Isabelle menahan napas dan memejamkan mata saat mendengar kata-kata itu meluncur bebas dari mulut tak tahu malu sahabatnya. Tapi, bukankah dia sendiri yang memberikan tantangan konyol itu?
Tak berselang lama kesadaran Hanna kembali ke tempat yang semestinya, setelah kalimat bodoh itu dia ucapkan, perasaan malu yang luar biasa menyerangnya membabi buta. Baginya, kabur adalah keputusan yang paling tepat saat ini.
Jika bisa memutar waktu, tentu Hanna akan menolak tantangan konyol itu. Bagaimana tidak? Pandangan mata pria itu seolah menyiratkan kalimat 'betapa tak tahu malunya kamu, Nona'. Apalagi wajah tampannya yang baru Hanna sadari, sudah pasti pria itu bukan orang sembarangan yang dengan suka hati menerima kehadiran orang asing.
Hanna berdiri untuk pergi dan kalau boleh dia ingin berlari sekencang mungkin. Namun, pada detik selanjutnya tangan kekar sang pria tampan memegang lengan Hanna untuk menghentikan niat gadis yang sudah kehilangan muka itu.
"Mari bercinta," ucap pria itu tanpa ragu. Isabelle yang berjarak tak lebih dari lima meter pun mencoba menajamkan pendengarannya.
"What? is it seriouse?" gumam Isabelle, sementara Hanna melebarkan kedua bola mata dengan takjub.
"Mari kita bercinta." Pria itu kembali menegaskan kata-katanya. Pria itu berdiri dan berbisik ke telinga Hanna, "Bukankah kamu akan mendapatkan uang itu jika kita bercinta? Maka, mari bercinta."
Demi apapun, kaki Hanna kali ini seperti kehilangan pijakannya. Sura berat yang terdengar seksi. Aroma tubuh pria itu benar-benar membius hingga ke dalam saluran arteri saat Hanna menghidu. Bahkan napas hangatnya membuat tengkuk Hanna meremang.
Hanna menganga seperti orang yang linglung, sesekali dia melihat ke arah Isabelle. Sementara sang sahabat berponi itu justru terlihat lebih linglung. Isabelle membelalakkan matanya sambil memberi isyarat dengan menggoyang-goyangkan kepalanya. Hanna yang tak mengerti semakin dilanda perasaan tak menentu.
"Eeeeeh ..." Hanna terhuyung ketika pria itu dengan posesif melingkarkan tangannya ke pinggang Hanna untuk membawanya melangkah layaknya sudah saling mengenal sejak lama,
"Ke-ke mana?" Hanna yang di awal terlihat berani dan percaya diri, kini justru terlihat seperti orang yang sedang terhipnotis.
"Ayo, kita temui temanmu itu. Kita akan bercinta setelah menikah. Saya tidak terbiasa dengan hubungan di luar pernikahan."
"Me-menikah?" Hanna membulatkan matanya.
Hanna dan pria tampan itu berjalan beriringan. Tidak ada yang terlihat aneh dari sikap keduanya menurut sudut pandang orang-orang sekitar. Sepasang kekasih yang berwajah tampan dan cantik begitu nampak serasi. Pria itu mengulurkan tangannya ke arah Isabelle.
"Bart Megens," ucapnya.
'Oh ... namanya Bart Megens.' Hanna bermonolog di dalam hati sambil menatap tangan Bart yang terulur memperkenalkan diri pada sahabatnya.
Isabelle yang masih kebingungan, menerima uluran tangan pria tampan itu tanpa berkedip, " Maria Isabelle Anderson. Panggi saja Isabelle," balasnya.
"Jadi, apakah kamu akan ikut menyaksikan pernikahan kami?" Pria itu tanpa basa-basi mengatakannya. Sementara Isabelle mengangguk-angguk tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Bukankah pria itu tadi mengucapkan kata 'pernikahan'?
Hanna masih dalam mode kebingungannya. Entah mengapa kali ini Hanna berhenti mengoceh seperti yang dilakukannya beberapa saat lalu. Panas, gerah, berkeringat. Itulah yang dia rasakan saat ini. Diliriknya sebotol air mineral yang masih berada di atas meja. Tanpa membuang waktu dia menggenggam botol air mineral itu, menenggaknya hingga merasakan kenikmatan mutlak yang membasahi dinding-dinding tenggorokannya yang mengering.
Hanna menarik napas panjang sebelum kembali menenggak air mineral yang tersisa. Ketika rasa nyaman sudah dirasakan, dia bisa bernapas lega, kemudian berusaha kembali mengumpulkan kesadarannya yang sempat terserak. Beberapa detik setelahnya Bart kembali melingkarkan lengannya di pinggang Hanna sambil menyeret koper milik sang calon istri.
