"Gila! Apa yang baru saja aku lakukan? Menggoda pria asing lalu menikah di hari yang sama? Bahkan aku sendiri tidak menyangka akan menjadi pengantin keduanya. Apa itu artinya dia sudah menikah dan hanya menjadikanku sebagai seorang wanita simpanan?" Hanna bermonolog di dalam hati dan merutuki kebodohannya sendiri.
Masih ada waktu untuk membatalkan ide konyol ini. Tapi, pria itu sudah buru-buru mengatakan bahwa tidak ada kesempatan untuk berubah pikiran. "Aku yang sedang gila atau pria itu yang gila? Hingga suka rela menerima tawaranku tadi?" Masih tak habis pikir dengan kejadian yang sedang berlangsung saat ini.
Di sini, tepat di teras kantor catatan sipil. Hanna terdiam menghentikan langkah kecilnya. Bart merasakan wanita di sisinya tak bergerak. Dia melemparkan pandangan ke sisi kanannya, tepat di posisi Hanna berdiri saat ini.
"Saya tunggu di dalam." Pria itu pun berlalu dengan wajah datarnya.
Wajah gusar yang ditampakkan Hanna tidak dapat tertutupi lagi. Hanna berbalik menghadap Isabelle. Gestur yang ditunjukkan Hanna membuat Isabelle mengerti. Namun, sudah kepalang tanggung, akhirnya Isabelle hanya mampu menangkupkan kedua telapak tangannya di bawah dagu dan menunjukkan mimik wajah memelas untuk memohon maaf.
"Ck! Baiklah. Aku bisa lari kapan saja jika pria itu punya niat yang buruk." Hanna berucap pelan dan kembali membalikkan tubuhnya untuk masuk ke dalam ruang yang akan menjadi saksi bisu pernikahannya bersama Bart.
Namun, baru saja dia berbalik tiba-tiba suara pria itu menginterupsi pergerakan Hanna.
"Saya mendengarnya." Bart dengan santai meraih pergelangan tangan Hanna dan melingkarkannya ke lengan bagian atas milik Bart. Sambil berjalan masuk, Bart berbisik melanjutkan ucapannya, "Jadi kamu berencana untuk kabur setelah kamu meminta saya menikahimu?" Tanpa menatap sang lawan bicara, pria itu tetap fokus menghadap ke depan dengan wajah datar, tapi tidak sedikitpun mengubah karisamatik dan ketampanannya.
"... Silakan bermimpi, Nona," lanjutnya dengan bibir yang sedikit melengkung ke atas.
Rasa kekhawatiran melanda Isabelle. Rupa-rupanya wanita cantik itu mengurungkan niatnya untuk menyaksikan prosesi pernikahan sahabatnya. Isabelle justru kabur di saat-saat genting.
"Hanna, aku menunggumu di Cafe Palma. Ini hadiah yang aku janjikan." Ternyata Isabelle sudah mengalih bukukan sejumlah dana ke rekening tabungan milik Hanna sesuai dengan janjinya.
Tak berselang lama, janji nikah sudah terucap dan buku nikah sudah selesai diterbitkan. Mulai hari ini Bart dan Hanna sudah resmi menjadi pasangan suami istri. Keduanya berjalan beriringan keluar pintu yang sama ketika mereka masuk tadi. Tidak ada pancaran bahagia yang ditunjukkan seperti pasangan yang baru saja menikah pada umumnya. Hanna masih menunjukkan kebingungan, sementara Bart masih dengan wajah datar tampannya.
Langkah panjang kaki Bart membuat Hanna tertinggal di belakang. Hanna yang tidak melihat keberadaan Isabelle sejak tadi, memutuskan untuk menghubungi sahabatnya itu melalui sambungan telepon. Namun, tidak ada jawaban sama sekali.
"Ck! kemana perginya gadis menyebalkan itu!" Hanna menggerutu. Ia mengedarkan pandangan ke segala arah sebelum ia menyadari jika bayangan Bart sudah berada jauh dari pandangannya, Hanna mengabaikan beberapa pesan yang masuk ke ponselnya.
