Share

CHAPTER 7 (Janji Temu)

Hanna mengendarai mobilnya untuk kembali ke apartemen setelah melewati berbagai drama bersama Isabelle saat mereka berbelanja kebutuhan pokok tadi. Bagaimana tidak? Isabelle tanpa tahu malu menggoda seorang pramuniaga pria yang tidak terlalu tampan hanya untuk mendapatkan potongan harga yang besar. Kini dia terjebak di persimpangan menunggu lampu lalu lintas berubah menjadi hijau saat Isabelle kembali menghubunginya melalui ponsel.

"Ya, apa lagi?" Tanpa sapaan, Hanna berucap ketus.

"Ck, aku hanya lupa mengatakan sesuatu padamu, Hanna sayang!" ucap Isabelle manja.

"Katakan!" balas Hanna.

Isabelle terkekeh mendengar suara Hanna yang kurang bersahabat, "kau seperti sedang mengalami PMS. Baiklah, aku hanya ingin memberitahumu. Em, meminta tolong lebih tepatnya. Tiga hari ke depan ada sebuah acara amal yang kebetulan diselenggarakan di Hotel Astoria, dan ayah memintaku untuk menggantikannya hadir kesana. Maukah kau menemaniku, Nona cantik?"

"Tunggu, bukankah Astoria adalah hotel bintang lima yang terkenal mewah itu? Apa kamu yakin akan mengajakku?"

"Ck, menurutmu siapa lagi yang bisa kuajak? Hanya kaulah kandidat satu-satunya. Lagi pula kau tahu bahwa aku tidak memiliki pasangan." Ada keheningan  sesaat di ujung telepon sebelum Isabelle kembali bersuara. Namun kali ini suaranya melemah seolah tak bersemangat, "Apakah kamu akan membiarkan gadis lajang sepertiku ini hadir dengan kondisi yang menyedihkan?" Isabelle memelas.

"Ya, baiklah! Kita akan membicarakannya nanti. Berhentilah bersikap seolah-olah kamu ini adalah orang yang paling malang di dunia!" ucap Hanna sambil menghela napas.

Isabelle tertawa bahagia," Terima kasih gadisku. Aku berjanji akan segera menemukan pria agar tidak terus menerus merepotkanmu."

Hanna memutuskan sambungan telepon tanpa mengucapkan apapun.

Dering ponsel kembali terdengar di telinga gadis berambut blonde keemasan itu. Hanna yang sedang fokus menyetir merasa terganggu. Dirinya berpikir jika Isabelle tidak mempunyai kegiatan yang lebih bermanfaat selain terus-terusan mengganggunya. Bibir merah mudanya mengumpat sebelum menerima panggilan itu, "Tidak bisakah kamu sebentar saja untuk tidak menggangguku?" 

"Hanna." Terdengar suara pria yang begitu familiar di telinga Hanna. Sejenak gadis cantik itu terdiam. Dia tidak tahu harus mengatakan apa. Setelah mendengar suara itu Hanna merasakan kesakitan itu kembali menghujam jantungnya.

"Hanna." Suara itu kembali memenuhi pendengarannya.

"Bisakah kita bicara, Hanna?" Pria itu tak lain adalah Mathew, mantan kekasih yang sangat diingat Hanna. Diingat sebagai seorang pria brengsek yang sayangnya pernah Hanna cintai.

"Aku tahu, kamu mendengarku, Hanna. Baiklah, aku rasa kau akan mempertimbangkannya. Aku akan menunggumu malam ini di Mexican Cafe pukul delapan."

Hanna kembali memutuskan sambungan telepon itu dengan perasaan sakit yang masih jelas dia rasakan. Tak mudah menerima kenyataan bahwa pria yang dulu menjanjikan kebahagiaan kepadanya kini justru dia lah yang menghancurkan kebahagiaan itu. Akan tetapi, sebelum mengubur semua kenangan tentang Mathew sepenuhnya, Hanna memilih untuk menyelesaikannya dengan cara baik-baik. Memaafkan mungkin salah satu cara agar dirinya bisa melangkah lebih baik. 

"Baiklah, aku akan datang." Hanna bergumam. Meskipun tidak dipungkiri, ada sisa kerinduan yang dirasakannya terhadap pria yang sudah bertunangan dengan tante angkatnya itu. Namun, rasa sakit yang ditorehkan oleh Mathew baginya tidak akan mampu membuatnya bersedia untuk kembali jika nanti Mathew meminta.

***

Di Cafe.

Mathew beberapa kali melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Sesekali dia melemparkan pandangan ke arah pintu masuk. Jika Hanna masih memiliki perasaan terhadapnya, maka wanita itu pasti akan datang menemuinya. Seperti itulah pemikiran Mathew untuk saat ini. Berapa detik setelah itu  nampak siluet Hanna dengan balutan mini dress krem bercorak bunga lili. Rambutnya dibiarkan tergerai indah berwarna keemasan.

Wanita itu tampak lebih cantik berkali-kali lipat dari terakhir kali mereka bertemu di kediaman keluarga Abraham. Ada luka yang seolah kembali berdarah di dalam hati Mathew karena tindakan bodohnya menghkianati Hanna.