"Mengapa wajahmu segugup itu? Bukankah kamu ingin bercinta? Setelah menikah kita akan bercinta, bukan begitu?" ucap Bart yang dibalasi anggukan lesu dari Hanna. Namun, anggukan itu cepat-cepat dia ubah menjadi sebuah gelengan cepat. Tapi Bart mengabaikan gestur yang ditunjukkan oleh sang wanita.
Tak jauh dari posisi Bart dan Hanna, Isabelle terlihat memucat melihat kejadian itu. Apakah benar Hanna-nya akan menikah dengan pria tampan yang baru dia kenal. Bagaimana jika pria tampan itu adalah bagian dari kelompok orang yang melakukan perdagangan organ tubuh manusia, atau bisa jadi perdagangan wanita, atau mungkin dia adalah seorang psikopat, seorang gay yang menyamar, mungkin. Isabelle bergidik ngeri.
Ah ... Isabelle merasa sudah benar-benar gila atas tantangan konyolnya sendiri.
Sibuk dengan pikiran masing-masing, seolah terhipnotis tanpa sadar mereka bertiga sudah ada di dalam satu mobil yang sama. Mobil yang dikendarai Bart melaju menuju sebuah lokasi yang kedua gadis itu tidak tahu akan kemana. Hanna yang duduk tepat di sisi Bart menatap pria itu dengan tatapan yang sulit diartikan, sementara Isabelle yang berada di kursi penumpang bagian belakang masih sibuk dengan pikirannya sendiri. Bart yang sadar dengan situasi itu justru tersenyum tipis.
Ciiiit ... Suara gesekan ban dengan permukaan jalan samar-samar terdengar dari dalam mobil.
"Baiklah, kita sudah sampai." Bart yang masih menggenggam setir mobil menoleh ke arah Hanna yang diam membeku. Nampak jelas mobil yang mereka tumpangi berhenti di halaman kantor catatan sipil.
"Kemarikan dokumen kelahiran dan tanda pengenalmu." Hanna yang seolah terhipnotis, menurut begitu saja tanpa ragu menyerahkan dokumen-dokumen yang memang sudah dia bawa sejak meninggalkan apartemen yang selama ini dia tinggali.
Bart bergegas keluar dari mobil dan berlalu tanpa membukakan pintu untuk kedua wanita itu.
"Pst ... Sttt ... Hanna!" Isabelle berbisik sambil menyentuh bahu sahabatnya itu, "Kamu yakin akan menikah dengan pria itu?"
Hanna membalikan tubuhnya menghadap Isabelle, "Bukankah rencana kita berhasil? Lalu menurutmu apa aku harus mundur?" Mencoba untuk tenang, tapi tiba-tiba terlihat siluet pria itu dari luar mobil. Ya, pria itu semakin mendekat. Kedua wanita cantik itu gelagapan dengan reaksi yang akan mereka berikan jika memang saat ini mereka tidak sedang bermimpi. Sungguh siapapun bisa melihat raut wajah Hanna saat ini sungguh menyedihkan.
Sejenak Isabelle menghirup udara lamat-lamat dan kembali mengembuskannya dengan perlahan.
"Baiklah, Hanna. Aku rasa dia pria yang baik. Lihat! Betapa tampannya dia. Apa kamu pernah membayangkan berada dalam satu selimut dengan pria setampan itu?" Wajah mesum Isabelle seketika berbinar membayangkan hal yang 'iya-iya'.
"Ingat, karena aku yakin ini akan menjadi yang pertama kali bagimu, berusahalah agar tidak keluar di dalam. Kalau tidak, tubuhmu akan cepat berubah di tahun pertama pernikahan jika kamu mengandung." Isabelle cekikikan, sementara sang calon pengantin masih terpaku dengan kegugupannya.
"Maria Isabelle! Kau masih bisa bercanda seperti ini!" Hanna mencebik.
Terdengar suara ketukan dari jendela mobil. Kedua wanita itu tersadar dan bergegas membuka pintu. "Saya sudah mendaftarkan pernikahan kita, sebaiknya kamu segera ikut ke dalam karena masih ada beberapa hal yang dibutuhkan." Bart benar-benar serius dengan ucapannya.
"... Ini pernikahan sungguhan! Di dalam sudah ada ruang khusus dengan pendeta yang akan menuntun kita untuk mengucapkan janji suci pernikahan," lanjut Bart.
Hanna merasakan kesedihan yang entah datangnya dari mana. Semestinya saat ini Mathew-lah yang menjadi mempelai prianya. Pria itu pernah menjanjikan kebahagian di masa lalu.
