Share

4. Jadi mereka saudara

Inikah takdir jodohku? Apa pria kutub selatan itu adalah jodoh yang dikirim Allah untukku? Yang tertulis di lauful mahfuz?

Mengetik kata-kata konyol itu di memo ponselku. Seketika aku terkekeh karena ulah sendiri. Bisa-bisanya mengetik hal yang konyol.

Dreeet!

Ada yang ngechat nanyain kabarku. Siapa lagi kalau bukan Intan.

[Kamu kenapa pingsan? Sorry saat aku mau ke sana eh malah Pak Kunang membantumu.]

[Mungkin aku lagi kedinginan saja.] Balasku singkat di chat.

"Ehem ...," dehaman seseorang mengagetkanku. Hampir saja ponselku jatuh. Apa dia tidak tahu kalau aku jenuh?

"Ponselnya ditaruk dulu ya... tanganmu kan masih perih."

"Emm ...." Lidahku kenapa? Kok kelu banget sih.

Pak Kunang langsung mencabut ponsel yang kupegang dan menaruhnya di saku celananya.

"Loh? Balikin, Pak!"

"Sudah, besok saja saya balikin," jawabnya masih datar. Entah kenapa aku gak suka nada datarnya.

Kenapa aku malah repot mengurusi jawabannya. Lama-lama diri ini merasa aneh.

DOR DOR DOR!!!

"MAS! MAS! BUKA PINTU!"

Suara seseorang yang tengah menggedor pintu. Siapa ya? Apa tidak diajarkan kesopanan? Mengapa sampai menggedor seperti itu? Oke, aku terlalu banyak bertanya dalam hati.

Mataku terbelalak saat seseorang masuk. Wajah tak asing lagi dengan kumis tipis yang tercipta. Dia adalah Dion si bocah tengik. Ia melangkah memandang heran Pak Kunang. Ada hubungan apa mereka?

"Mas! Kenapa bawa Bening kesini?" tanya Dion.

"Bening enggak enak badan. Jadi, Mas bantuin dia," jawab Pak Kunang.

"Cewek Balsem aja ditolong!"

Bisakah ucapannya tidak kasar? Atay bisakah dia perhatian sedikit saja dengan temannya? Kenapa sikapnya sangat cuek?

"Jadi kalian ini ...."

"Saudara." Mereka menjawab kompak sekali.

OH SAUDARA?

Dalam hatiku rasanya aku ingin berteriak dan aku tidak percaya itu. Secara Pak Kunang pria yang disiplin dan Dion entahlah aku tidak suka gayanya.

"Aku tidak menyangka kamu ...."

"Kenapa Bening? Kenapa tidak dilanjutkan? Karena penampilanku ya?" ucapnya sambil mempelototiku seperti aku melakukan kesalahan yang fatal.

Dion sensi sekali hari ini kalau menjawab pertanyaannya nanti malah tambah runyam. Mending diam saja deh.

"Kok kamu tidak menggubris pertanyaan gue? Hah!"

Lagi-lagi Dion membentak dan seperti orang kesurupan. Ia tidak tahu apa kalau tangan dan kakiku nyeri.

"Cukup Dion! Kamu ini kenapa? Liat dia sakit tolong jangan berisik!" Pembelaan sang pangeran tua itu membuatku cukup menganga. Untung saja air ludahku tidak jatuh. Hampir saja tadi jatuh. Kalau sampai begitu, bisa-bisa mereka berdua akan menertawaiku seperti kancil dan harimau yang sedang akur.

"Berisik kata Mas? Dengan gampangnya Mas bawa wanita lain ke kamar Mas! Apa jangan-jangan Mas mau menghina Dion karena belum juga punya pengganti Diana? Diana memutuskan Dion itu semua karena Mas bertengkar dengan Tiara yang menyebabkan Tiara kecelakaan!"

"Stop!" Mata Pak Kunang berubah menjadi nanar.

Ada Drama apalagi ini? Aku tidak sanggup melihat pertengkaran ini. Mengapa Diana sampai memutuskan Dion? Tiara itu ada hubungan apa sama Diana?

Pak dosen seperti membuat ancang-ancang untuk menampar Dion. Dion langsung memejamkan mata dan sukurlah aku bisa menangkap tangan pria dewasa itu yang hendak menampar adiknya. Walau dengan rasa sakit yang ada di kaki, akhirnya aku bisa menangkap tangan Pak Kunang.

Dion membuka mata, mungkin ia sadar kenapa tangan Pak Kunang tak kunjung tiba di pipinya. Mata Dion membulat kala aku masih memegang tangan Pak Kunang. Dosenku malah memandangku dengan tatapan amarah. Semoga aku tidak dikuburnya hidup-hidup.

Ya, Allah ... bantu Bening. Selamatkanlah Bening ....

"Bapak tahan emosi ...." Aku berusaha melembutkan suaraku. Walau sebenarnya suaraku tak selembut para penyanyi, hehe.

"Jadi kamu bela dia? Dia yang jelas-jelas mencaci saya. Padahal kecelakaan itu murni kecelakaan. Saya putus dengan Tiara pun karena ada fitnah yang mengatakan saya berselingkuh!"

