Share

Pengantin Kedua Sang CEO
Pengantin Kedua Sang CEO
Penulis: Madam Assili

CHAPTER 1 (Mari Bercinta)

"Jangan pernah menjanjikan begitu banyak kebahagian, aku takut suatu hari justru akan membuat kita saling membenci." Genggaman tangan terurai, sepasang kekasih sedang mengucap sebuah kata perpisahan tepat di pintu masuk sebuah bandara internasional Schipol, Amsterdam.

Hanna--wanita berperawakan tinggi, sesuai dengan ras kaukasoid. Berkulit cerah dengan rambut blonde tergerai menutup punggungnya hingga hampir menyentuh pinggang dengan wajah sendu mengucapkan kata-kata itu kepada Mathew tanpa memutus tatapannya.

Bukan ... bukan berarti dia tidak mencintai kekasihnya itu. Justru dia takut jika cinta membuatnya berharap terlalu tinggi, tapi mungkin bisa saja membuatnya sakit saat terjatuh suatu hari nanti.

"Aku akan menunggumu." Kalimat terakhir yang dia ucapkan dengan bibir yang bergetar.

Usia jalinan kasih yang telah bertaut sejak dua tahun yang lalu, bukanlah waktu yang singkat bagi keduanya. Kini, Hanna harus rela bersabar menanti kepulangan Matthew setelah pria itu menyelesaikan pendidikan kedokteran yang mungkin akan terwujud hingga enam tahun ke depan.

Enam tahun kemudian.

"Ada yang ingin menjelaskan sesuatu?" Sepasang mata indah berkilat menatap penuh amarah ke arah dua manusia yang sangat dia kenal. Wanita berusia 24 tahun, berperawakan tinggi dengan iris mata berwarna hazel itu tadinya dengan antusias pergi ke sebuah klinik kandungan untuk memeriksakan kesehatan rahimnya.

Sesuai dengan rencana yang disusun sejak beberapa tahun yang lalu, dia dan sang kekasih--Matthew akan melangsungkan pernikahan di tahun ini. Bahkan keduanya sudah berencana untuk memiliki keturunan setelah menikah nanti.

Namun, kunjungannya di klinik tersebut justru membuat Hanna harus menelan pil pahit. Matthew, seorang pria muda berusia tiga puluh tahun, berprofesi sebagai dokter umum yang sukses di awal karirnya. Pria itu tak lain merupakan kekasih yang telah dipacarinya selama bertahun-tahun. Kini sedang bersama wanita lain di klinik kandungan yang sama.

Dia adalah Clarissa, adik perempuan dari Tuan Abraham--pria yang selama ini selalu dia panggil dengan sebutan 'Ayah', dan kini baru Hanna sadari jika wanita berusia 37 tahun itu terlihat dengan perut sedikit membuncit. Hanna mencoba bersikap tenang dengan apa yang dia saksikan. Sejak setahun terakhir dia memang sudah merasakan hal terburuk akan terjadi di antara dirinya dengan Matthew. Sebab, pria yang sudah memperoleh kesuksesan berkat dukungan Hanna di masa lalu itu, terlihat menunjukkan perubahan sikap tak biasa.

Hanna menatap lekat sepasang penghianat yang berdiri tanpa perasaan bersalah di hadapannya itu. Seringai kebencian terbit di wajah cantik Hanna, sedangkan senyum ejekan tipis tergambar jelas dari wajah Clarissa. Wanita itu mengibaskan sebuah amplop yang berasal dari hasil pemeriksaannya dengan mata yang menatap ke sembarang arah, sementara Matthew menatap sinis wajah Hanna layaknya seorang musuh.

Ah! Ke mana wajah teduh penuh cinta yang dulu selalu disuguhkan lelaki itu? Kenyataan ini menghantam jiwa Hanna hingga ke dasar bumi. Dia tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi. Semua terjadi begitu saja bahkan di saat dirinya masih begitu mencintai Mathew.

Tanpa malu, Clarissa menyerahkan amplop tersebut ke tangan Hanna yang masih menatapnya tajam. Secara naluriah, Hanna menjatuhkan pandangan ke arah amplop yang berada di tangannya.

