Hanna mengendarai mobilnya untuk kembali ke apartemen setelah melewati berbagai drama bersama Isabelle saat mereka berbelanja kebutuhan pokok tadi. Bagaimana tidak? Isabelle tanpa tahu malu menggoda seorang pramuniaga pria yang tidak terlalu tampan hanya untuk mendapatkan potongan harga yang besar. Kini dia terjebak di persimpangan menunggu lampu lalu lintas berubah menjadi hijau saat Isabelle kembali menghubunginya melalui ponsel.
"Ya, apa lagi?" Tanpa sapaan, Hanna berucap ketus.
"Ck, aku hanya lupa mengatakan sesuatu padamu, Hanna sayang!" ucap Isabelle manja.
"Katakan!" balas Hanna.
Isabelle terkekeh mendengar suara Hanna yang kurang bersahabat, "kau seperti sedang mengalami PMS. Baiklah, aku hanya ingin memberitahumu. Em, meminta tolong lebih tepatnya. Tiga hari ke depan ada sebuah acara amal yang kebetulan diselenggarakan di Hotel Astoria, dan ayah memintaku untuk menggantikannya hadir kesana. Maukah kau menemaniku, Nona cantik?"
"Tunggu, bukankah Astoria adalah hotel bintang lima yang terkenal mewah itu? Apa kamu yakin akan mengajakku?"
"Ck, menurutmu siapa lagi yang bisa kuajak? Hanya kaulah kandidat satu-satunya. Lagi pula kau tahu bahwa aku tidak memiliki pasangan." Ada keheningan sesaat di ujung telepon sebelum Isabelle kembali bersuara. Namun kali ini suaranya melemah seolah tak bersemangat, "Apakah kamu akan membiarkan gadis lajang sepertiku ini hadir dengan kondisi yang menyedihkan?" Isabelle memelas.
"Ya, baiklah! Kita akan membicarakannya nanti. Berhentilah bersikap seolah-olah kamu ini adalah orang yang paling malang di dunia!" ucap Hanna sambil menghela napas.
Isabelle tertawa bahagia," Terima kasih gadisku. Aku berjanji akan segera menemukan pria agar tidak terus menerus merepotkanmu."
Hanna memutuskan sambungan telepon tanpa mengucapkan apapun.
Dering ponsel kembali terdengar di telinga gadis berambut blonde keemasan itu. Hanna yang sedang fokus menyetir merasa terganggu. Dirinya berpikir jika Isabelle tidak mempunyai kegiatan yang lebih bermanfaat selain terus-terusan mengganggunya. Bibir merah mudanya mengumpat sebelum menerima panggilan itu, "Tidak bisakah kamu sebentar saja untuk tidak menggangguku?"
"Hanna." Terdengar suara pria yang begitu familiar di telinga Hanna. Sejenak gadis cantik itu terdiam. Dia tidak tahu harus mengatakan apa. Setelah mendengar suara itu Hanna merasakan kesakitan itu kembali menghujam jantungnya.
"Hanna." Suara itu kembali memenuhi pendengarannya.
"Bisakah kita bicara, Hanna?" Pria itu tak lain adalah Mathew, mantan kekasih yang sangat diingat Hanna. Diingat sebagai seorang pria brengsek yang sayangnya pernah Hanna cintai.
"Aku tahu, kamu mendengarku, Hanna. Baiklah, aku rasa kau akan mempertimbangkannya. Aku akan menunggumu malam ini di Mexican Cafe pukul delapan."
Hanna kembali memutuskan sambungan telepon itu dengan perasaan sakit yang masih jelas dia rasakan. Tak mudah menerima kenyataan bahwa pria yang dulu menjanjikan kebahagiaan kepadanya kini justru dia lah yang menghancurkan kebahagiaan itu. Akan tetapi, sebelum mengubur semua kenangan tentang Mathew sepenuhnya, Hanna memilih untuk menyelesaikannya dengan cara baik-baik. Memaafkan mungkin salah satu cara agar dirinya bisa melangkah lebih baik.