Dengan cepat melangkah maju, berniat untuk menghampiri si pria yang kini sudah menjadi suaminya. Sebelum berhasil menghampiri Bart, pria tampan itu sudah membuka pintu mobil, masuk dan menutupnya kembali.
Secara naluriah, Hanna mempercepat langkahnya menuju mobil. Tiba-tiba saja mobil mewah milik Bart melaju meninggalkan Hanna yang masih diam terpaku berdiri di sisi jalan, yang tertinggal hanyalah bekas jejak ban mobil beserta koper milik Hanna yang tergeletak. Hanna mendekati koper miliknya, nampak di atas koper terdapat kartu kredit berwarna hitam yang ditinggalkan. Tentu saja Hanna yang berasal dari salah satu keluarga terpandang di Amsterdam mengerti kartu itu memiliki limit tak terbatas, dan hanya orang-orang yang memiliki tabungan di atas seratus juta Euro yang mampu memilikinya. Bersamaan dengan kartu hitam itu terdapat pula secarik kertas yang bertuliskan 'gunakan sesukamu selama kartu itu belum diblokir!'.
Hanna mendesah atas sikap Bart yang baru saja meninggalkannya tanpa berucap sepatah kata pun. Rasanya dia ingin segera mencari sebuah cermin untuk memastikan apakah dirinya seburuk rupa itu, sehingga suaminya sendiri enggan untuk tinggal bersamanya.
Lalu, apa? Bukankah berarti ini bukanlah sebuah pernikahan yang sungguhan? Sungguh sikap pria tampan itu tidak dapat ditebak. Baru saja beberapa menit yang lalu mereka resmi menyandang status sebagai suami-istri, tetapi Bart justru menghilang. Ada yang tidak beres sepertinya, dan Hanna mungkin hanya secara kebetulan terjebak dengan ide gila Isabelle yang dia lakoni.
"Argh ... Ini semua gara-gara ide gilamu, Isabelle!" Hanna merutuki sahabatnya yang entah saat ini berada di mana. Baru saja dia mengambil ponsel untuk kembali menelpon si dalang dari terciptanya ide buruk pernikahan itu, Hanna tercengang melihat pesan dari Isabelle. Langsung saja ia menuju tempat yang dimaksud oleh Isabelle untuk bertemu.
Di sebuah cafe.
"Ya Tuhan! Apakah yang terjadi tadi benar-benar sungguhan? Isabelle bersikap seolah-olah hari yang mereka lalui hanyalah sebagai lelucon.
"Eh hem, ide gilamu hampir terwujud jika saja kami menuju ke hotel sekarang," jawab Hanna singkat.
"Aku Bersalah. Tapi, bagaimanapun juga kita harus merayakan hari bahagiamu ini." Isabelle meneteskan air matanya. "Aku tidak menyangka Hanna-ku sudah menikah. Aku bangga padamu karena statusmu sekarang sudah melampaui Clarissa!" Air mata Isabelle benar-benar menetes! Sungguh menggemaskan melihat hidungnya yang memerah.
"Berhenti bermain drama!" Hanna berucap dengan ketus. "By the way, terimakasih dengan transferannya. Kalau begitu temani aku untuk mencari appartement sekarang."
Isabelle menyipitkan matanya setelah mendengar permintaan Hanna untuk mencari Appartement. "Jangan katakan jika pria itu tidak punya rumah, lalu kamu yang menanggung hidupnya." Isabelle berkata sambil mengepalkan salah satu tangan dan memukulkan ke telapak tangan yang berada di sisinya. "Pantas saja dia mau menikahimu, ternyata dia pria mata duitan!"
"Menurutmu? Pria dengan mobil mewah Lamborghini Aventador tidak punya tempat tinggal?" Hanna melanjutkan langkahnya menuju tempat parkir dimana mobil Isabelle berada. Sementara Isabelle berlari kecil di sisi Hanna yang memperpanjang langkahnya.
