Share

CHAPTER 3 (Janji Nikah)

"Gila! Apa yang baru saja aku lakukan? Menggoda pria asing lalu menikah di hari yang sama? Bahkan aku sendiri tidak menyangka akan menjadi pengantin keduanya. Apa itu artinya dia sudah menikah dan hanya menjadikanku sebagai seorang wanita simpanan?" Hanna bermonolog di dalam hati dan merutuki kebodohannya sendiri.

Masih ada waktu untuk membatalkan ide konyol ini. Tapi, pria itu sudah buru-buru mengatakan bahwa tidak ada kesempatan untuk berubah pikiran. "Aku yang sedang gila atau pria itu yang gila? Hingga suka rela menerima tawaranku tadi?" Masih tak habis pikir dengan kejadian yang sedang berlangsung saat ini.

Di sini, tepat di teras kantor catatan sipil. Hanna terdiam menghentikan langkah kecilnya. Bart merasakan wanita di sisinya tak bergerak. Dia melemparkan pandangan ke sisi kanannya, tepat di posisi Hanna berdiri saat ini. 

"Saya tunggu di dalam." Pria itu pun berlalu dengan wajah datarnya.

Wajah gusar yang ditampakkan Hanna tidak dapat tertutupi lagi. Hanna berbalik menghadap Isabelle. Gestur yang ditunjukkan Hanna membuat Isabelle mengerti. Namun, sudah kepalang tanggung, akhirnya Isabelle hanya mampu menangkupkan kedua telapak tangannya di bawah dagu dan menunjukkan mimik wajah memelas untuk memohon maaf.

"Ck! Baiklah. Aku bisa lari kapan saja jika pria itu punya niat yang buruk." Hanna berucap pelan dan kembali membalikkan tubuhnya untuk masuk ke dalam ruang yang akan menjadi saksi bisu pernikahannya bersama Bart.

Namun, baru saja dia berbalik tiba-tiba suara pria itu menginterupsi pergerakan Hanna.

"Saya mendengarnya." Bart dengan santai meraih pergelangan tangan Hanna dan melingkarkannya ke lengan bagian atas milik Bart. Sambil berjalan masuk, Bart berbisik melanjutkan ucapannya, "Jadi kamu berencana untuk kabur setelah kamu meminta saya menikahimu?" Tanpa menatap sang lawan bicara, pria itu tetap fokus menghadap ke depan dengan wajah datar, tapi tidak sedikitpun mengubah karisamatik dan ketampanannya.

"... Silakan bermimpi, Nona," lanjutnya dengan bibir yang sedikit melengkung ke atas.

Rasa kekhawatiran melanda Isabelle. Rupa-rupanya wanita cantik itu mengurungkan niatnya untuk menyaksikan prosesi pernikahan sahabatnya. Isabelle justru kabur di saat-saat genting.

"Hanna, aku menunggumu di Cafe Palma. Ini hadiah yang aku janjikan." Ternyata Isabelle sudah mengalih bukukan sejumlah dana ke rekening tabungan milik Hanna sesuai dengan janjinya.

Tak berselang lama, janji nikah sudah terucap dan buku nikah sudah selesai diterbitkan. Mulai hari ini Bart dan Hanna sudah resmi menjadi pasangan suami istri. Keduanya berjalan beriringan keluar pintu yang sama ketika mereka masuk tadi. Tidak ada pancaran bahagia yang ditunjukkan seperti pasangan yang baru saja menikah pada umumnya. Hanna masih menunjukkan kebingungan, sementara Bart masih dengan wajah datar tampannya.

Langkah panjang kaki Bart membuat Hanna tertinggal di belakang. Hanna yang tidak melihat keberadaan Isabelle sejak tadi, memutuskan untuk menghubungi sahabatnya itu melalui sambungan telepon. Namun, tidak ada jawaban sama sekali.

"Ck! kemana perginya gadis menyebalkan itu!" Hanna menggerutu. Ia mengedarkan pandangan ke segala arah sebelum ia menyadari jika bayangan Bart sudah berada jauh dari pandangannya, Hanna mengabaikan beberapa pesan yang masuk ke ponselnya.

Dengan cepat melangkah maju, berniat untuk menghampiri si pria yang kini sudah menjadi suaminya. Sebelum berhasil menghampiri Bart, pria tampan itu sudah membuka pintu mobil, masuk dan menutupnya kembali.

Secara naluriah, Hanna mempercepat langkahnya menuju mobil. Tiba-tiba saja mobil mewah milik Bart melaju meninggalkan Hanna yang masih diam terpaku berdiri di sisi jalan, yang tertinggal hanyalah bekas jejak ban mobil beserta koper milik Hanna yang tergeletak. Hanna mendekati koper miliknya, nampak di atas koper terdapat kartu kredit berwarna hitam yang ditinggalkan. Tentu saja Hanna yang berasal dari salah satu keluarga terpandang di Amsterdam mengerti kartu itu memiliki limit tak terbatas, dan hanya orang-orang yang memiliki tabungan di atas seratus juta Euro yang mampu memilikinya. Bersamaan dengan kartu hitam itu terdapat pula secarik kertas yang bertuliskan 'gunakan sesukamu selama kartu itu belum diblokir!'.