"Baiklah, aku akan datang." Hanna bergumam. Meskipun tidak dipungkiri, ada sisa kerinduan yang dirasakannya terhadap pria yang sudah bertunangan dengan tante angkatnya itu. Namun, rasa sakit yang ditorehkan oleh Mathew baginya tidak akan mampu membuatnya bersedia untuk kembali jika nanti Mathew meminta.
***
Di Cafe.
Mathew beberapa kali melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Sesekali dia melemparkan pandangan ke arah pintu masuk. Jika Hanna masih memiliki perasaan terhadapnya, maka wanita itu pasti akan datang menemuinya. Seperti itulah pemikiran Mathew untuk saat ini. Berapa detik setelah itu nampak siluet Hanna dengan balutan mini dress krem bercorak bunga lili. Rambutnya dibiarkan tergerai indah berwarna keemasan.
Wanita itu tampak lebih cantik berkali-kali lipat dari terakhir kali mereka bertemu di kediaman keluarga Abraham. Ada luka yang seolah kembali berdarah di dalam hati Mathew karena tindakan bodohnya menghkianati Hanna.
Mathew menyesali apa yang telah ia lakukan. Terlebih lagi setelah melihat penampilan Hanna malam ini. Bukan hanya Mathew yang terganggu dengan penampilan wanita itu. Bahkan, sebagian besar pengunjung yang berada di cafe itu memokuskan pandangan mereka ke arah Hanna ketika dirinya memasuki ruang cafe. Seolah semua pria tersihir ketika menyaksikan seorang jelmaan bidadari di antara mereka.
Hanna melihat posisi Mathew yang tidak begitu jauh dari dirinya. Segera setelah itu, Hanna mendekati bayangan pria yang pernah bertahta di dalam hatinya pada kehidupan masa lalu.
"Banyak hal yang perlu saya kerjakan, Tuan Mathew. Sebaiknya Anda sampaikan yang Anda maksud dengan singkat."
Mathew jelas sekali melihat perubahan yang begitu kentara pada diri Hanna. Bukan hanya penampilan yang semakin menarik, namun sikap gadis itu seolah-olah jauh berbeda dengan apa yang ia ketahui selama ini. Mathew mengamati dengan cermat dan melihat ketidak sabaran di mata Hanna. Mata yang dulu hanya memancarkan cinta kasih. Kini, seolah rasa itu sudah lenyap.
"Silakan duduk dulu, Hanna," ucap Mathew sopan.
"Maaf ..." Kata-kata itulah yang pertama kali terucap di bibir Mathew. Kata yang cukup sederhana terdengar. Namun, sulit untuk diterima begitu saja, "Aku mengerti kekecewaan yang kamu rasakan setelah kejadian itu." Mathew terdengar menghela napas sebelum kembali melanjutkan kata-kata dari mulutnya.
"... Hanna ... Hingga saat ini perasaanku terhadapmu tidak sedikit pun berubah. Aku masih Mathew yang dulu, Matthew yang sangat mencintaimu."
Hanna mengerutkan kening saat seringai sinis menyebar di wajah cantiknya, "Mencintai?" Hanna mengembangkan senyum mematikan di hadapan Mathew. Tak perlu banyak kata yang harus dia ucapkan sebagai reaksi dari apa yang ia dengar. Sudah pasti pria itu akan menunjukkan kebolehannya dalam menakhlukkan hati seorang wanita.
Bagi Hanna, usaha itu tidak sekali pun berefek padanya. Entah mengapa pertemuan dengan Mathew kali ini tidak sama sekali memberikan getaran yang biasanya dia rasakan sebelum kenyataan pahit itu terkuak.
"Ya! Aku sangat mencintaimu Hanna. Aku mengakui kesalahanku di masa lalu. Aku terjebak, jika kamu ingin tahu."
