Inikah takdir jodohku? Apa pria kutub selatan itu adalah jodoh yang dikirim Allah untukku? Yang tertulis di lauful mahfuz?
Mengetik kata-kata konyol itu di memo ponselku. Seketika aku terkekeh karena ulah sendiri. Bisa-bisanya mengetik hal yang konyol.Dreeet!Ada yang ngechat nanyain kabarku. Siapa lagi kalau bukan Intan.[Kamu kenapa pingsan? Sorry saat aku mau ke sana eh malah Pak Kunang membantumu.][Mungkin aku lagi kedinginan saja.] Balasku singkat di chat."Ehem ...," dehaman seseorang mengagetkanku. Hampir saja ponselku jatuh. Apa dia tidak tahu kalau aku jenuh?"Ponselnya ditaruk dulu ya... tanganmu kan masih perih.""Emm ...." Lidahku kenapa? Kok kelu banget sih.Pak Kunang langsung mencabut ponsel yang kupegang dan menaruhnya di saku celananya."Loh? Balikin, Pak!""Sudah, besok saja saya balikin," jawabnya masih datar. Entah kenapa aku gak suka nada datarnya.Kenapa aku malah repot mengurusi jawabannya. Lama-lama diri ini merasa aneh.DOR DOR DOR!!!"MAS! MAS! BUKA PINTU!"Suara seseorang yang tengah menggedor pintu. Siapa ya? Apa tidak diajarkan kesopanan? Mengapa sampai menggedor seperti itu? Oke, aku terlalu banyak bertanya dalam hati.Mataku terbelalak saat seseorang masuk. Wajah tak asing lagi dengan kumis tipis yang tercipta. Dia adalah Dion si bocah tengik. Ia melangkah memandang heran Pak Kunang. Ada hubungan apa mereka?"Mas! Kenapa bawa Bening kesini?" tanya Dion."Bening enggak enak badan. Jadi, Mas bantuin dia," jawab Pak Kunang."Cewek Balsem aja ditolong!"Bisakah ucapannya tidak kasar? Atay bisakah dia perhatian sedikit saja dengan temannya? Kenapa sikapnya sangat cuek?"Jadi kalian ini ....""Saudara." Mereka menjawab kompak sekali.OH SAUDARA?Dalam hatiku rasanya aku ingin berteriak dan aku tidak percaya itu. Secara Pak Kunang pria yang disiplin dan Dion entahlah aku tidak suka gayanya."Aku tidak menyangka kamu ....""Kenapa Bening? Kenapa tidak dilanjutkan? Karena penampilanku ya?" ucapnya sambil mempelototiku seperti aku melakukan kesalahan yang fatal.Dion sensi sekali hari ini kalau menjawab pertanyaannya nanti malah tambah runyam. Mending diam saja deh."Kok kamu tidak menggubris pertanyaan gue? Hah!"Lagi-lagi Dion membentak dan seperti orang kesurupan. Ia tidak tahu apa kalau tangan dan kakiku nyeri."Cukup Dion! Kamu ini kenapa? Liat dia sakit tolong jangan berisik!" Pembelaan sang pangeran tua itu membuatku cukup menganga. Untung saja air ludahku tidak jatuh. Hampir saja tadi jatuh. Kalau sampai begitu, bisa-bisa mereka berdua akan menertawaiku seperti kancil dan harimau yang sedang akur."Berisik kata Mas? Dengan gampangnya Mas bawa wanita lain ke kamar Mas! Apa jangan-jangan Mas mau menghina Dion karena belum juga punya pengganti Diana? Diana memutuskan Dion itu semua karena Mas bertengkar dengan Tiara yang menyebabkan Tiara kecelakaan!""Stop!" Mata Pak Kunang berubah menjadi nanar.Ada Drama apalagi ini? Aku tidak sanggup melihat pertengkaran ini. Mengapa Diana sampai memutuskan Dion? Tiara itu ada hubungan apa sama Diana?Pak dosen seperti membuat ancang-ancang untuk menampar Dion. Dion langsung memejamkan mata dan sukurlah aku bisa menangkap tangan pria dewasa itu yang hendak menampar adiknya. Walau dengan rasa sakit yang ada di kaki, akhirnya aku bisa menangkap tangan Pak Kunang.Dion membuka mata, mungkin ia sadar kenapa tangan Pak