Share

Pengantin Kecil Tuan Xavier-BAB 5

Pengantin Kecil Tuan Xavier-BAB 5

"Aww," jerit Nandini.

"Aampun, lepaskan, sakit," rintih Nandini.

Xavier menatap nyalang wajah yang sedang ketakutan itu. Dia dengan kuat menjambak rambut Nandini. Hingga gadis itu merasakan sakit di kepalanya, dia merasa rambutnya akan rontok.

"DENGAR INI, SAYA PALING TIDAK SUKA DI BANTAH APALAGI OLEH BUDAK SEPERTIMU! STATUSMU DI SINI ADALAH BUDAKKU,BUKAN ISTRIKU! KAU DENGAR ITU! JADI JANGAN BERHARAP KAU AKAN MENDAPATKAN PERLAKUAN SPESIAL DARIKU! INGAT KAU HANYA SEORANG BUDAK, DAN BUDAK TIDAK DI PERKENANKAN UNTUK MEMBANTAH UCAPAN MAJIKANNYA, INGAT ITU. CAMKAN DI OTAKMU YANG KECIL ITU!" sarkas Xavier.

Nandini meringis, merasakan ngilu sekaligus pusing di kepalanya. Sedangkan pria paruh baya yang bertugas menjadi kepala pelayan hanya bisa menatap prihatin pada gadis yang sedang di perlakukan kasar oleh sang majikan.

"Sungguh malang sekali nasibmu, Nak," batin pria itu.

Xavier melepas cengkramannya dan mendorong tubuh ringkih itu dengan kasar.

"SALAHKAN IBU DAN KAKAK-KAKAKMU, KAU AKU ANGGAP SEBAGAI PENGGANTI PENGANTINKU, DAN KAU YANG AKAN MENANGGUNG KESALAHAN YANG TELAH DI PERBUAT OLEH KELUARGAMU!" hardik Xavier.

Nafasnya memburu. Nandini tidak tahu bagaimana tempramen Xavier. Dia akan sangat marah jika ada yang berani membantahnya.

"Paman, antarkan dia ke gudang yang akan menjadi kamarnya, dan kurung dia di sana! Jangan dulu di buka sebelum aku menyuruhmu untuk membukanya. Dan ingat mulai besok semua keperluanku dia yang akan mengurusnya," ucap Xavier datar dan berlalu dari sana.

Pria paruh baya itu menatap nanar gadis yang sekarang sedang menunduk. Tubuhnya bergetar. Nandini masih berusaha menghilangkan rasa pusing di kepalanya akibat di jambak oleh Xavier.

"Tuhan, aku kira akan bahagia setelah keluar dari rumah Ibu, tapi ternyata di sini lebih parah," gumam Nandini yang masih bisa di dengar oleh pria paruh baya itu.

"Nona mari saya antarkan nona ke gudang," ucapnya.

Nandini mendongak menatap pria paruh baya yang sekarang berada di hadapannya. Lalu gadis itu tersenyum lembut. Berusaha bangun dan mengikuti langkah pria paruh baya itu.

"B-baik paman," kata Nandini terbata.

Lalu mereka berdua pun berjalan dengan Nandini di belakang pria paruh baya itu. Sepanjang jalan menuju gudang keduanya hanya diam. Hati pria itu teriris. Dia membayangkan jika nasib anak perempuannya seperti nona mudanya. Tidak ada tempat berlindung, ingin sekali dia menolong gadis itu. Gadis yang mengingatkannya pada putrinya yang kini sudah tenang di Surga-Nya.

"Mari nona silahkan," kata pria itu.

Nandini melangkah masuk. Dia mengedarkan pandangan ke dalam gudang. Ketika pintu terbuka saja sudah gelap, bagaimana jika pintu tertutup pasti akan bertambah gelap. Lalu gadis itu menatap pria yang berada di sampingnya.

"Paman, maaf , aku aku tidak masalah jika harus tidur di sini, hanya saja bolehkah aku meminta sesuatu?" lirih Nandini.

"Ya silahkan nona," jawab pria paruh baya itu.

"Bolehkah aku meminta supaya gudang ini tidak gelap seperti sekarang paman, a-aku takut gelap paman," cicit Nandini sembari menunduk.

Tangan pria itu mengepal kuat. Hatinya serasa di remas kuat. Dia dapat melihat sorot ketakutan di mata hazel itu.

"Maafkan saya Tuan, jika kali ini saya melanggar perintah Anda," bisik hatinya.

"Baiklah Nona, saya akan memberi penerangan di gudang dan saya juga akan menaruh kasur kecil di sini," ujar pria paruh baya itu.

Nandini tersenyum lebar. Dia begitu bersyukur di tengah kesusahannya masih ada orang yang mau menolongnya. Lalu dia pun spontan memeluk tubuh pria itu. Dan tak lupa mengucapkan terima kasih.

"Terima kasih paman, semoga paman selalu di sehatkan, sekali lagi terimakasih atas pertolongannya," ucap Nandini sumringah.

Pria paruh baya itu pun ikut tersenyum. "Kamu bisa memanggil paman, Jordhan," balas pria itu.

Nandini mengangguk, "Terimakasih paman Jordhan."

