Pengantin Kecil Tuan Xavier [ BAB 2 ]
"SELAMAT DATANG BUDAKKU!" batin pria itu berbicara, tampak seringaian misterius terbit di bibir sexynya. Xavier masih menatap gadis kecil yang sudah berstatus menjadi istrinya menggantikan kekasih yang kabur entah kemana. Tapi, dia tidak perlu khawatir karena pria itu sudah menyebar anak buah untuk mencari perempuan yang tidak tahu diri itu. Dia harus membayar semua perlakuannya yang telah membuat dia malu, dan untuk sementara adiknya lah yang akan menggantikan peran melaksanakan hukuman. "Sampai kapan kau akan berdiri di sana?'' tanya Xavier datar dan dingin. Nandini perlahan mengangkat kepalanya, menatap laki-laki yang kini sedang duduk di pinggiran ranjang kecilnya. Ya Nandini di beri kamar yang mempunyai ukuran sangat kecil, berbeda dengan kedua kakaknya yang mempunyai kamar yang sangat luas. Tapi, bagi Nandini itu lebih baik daripada dia harus tinggal dan tidur di gudang yang kotor juga pengap. "M—maaf,” cicit Nandini pelan. Xavier menatap intens gadis itu. Ada rasa yang tak bisa dia artikan ketika menatap mata hazelnya yang berwarna coklat terang. Wajahnya yang cantik juga membuat dirinya tidak bisa berpaling, Xavier tidak menyangka jika Abrian dan Meylan mempunyai adik secantik ini, karena yang dia tahu jika Meylan hanya mempunyai satu saudara yaitu Abrian. "Minta maaf untuk apa! Apa kamu mempunyai salah padaku?" suara bariton itu terdengar tegas dan datar. Di tambah dengan raut muka Xavier yang tegas dan terkesan dingin membuat nyali Nandini seketika menciut takut. "A--aku meminta maaf k--karena aku terpaksa menggantikan posisi kakakku," ucap gadis itu pelan dan menundukkan kepalanya. "I--bu berkata jika aku hanya menggantikan sementara saja, kelak jika kakak kembali, dia ... Dia akan kembali pada Anda," lanjutnya pelan. Xavier tersenyum miring. "Jika aku tidak mau, bagaimana?" tuturnya disertai senyuman yang tipis. Mendengar perkataan yang terucap dari bibir pria tersebut membuat Nandini mengangkat wajahnya, memberanikan diri kembali menatap laki-laki yang sudah berstatus suami. Ah suami? Hanya sekedar memikirkannya saja Nandini tidak berani. Keningnya mengkerut tampak heran dan tak mengerti akan maksud ucapan pria tersebut. Ingin sekali dia menolak, tapi jika takdir sudah bertindak apa yang bisa dilakukannya. "A—ku tidak tahu," lirih Nandini. Xavier terkekeh. "Kau yang akan menggantikannya menjalani hukuman dariku! Bersiaplah." Ucapan datar itu terdengar menakutkan di telinga Nandini, apalagi ketika melihat seringai di bibir pria itu. "T—tapi kenapa harus aku! Salahku apa sehingga harus menggantikan kakakku! Ini tidak adil!" kepalanya menggeleng dan Nandini memberanikan membantah ucapan pria itu. "Heh, baru kali ini ada perempuan yang berani membantah ucapanku!" monolognya. "Cepatlah bersiap-siap, karena setelah ini aku akan membawamu tinggal bersamaku!" ujar Xavier datar. Nandini menggeleng, dia tidak setuju. Dia tidak mau jika harus pergi meninggalkan rumah ini, meskipun selama tinggal di sini dia hanya mendapatkan siksaan. Berbeda cerita jika dia harus ikut dengan pria itu, tempat baru yang tentunya sangat asing baginya. Lalu bagaimana dengan orang-orang yang tinggal di rumah suaminya, dia bahkan tak mengenal karena ini pertemuan pertamanya bersama dengan laki-laki dingin itu. "M—maaf tapi aku tidak mau!" ucapnya pelan. "Heh, sebaiknya kamu menurut, karena sekarang nasib hidupmu ada dalam genggaman tanganku!" ucap Xavier sinis lalu melangkah mendekati gadis itu. "Sebaiknya bersiap diri, jika tidak aku akan membawamu paksa keluar dari sini," bisik Xavier di telinga Nandini. Tak terasa setetes air mata jatuh di pipi mulus Nandini. "Tuhan, berikanlah perlindunganmu padaku," batinnya menangis pilu. Meratapi nasib dan takdir yang tidak pernah berpihak padanya. Sejak kecil Nandini sudah di anggap sebagai pembawa sial bagi sang ibu. Entah apa yang menyebabkan wanita itu begitu tega dan kejam padanya. "CEPATLAH!" geram Xavier. Mau tidak mau dia pun menurut dan pasrah, gadis itu berjalan pelan menuju lemarinya untuk membawa beberapa pakaian lusuhnya. Pakaian bekas pakai sang kakak. Nandini tidak pernah membeli baju baru semenjak dia