"Tapi bukankah seharusnya kamu tidak perlu menyeret-nyeret koper busuk itu dan ..." Isabelle menghentikan langkahnya, "Di mana suami tampanmu itu sekarang? Jangan katakan jika kamu menikah dan langsung memintanya untuk bercerai setelah aku mengirimkan uang itu? Kamu bahkan belum bercinta sesuai kesepakatan kita."
"Pikiranmu terlalu dangkal, Nona manis." Hanna membalikkan tubuh dan menoyor jidat sahabatnya itu, "Mana kuncinya?"
Kedua wanita cantik itu memasuki mobil dan melaju menyusuri perkotaan untuk mencari tempat yang bisa untuk ditinggali.
"Jadi, apakah kamu ingin menjelaskan sesuatu padaku?" ucap Isabelle masih dengan rasa penasaran.
Hanna mengembuskan napas kasar. "Dia meninggalkanku," ucapnya.
"Apa? Jangan bercanda." Isabelle membelalakkan kedua kelopak matanya sehingga kedua bola mata indah itu seakan-akan hendak melompat keluar.
"Dia pergi begitu saja dan memberikan ini, dan ... dia mengatakan bahwa aku hanyalah pengantin kedua." Hanna menunjukkan kartu kredit tanpa limit, "Dan katanya, aku boleh menggunakan ini semauku."
"Hah! Bukankah ini kartu kredit tanpa limit? Kamu bisa berbelanja sepuasnya. Ternyata pria tampan itu adalah orang kaya!" wajah Isabelle berbinar, "Lalu?"
"Seperti yang kamu lihat sekarang. Kamu masih melihatku disini. Pernikahan ini lebih mengerikan dari pada tantangan bercinta seperti yang kamu buat. Aku bahkan sudah tidak punya kesempatan untuk mendapatkan pria lain karena statusku ini. Jadi, meskipun kami tidak bercinta, aku tidak akan mengembalikan uang yang sudah kamu transfer itu," ucap Hanna dengan raut lesu.
"Baiklah, itu bukan masalah besar. Jadi, apa rencanamu selanjutnya? Uh ... Sayang sekali, padahal suamimu itu begitu tampan. Apa kamu tidak takut jika ada wanita lain yang menggodanya?" Isabelle masih terus membahas tentang pria itu. Padahal Hanna sendiri sudah cukup lelah dengan beberapa kejadian yang dia alami hari ini.
Untuk sepersekian detik, Isabelle masih sibuk dengan ocehannya sendiri sebelum gadis cantik itu memekik dengan mata yang membola, "Apa? Bukankah kamu mengatakan bahwa kamu hanyalah pengantin kedua?"
"Bagaimana menurutmu tempat ini?" Hanna memindai setiap sudut ruang appartement yang baru saja disewanya. Untuk seorang single woman seperti Hanna, ruang appartement seperti ini cukup luas. Dengan desain interior modern, memiliki dua kamar tidur yang masing-masing terkoneksi dengan toilet pribadi. Bukan pemborosan, tapi memang hanya tipe ruang itulah yang tersisa untuk saat ini. "Cukup bagus, bahkan jika suami tampanmu datang nanti, kalian akan leluasa berpindah-pindah untuk variasi bercinta. Di kamar, di dapur, atau mungkin kau ingin mencobanya di balkon." Kalimat provokatif itu dengan mudahnya meluncur dari bibir manis Isabelle. Hanna hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. "Mimpi saja," ucapnya lirih. Isabelle menelisik wajah Hanna dan tersenyum mengejek, "Diam-diam rupanya kau juga mendamba." Tawa Isabelle mengakhiri kalimat itu. Hanna hanya mengepakkan tangan ke udara dan berlalu. Tidak akan ada habisnya jika terus meladeni kata-kata cabul Isabelle. Ruang apartemen itu sudah di