Mathew menyesali apa yang telah ia lakukan. Terlebih lagi setelah melihat penampilan Hanna malam ini. Bukan hanya Mathew yang terganggu dengan penampilan wanita itu. Bahkan, sebagian besar pengunjung yang berada di cafe itu memokuskan pandangan mereka ke arah Hanna ketika dirinya  memasuki ruang cafe. Seolah semua pria tersihir ketika menyaksikan seorang jelmaan bidadari di antara mereka.

Hanna melihat posisi Mathew yang tidak begitu jauh dari dirinya. Segera setelah itu, Hanna mendekati bayangan pria yang pernah bertahta di dalam hatinya pada kehidupan masa lalu.

"Banyak hal yang perlu saya kerjakan, Tuan Mathew. Sebaiknya Anda sampaikan yang Anda maksud dengan singkat."

Mathew jelas sekali melihat perubahan yang begitu kentara pada diri Hanna. Bukan hanya penampilan yang semakin menarik, namun sikap gadis itu seolah-olah jauh berbeda dengan apa yang ia ketahui selama ini. Mathew mengamati dengan cermat dan melihat ketidak sabaran di mata Hanna. Mata yang dulu hanya memancarkan cinta kasih. Kini, seolah rasa itu sudah lenyap.

"Silakan duduk dulu, Hanna," ucap Mathew sopan.

"Maaf ..." Kata-kata itulah yang pertama kali terucap di bibir Mathew. Kata yang cukup sederhana terdengar. Namun, sulit untuk diterima begitu saja, "Aku mengerti kekecewaan yang kamu rasakan setelah kejadian itu." Mathew terdengar menghela napas sebelum kembali melanjutkan kata-kata dari mulutnya.

"... Hanna ... Hingga saat ini perasaanku terhadapmu tidak sedikit pun berubah. Aku masih Mathew yang dulu, Matthew yang sangat mencintaimu."

Hanna mengerutkan kening saat seringai sinis menyebar di wajah cantiknya, "Mencintai?" Hanna mengembangkan senyum mematikan di hadapan Mathew. Tak perlu banyak kata yang harus dia ucapkan sebagai reaksi dari apa yang ia dengar. Sudah pasti pria itu akan menunjukkan kebolehannya dalam menakhlukkan hati seorang wanita.

Bagi Hanna, usaha itu tidak sekali pun berefek padanya. Entah mengapa pertemuan dengan Mathew kali ini tidak sama sekali memberikan getaran yang biasanya dia rasakan sebelum kenyataan pahit itu terkuak.

"Ya! Aku sangat mencintaimu Hanna. Aku mengakui kesalahanku di masa lalu. Aku terjebak, jika kamu ingin tahu."

Hanna mulai merasakan dadanya yang sakit mengingat runtutan kejadian yang dia alami saat terakhir kali berada di klinik kandungan. Sangat jelas wajah pria yang sedang berhadapan dengannya saat ini justru tampak sinis ketika Clarissa menyerang Hanna dengqn sikapnya saat itu.

Tidak sedikit pun Mathew menunjukkan ekspresi simpatik, dan itu cukup menjelaskan seperti apa perasaan Mathew yang sesungguhnya dibandingkan dengan ucapan-ucapan manis yang dia lontarkan sekarang.

"Tuan Mathew, bukankah Tuan meninggalkan saya karena Clarissa lebih menjanjikan untuk kehidupan Anda di masa mendatang?" Ucapan Hanna membuat wajah Mathew seketika menegang. Seakan-akan mengerti arah pembicaraan Hanna. Keringat dingin di pelipisnya nampak berkilat akibat pantulan cahaya lampu menandakan jika pria itu sedang gugup.

Hanna kembali menyunggingkan senyum tipis di sudut bibirnya. "Bukankah Clarissa dengan senang hati sudah berbagi kehangatan bersama Anda, dan saya pikir hal itu terjadi bukan hanya sekali, sehingga saat ini dia berhasil menghadiahi Anda dengan kehamilannya. Benar begitu, Tuan?" Hanna berdiri di hadapan Mathew, "Saya permisi. Terima kasih atas undangannya Tuan Mathew!"

Hanna membungkuk hormat sebelum kemudian membalikkan tubuhnya menjauhi sang mantan kekasih. Bagaimana bisa Mathew mengatakan bahwa ia masih mencintai Hanna? Hanna tak cukup bodoh untuk menafsirkan sikap keluarga dan kekasihnya enam bulan belakangan ini. Meskipun tak menaruh curiga, tapi Hanna merasakan perubahan dari sikap mereka di saat sang kakek sudah menunjukkan kondisi yang lemah.

Sejak saat itu terlihat sikap Mathew yang lebih akrab dengan Clarissa. Namun, sebagai keponakan angkat Hanna tak sedikitpun berasumsi buruk tentang kedekatan keduanya.

Hanna melangkah pergi dengan perasaan yang jauh lebih tenang. Setidaknya dia tahu seperti apa pria yang pernah ia cintai. Sehingga dirinya merasa sangat beruntung telah berpisah dari pria brengsek itu.

Tanpa Hanna sadari, seseorang sedang mengamatinya di tempat yang sama.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Tri Apriyani
ceritanya bagus . gimana hubungan hanna dan suaminya apakah nanti bert mengakui hanna istrinya di depan publik
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status