Hanna mendesah atas sikap Bart yang baru saja meninggalkannya tanpa berucap sepatah kata pun. Rasanya dia ingin segera mencari sebuah cermin untuk memastikan apakah dirinya seburuk rupa itu, sehingga suaminya sendiri enggan untuk tinggal bersamanya.

Lalu, apa? Bukankah berarti ini bukanlah sebuah pernikahan yang sungguhan? Sungguh sikap pria tampan itu  tidak dapat ditebak. Baru saja beberapa menit yang lalu mereka resmi menyandang status sebagai suami-istri, tetapi Bart justru menghilang. Ada yang tidak beres sepertinya, dan Hanna mungkin hanya secara kebetulan terjebak dengan ide gila Isabelle yang dia lakoni.

"Argh ... Ini semua gara-gara ide gilamu, Isabelle!" Hanna merutuki sahabatnya yang entah saat ini berada di mana. Baru saja dia mengambil ponsel untuk kembali menelpon si dalang dari terciptanya ide buruk pernikahan itu, Hanna tercengang melihat pesan dari Isabelle. Langsung saja ia menuju tempat yang dimaksud oleh Isabelle untuk bertemu.

Di sebuah cafe.

"Ya Tuhan! Apakah yang terjadi tadi benar-benar sungguhan? Isabelle bersikap seolah-olah hari yang mereka lalui hanyalah sebagai lelucon.

"Eh hem, ide gilamu hampir terwujud jika saja kami menuju ke hotel sekarang," jawab Hanna singkat.

"Aku Bersalah. Tapi, bagaimanapun juga kita harus merayakan hari bahagiamu ini." Isabelle meneteskan air matanya. "Aku tidak menyangka Hanna-ku sudah menikah. Aku bangga padamu karena statusmu sekarang sudah melampaui Clarissa!" Air mata Isabelle benar-benar menetes! Sungguh menggemaskan melihat hidungnya yang memerah.

"Berhenti bermain drama!" Hanna berucap dengan ketus. "By the way, terimakasih dengan transferannya. Kalau begitu temani aku untuk mencari appartement sekarang."

Isabelle menyipitkan matanya setelah mendengar permintaan Hanna untuk mencari Appartement. "Jangan katakan jika pria itu tidak punya rumah, lalu kamu yang menanggung hidupnya." Isabelle berkata sambil mengepalkan salah satu tangan dan memukulkan ke telapak tangan yang berada di sisinya. "Pantas saja dia mau menikahimu, ternyata dia pria mata duitan!"

"Menurutmu? Pria dengan mobil mewah Lamborghini Aventador tidak punya tempat tinggal?" Hanna melanjutkan langkahnya menuju tempat parkir dimana mobil Isabelle berada. Sementara Isabelle berlari kecil di sisi Hanna yang memperpanjang langkahnya.

"Tapi bukankah seharusnya kamu tidak perlu menyeret-nyeret koper busuk itu dan ..." Isabelle menghentikan langkahnya, "Di mana suami tampanmu itu sekarang? Jangan katakan jika kamu menikah dan langsung memintanya untuk bercerai setelah aku mengirimkan uang itu? Kamu bahkan belum bercinta sesuai kesepakatan kita."

"Pikiranmu terlalu dangkal, Nona manis." Hanna membalikkan tubuh dan menoyor jidat sahabatnya itu, "Mana kuncinya?"

Kedua wanita cantik itu memasuki mobil dan melaju menyusuri perkotaan untuk mencari tempat yang bisa untuk ditinggali.

"Jadi, apakah kamu ingin menjelaskan sesuatu padaku?" ucap Isabelle masih dengan rasa penasaran.

Hanna mengembuskan napas kasar. "Dia meninggalkanku," ucapnya.

"Apa? Jangan bercanda." Isabelle membelalakkan kedua kelopak matanya sehingga kedua bola mata indah itu seakan-akan hendak melompat keluar.

"Dia pergi begitu saja dan memberikan ini, dan ... dia mengatakan bahwa aku hanyalah pengantin kedua." Hanna menunjukkan kartu kredit tanpa limit, "Dan katanya, aku boleh menggunakan ini semauku."

"Hah! Bukankah ini kartu kredit tanpa limit? Kamu bisa berbelanja sepuasnya. Ternyata pria tampan itu adalah orang kaya!" wajah Isabelle berbinar, "Lalu?"

"Seperti yang kamu lihat sekarang. Kamu masih melihatku disini. Pernikahan ini lebih mengerikan dari pada tantangan bercinta seperti yang kamu buat. Aku bahkan sudah tidak punya kesempatan untuk mendapatkan pria lain karena statusku ini. Jadi, meskipun kami tidak bercinta, aku tidak akan mengembalikan uang yang sudah kamu transfer itu," ucap Hanna dengan raut lesu.

"Baiklah, itu bukan masalah besar. Jadi, apa rencanamu selanjutnya? Uh ... Sayang sekali, padahal suamimu itu begitu tampan. Apa kamu tidak takut jika ada wanita lain yang menggodanya?" Isabelle masih terus membahas tentang pria itu. Padahal Hanna sendiri sudah cukup lelah dengan beberapa kejadian yang dia alami hari ini.

Untuk sepersekian detik, Isabelle masih sibuk dengan ocehannya sendiri sebelum gadis cantik itu memekik dengan mata yang membola, "Apa? Bukankah kamu mengatakan bahwa kamu hanyalah pengantin kedua?"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status