"Bukannya saya membela dia, Pak. Tapi, kalau sesama saudara itu sama-sama melakukan tindak kekerasan. Kapan saudara itu akan berdamai? Saya tanya kapan Pak?!" Nadaku sedikit meninggi. Membuat Pak Kunang menurunkan tangannya.

Dion masih menganga atas perkataanku. Bibirnya hampir saja meneteskan air liur. Well, mungkin dia pikir aku baik dan jadi pahlawan kemaleman untuknya.

Hahaha ... emang ada pahlawan kemaleman gitu?!

"Setiap saat saya memberi penjelasan pada Dion, Bening! Namun, dia hanya bisa menyalahkan saya saja ...," suara Pak Kunang terdengar begitu pilu. Ia sepertinya akan menumpahkan air mata.

"Sudah Pak. Bapak pergi dan istirahat saja. Biar saya yang bicara sama Dion!" tegasku.

"Bicaranya jangan di kamar, tapi diluar saja. Kamu bisa kan berjalan keluar pelan-pelan. Saya masih ada tanggung jawab sama orang tuamu buat ngejaga kamu. Enggak baik kalau berduaan di dalam kamar."

Perkataan pria dewasa ini membuatku mematung. Biasanya aku takut dengan hal yang berhubungan dengan dia. Namun, aku merasakan hal yang berbeda. Aku merasa jadi tuan putri yang sedang dijaga pangeran.

Arrrgghh! apaan, sih aku!

"Bukankah kalian dari tadi di kamar berduaan!" bentak Dion.

"Dion! Aku hanya sebentar. Jangan bilang kalau aku ini orang yang mesum!" bentak Pak Kunang.

"Mana aku tahu? Semua perlu bukti!"

"DION!!!" Aku dan Pak Kunang menjerit serentak. Dion sangat jail. Aku tidak suka cara dia memandangku.

Pak dosen berpesan pada Dion untuk tidur di bawah. Namun, aku masih mau bicara sama Dion. Kulihat Pak Kunang sedang mengintip. Dia sudah seperti orang tua yang menjagaku.

"Dion ... kamu harus ikhlas. Mungkin Diana itu bukan jodohmu. Kamu jangan nyalahin Masmu terus," ucapanku.

Dion mencerna ucapanku enggak yah? Berapa lama lagi aku berdiri seperti bak patung begini?

"Aku berusaha Bening. Selalu berusaha ikhlas. Hiks!" Mataku membola saat Dion yang kukenal pembangkang. Ternyata ia menyimpan kedukaan yang mendalam.

"Makasih kamu sudah menghalangi Mas buat menamparku. Selama ini tidak ada yang membantuku. Mama juga diam saat Mas menamparku. Aku merasa anak yang paling tidak berguna, hiks!"

Tangisan Dion semakin pecah dan terdengar begitu memilukan. Kulihat di tangga, Pak Kunang masih menguping. Ia meneteskan air mata juga. Sebenarnya mereka egois. Mereka saling menyayangi hanya saja mereka gengsi.

"Dia menyayangimu Dion. Percayalah!" Tidak terasa aku menyunggingkan senyum. Aku tidak tau senyumku manis atau pahit. Yang jelas hanya ingin menenangkan hati Dion.

"Bagaimana Kau tahu?" Ah ia malah menanyakan keadaan tahu. Ya kenapa dia gak ubah kalimatnya menjadi bagaimana kau tempe? Haha.

"Dia menamparmu karena dia masih menyayangimu. Kalau kamu salah pasti dia menamparmu untuk mengingatkan kesalahan. Coba kalau orang tidak sayang kamu, pasti orang tersebut membiarkan kamu menjadi anak nakal dan tidak memberimu petuah. Jadi, jangan artikan tamparan itu kekerasan. Kamu anak cowok, pasti kamu kuat ditampar. Dia tidak akan membunuhmu dengan tamparan. Melainkan dia mendidikmu dengan tamparan. Segitu paham?"

Dion malah terkekeh dengan petuahku. Apakah aku kurang pandai dalam memberi petuah? Kulihat Pak Kunang memberi jempol padaku. Apa artinya aku akan lulus tanpa tugas-tugas darinya? Haha tidak mungkin. Tapi aku sangat berharap itu.

"Aku sedikit bisa mencerna. Tapi, aku selalu gengsi kalau aku yang salah. Yang jelas thanks atas malam ini kamu membuat hatiku tenang."

Sukurlah Dion sepertinya bisa sedikit mencerna petuahku. Ya, walaupun aku tidak pandai dalam memberi petuah pada seseorang.

Seketika anganku melejit ketika Dion pernah mau meminta bantuan padaku. Entah apa bisa kubantu.

"Kamu kenapa Bening? Kok bengong?" Dion bertanya. Aku menyahut dengan gelengan kepala. Lebih baik kuurungkan menanyakan bantuan apa yang bisa kulakukan. Disini juga ada Pak dosen yang mengawasi. Sepertinya bukan waktu yang tepat untuk menanyakan hal itu.

"Bening. Kamu istirahat, ya!"

Tiba-tiba Pak dosen menarik tangan Dion, dan membawanya jauh dari hadapanku.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status