Isabelle menarik pergelangan tangan Hanna menuju sofa yang tepat berada di depan televisi berukuran lima puluh inchi. Sejenak, Hanna melupakan kebingungan yang sempat dia rasakan perihal pakaian satin yang saat ini masih dia kenakan. Sedikit terhuyung ketika Isabelle menarik tangannya dengan paksa. Namun, Hanna seolah patuh mengikuti langkah Isabelle. "Lihat!" Isabelle menyalakan televisi dan memilih saluran infotaintment, "Tidakkah kamu ingat siapa wanita itu?" Isabelle menatap layar televisi dan wajah Hanna secara bergantian. "... Sejak semalam hingga pagi ini hanya wajahnya yang terlihat di acara televisi. Karena itulah aku datang menemuimu." Hanna mengamati wajah seorang wanita yang cukup cantik menurutnya. Wanita itu sepertinya bukan orang sembarangan. Beberapa saat kemudian Hanna dan Isabelle saling bertatapan tanpa mengucapkan kata apapun. Seketika Isabelle menoyor jidat sahabatnya sehingga membuat Hanna meringis. "Jangan menatapku sep
Kedua wanita cantik itu telah berada di sebuah restaurant bernuansa Asia. Tempat ini dipilih oleh Isabelle karena sejak dulu ia menyukai masakan oriental seperti menu ala Thailand atau China. Tak ada masalah dengan lidahnya jika harus bersinggungan dengan makanan pedas seperti Thai Green Curry yang ia nikmati saat ini. Sementara Hanna lebih memilih Green Salad dari pada makanan berat yang dipilih sahabatnya sepagi ini. Isabelle sesekali melirik Hanna yang sejak tadi hanya diam menikmati menu sarapan paginya. "Apa kamu merasa kesal denganku, Hanna? Sejak tadi kamu bahkan tidak berbicara sama sekali." "Kamu tidak membuatku kesal. Hanya saja ide bodohmu itu membuatku ingin menenggelamkan diri ke dasar lautan!" ketus Hanna. "Maksudmu? Bukankah sepertinya tadi kamu tidak begitu peduli dengan pernikahan ini. Lalu mengapa sekarang sepertinya kamu terlihat gelisah?" Hanna mendesah malas, "Aku berpikir sepertinya hal ini akan menjadi ma
Hanna mengendarai mobilnya untuk kembali ke apartemen setelah melewati berbagai drama bersama Isabelle saat mereka berbelanja kebutuhan pokok tadi. Bagaimana tidak? Isabelle tanpa tahu malu menggoda seorang pramuniaga pria yang tidak terlalu tampan hanya untuk mendapatkan potongan harga yang besar. Kini dia terjebak di persimpangan menunggu lampu lalu lintas berubah menjadi hijau saat Isabelle kembali menghubunginya melalui ponsel. "Ya, apa lagi?" Tanpa sapaan, Hanna berucap ketus. "Ck, aku hanya lupa mengatakan sesuatu padamu, Hanna sayang!" ucap Isabelle manja. "Katakan!" balas Hanna. Isabelle terkekeh mendengar suara Hanna yang kurang bersahabat, "kau seperti sedang mengalami PMS. Baiklah, aku hanya ingin memberitahumu. Em, meminta tolong lebih tepatnya. Tiga hari ke depan ada sebuah acara amal yang kebetulan diselenggarakan di Hotel Astoria, dan ayah memintaku untuk menggantikannya hadir kesana. Maukah kau menemaniku, Nona cantik?" "Tunggu
Kemarahan menyapu diri Bart seperti gelombang. Bart menyaksikan cukup jelas seorang wanita cantik yang beberapa hari ini mengganggu pikirannya. Wanita yang secara tiba-tiba ia nikahi tanpa pertimbangan lebih lanjut hanya untuk mendapatkan status menikah di mata hukum. Di mata Bart, Hanna memang terlihat sangat cantik, meskipun dia belum memiliki perasaan yang lebih terhadap wanita itu. Meski demikian, Bart harus mengakui bahwa kecantikan Hanna berada di level tertinggi dari para wanita yang pernah dia lihat. Bahkan, di kota yang penuh dengan wanita-wanita cantik itu hampir tak ada satu pun yang mampu menyamai kecantikan Hanna. Akan tetapi, yang menjadi masalah saat ini, Bart merasa sangat terganggu dengan apa yang sudah dia saksikan. Wanita yang sudah berstatus sebagai seorang istri itu ternyata menemui pria lain. Bahkan, Bart mengenal siapa pria yang tadi bertemu dengan istrinya. Bart mengepalkan tangannya hingga nampak buku-buku jemarinya memutih. Dia