Isabelle menarik pergelangan tangan Hanna menuju sofa yang tepat berada di depan televisi berukuran lima puluh inchi. Sejenak, Hanna melupakan kebingungan yang sempat dia rasakan perihal pakaian satin yang saat ini masih dia kenakan. Sedikit terhuyung ketika Isabelle menarik tangannya dengan paksa. Namun, Hanna seolah patuh mengikuti langkah Isabelle. "Lihat!" Isabelle menyalakan televisi dan memilih saluran infotaintment, "Tidakkah kamu ingat siapa wanita itu?" Isabelle menatap layar televisi dan wajah Hanna secara bergantian. "... Sejak semalam hingga pagi ini hanya wajahnya yang terlihat di acara televisi. Karena itulah aku datang menemuimu." Hanna mengamati wajah seorang wanita yang cukup cantik menurutnya. Wanita itu sepertinya bukan orang sembarangan. Beberapa saat kemudian Hanna dan Isabelle saling bertatapan tanpa mengucapkan kata apapun. Seketika Isabelle menoyor jidat sahabatnya sehingga membuat Hanna meringis. "Jangan menatapku sep
Kedua wanita cantik itu telah berada di sebuah restaurant bernuansa Asia. Tempat ini dipilih oleh Isabelle karena sejak dulu ia menyukai masakan oriental seperti menu ala Thailand atau China. Tak ada masalah dengan lidahnya jika harus bersinggungan dengan makanan pedas seperti Thai Green Curry yang ia nikmati saat ini. Sementara Hanna lebih memilih Green Salad dari pada makanan berat yang dipilih sahabatnya sepagi ini. Isabelle sesekali melirik Hanna yang sejak tadi hanya diam menikmati menu sarapan paginya. "Apa kamu merasa kesal denganku, Hanna? Sejak tadi kamu bahkan tidak berbicara sama sekali." "Kamu tidak membuatku kesal. Hanya saja ide bodohmu itu membuatku ingin menenggelamkan diri ke dasar lautan!" ketus Hanna. "Maksudmu? Bukankah sepertinya tadi kamu tidak begitu peduli dengan pernikahan ini. Lalu mengapa sekarang sepertinya kamu terlihat gelisah?" Hanna mendesah malas, "Aku berpikir sepertinya hal ini akan menjadi ma
Hanna mengendarai mobilnya untuk kembali ke apartemen setelah melewati berbagai drama bersama Isabelle saat mereka berbelanja kebutuhan pokok tadi. Bagaimana tidak? Isabelle tanpa tahu malu menggoda seorang pramuniaga pria yang tidak terlalu tampan hanya untuk mendapatkan potongan harga yang besar. Kini dia terjebak di persimpangan menunggu lampu lalu lintas berubah menjadi hijau saat Isabelle kembali menghubunginya melalui ponsel. "Ya, apa lagi?" Tanpa sapaan, Hanna berucap ketus. "Ck, aku hanya lupa mengatakan sesuatu padamu, Hanna sayang!" ucap Isabelle manja. "Katakan!" balas Hanna. Isabelle terkekeh mendengar suara Hanna yang kurang bersahabat, "kau seperti sedang mengalami PMS. Baiklah, aku hanya ingin memberitahumu. Em, meminta tolong lebih tepatnya. Tiga hari ke depan ada sebuah acara amal yang kebetulan diselenggarakan di Hotel Astoria, dan ayah memintaku untuk menggantikannya hadir kesana. Maukah kau menemaniku, Nona cantik?" "Tunggu
Kemarahan menyapu diri Bart seperti gelombang. Bart menyaksikan cukup jelas seorang wanita cantik yang beberapa hari ini mengganggu pikirannya. Wanita yang secara tiba-tiba ia nikahi tanpa pertimbangan lebih lanjut hanya untuk mendapatkan status menikah di mata hukum. Di mata Bart, Hanna memang terlihat sangat cantik, meskipun dia belum memiliki perasaan yang lebih terhadap wanita itu. Meski demikian, Bart harus mengakui bahwa kecantikan Hanna berada di level tertinggi dari para wanita yang pernah dia lihat. Bahkan, di kota yang penuh dengan wanita-wanita cantik itu hampir tak ada satu pun yang mampu menyamai kecantikan Hanna. Akan tetapi, yang menjadi masalah saat ini, Bart merasa sangat terganggu dengan apa yang sudah dia saksikan. Wanita yang sudah berstatus sebagai seorang istri itu ternyata menemui pria lain. Bahkan, Bart mengenal siapa pria yang tadi bertemu dengan istrinya. Bart mengepalkan tangannya hingga nampak buku-buku jemarinya memutih. Dia