kecil, dia hanya akan memakai baju sisa pakai sang kakak perempuan. Laki-laki tampan itu terus memperhatikan apa yang di lakukan gadis kecil di hadapannya. Dia dapat melihat baju-baju lusuh itu yang sepantasnya di pakai oleh seorang pembantu. Dan tanpa mengganti gaunnya, mereka langsung berangkat menuju mansion Xavier. "Cepatlah! Waktuku sangat berharga!" tukas Xavier. Lalu keduanya melangkah keluar dari kamar yang begitu sempit menurut Xavier. Sungguh dia tidak betah berlama-lama tinggal di kamar itu. Sudah kecil pengap pula! Pikir Xavier. Ketika sampai di lantai bawah tampak wanita itu sedang duduk di sofa. Tanpa menyapa wanita yang berstatus mertuanya itu, Xavier terus melangkahkan kakinya. Nandini pun terpaksa mengikuti langkah kaki lebar pria itu. "Ah, kalian akan langsung berangkat sekarang!" sumringah suara Rini ketika dia melihat sang menantu dan anaknya akan keluar dari rumah. "Mengapa Ibu, mengapa engkau kejam sekali terhadapku, aku pun anakmu Bu, terlepas dari kesalahan apa yang pernah aku lakukan di waktu dulu," batin Nandini perih melihat senyuman lebar yang tercetak di wajah ibunya. Xavier menatap mertuanya datar. Dia muak melihat ekspresi wanita itu. Ingin sekali dia melenyapkannya, tapi nanti setelah dia menemukan si Meylan yang brengsek. "Hmm," jawab Xavier singkat. Rini masih tersenyum lebar, "Ah ya mengenai acara resepsi nanti malam, apa tidak sebaiknya Nandini di sini terlebih dahulu, lalu nanti kita berangkat bersama ke hotel," ucap Rini dengan masih mempertahankan senyumannya. Xavier menatap datar dan tersenyum sinis. "Sayangnya, tidak akan ada resepsi apapun. Karena aku sudah membatalkannya!" jawaban Xavier terdengar datar namun tersirat nada kepuasan tatkala dia dapat melihat wajah pias mertuanya itu. Xavier melangkah gagah meninggalkan mertuanya. Sementara Nandini masih diam, dia masih menatap wanita yang sangat berarti dalam hidupnya itu. Karena Xavier merasa kesal menunggu lama, dia pun berteriak. "NANDINI!" teriak Xavier membahana di rumah mewah itu, tak dia perdulikan orang-orang yang masih berada di sana. "CEPATLAH! " lanjutnya lagi dengan masih berteriak. Seketika membuat Nandini tegang dan takut. Orang-orang yang berada di sana dapat melihat dengan jelas raut ketakutan dari wajah cantik gadis itu. Dia pun berjalan cepat guna untuk menyusul sang pria yang sudah berteriak seperti orang kesetanan. "LELET!" ketus Xavier seraya memandang tajam gadis yang kini sudah berada di depannya. Nandini terdiam tidak menjawab apapun. Dia pun mengikuti langkah lebar suaminya. Tapi ketika hampir sampai ke dekat mobilnya tiba-tiba Nandini melihat pergerakan seseorang yang mencurigakan. "Tuan awas!"Bab 97 - S2 - Malam Pertama 2 ( 21+) “Sayang.” Alarich menatap punggung mulus milik sang istri dengan nafas tertahan. Punggung putih tanpa ada luka sedikit pun nyatanya mampu membuat Alarich seketika mematung. Punggungnya saja sudah mulus, lantas bagaimana bagian yang lainnya. Pikir Alarich. Tangannya yang kekar dan besar ia angkat untuk menyentuh punggung mulus itu. Senja memejamkan kedua matanya, seraya menahan nafas kala tangan milik sang suami menelusuri punggungnya. Alarich memajukan tubuhnya, lalu tangannya memeluk pinggang ramping sang istri. Gaun pengantin milik Senja masih tertahan tepat di depan d*d*, pelukan Alarich begitu erat sehingga ia mampu merasakan deru nafas milik sang suami. Cup Alarich mengecup bahu Senja yang terbuka. D*r*hnya terasa berdesir hebat, kala bibir sexy Alarich menyentuh kulitnya yang terbuka. “Kamu cantik sekali, Sayang,” ucap Alarich dengan suaranya yang terdengar serak dan nafasnya terdengar m
Bab 96 - S2 - Malam Pertama (21+) “Bagaimana saksi, Sah?!” Tanya seorang penghulu kepada para saksi yang berada di sana. “Sah!” “Sah!” “Sah!” Kalimat Sah menggema, membuat setetes air mata jatuh dari pelupuk mata Senja. Alarich melihat hal itu, ia langsung menggenggam tangan mungil sang istri. Membuat Senja sadar jika ia tidak sendiri. Gadis yang sudah bergelar istri itu menoleh, menatap sang suami yang tersenyum manis kepadanya. Lelaki yang tidak pernah tersenyum itu, kini memberika senyumannya hanya untuk sang istri. “Alhamdulilah, kalian sudah sah menjadi sepasang suami istri. Silahkan untuk sang istri mencium tangan sang suami, dan suami mencium kening serta ubun-ubun istri anda,” ujar sang penghulu. Alarich maju, mendekati istrinya. Dengan tubuh bergetar menahan gugup Alarich mencium kening serta ubun-ubun sang istri. Begitu juga dengan Senja, dengan tangan yang gemetar, ia raih jemari sang suami. Men