Hanna mulai merasakan dadanya yang sakit mengingat runtutan kejadian yang dia alami saat terakhir kali berada di klinik kandungan. Sangat jelas wajah pria yang sedang berhadapan dengannya saat ini justru tampak sinis ketika Clarissa menyerang Hanna dengqn sikapnya saat itu.
Tidak sedikit pun Mathew menunjukkan ekspresi simpatik, dan itu cukup menjelaskan seperti apa perasaan Mathew yang sesungguhnya dibandingkan dengan ucapan-ucapan manis yang dia lontarkan sekarang.
"Tuan Mathew, bukankah Tuan meninggalkan saya karena Clarissa lebih menjanjikan untuk kehidupan Anda di masa mendatang?" Ucapan Hanna membuat wajah Mathew seketika menegang. Seakan-akan mengerti arah pembicaraan Hanna. Keringat dingin di pelipisnya nampak berkilat akibat pantulan cahaya lampu menandakan jika pria itu sedang gugup.
Hanna kembali menyunggingkan senyum tipis di sudut bibirnya. "Bukankah Clarissa dengan senang hati sudah berbagi kehangatan bersama Anda, dan saya pikir hal itu terjadi bukan hanya sekali, sehingga saat ini dia berhasil menghadiahi Anda dengan kehamilannya. Benar begitu, Tuan?" Hanna berdiri di hadapan Mathew, "Saya permisi. Terima kasih atas undangannya Tuan Mathew!"
Hanna membungkuk hormat sebelum kemudian membalikkan tubuhnya menjauhi sang mantan kekasih. Bagaimana bisa Mathew mengatakan bahwa ia masih mencintai Hanna? Hanna tak cukup bodoh untuk menafsirkan sikap keluarga dan kekasihnya enam bulan belakangan ini. Meskipun tak menaruh curiga, tapi Hanna merasakan perubahan dari sikap mereka di saat sang kakek sudah menunjukkan kondisi yang lemah.
Sejak saat itu terlihat sikap Mathew yang lebih akrab dengan Clarissa. Namun, sebagai keponakan angkat Hanna tak sedikitpun berasumsi buruk tentang kedekatan keduanya.
Hanna melangkah pergi dengan perasaan yang jauh lebih tenang. Setidaknya dia tahu seperti apa pria yang pernah ia cintai. Sehingga dirinya merasa sangat beruntung telah berpisah dari pria brengsek itu.
Tanpa Hanna sadari, seseorang sedang mengamatinya di tempat yang sama.
Kemarahan menyapu diri Bart seperti gelombang. Bart menyaksikan cukup jelas seorang wanita cantik yang beberapa hari ini mengganggu pikirannya. Wanita yang secara tiba-tiba ia nikahi tanpa pertimbangan lebih lanjut hanya untuk mendapatkan status menikah di mata hukum. Di mata Bart, Hanna memang terlihat sangat cantik, meskipun dia belum memiliki perasaan yang lebih terhadap wanita itu. Meski demikian, Bart harus mengakui bahwa kecantikan Hanna berada di level tertinggi dari para wanita yang pernah dia lihat. Bahkan, di kota yang penuh dengan wanita-wanita cantik itu hampir tak ada satu pun yang mampu menyamai kecantikan Hanna. Akan tetapi, yang menjadi masalah saat ini, Bart merasa sangat terganggu dengan apa yang sudah dia saksikan. Wanita yang sudah berstatus sebagai seorang istri itu ternyata menemui pria lain. Bahkan, Bart mengenal siapa pria yang tadi bertemu dengan istrinya. Bart mengepalkan tangannya hingga nampak buku-buku jemarinya memutih. Dia