"Akhem ... ini benar-benar sebuah kabar baik." Hanna tersenyum tipis dengan wajah yang tenang setelah memastikan jika itu adalah hasil rekam ultrasonografi milik Clarissa.

"... Tapi aku rasa, aku cukup beruntung karena sudah terlepas dari dua orang pembohong yang pandai bermain drama seperti kalian. Bukankah selama ini kamu berada di luar negeri, Matthew?" Hanna menaikkan kedua alisnya.

"... Ah, ya aku mengerti. Tanteku yang sudah berumur ini rupanya tidak cukup percaya diri untuk mendapatkan pria lain selain kekasih milik keponakannya sendiri." Mata itu kembali menyipit ke arah Clarissa yang sedang menunjukkan wajah angkuh.

"Pttt ..." Hanna menutup kedua mulutnya dan menunjukkan gestur tubuh yang seolah-olah ingin tertawa mengejek, membuat Clarissa geram, sebelum dia kembali melanjutkan kata-katanya.

"Dan kamu ..." Hanna mengarahkan jari telunjuknya ke hadapan wajah Matthew, "Seorang pengkhianat memang lebih pantas bersama seorang penggoda." Kali ini tatapan jijik yang dilayangkan Hanna menghujam tepat ke arah pandangan Matthew. Wajah Clarissa yang tadinya terlihat mengejek berangsur-angsur mengendur dengan hati yang seolah tercubit.

Hanna melangkah pergi meninggalkan sepasang manusia menjijikkan itu untuk menuju kediamannya. Berjalan sambil mengibaskan kedua tangan di wajah untuk mendapatkan oksigen lebih banyak, karena tentu kejadian tadi membuat dadanya sesak.

Kecewa? Tentu saja, bahkan bisa dikatakan apa yang dia rasakan saat ini adalah lebih dari sekedar rasa sakit itu. Namun, sebagai wanita berpendidikan, tentu Hanna tak perlu melakukan hal-hal yang konyol dan terlihat menyedihkan di hadapan kedua orang yang pernah dia sayangi di masa lalu.

Sebagai seorang yang mandiri, Hanna lebih memilih untuk tinggal sendiri di dalam sebuah apartemen pribadi. Apartemen yang dihadiahkan mendiang kakek--pria tua yang menghadiahinya sebuah keluarga yang hangat setelah dirinya diadopsi dari sebuah panti asuhan belasan tahun yang lalu. Namun sang kakek kini sudah tidak mampu melindunginya lagi setelah pria tua itu pergi untuk selama-lamanya pekan lalu. Kepergian sang kakek meninggalkan luka yang belum mengering di hati Hanna hingga saat ini, dan sayangnya luka itu kini semakin parah setelah apa yang baru saja dia alami.

Sesaat ketika dia tiba di kediamannya, terdengar suara ketukan pintu yang cukup keras.

"Ayah ..." Begitu pintu dibuka, Hanna dengan matanya yang sedikit membengkak menyapa orang yang selama ini telah merawatnya semenjak ia kecil, "Maaf aku belum sempat mengunjungimu, Ayah," ucapnya tulus.

Pria itu datang dengan raut wajah yang berbeda. Ada perpaduan kesedihan dan amarah yang tergambar secara bersamaan, "Bisakah kau berhenti memanggilku dengan sebutan 'Ayah'?"

"Ayah ...?" Hanna tersenyum getir tepat di hadapan wajah Tuan Abraham.

"Aku tahu, kehamilan Clarissa bersama Matthew telah melukaimu. Tapi tidak seharusnya kamu mengatai mereka dengan ucapan-ucapan buruk, apalagi di depan umum. Jika Matthew lebih memilih Clarissa, maka kamu harus menghargai keputusannya." Wajah pria berumur itu memerah. Sejujurnya, dia tidak ingin berada di situasi seperti ini. Clarissa adalah adik satu-satunya yang dia miliki, sementara Hanna hanyalah seorang anak angkat.