Bab 95 - S2 - Menikah Deg Senja langsung menoleh ke arah Alarich, ia bahkan menghentikan langkah kakinya. Menatap wajah yang senantiasa datar dan dingin itu, mencari kebohongan dari binar matanya yang tajam. Namun, Senja sama sekali tidak menemukan kebohongan tersebut, ia justru melihat ketulusan, kejujuran, dan keseriusan dari mata Alarich. Lantas Alarich membuka pintu ballroom, begitu pintu terbuka keluarga besar Romanov menyambutnya. Senja mematung di tempatnya berdiri,memandang bagaimana baiknya keluarga yang bahkan tak ada hubungan darah dengannya. Alarich meraih tangan Senja, dan membawanya masuk. Mata Senja sudah berkaca-kaca, melirik tangan yang di genggam oleh Alarich. “Tuan,” lirih Senja. “Mari masuk, mereka sudah menunggumu. Menunggu calon menantu baru di keluarga Romanov. Gadis yang selama beberapa tahun aku tunggu, tidak mungkin aku lepaskan untuk yang kedua kalinya. Oleh karena itu, aku akan langsung mengikatmu dengan pernikaha
Malam itu, Senja sudah siap dengan gaun yang sudah di siapkan oleh Alarich sebelumnya. Gaun berwarna lembut sangat cocok dengan karakter Senja. Jangan lupakan kerudung yang berwarna sama dengan gaunnya menambah kecantikan seorang Senandung Senja. Gadis berhijab itu di dandani oleh Sheinafia, wanita beranak satu itu begitu antusias kala mendengar Alarich hendak melamar Senja. Namun, mereka sengaja tidak mengatakan hal itu kepada Senja, sebab takut jika gadis tersebut menolaknya. “Ya Tuhan, kamu cantik sekali, Senja,” pekik Sheinafia yang membuat ketiga perempuan paruh baya yang kebetulan berada di kamar Senja sontak menoleh ke arah dua wanita muda itu. Nandini, Namilea, dan Melati tersenyum kala melihat Senja. Wajahnya yang cantik alami semakin bersinar kala Sheinafia membubuhkan make up flawless di wajah cantiknya. Namilea menghampiri keduanya, ia tersenyum lembut lantas mengusap puncak kepala Senja yang terbalut hijab. “Kamu cantik sekali, Nak
Bab 93 - S2 - Pendekatan Alarich Tidak terasa, sudah hampir dua minggu Senja tinggal di Mansion Romanov. Selama itu pula, Senja belum pernah kembali bertemu dengan Alarich. Entah kemana perginya lelaki dingin itu, pria pertama yang merangkulnya ketika ia terjatuh. “Senja, Nak,” panggil Namilea. Merasa ada yang memanggilnya, Senja pun menoleh. Ternyata ibu dari Alarichlah yang memanggil namanya. Senja tersenyum menyambut kedatangan Namilea yang kini duduk di sebelahnya. “Sedang apa, Nak? Ibu lihat dari tadi kamu duduk sendirian di sini? Kamu bosan?” Tanya Namilea hati-hati. Senja menggelengkan kepalanya,”Tidak ibu. Senja tidak bosan,” jawab Senja yang memang sekarang memanggil Namilea dengan panggilan ibu sesuai permintaan Namilea. Namilea pun tersenyum. Lantas mengangkat sebuah paper bag yang isinya entah apa. “Ini, tadi Alarich sebelum berangkat kerja dia menitipkan ini untuk kamu. Katanya, pakai nanti malam asisten Alarich a
Bab 92 - S2 - Kembalinya Senja “Semuanya, perkenalkan … Senandung Senja.” Deg Mereka terdiam, tentu tidak menyangka jika gadis yang memilih untuk pergi dari kediaman Romanov, kini telah kembali. Alarich, menemukannya dan entah dimana lelaki tampan nan dingin itu menemukan keberadaan Senja. Berbagai spekulasi muncul di kepala para paruh baya itu. Namun, mereka senang sebab sepertinya Alarich mulai membuka hatinya. Namilea menghampiri keduanya, ia menatap tidak percaya gadis cantik yang berdiri di hadapannya itu. “Nak, benarkah kamu Senja? Gadis yang dulu masuk ke dalam mobil Alarich?” Tanya Namilea lembut. Senja terdiam, namun ia melirik Alarich yang berdiri tak jauh darinya. Alarich pun mengangguk. Senja tersenyum tipis, “ Ya, Nyonya. Maafkan saya karena dulu memilih untuk pergi dari sini. Maaf, bukannya saya tidak tahu berterima kasih, hanya saja … saya tidak mau terlalu jauh merepotkan kalian. Kalian terlalu