Tapi apa? Di saat mereka masih berhubungan, Matthew justru memiliki hubungan gelap dengan Clarissa. Bahkan usia kandungan Clarissa sudah dua puluh empat minggu. Jika selama ini Mathew mengkhianati Hanna dan lebih memilih Clarissa, mengapa masih saja berusaha untuk menjalin hubungan dengan Hanna.
Lamunan Hanna buyar seketika setelah Bart menggenggam tangannya menuju ke dalam kantor cacatan sipil. Pandangan Hanna mengarah pada tangannya yang sedang digenggam. Bukannya menolak karismatik pria yang sebentar lagi akan menjadi suaminya itu, tapi Hanna masih tidak habis pikir jika pria tampan itu dengan mudahnya menyetujui penawaran Hanna untuk menikah, tanpa memedulikan latar belakang Hanna seperti apa.
Isabelle mengekori sepasang calon pengantin yang berjalan mendahuluinya.
Serasi! satu kata yang tepat untuk sepasang calon pengantin ini. Hanna yang terlahir dengan kecantikan alaminya, juga Bart yang tampan luar bisa. Bahkan dari sekian banyak pria yang pernah Isabelle lihat, baru Bart-lah yang memiliki level tertinggi.
"Uh ... betapa beruntungnya kamu, Kawan," gumam Isabelle membayangkan Hanna dan Bart sedang bercumbu. Terlihat sesekali Isabelle tertawa kecil.
"Jangan menyesali keputusanmu, Nona Hanna. Bukankah kamu sendiri yang meminta saya untuk menikahimu demi sejumlah uang taruhan. Jika kamu berubah pikiran, maka saya pastikan keputusanmu sudah terlambat." Tampilan mimik wajah pria itu begitu tenang.
Pria itu menghentikan langkah, tatapannya menyorot ke arah depan, "Satu hal yang penting untuk kamu ketahui bahwa kamu adalah pengantin kedua saya, jadi jangan pernah berharap menjadi satu-satunya! "
Tenang dan berwibawa, demikianlah kesan dari seorang Bart megens. Namun, kata-kata yang diucapkannya barusan membuat Hanna menjadi gelisah.
'What? Pengantin kedua?' gumam Hanna dengan napas yang tersengal.
"Hanna, aku membawakanmu es krim," ucap Bart dengan antusias. Hanna melebarkan kedua kelopak mata dengan perasaan terkejut. Baru saja dia merindukan Bart, kini pria itu sudah berada di hadapannya. Hanna melirik ke arah papper bag yang dia yakini berisikan es krim seperti yang dia inginkan. Bart membuka papper bag tersebut setelah menyadari arah fokus mata istrinya itu. Sebuah es krim strawberry dengan warna pink terbungkus sebuah kotak dengan gambar yang menggiurkan. Hanna menelan ludah dengan kasar, dia membayangkan rasa es krim yang masih berada di tangan suaminya. "Apa yang kau lakukan?" ucap Hanna dengan nada sinis. Bart mendekat, meletakkan kotak es krim di atas meja. "Aku sudah memperingatkanmu untuk pergi dari hidupku, 'kan? Untuk apa kau kesini, bukankah semuanya sudah jelas!" Hanna membuang wajah saat Bart tak memutus sedikit pun pandangannya. "Hanna, aku bisa menjelaskan semuanya." Hanna menggigit bibirnya kuat-kuat, dan .."Aw!" Bibirnya berdarah bersamaan dengan suar
"Aku dan Hanna sempat bertemu dan dia memelukku. Aku pikir dia sudah memaafkankau. Kalian tahu bagaimana aku sangat merindukannya. Aku bahkan sampai menyusulnya ke sini karena tak ingin sesuatu yang buruk terjadi padanya. Aku tak tahu jika Hanna sedang mengandung anakku. Aku bahkan berpikir dia memiliki hubungan khusus bersema pria lain dan melupakanku begitu saja," ucap Bart penuh sesal. "Pria yang menjadi salah satu korban ledakanitu?" sahut Tuan Megens bertanya."Ya, namanya Paul. Dia pernah mengancamku di awal pernikahanku bersama Hanna. Yang kutahu dia pernah mencoba untuk mendekati Hanna sa-saat Sophia kembali." Bart merasa tak nyaman saat menyebut nama Sophia seolah kenangan buruk itu kembali berputar di dalam ingatan. Kenangan di mana dirinya sudah melukai istrinya sendiri dengan mengabaikan wanita itu dan memilih untuk menemani wanita lain. Wajah Tuan Megens berubah masam saat mendengar putranya menuduh istrinya sendiri memiliki hubungan bersama pria lain, padahal wanita