Hanna membulatkan kedua bola matanya mendengar ucapan Bart. Bukannya dia tidak mau hidup normal layaknya pasangan suami istri, tetapi semua terjadi begitu cepat baginya. Bahkan dia dan Bart belum mengenal satu sama lain. Kini, harus hidup serumah dan menghabiskan waktu bersama lebih banyak. Terlebih lagi pria yang berstatus sebagai suami sahnya itu memang terlihat menyebalkan dan jangan lupa akan Bart pernah berkata bahwa Hanna hanyalah pengantin kedua yang artinya dia akan berhadapan dengan pengantin pertama pria itu. "Bagaimana jika aku menolak?" Hanna yang sebenarnya takut melihat tatapan suaminya mencoba untuk melakukan perlawanan. "Maka saya akan menuntutmu atas tuduhan perselingkuhan!" ucap Bart ketus. Pria ini benar-benar menyebalkan. Bukankah dia yang sudah meninggalkan Hanna ketika pernikahan baru saja terlaksana. Kini tiba-tiba saja datang dan memaksakan kehendak. "Lalu apa alasanmu memaksaku untuk tinggal bersamamu? Bukankah kamu sudah meni
Hanna kembali mengedarkan pandangannya ketika memasuki kamar yang begitu luas menurutnya. Bahkan, ruang ini seukuran dengan ruang utama apartement yang beberapa hari lalu dia sewa. Ruang maskulin khas seorang pria dengan cat dinding perpaduan warna hitam, putih dan abu-abu, serta ranjang berukuran king size yang diposisikan di bagian tengah. Aroma maskulin menyeruak di ruangan itu. Aroma yang pernah dia rasakan ketika mereka pernah berada dalam jarak yang begitu dekat saat pernikahan keduanya berlangsung, membuat Hanna seolah terbius menikmati melalui indra penciuman. Ruang kamar terhubung dengan sebuah ruang kecil yang khusus untuk digunakan menyimpan pakaian yang ukurannya sekitar enam puluh empat kaki persegi berisikan dengan pakaian, tas, dan sepatu ber-merk. Hanna menelan ludah dengan kasar, "Pria ini benar-benar kaya," gumamnya. Dia memendarkan pandangan, mengabsen satu persatu apa yang ditampilkan dari ruang pria berkelas t
"Emh ..." Hanna tersentak dari tidur saat bias cahaya menembus sisi tirai dan tepat mengenai mata indah miliknya. Sudah bisa dipastikan sekarang sudah bukan saatnya untuk bermalas-malasan lagi di atas tempat tidur. Dia terkejut dengan suasana yang begitu asing baginya, merasakan sakit di salah satu bagian tubuh, perlahan dia sadar bahwa saat ini dia berada di kediaman Bart. Tapi kemana pria itu pergi? Hanna bermimpi sedikit nakal, semalam. Bahkan, perasaan itu terasa begitu nyata. Apakah itu artinya Bart yang hadir di dalam mimpinya? "Ini akibat kata-kata kotor Isabelle," rutuknya. untuk sepersekian detik, mata Hanna membulat. Ada rasa kekhawatiran yang begitu menyiksa perasaan wanita cantik itu saat ini, sesuatu yang berbeda sedang dia rasakan. Kali ini Hanna menyibakkan selimutnya. Tubuh wanita itu seketika menjadi lemas setelah melihat sesuatu yang tidak ingin dia temukan. "Saya akan meminta Bibi Helena untuk membelikanmu obat pereda nyeri." Suara Ba
"Apa kamu serius akan meninggalkan apartemen ini, bukankah sewanya akan berakhir dalam waktu yang masih lama? Isabelle mengekori Hanna yang sedang sibuk mengemasi pakaiannya. "Apa aku terlihat bercanda? Dia mengancamku atas tuduhan perselingkuhan. Ck! Ini gara-gara Matthew sialan! Jika saja aku tidak bertemu dengannya, mungkin aku masih menjadi Hanna yang sama hari ini." Sesekali Hanna menyeka peluh di pelipis. "Hanna yang sama?" Ucapan Isabelle membuat suasana menjadi hening. Kedua wanita itu saling beradu pandang. Hanna yang tadi tanpa sengaja mengucapkan kata-kata itu terlihat menatap Isabelle dengan ekspresi gugup. Sementara Isabelle menatapnya curiga. "Oh ...! Aku sungguh bahagia dengan pikiranku sendiri." Isabelle tertawa puas. "Jadi apa kau menikmatinya?" "Jangan gila, Isabelle! Aku tidak mengatakan apapun. Otakmu terlalu pendek!" ucap Hanna dengan ketus. "Baiklah, aku yang salah." Isabelle tersenyum setelah melihat wajah Hanna memerah