Share

CHAPTER 4 (Suasana Baru)

"Bagaimana menurutmu tempat ini?" Hanna memindai setiap sudut ruang appartement yang baru saja disewanya. Untuk seorang single woman seperti Hanna, ruang appartement seperti ini cukup luas. Dengan desain interior modern, memiliki dua kamar tidur yang masing-masing terkoneksi dengan toilet pribadi. Bukan pemborosan, tapi memang hanya tipe ruang itulah yang tersisa untuk saat ini.

"Cukup bagus, bahkan jika suami tampanmu datang nanti, kalian akan leluasa berpindah-pindah untuk variasi bercinta. Di kamar, di dapur, atau mungkin kau ingin mencobanya di balkon." Kalimat provokatif itu dengan mudahnya meluncur dari bibir manis Isabelle.

Hanna hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. "Mimpi saja," ucapnya lirih.

Isabelle menelisik wajah Hanna dan tersenyum mengejek, "Diam-diam rupanya kau juga mendamba." Tawa Isabelle mengakhiri kalimat itu.

Hanna hanya mengepakkan tangan ke udara dan berlalu. Tidak akan ada habisnya jika terus meladeni kata-kata cabul Isabelle.

Ruang apartemen itu sudah dibersihkan sebelum Hanna menempatinya. Jadi, untuk saat ini Hanna tidak perlu bersusah payah untuk menatanya. Hanya menyusun sedikit barang-barang yang ia bawa ke dalam kamar.

"Baiklah, aku seharusnya pergi." Isabelle yang akan berlalu tiba-tiba dihentikan oleh Hanna.

"Tunggu, aku ikut! Antarkan aku ke tempat kita bertemu dengan pria itu tadi!" ucap Hanna.

"Kenapa? Kamu ada janji dengannya lagi?"

Hanna mendekat, "Ish ... Aku hanya ingin mengambil mobilku yang tadi kutinggalkan. Lagi pula aku tidak mengetahui satu pun identitasnya"

"Oh, aku turut prihatin. Pernikahanmu bukanlah pernikahan impian rupanya. Seharusnya sebagai pasangan suami-istri saat ini kalian sudah saling bercocok tanam." Isabelle kembali terkekeh. Gadis itu begitu bersemangat untuk menggoda sahabatnya.

"Hentikan semua omong kosongmu itu. Aku sedang tidak bersemangat untuk membahas pria itu."

"Hey! Ralat! Dia itu suamimu. Bukan 'pria itu', oke?" Isabelle meluruskan perkataan Hanna yang terlihat menyebikkan bibir merah mudanya.

"Ya terserah padamu, Nona Isabelle!" Hanna memutar kedua bola mata dengan malas dan berjalan mendahului langkah sahabatnya..

Di dalam mobil, terlihat kedua wanita cantik itu sibuk dengan pikiran mereka masing-masih. Hanna yang sudah dipastikan lelah dengan berbagai kejadian yang menimpanya hari ini lebih memilih untuk melemparkan pandangan ke arah jalanan melalui kaca jendela, sementara Isabelle yang sedang menyetir tetap fokus menatap arah lalu lintas. Sepertinya wanita periang berponi itu sudah cukup lelah mengoceh hari ini. Hingga keduanya tiba di cafe tempat mereka pertama kali bertemu dengan Bart.

Seketika mata Isabelle teralihkan pada sebuah pemandangan yang membuat dirinya terperangah. Seorang pria tampan yang baru saja dia kenal sedang bersama seorang wanita yang penampilannya cukup berkelas.

Plak!

Isabelle menepuk paha Hanna yang masih setia dengan lamunannya.

"Ck! Apalagi?" Hanna yang merasakan perih di permukaan kulit pahanya langsung menatap kesal Isabelle.

"Lihat itu. Bukankah dia Bart, suamimu? Manis sekali dia memperlakukan wanita itu. Apa kamu tidak berniat untuk melabraknya?" Isabelle dengan antusias memprovokasi Hanna untuk segera menghampiri pria tampan yang saat ini sedang bersama wanita lain.