Pria itu menghela napas sejenak, sebelum melanjutkan perkataannya, "Mereka akan segera menikah. Terlebih lagi Clarissa sedang mengandung penerus keluarga Abraham. Sementara kamu ..." Tuan Abraham menghentikan ucapannya, kemudian melangkah untuk meninggalkan Hanna. Tanpa ada yang menyadari bahwa pria berumur itu meneteskan air mata secara diam-diam. Rasa sakit itu hadir di saat dia ingin mengucapkan kata-kata terakhir untuk putri yang begitu dia cintai.

Sebelum meneruskan langkahnya, Tuan Abraham berbalik dan memperingatkan Hanna, "Aku tidak punya daya untuk mempertahankan kamu meskipun aku ingin.

Hanna Georgiana Abraham, mulai sekarang tanggalkan nama 'Abraham' di belakang namamu," ucap pria itu dengan tegas.

Hanna melebarkan kedua kelopak matanya. Dia masih belum mampu untuk menangis atau memberikan reaksi lebih dari ini. Hanya karena dia bersikap ketus terhadap kedua penghianat di depan matanya, dia justru ditendang keluar dari keluarga besar Abraham. Sefatal itukah akibatnya?

"Hiduplah lebih baik, Hanna. Aku yakin kamu bisa." Tuan Abraham melanjutkan langkahnya yang sempat terhenti, sementara Hanna menatap kepergiannya dengan hati yang remuk.

***

"What the f*** are you talking about, Hanna?" Isabelle menutup mulutnya yang masih menganga dengan kedua telapak tangan. "Kamu tidak sedang bercanda, 'kan?

Hanna menyesap Green Juice yang berada di hadapannya dengan santai, "Yah ... Seperti yang aku ceritakan padamu tadi. Aku langsung kembali ke apartemenku dan membawa apa yang memang menjadi milikku lalu pergi begitu saja." Wajahnya terlalu tenang untuk seukuran orang yang baru saja mengalami kejadian yang tidak menyenangkan.

"Lalu kamu masih bisa bersikap setenang itu?" Isabelle menarik kursi untuk semakin medekati posisi Hanna saat ini.

"Kenapa kamu menatapku seperti itu? Jangan katakan jika kamu adalah penyuka sesama jenis." Hanna menatap Issabelle penuh selidik.

"Ck ... Gadis bodoh." Issabelle memutar bola matanya.

"... Aku terlalu menggairahkan jika hanya untuk menyukai dirimu. Potensiku untuk mendapatkan pria-pria tampan dan kaya lebih besar dari pada penyuka sesama jenis."

Hanna terkekeh melihat reaksi Isabelle. Padahal dirinya tadi hanya bercanda.

"Lalu langkah apa yang akan kau ambil?" Isabelle kembali menatap Hanna yang masih terlihat santai.

Hanna mengendikkan kedua bahunya, "Menurutmu apa yang akan dilakukan seorang tuna wisma sebatang kara sepertiku?"

"Apa kamu masih akan menjalankan tugasmu di perusahan Tuan Abraham?"

"Kamu pikir aku rela mengemis di hadapan mereka? Sejak aku melangkah pergi dari kediaman mereka, sejak itu juga aku harus menanggalkan nama Abraham di belakang namaku," ucap Hanna tak bersemangat.

"Ck! ... Malang sekali nasibmu, Kawan!" Isabelle miris menyaksikan wajah murung sahabatnya.

"Aku akan mencari tempat tinggal sementara. Mungkin masih ada kontrakan kecil yang layak untuk ditempati." Hanna tau, wanita berponi di hadapannya itu terlahir sebagai keluarga kaya. Tapi tak sedikitpun di dalam benak Hanna untuk meminta bantuan dari Isabelle.

"Bagaimana jika kuberikan pinjaman? Kamu bisa mencari tempat tinggal yang layak dan membangun usaha kecil. Buktikan kepada si brengsek Mathew bahkan kamu bisa bangkit meskipun sudah diinjak-injak!" Isabelle terlalu bersemangat bahkan dengan lantang berucap dan berdiri hingga membuat beberapa pasang mata menatap aneh dirinya.

Hanna mendongak risih melihat perilaku sahabatnya yang sedang berdiri angkuh. "Tidak ... Tidak, aku tidak suka berhutang. Aku masih bisa membiayai hidupku sendiri. Kamu jangan kha ...."