Hanna membulatkan kedua bola matanya mendengar ucapan Bart. Bukannya dia tidak mau hidup normal layaknya pasangan suami istri, tetapi semua terjadi begitu cepat baginya. Bahkan dia dan Bart belum mengenal satu sama lain. Kini, harus hidup serumah dan menghabiskan waktu bersama lebih banyak. Terlebih lagi pria yang berstatus sebagai suami sahnya itu memang terlihat menyebalkan dan jangan lupa akan Bart pernah berkata bahwa Hanna hanyalah pengantin kedua yang artinya dia akan berhadapan dengan pengantin pertama pria itu. "Bagaimana jika aku menolak?" Hanna yang sebenarnya takut melihat tatapan suaminya mencoba untuk melakukan perlawanan. "Maka saya akan menuntutmu atas tuduhan perselingkuhan!" ucap Bart ketus. Pria ini benar-benar menyebalkan. Bukankah dia yang sudah meninggalkan Hanna ketika pernikahan baru saja terlaksana. Kini tiba-tiba saja datang dan memaksakan kehendak. "Lalu apa alasanmu memaksaku untuk tinggal bersamamu? Bukankah kamu sudah meni
Hanna kembali mengedarkan pandangannya ketika memasuki kamar yang begitu luas menurutnya. Bahkan, ruang ini seukuran dengan ruang utama apartement yang beberapa hari lalu dia sewa. Ruang maskulin khas seorang pria dengan cat dinding perpaduan warna hitam, putih dan abu-abu, serta ranjang berukuran king size yang diposisikan di bagian tengah. Aroma maskulin menyeruak di ruangan itu. Aroma yang pernah dia rasakan ketika mereka pernah berada dalam jarak yang begitu dekat saat pernikahan keduanya berlangsung, membuat Hanna seolah terbius menikmati melalui indra penciuman. Ruang kamar terhubung dengan sebuah ruang kecil yang khusus untuk digunakan menyimpan pakaian yang ukurannya sekitar enam puluh empat kaki persegi berisikan dengan pakaian, tas, dan sepatu ber-merk. Hanna menelan ludah dengan kasar, "Pria ini benar-benar kaya," gumamnya. Dia memendarkan pandangan, mengabsen satu persatu apa yang ditampilkan dari ruang pria berkelas t
"Emh ..." Hanna tersentak dari tidur saat bias cahaya menembus sisi tirai dan tepat mengenai mata indah miliknya. Sudah bisa dipastikan sekarang sudah bukan saatnya untuk bermalas-malasan lagi di atas tempat tidur. Dia terkejut dengan suasana yang begitu asing baginya, merasakan sakit di salah satu bagian tubuh, perlahan dia sadar bahwa saat ini dia berada di kediaman Bart. Tapi kemana pria itu pergi? Hanna bermimpi sedikit nakal, semalam. Bahkan, perasaan itu terasa begitu nyata. Apakah itu artinya Bart yang hadir di dalam mimpinya? "Ini akibat kata-kata kotor Isabelle," rutuknya. untuk sepersekian detik, mata Hanna membulat. Ada rasa kekhawatiran yang begitu menyiksa perasaan wanita cantik itu saat ini, sesuatu yang berbeda sedang dia rasakan. Kali ini Hanna menyibakkan selimutnya. Tubuh wanita itu seketika menjadi lemas setelah melihat sesuatu yang tidak ingin dia temukan. "Saya akan meminta Bibi Helena untuk membelikanmu obat pereda nyeri." Suara Ba
"Apa kamu serius akan meninggalkan apartemen ini, bukankah sewanya akan berakhir dalam waktu yang masih lama? Isabelle mengekori Hanna yang sedang sibuk mengemasi pakaiannya. "Apa aku terlihat bercanda? Dia mengancamku atas tuduhan perselingkuhan. Ck! Ini gara-gara Matthew sialan! Jika saja aku tidak bertemu dengannya, mungkin aku masih menjadi Hanna yang sama hari ini." Sesekali Hanna menyeka peluh di pelipis. "Hanna yang sama?" Ucapan Isabelle membuat suasana menjadi hening. Kedua wanita itu saling beradu pandang. Hanna yang tadi tanpa sengaja mengucapkan kata-kata itu terlihat menatap Isabelle dengan ekspresi gugup. Sementara Isabelle menatapnya curiga. "Oh ...! Aku sungguh bahagia dengan pikiranku sendiri." Isabelle tertawa puas. "Jadi apa kau menikmatinya?" "Jangan gila, Isabelle! Aku tidak mengatakan apapun. Otakmu terlalu pendek!" ucap Hanna dengan ketus. "Baiklah, aku yang salah." Isabelle tersenyum setelah melihat wajah Hanna memerah