Tidak dipungkiri, Hanna juga terkejut melihat sosok pria yang telah menjadi suaminya itu. Namun, tidak ada keberanian yang cukup untuk menghampiri Bart. Sebagai seorang istri, tentu saja tidak rela melihat suaminya bersama perempuan lain. Apalagi Bart terlihat bersikap begitu manis saat bersama wanita itu. Mungkinkah itu istri Bart yang lain? Hanna mencoba tak mau ambil pusing. Dia ingin menepis semua pikiran tentang Bart. Lagi pula perasaannya dengan Bart tidak sekuat itu. Bukankah Bart hanya pria yang baru dia kenal dan kebetulan disaat yang sama juga menikahinya meskipun tanpa didasari dengan perasaan cinta. Jadi, sebelum perasaan Hanna terganggu dengan hubungannya bersama Bart, ada baiknya bagi Hanna agar kembali menjalani kehidupan seperti saat dirinya belum mengenal Bart. Seolah-olah pernikahan itu tidak pernah terjadi.

Hanna beranjak dari kursi penumpang dan keluar dari mobil Isabelle. Sementara Isabelle enggan untuk pergi melajukan mobilnya. Masih menunggu pertunjukan apa yang mungkin terjadi sebentar lagi.

Hanna melenggang santai menuju tempat dimana mobilnya terparkir. Tak peduli harus melewati Bart yang saat ini masih berdiri di parkiran. Meskipun berusaha menepis rasa penasaran akan diri Bart, tapi Hanna tanpa meragu menatap suaminya dari jarak dekat. Bart yang merasa bahwa ada seseorang yang melintas, seketika mengedarkan pandangannya. Tentu saja, pandangan kedua makhluk Tuhan yang baru saja menikah itu saling berbalas. Ada jembatan tak kasat mata menghubungkan pandangan mereka satu sama lain.

Hanna menyunggingkan senyuman tipis dan berlalu seperti orang asing. Demikian halnya yang dilakukan Bart. Pria itu tampak tenang setelah melihat istrinya melintas. Seolah tidak pernah terjadi apapun. Bahkan tanpa rasa bersalah, Bart masih bersikap manis terhadap wanita yang saat ini sedang bersamanya.

'Mungkin ini yang dia maksud dengan mengatakan aku adalah pengantin kedua. Ternyata pria itu sudah memiliki istri, tapi bukankah ini tidak masuk akal karena mana mungkin pendeta mau menikahkan pria yang sudah terikat pernikahan dengan wanita lain. Dia benar-benar membuatku tak habis pikir,' ucap Hanna dalam hati. Ada sesuatu yang terluka di dalam dada, tapi seolah tidak berdarah. Entah kecewa atau mungkin Hanna merasa hidupnya semakin konyol saja setelah rentetan kejadian buruk menimpanya hari ini. Hanna berlalu dan pergi meninggalkan pemandangan yang ternyata membuat dadanya sedikit sesak, entah apa alasannya. Namun, Hanna mencoba menepis rasa yang tak mampu dia terjemahkan sendiri.

Kejadian hari ini benar-benar membuat wanita bermata hazel itu merasa lelah. Hanna membuka pintu lemari pendingin setelah kembali ke kediaman barunya. Dituangkannya air mineral yang nampak berembun di bagian luar botol berkaca bening ke dalam gelas. Ah, wajahnya terlihat puas setelah mereguk cairan bening yang menyegarkan itu. Sejenak dia terlupa akan beberapa kejadian yang luar biasa hari ini. Beban itu seolah luntur seiring dengan basahnya tenggorokan setelah mereguk nikmatnya segelas minuman yang digenggamnya. Hanna mengalihkan pandangan di ruang utama.