Lalu pria itu melangkah keluar untuk membawa beberapa peralatan yang akan dia butuhkan. Dia seperti melihat putrinya yang sudah tiada. Senyum dan semangat Nandini, hampir sama dengan almarhum putrinya. Maka dari itu, dirinya berani membelot dari Xavier. Biarlah jika kelak dia di hukum, asal jangan gadis itu.

Nandini masih berada di pintu, enggan masuk. Dia masih memperhatikan keadaan gudang yang gelap. Tak lama, pria paruh baya itu datang menghampiri gadis yang masih betah berdiri tepat di depan pintu gudang.

"Kenapa tidak masuk Nak," ucapnya mengagetkan Nandini.

Dia yang sedang melamun seketika tersentak. "Eh," ucapnya kikuk.

"Paman, aku kira siapa?" ucap Nandini tersenyum.

Jordhan terkekeh lalu reflek mengacak rambut Nandini. Gadis itu diam mematung, karena ini baru pertama kalinya ada yang bersikap seperti itu. Bahkan matanya sudah berkaca-kaca.

"Ya sudah, ayo kita bereskan gudangnya," ujar Jordhan.

"Bagaimana pekerjaan paman?" tanya Nandini khawatir.

"Kamu tenang saja," jawab Jordhan singkat dan tersenyum lalu melangkah masuk.

Pria itu memulai dari membenarkan listriknya. Sedang Nandini memperhatikan dari dekat. Selang beberapa menit kemudian, listrik pun menyala.

"Alhamdulillah," seru Nandini bersorak.

Bahkan tangannya bertepuk tangan persis seperti anak kecil yang mendapatkan sebuah mainan. Kedua orang itu pun mulai membereskan gudang. Sesekali Jordhan tersenyum melihat perilaku Nandini.

Lalu dimana Xavier. Laki-laki tampan dan dingin itu sekarang sudah berada di perusahaan raksasanya. Pria itu tampak serius mengerjakan dan memeriksa beberapa berkas yang membutuhkan tanda tangannya. Abrian tampak memperhatikan pria yang kini berstatus iparnya itu.

"Ehem," Abrian berdehem. "Bagaimana kabar adikku Vier?" tanyanya datar.

Xavier mengalihkan pandangannya. Lalu tersenyum sinis.

"Setahu Gue, adik Lo hanya Meylan!" sarkas Xavier.

Abrian diam, dia tidak bisa melawan. Karena apa yang di ucapkan oleh Xavier benar adanya.

"Gue hanya mau bilang, tolong jaga dia, dan jangan pernah Lo menyakitinya. Dia sudah cukup menderita," ucap Abrian datar.

Xavier tersenyum mengejek seolah berkata, 'INI BUKAN URUSAN LO, HIDUP GADIS ITU ADA DI TANGANKU!'.

Abrian berlalu dari hadapan sang sahabat. Dengan membawa rasa marah dan juga kekesalan yang ada di dalam dadanya.

"Aku berjanji Vier, jika kelak kau membuat adikku terluka, maka aku lah yang akan membawanya pergi jauh dari hidupmu. Sampai kau menyesal, seperti penyesalan yang aku rasakan saat ini!" desis Abrian.

Ya Abrian begitu menyesal, karena dirinya tidak bisa menjaga dan membuat hidup adik kecilnya bahagia. Semenjak kejadian Meylan lari dari pernikahannya, di situ dia sadar. Jika apa yang selama ini dia lakukan adalah salah. Dirinya pun merasa bersalah pada almarhum sang ayah.

"Bodoh," maki Abrian pada dirinya sendiri. Ingin rasanya dia pergi menuju kediaman Xavier untuk memastikan keadaan Nandini. Namun, dia tidak bisa gegabah. Tentu dia tahu bagaimana jika Xavier sudah marah. Pria itu tidak dapat mengontrol emosinya.

Di sisi lain, di kediaman Xavier. Nandini baru saja selesai membersihkan gudang yang akan dia tempati. Sungguh dirinya merasa puas ketika melihat hasil kerja kerasnya yang tentu saja di bantu oleh Jordhan.

"Alhamdulillah paman, selesai juga pekerjaan kita," pekik Nandini senang.

Pria paruh baya itu ikut tersenyum kecil. Dia merasa mendapatkan putri pengganti.

"Paman juga senang Nak, ya sudah sebaiknya kamu bersiap untuk memasak makan malam. Sekarang sudah pukul 05,sebentar lagi Tuan Muda pulang," ucap Jordhan.

Nandini mengangguk, "Baik paman, tolong tunjukkan dapurnya di sebelah mana?" tanya Nandini ceria.

Pria itu terkekeh, "Baik, tapi sebelumnya kamu kunci dahulu gudangnya," kata Jordhan lembut. "Maaf paman tidak bisa membantumu banyak, hanya ini yang bisa paman lakukan," ucapnya sendu."Kamu mirip sekali dengan almarhum putriku," lanjut Jordhan lirih.

Nandini diam menatap pria paruh baya itu. Lalu menggenggam tangannya, "Terima kasih paman."

"NANDINI!"

Comments (1)
goodnovel comment avatar
M-studio
Abang yang bego
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status