Share

Pengantin Kecil Tuan Xavier - BAB 3

Pengantin Kecil Tuan Xavier - BAB 3

"Tuan Awas!" teriak Nandini dari belakang tubuh kekar Xavier kala dia melihat seorang pria membawa pisau dan akan menusuk pria itu.

Nandini pun berlari dan mendorong tubuh Xavier dengan sekuat tenaga. Xavier terjatuh, terhuyung dan Nandini menahan pisau dari pria itu. Hingga darahnya menetes mengenai wajah Xavier. Bodyguard Xavier langsung bergerak meringkus pria itu, mereka kecolongan.

Karena yang akan menusuk Xavier adalah anak buahnya sendiri. Tangan Nandini terluka, dan sepertinya luka di tangan mungil itu cukup dalam. Xavier beranjak, dia mengusap wajahnya yang terkena tetesan darah Nandini.

"Apa yang kau lakukan!" suara pri itu terdengar menggelegar ketika membentak Nandini.

Gadis yang di bentaknya itu langsung menundukkan kepala. Tubuh itu bergetar mendengar bentakan yang keluar dari mulut Xavier. Orang-orang yang mendengar keributan di depan pun langsung berlari menghampiri mereka. Mereka kaget begitu melihat gadis itu berdarah.

"Kau mau berlagak jadi pahlawan hah," bentak Xavier sambil mencengkram tangan Nandini.

Gadis itu semakin ketakutan, bahkan tubuhnya bergetar. Seorang pria menghampiri mereka. Dia melepas kasar tangan yang sedang mencengkram tangan gadis itu.

"Jangan pernah membentaknya," desis Abrian menatap tajam Xavier pria yang berstatus sahabat, ipar, dan juga bosnya itu.

Xavier diam, lama dia menatap pria yang sekarang berani menatapnya dengan tajam. Bahkan dengan beraninya, pria itu menghempaskan dengan kasar tangannya. Sungguh tidak tahu malu.

"Pergilah, sekarang dia bukan tanggung jawabmu!Hidupnya ada di genggaman tanganku!" ucap Xavier tak kalah dingin dan menatap nyalang pria itu.

Laki-laki tersebut pun menatap tajam Xavier,dengan terpaksa dia mengalah. Dirinya tidak bisa menolong gadis kecil itu. "Semua sudah terlambat Abrian, kau dan Ibumu yang mengantarkannya pada penderitaan yang tak bertepi, tak puaskah kalian menyiksanya, menyisakan sebuah trauma yang mendalam. Merusak mentalnya. Lalu apa yang kau lakukan sekarang? Menolongnya? TERLAMBAT!" Batinnya bersenandika.

Pria itu menatap nanar mobil yang kini perlahan meninggalkan halaman rumahnya. Bahkan tenda-tenda pun masih berdiri dengan gagahnya. Tangan pria tampan itu mengepal, menahan rasa sesak dan juga sakit.

"MEYLAN DI MANA KAU BERADA!" geram Abrian sambil melangkahkan kakinya masuk kedalam rumah.

Laki-laki itu melihat ibunya sedang membuka hantaran yang di bawa oleh Xavier. Tersungging senyuman di bibirnya, tidak ada raut sedih atau menyesal dalam raut mukanya. Hanya ada kesenangan, perempuan itu sama sekali tidak khawatir terhadap keadaan sang putri.

Pria itu melangkah menuju kamarnya yang berada di lantai atas tanpa menyapa ibunya. Kini dia menatap sebuah poto dimana dalam pigura itu ada sebuah senyuman yang tulus terukir di wajah sang ibu. Sejak kejadian itu berhasil merenggut semua kebahagiaan keluarga kecilnya. Tapi, sekali lagi dia bertanya, apakah patut Nandini di salahkan sedangkan gadis kecil itu tidak tahu apapun.

"Maafkan aku Ayah, aku tidak bisa menjaga adik kecilku. Aku sudah membuatnya hancur yah, ya secara tidak langsung aku juga ikut andil dalam penderitaannya," lirih pria itu.

****

Sepanjang perjalanan menuju Mansion Xavier, pria itu hanya diam menatap tajam jalanan. Dia juga sudah menyuruh anak buahnya untuk menyelidiki latar belakang salah satu bodyguard yang sudah berkhianat padanya. Sedangkan Nandini, dia meremas tangan yang terus berdarah, tidak ada rintihan atau air mata. Karena baginya, ini sudah biasa, bahkan dia pernah mendapatkan siksaan yang lebih dari ini.