Kunang tak kunjung tiba di pipinya. Mata Dion membulat kala aku masih memegang tangan Pak Kunang. Dosenku malah memandangku dengan tatapan amarah. Semoga aku tidak dikuburnya hidup-hidup.Ya, Allah ... bantu Bening. Selamatkanlah Bening ...."Bapak tahan emosi ...." Aku berusaha melembutkan suaraku. Walau sebenarnya suaraku tak selembut para penyanyi, hehe."Jadi kamu bela dia? Dia yang jelas-jelas mencaci saya. Padahal kecelakaan itu murni kecelakaan. Saya putus dengan Tiara pun karena ada fitnah yang mengatakan saya berselingkuh!""Bukannya saya membela dia, Pak. Tapi, kalau sesama saudara itu sama-sama melakukan tindak kekerasan. Kapan saudara itu akan berdamai? Saya tanya kapan Pak?!" Nadaku sedikit meninggi. Membuat Pak Kunang menurunkan tangannya.Dion masih menganga atas perkataanku. Bibirnya hampir saja meneteskan air liur. Well, mungkin dia pikir aku baik dan jadi pahlawan kemaleman untuknya.Hahaha ... emang ada pahlawan kemaleman gitu?!"Setiap saat saya memberi penjelasan pada Dion, Bening! Namun, dia hanya bisa menyalahkan saya saja ...," suara Pak Kunang terdengar begitu pilu. Ia sepertinya akan menumpahkan air mata."Sudah Pak. Bapak pergi dan istirahat saja. Biar saya yang bicara sama Dion!" tegasku."Bicaranya jangan di kamar, tapi diluar saja. Kamu bisa kan berjalan keluar pelan-pelan. Saya masih ada tanggung jawab sama orang tuamu buat ngejaga kamu. Enggak baik kalau berduaan di dalam kamar."Perkataan pria dewasa ini membuatku mematung. Biasanya aku takut dengan hal yang berhubungan dengan dia. Namun, aku merasakan hal yang berbeda. Aku merasa jadi tuan putri yang sedang dijaga pangeran.Arrrgghh! apaan, sih aku!"Bukankah kalian dari tadi di kamar berduaan!" bentak Dion."Dion! Aku hanya sebentar. Jangan bilang kalau aku ini orang yang mesum!" bentak Pak Kunang."Mana aku tahu? Semua perlu bukti!""DION!!!" Aku dan Pak Kunang menjerit serentak. Dion sangat jail. Aku tidak suka cara dia memandangku.Pak dosen berpesan pada Dion untuk tidur di bawah. Namun, aku masih mau bicara sama Dion. Kulihat Pak Kunang sedang mengintip. Dia sudah seperti orang tua yang menjagaku."Dion ... kamu harus ikhlas. Mungkin Diana itu bukan jodohmu. Kamu jangan nyalahin Masmu terus," ucapanku.Dion mencerna ucapanku enggak yah? Berapa lama lagi aku berdiri seperti bak patung begini?"Aku berusaha Bening. Selalu berusaha ikhlas. Hiks!" Mataku membola saat Dion yang kukenal pembangkang. Ternyata ia menyimpan kedukaan yang mendalam."Makasih kamu sudah menghalangi Mas buat menamparku. Selama ini tidak ada yang membantuku. Mama juga diam saat Mas menamparku. Aku merasa anak yang paling tidak berguna, hiks!"Tangisan Dion semakin pecah dan terdengar begitu memilukan. Kulihat di tangga, Pak Kunang masih menguping. Ia meneteskan air mata juga. Sebenarnya mereka egois. Mereka saling menyayangi hanya saja mereka gengsi."Dia menyayangimu Dion. Percayalah!" Tidak terasa aku menyunggingkan senyum. Aku tidak tau senyumku manis atau pahit. Yang jelas hanya ingin menenangkan hati Dion."Bagaimana Kau tahu?" Ah ia malah menanyakan keadaan tahu. Ya kenapa dia gak ubah kalimatnya menjadi bagaimana kau tempe? Haha."Dia menamparmu karena dia masih menyayangimu. Kalau kamu salah pasti dia menamparmu untuk mengingatkan kesalahan. Coba kalau orang tidak sayang kamu, pasti orang tersebut