Bart melangkah perlahan saat posisinya sudah benar-benar dekat dengan tirai pembatas antar brankar pasien. Dia kemudian menyibak tirai tersebut dnegan rasa gugup yang entah mengapa semakin tak terkendali. Jantungnya bertalu dengan kencang. Bahkan Bart sempat memegangi dadanya yang terasa nyeri. Napas pria itu berembus cepat dan pendek. Bart seolah tak mampu mengendalikan dirinya sendiri. Saat tirai terbuka, tubuh Bart seolah membeku, hawa dingin menjalar hingga dia tidak merasakan pijakan lagi. Bart tercengang untuk beberapa saat ... "Bart! Bart! Kumohon jangan tinggalkan aku lagi!" Hanna menjerit saat mendapati Bart yang terkulai tak berdaya di hadapannya. Padahal ini adalah momen dimana mereka kembali dipersatukan, setelah sekian lama keduanya tak saling besitatap. Hanna mengabaikan luka dan lebam di tubuhnya. Dia beranjak dari brankar untuk meraih tubuh sang suami yang sudah tak menjawab panggilannya. "Bart kumohon! Bangunlah! Bertahanlah untuk aku dan bayi kita." Hanna benar-be
Bart merasa harga dirinya tercederai karena telah membiarkan Hanna hamil seorang diri. Bagaimana bisa dia tidak mengetahui hal itu dan bagaimana Hanna menjalani hari-harinya bersama buah cinta mereka tanpa kehadiran Bart. Terbayang wajah Hanna yang menjalani masa-masa sulit dan menyembunyikan kehamilannya, padahal mereka begitu ingin memiliki keturunan sejak menyadari perasaan mereka di awal pernikahan. "Terima kasih, Issabelle," ucap Bart kembali merangkul Isabelle yang masih terisak mencoba menerima kenyataan pahit yang dia alami. Dia tidak menyangka jika Hanna mengandung anaknya dan tetap menjaga janin tak berdosa itu meski Bart sudah membuatnya terluka berulang kali. Apakah itu sebuah sinyal bahwa mereka bisa bersatu kembali, terlebih lagi berkas pembatalan pernikahan mereka berdua masih bisa dicabut dari pengadilan. Kali ini Bart tak akan membiarkan kesempatan itu hilang, dia ingin kembali bersama Hanna dan memperbaiki segala kesalahan yang pernah dia lakukan di masa lalu. Ba
Di tempat lain, Bart dan Tonny mendarat di Bandar Udara Heathrow Britania Raya beberapa jam yang lalu. Keduanya terlihat tergesa-gesa saat mendapatkan panggilan telepon salah satu orang kepercayaan Bart. Namun, saat ini mereka tidak bisa diandalkan karena ternyata Samantha pergi ke negara itu tidak seorang diri saja. Dia memiliki penjagaan dan sepertinya wanita itu tahu bahwa Hanna juga memiliki banyak orang yang melindunginya. "Kami baru saja melumpuhkan orang-orang kepercayaan Nona Samantha, tapi kepolisian setempat menghentikan langkah kami untuk mengejar wanita itu__""Ini semua salahmu bod**, kau membuat keributan hingga kita menjadi pusat perhatian," ucap salah seorang bodyguard kepada temannya yang diberikan tugas untuk menjaga Hanna selama berada di Inggris. Nampaknya orang-orang suruhan Bart sedang saling menyalahkan satu sama lain atas apa yang mereka alami. Mereka harus berurusan dengan pihak kepolisian akibat keributan yang sudah mereka ciptakan di tempat umum. Bart me
Bart tiba-tiba saja merasa sangat mengkhawatirkan Hanna, padahal sebelumnya dia begitu cemburu hingga ingin membatalkan pernikahan mereka. Ternyata apa yang dia khawatirkan terjadi juga. Namun Bart tak pernah menduga jika Samantha secepat ini mengetahu keberadaan Hanna. "Jika begitu, biar aku mendampingimu ke sana. Aku juga ingin meluruskan sesuatu," ucap Tonny.Bart mengangguk kemudian menyambar jasnya yang menggantung di sandaran kursi lalu bergegas meninggalkan ruang kerja miliknya. Dia tak butuh mempersiapkan apa pun termasuk pakaian yang akan dia bawa ke London. Malam itu juga Bart dan Tonny memutuskan untuk pergi menyusul Hanna. Di perjalanan menuju lapangan udara, Tonny mengambil alih kemudi mobil sementara Bart sibuk dengan banyak panggilan yang masuk ke dalam ponselnya. Tentu semua yang dibahas adalah tentang Samantha. Bart menggenggam ponsel dengan frustasi, memantau dari jarak jauh melalui orang-orang kepercayaan yang dia tempatkan di London untuk melindungi istrinya di