Hanna mengelus dada akibat perilaku Bart yang di luar dugaan. Bukankah benar apa yag dikatakan Hanna? Lalu apa yang salah sehingga membuat pria itu pergi. Tak ingin terlalu dipenuhi dengan pikiran-pikiran buruk, Hanna bergabung dengan Bibi Helena untuk memasak makan malam. "Em ... Bibi Helena? Hanna membuka suaranya. Dia ragu-ragu untuk bertanya, namun rasa penasaran sudah tidak mampu lagi dibendung. "Ya?" "Sejak kapan Bibi mengenal Bart?" Wanita paruh baya itu tersenyum dan menghentikan kegiatannya yang sedang memotong beberapa buah tomat. Perlahan dia meletakkan pisau di sisi sayuran dan menghadap tepat ke arah Hanna. "Aku sudah bersama keluarga Megens sejak Tuan Bart berusia sepuluh tahun." Bibi Helena menatap langit-langit membayangkan si Kecil Bart di masa lalu. "Tuan memiliki masa lalu yang kurang baik," wajah Bibi Helena menunjukkan perubahan saat membahas tentang itu. Sejenak dia menghela napas sebelum meneruskan ucapannya, "Aku
Hanna tidak mengerti dengan perasaannya sendiri. Meskipun menikahi Bart terjadi akibat sebuah tantangan gila dari Isabelle, akan tetapi setiap berdekatan dengan Bart, jantungnya selalu saja terasa berdetak lebih cepat. Hanna masih termenung duduk di ruang makan hingga tengah malam sambil menggenggam gelas berisikan air mineral. Tiba-tiba saja terlihat siluet Bart menuju kulkas untuk mengambil minuman. Hanna menggigit bibirnya dengan kuat, berusaha keras untuk tidak bersinggungan mata dengan pria itu. Sementara Bart melirik Hanna dengan tatapan kebencian. Keheningan menambah kegugupan di dalam hati Hanna hingga tangannya terasa dingin dan basah. Situasi seperti ini membuatnya merasa sangat gugup. Di detik berikutnya Bart melintas di hadapan Hanna dan membuka kulkas. Pria itu menenggak habis segelas air mineral di tempat ia berdiri saat ini. "Entah mengapa rumah ini semakin tidak menyenangkan setelah kamu ada di sini." Suara Bart memecah keheningan sekaligus memb
Ruang kerja berada tepat di samping kamar tidur. Bibi Helena bersiap untuk mengetuk pintu yang terlihat masih tertutup itu. Namun, sebelum dirinya mengetuk pintu ruang kerja, justru pintu ruang kamar lah yang tiba-tiba terbuka. Bart keluar dengan pakaian kerja yang sudah melekat di tubuh. Wajahnya benar-benar tampan, meskipun terdapat rona hitam di bawah mata. Hal itu menandakan semalam Bart kurang tidur. Mungkinkah dia tidak dapat memejamkan matanya setelah berbicara dengan Hanna semalam? "Em ... Tuan, sarapan sudah siap." Bibi Helena membungkuk dan mengekori Bart menuju ruang makan . Bart begitu gagah dengan tampilannya saat ini. Dia adalah pria yang sangat memperhatikan penampilan. Jam Rolex edisi terbatas melingkar dengan elegan di salah satu pergelangan tangan Bart. Jika ditaksir harganya kurang lebih seratus ribu Euro. Hanna yang sudah menunggu di meja makan merasakan kehadiran Bart. Dia memejamkan mata dan menarik napas perlahan. Wajahnya menundu