Belum sempat Hanna menyelesaikan kalimatnya, tiba-tiba ponselnya berbunyi. Terlihat sebuah pesan dari seseorang yang bernama 'Ayah' di layar itu.

("Semua fasilitas sudah dibekukan, kecuali mobil peninggalan Kakek. Gunakanlah, dan belajarlah untuk melupakan kami. Maaf, Clarissa mengancamku. Jika tidak, dia akan menggugurkan kandungannya.")

Wajah Hanna berubah muram seketika dengan mata yang berembun.

"Kenapa?" Isabelle yang menyadari perubahan raut wajah Hanna segera merebut dan melihat isi pesan yang ditampilkan di layar ponsel Hanna.

"Ayolah! Setidaknya kamu tidak akan tidur di jalan malam ini. Jangan menyusahkan dirimu sendiri," bujuk Isabelle.

Hanna bergeming, tatapannya masih lekat mengarah ke layar ponsel. Isabelle sejenak berpikir dan mengedarkan pandangan ke sekitar kemudian berbisik, "Lihat pria tampan yang ada di belakangmu."

Naluri Hanna membuatnya menoleh seketika. Benar saja, pria itu sangat tampan dengan setelan kemeja biru laut yang dia kenakan. Bagaimana bisa sedari tadi Hanna tidak menyadari keberadaannya.

Pria itu melihat tatapan Hanna yang memperhatikannya sekilas. Hanna yang merasa terciduk seketika membalikkan pandangannya ke arah Isabelle. Matanya memelototi Isabelle membuat sahabatnya itu terkekeh.

Isabelle mendekat dan berbisik ke telinga Hanna, "Sepertinya dia bukan orang sembarangan. Lihat jam Rolex mewah edisi terbatas yang dia kenakan."

Sekali lagi Hanna melirik pria itu setelah terpancing dengan ucapan Isabelle disusul dengan timbulnya kerutan di antara kedua alisnya seolah ingin berucap pada Isabelle, 'Apa tujuanmu mengatakan itu?'

Ide konyol itu muncul begitu saja. "Aku akan memberikanmu tantangan. Jadi kamu tidak perlu berhutang padaku" tawar Issabel yang mengerti akan maksud raut wajah yang ditampakkan Hanna.

Hanna menaikkan kedua alisnya, sebelum Isabelle melanjutkan kata-katanya, "Aku akan menghadiahimu satu juta Euro jika kamu berhasil mengajak pria itu bercinta," ucap Isabelle secara mengejutkan.

"Tawaran yang menarik! Tapi idemu sungguh gila, Isabelle. Aku bahkan tidak pernah berniat untuk melakukannya, apalagi dengan pria asing," ucap Hanna dengan mengibaskan tangan tanda penolakan.

"Jika kamu belum mencoba, kamu tidak akan pernah tahu hasilnya. Bisa saja uang satu juta Euro itu akan menjadi milikmu hari ini. Jika dia menyambut tawaranmu dan kamu berubah pikiran setelahnya, maka aku akan memberikan setengah dari hadiah yang kujanjikan. Kamu tidak perlu bercinta sungguhan, gadis bodoh!" Isabelle menatap Hanna dengan antusias.

"... Tapi jika kamu ingin mencoba berbagi keringat dengan pria tampan itu, aku akan mendukungmu!" goda Isabelle sambil menggigit bibir bawahnya dengan nakal. Dengan gigih dirinya meminta Hanna yang masih terfokus pada minuman di hadapannya. Tentu ini hanyalah cara Isabelle untuk memberikan sedikit bantuan kepada sang sahabat, mengingat Hanna enggan menerima pemberian Isabele secara cuma-cuma.

"Baiklah aku akan mengambil tawaran yang kedua. Memintanya bercinta lalu membatalkannya, semoga saja dia menolakku." Senyum tipis tergambar di wajah cantik Hanna. Sepertinya wajah muram yang sempat menghiasi wajahnya tadi sudah hilang entah ke mana.