Hanna membulatkan kedua bola matanya mendengar ucapan Bart. Bukannya dia tidak mau hidup normal layaknya pasangan suami istri, tetapi semua terjadi begitu cepat baginya. Bahkan dia dan Bart belum mengenal satu sama lain. Kini, harus hidup serumah dan menghabiskan waktu bersama lebih banyak. Terlebih lagi pria yang berstatus sebagai suami sahnya itu memang terlihat menyebalkan dan jangan lupa akan Bart pernah berkata bahwa Hanna hanyalah pengantin kedua yang artinya dia akan berhadapan dengan pengantin pertama pria itu. "Bagaimana jika aku menolak?" Hanna yang sebenarnya takut melihat tatapan suaminya mencoba untuk melakukan perlawanan. "Maka saya akan menuntutmu atas tuduhan perselingkuhan!" ucap Bart ketus. Pria ini benar-benar menyebalkan. Bukankah dia yang sudah meninggalkan Hanna ketika pernikahan baru saja terlaksana. Kini tiba-tiba saja datang dan memaksakan kehendak. "Lalu apa alasanmu memaksaku untuk tinggal bersamamu? Bukankah kamu sudah meni
Hanna kembali mengedarkan pandangannya ketika memasuki kamar yang begitu luas menurutnya. Bahkan, ruang ini seukuran dengan ruang utama apartement yang beberapa hari lalu dia sewa. Ruang maskulin khas seorang pria dengan cat dinding perpaduan warna hitam, putih dan abu-abu, serta ranjang berukuran king size yang diposisikan di bagian tengah. Aroma maskulin menyeruak di ruangan itu. Aroma yang pernah dia rasakan ketika mereka pernah berada dalam jarak yang begitu dekat saat pernikahan keduanya berlangsung, membuat Hanna seolah terbius menikmati melalui indra penciuman. Ruang kamar terhubung dengan sebuah ruang kecil yang khusus untuk digunakan menyimpan pakaian yang ukurannya sekitar enam puluh empat kaki persegi berisikan dengan pakaian, tas, dan sepatu ber-merk. Hanna menelan ludah dengan kasar, "Pria ini benar-benar kaya," gumamnya. Dia memendarkan pandangan, mengabsen satu persatu apa yang ditampilkan dari ruang pria berkelas t
"Emh ..." Hanna tersentak dari tidur saat bias cahaya menembus sisi tirai dan tepat mengenai mata indah miliknya. Sudah bisa dipastikan sekarang sudah bukan saatnya untuk bermalas-malasan lagi di atas tempat tidur. Dia terkejut dengan suasana yang begitu asing baginya, merasakan sakit di salah satu bagian tubuh, perlahan dia sadar bahwa saat ini dia berada di kediaman Bart. Tapi kemana pria itu pergi? Hanna bermimpi sedikit nakal, semalam. Bahkan, perasaan itu terasa begitu nyata. Apakah itu artinya Bart yang hadir di dalam mimpinya? "Ini akibat kata-kata kotor Isabelle," rutuknya. untuk sepersekian detik, mata Hanna membulat. Ada rasa kekhawatiran yang begitu menyiksa perasaan wanita cantik itu saat ini, sesuatu yang berbeda sedang dia rasakan. Kali ini Hanna menyibakkan selimutnya. Tubuh wanita itu seketika menjadi lemas setelah melihat sesuatu yang tidak ingin dia temukan. "Saya akan meminta Bibi Helena untuk membelikanmu obat pereda nyeri." Suara Ba