Terdapat sofa beludru berwarna coklat yang cukup besar. Bahkan dari kejauhan pun sofa itu terlihat begitu empuk. Mungkin ada baiknya Hanna menetralkan semua kemelut yang masih bersarang di dalam benak untuk sejenak. Wanita cantik itu melangkah menuju sofa. Baru saja tubuh indahnya mendarat di permukaan sofa, wanita itu seolah kehilangan kesadaran. Rasa kantuk dan lelah yang seharian ini merajai tubuhnya ternyata sudah tak mampu terbendung. Hanna terlelap tanpa membuka alas kakinya. Rambut indah keemasan miliknya terurai di sisi sandaran sofa.

Damai, itulah kesan yang diperlihatkan dari wajah wanita cantik yang sedang hanyut dalam tidur indahnya. Hari ini biarlah menjadi sebuah pengalaman yang mungkin akan sedikit demi sedikit terlupakan, dan esok, biarlah tetap menjadi sebuah rahasia sementara. Yang dirasakan Hanna saat ini adalah rasa nyaman, menikmati rasa itu selagi masih ada kesempatan.

***

Kriiiiiiiing!

Hanna tersentak setelah mendengar suara bel menggelegar memenuhi ruangan. Bulu mata indahnya mengepak mengikuti kerjapan kedua kelopak mata yang masih menetralisir cahaya yang tiba-tiba masuk ke dalam penglihatan gadis itu. Hanna menyapu setiap sudut ruangan melalui pandangannya.

Ada sedikit rasa aneh. Menurut ingatannya, bukankah semalam ia berakhir di sofa ruang utama? Tapi, ketika dirinya terbangun, Hanna mendapati tubuhnya berada di atas tempat tidur. Bahkan pakaian yang dia kenakan sudah berubah. Mungkinkah Hanna tak menyadari apa yang dia lakukan semalam, atau mungkin pengaruh rasa kantuk semalam membuatnya berhalusinasi.

Kriiiiiing!

Lagi, suara itu membuat rungunya berdengung di pagi ini. Sedikit sebal, tapi Hanna memilih untuk segera bangkit dan menuju pintu untuk melihat siapa yang sepagi ini datang bertamu. Hanya ada dua kemungkinan. Pihak kebersihan atau si mesum Isabelle. Dan ya, tepat sekali perkiraan Hanna, seorang wanita cantik berponi yang membuatnya terjebak di dalam pernikahan tak masuk akal itu, kini sedang berdiri dengan santainya di depan pintu.

"Ck ..." Hanna enggan membuka percakapan dengan Isabelle. Hanya menyebik dan membalikkan tubuhnya menuju dapur untuk mencari sesuatu yang dapat dimakan.

"Hey Nyonya Bart, tidakkah kamu ingin mempersilakan sahabat cantikmu ini masuk ke dalam?" goda Isabelle.

"Butuh izin?" sarkas Hanna. Bukankah biasanya Isabelle melakukan apapun yang ia mau tanpa meminta izin terlebih dahulu? Lalu apa? Dia menyebut Hanna dengan panggilan 'Nyonya Bart'. Ah, ini masih terlalu pagi untuk mengingat pria yang menikahinya kemarin.

Membangun mood di pagi hari sebenarnya tidak terlalu sulit. Cukup dengan suasana yang damai, sarapan yang baik, dan tentunya tanpa gangguan makhluk cantik menyebalkan seperti Isabelle.

Tapi apa? Baru saja dia tiba, seolah membuat mood Hanna terpancing untuk menghasilkan hormon-hormon stress yang membuatnya segera mengalami penuaan dini.

Isabelle tertawa melihat wajah masam Hanna, "Hey baiklah, aku minta maaf. Jangan terlalu serius. Kamu terlihat cantik dengan piyama satin itu."

"Apa?" Hanna yang mendengar ucapan Isabelle seketika mengamati penampilannya sendiri.

"... Sejak kapan aku memakai pakaian seperti ini? Bahkan seingatku aku tidak pernah membelinya sama sekali."

Isabelle mengernyit, "Sudahlah, apa yang kamu pikirkan? Ada sesuatu yang harus kamu ketahui hari ini. Itu sebabnya sepagi ini aku datang menemuimu."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status