodohkan dengan anak bangsawan Jerman, tapi Tuan menolak, katanya beliau hanya akan mencintai satu wanita dalam hidupnya … yaitu mommynya Ares … kedatangan kami ke sini untuk menjemput Nyonya.” Sang Nanny menempelkan telunjuk di bibirnya sebagai kode agar Zanitha tidak memberitahu siapapun kalau dia tahu tentang itu darinya.“Tapi kenapa sekarang, Nan? Kenap