"... Tapi ini terakhir kalinya aku menginjakkan kaki di tempat ini jika dia menolakku! Aku lebih tertarik untuk mendapatkan setengah dari hadiahmu saja, tanpa harus bersusah-susah bercinta dengan pria asing." Sekali lagi Hanna memantapkan ucapannya. Dia kemudian berdiri dan merapikan penampilannya.

Sebagai wanita yang akan menggoda pria di belakangnya, tampilan Hanna terbilang sangat mendukung dan peluang keberhasilan cukup besar. Bahkan, jika disandingkan dengan model sekalipun, tetap Hanna-lah yang lebih cantik.

Tubuh ramping dengan rambut bergelombang yang panjang. Untuk wajah? Ya, bisa dibayangkan begitu banyak para wanita yang insecure melihat kecantikannya.

Menepis keraguan, Hanna mendekati pria tampan itu dengan pasti. Sementara Isabelle merasakan kegugupan yang sulit untuk dia kendalikan secara tiba-tiba. Nampak jelas tangannya sedikit gemetar dengan peluh yang mulai membasahi jidat. Khawatir jika tantangan yang dia berikan justru akan mempermalukan sahabatnya sendiri. Kenapa tadi dia tidak berpikiran seperti itu. Justru di saat-saat genting seperti ini Isabelle menyesal dan baru menyadari.

"Sepertinya jelang musim dingin akan ada banyak penikmat wine yang berkunjung ke sini. Jadi, bolehkah aku menraktirmu hari ini, pria tampan?" Sebenarnya Hanna tidak serius melakukan tindakan konyol itu. Dia hanya ingin mengikuti permainan yang ditawarkan Isabelle. Sikap Hanna membuat Isabelle menggapit kedua bibirnya dengan rasa was-was yang tidak bisa digambarkan.

Pria itu menatap Hanna yang mendaratkan tubuh duduk tepat di sampingnya. "Pst ... Tuan." Hanna mengarahkan bibir ranumnya ke arah telinga pria itu dengan intim dan ... sedikit nakal.

"... Maukah kamu bekerja sama denganku? Aku sedang melakukan tantangan berhadiah. Jika kamu bersedia bekerja sama, kita bisa membagi hadiahnya." Dia mengedipkan sebelah mata ke arah pria itu.

Tanpa mendapatkan persetujuan dari pria itu, Hanna mengulurkan tangan. Di detik selanjutnya, dia bersuara lebih keras dari sebelumnya, "Perkenalkan! Aku Hanna.

"Bagaimana jika kita bercinta?" Hanna mengucapkan kalimat lanjutan sedikit lebih pelan karena khawatir dirinya akan menjadi pusat perhatian. Namun, ucapannya masih jelas terdengar di telinga Isabelle.

"Boss!" teriak salah seorang bartender yang secara tiba-tiba mengalihkan perhatian keduanya. Pria yang mengenakan apron hitam itu mendekat dengan senyum terkembang.

"Lama tak berkunjung ke sini. Apa kau sudah melupakan club milikmu ini?" Pria itu melirik ke arah Hanna sekilas.

Tak ada jawaban baik dari pria tampan itu maupun Hanna. Jika sang pria tampan hanya menunjukkan raut wajah yang santai, tapi tidak bagi Hanna. Tiba-tiba saja dirinya merasakan sebuah sinyal yang memaksanya untuk meninggalkan pria itu.

"... Ah, maaf sepertinya aku datang di saat yang tidak tepat. Panggil aku jika kau membutuhkan sesuatu," ucap bartender sambil beringsut mundur dengan sebuah kedipan mata yang dia hadiahkan untuk Hanna yang kini terlihat kikuk. Bukankah baru saja pria itu mengatakan pria yang akan dia traktir barusan adalah pemilik club ini? Lalu, tidakkah memalukan jika pria itu mendengar tawarannya tadi? Hanna seolah kehilangan muka yang tidak mungkin bisa dia sembunyikan lagi saat ini.

Komen (4)
goodnovel comment avatar
Lan Tak Kau
cerita yang menarik, sy suka...
goodnovel comment avatar
Aroanto Pasungku
ceritax seruh buat yg baca selalu penasran
goodnovel comment avatar
Felicia Aileen
menarik sih ceritanya.. mau follow akun sosmed nya dong kalo boleh?
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status