Xavier sesekali melirik gadis di samping dia dengan ekor matanya. "Kenapa gadis ini sama sekali tidak merasa kesakitan?" tanya Xavier dalam hati.

Gadis kecil itu menahan rasa sakit di tangannya. "Tuhan, bolehkah aku meminta, tolong beritahu aku kehidupan seperti apa yang akan aku jalani. Apakah hidupku hanya akan terus menderita?" batin gadis itu menangis.

Tak lama kemudian, mereka pun sampai di sebuah Mansion yang sangat megah. Mansion yang mempunyai halaman yang sangat luas. Bahkan rumah Nandini saja kalah.

"Turun!"

Gadis kecil itu pun turun, dan melangkah perlahan mengikuti langkah lebar pria di depannya. Kaki kecil itu bahkan berjalan dengan cepat, terseok-seok hingga hampir terjatuh. Seorang pria paruh baya menyambut kedatangan Tuannya bersama sang istri.

"Selamat Datang Tuan," ucapnya sembari menundukkan kepala.

"Hmm," jawab Xavier singkat.

Dia pun kembali berjalan, namun tak lama berhenti dan membalikkan tubuh kekarnya itu. Pria itu menatap tajam gadis yang masih memakai baju pengantin, baju yang sudah berubah warna. Laki-laki itu pun menatap pria paruh baya yang masih setia mengekorinya.

"Bawa dia, dan obati tangannya. Tunjukkan gudang yang akan dia tempati di paviliun belakang!" suara datar itu mengalun di pendengaran Nandini.

"Baik, Tuan," jawab pria paruh baya.

"Dan, berikan dia seragam maid. Beritahu juga tugasnya apa saja! Ah dan dia hanya akan bertugas mengurusku!" ucapnya kemudian melangkahkan kaki menuju ke kamar yang berada di lantai atas Mansion itu.

Lalu pria paruh baya itu menatap gadis kecil yang penampilannya sudah kacau. Namun, kecantikannya masih terpancar meski baju pengantin itu sudah tidak berbentuk. Pria paruh baya itu menatap iba, tapi tidak bisa berbuat apa-apa.

"Mari Nona, saya akan obati lukamu dan menunjukkan kamar milikmu," ucapnya sopan.

Nandini hanya mengangguk dan melangkah mengikuti langkah kaki pria itu. Sepanjang perjalanan menuju gudang yang berada di paviliun yang letaknya jauh di belakang, Nandini hanya diam saja. Tak mengeluarkan suaranya barang sedikit pun.

"Mari Nona, maaf ini gudang yang akan anda tempati . Dan saya akan meminta bantuan salah satu maid untuk membantu Anda mengobati luka Anda," tutur pria itu.

"Baik Paman, dan panggil saja saya Nandini Paman, tidak perlu memanggil saya Nona," jawab Nandini lembut.

Pria paruh baya itu pun tersenyum tipis dan berlalu dari sana. Nandini memperhatikan gudang yang akan dia tempati. Gudang itu masih kotor dan terlihat berdebu.

"Permisi Nona," sapa seorang wanita.

Nandini pun mengalihkan atensinya dan menatap seorang wanita paruh baya yang berada di hadapannya. Lalu mempersilahkannya masuk. Wanita itu pun masuk, dan sedikit meringis kala melihat tempat kotor itu.

"Saya mau mengobati luka Anda," ucap wanita paruh baya itu.

Nandini tersenyum, dan mengangguk lalu mempersilahkan wanita itu masuk ke dalam gudang. Lalu wanita itu membantunya melepaskan gaun yang sudah kotor akibat darah. Nandini hanya diam saja ketika perempuan itu membantunya.

"Kenapa anda menahan luka ini, kenapa anda tidak meminta Tuan untuk mengobati anda terlebih dahulu sebelum menuju ke Mansion," ucap wanita itu ketika melihat luka di tangan mungil Nandini.

Nandini hanya tersenyum. Tidak menjawab apapun. Wanita paruh baya itu pun ikut tersenyum.

"Istirahatlah Nona, nanti bila waktunya makan malam tiba, saya akan membangunkan Anda," ucapnya lembut.

"KASIHAN SEKALI DIA, AKAN ISTIRAHAT DI MANA DIA? SEDANG TEMPAT INI BEGITU KOTOR," batin wanita itu menatap iba gadis kecil tersebut.

Nandini pun mengangguk dan mencoba mencari alas yang akan di pakainya untuk sekedar merebahkan tubuhnya yang lelah. Tubuh kecil nan kurus itu sekarang terduduk di lantai dingin itu. Perlahan mata lelah itu menutup, menjemput sang mimpi.

Byurrr

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status