membiarkan kamu menjadi anak nakal dan tidak memberimu petuah. Jadi, jangan artikan tamparan itu kekerasan. Kamu anak cowok, pasti kamu kuat ditampar. Dia tidak akan membunuhmu dengan tamparan. Melainkan dia mendidikmu dengan tamparan. Segitu paham?"Dion malah terkekeh dengan petuahku. Apakah aku kurang pandai dalam memberi petuah? Kulihat Pak Kunang memberi jempol padaku. Apa artinya aku akan lulus tanpa tugas-tugas darinya? Haha tidak mungkin. Tapi aku sangat berharap itu."Aku sedikit bisa mencerna. Tapi, aku selalu gengsi kalau aku yang salah. Yang jelas thanks atas malam ini kamu membuat hatiku tenang."Sukurlah Dion sepertinya bisa sedikit mencerna petuahku. Ya, walaupun aku tidak pandai dalam memberi petuah pada seseorang.Seketika anganku melejit ketika Dion pernah mau meminta bantuan padaku. Entah apa bisa kubantu."Kamu kenapa Bening? Kok bengong?" Dion bertanya. Aku menyahut dengan gelengan kepala. Lebih baik kuurungkan menanyakan bantuan apa yang bisa kulakukan. Disini juga ada Pak dosen yang mengawasi. Sepertinya bukan waktu yang tepat untuk menanyakan hal itu."Bening. Kamu istirahat, ya!"Tiba-tiba Pak dosen menarik tangan Dion, dan membawanya jauh dari hadapanku.Merasakan aroma maskulin yang menyeruak menyebar di rongga hidung. Memeluk guling yang terasa begitu menghangatkan. Tunggu dulu, baunya seperti aroma sosok yang tak asing, seperti Pak Kunang. Apakah setiap ingin tidur pinguin dingin itu memakai parfum? Sampai aromanya melekat di guling. Setelah membuka mata betapa kagetnya diriku mendapati mata tegas, rahang kokoh dan wajah tampan yang menyiratkan tanda tanya. Di depanku ia berdiri bersidekap. Detak jantungku tiba-tiba tak beraturan. Mungkin saja tadi ia tengah memerhatikanku yang sedang memeluk gulingnya dengan erat."Kamu tidak mau shalat subuh?" Pertayaannya sangat datar, dingin dan membuat bulu kuduk merinding. Langsung saja kubangkit dari tidur, mengubah posisi menjadi duduk. Sambil menunggu apa yang mau ia bicarakan. Seketika mengingat saat memeluk gulingnya. Tangan terasa lemas tanpa tulang, bisa-bisanya tadi bertingkah memalukan dengan memeluk guling Pak Kunang. Tapi lebih parah lagi kalau aku sampai memeluk dirinya. Astaga
Akhirnya aku pulang ke rumah. Kata orang, rumah adalah istana. Ya, rumahku adalah istanaku. Meskipun rumahku ini tidak sebesar rumah Pak Kunang. Aku tetap menganggapnya istana. Daripada harus mendengar pertengkaran Pak Kunang dan Dion.Kubuka kamar lalu mengirim tubuh ke tempat tidur yang tidak terlalu empuk ini. Tapi aku senang bisa balik ke rumahku. Apalagi bertemu ibu yang selalu ada untukku. Selalu tegar dan mampu menghilangkan penat yang ada dipikiranku.Aku kenapa malah mengingat perkataan Dion tentang kekasih dosen phobia itu. Pasti dia sangat cantik sehingga Pak Kunang tak bisa melupakannya."Bening? Bagaimana perasaanmu di sana? Dosen kamu itu tampan dan baik hati ya? Ibu rela kamu dinikahi dia."Suara ibu mengagetkan dan menyadarkan aku dari lamunan.u selalu saja begitu bertanya banyak."Ibu apaan sih, mana mungkin dia mau sama Bening yang buluk ini?" jawabku minder."Hust jangan merendah seperti itu! Berdoa saja ya sama Allah. Kamu cantik loh Bening. Dulu aja kamu buluk."Ku
Memapah bedak tipis-tipis supaya tidak terlalu terlihat pucat. Tidak ingin terlihat menor juga. Kupakai gamis pemberian orang yang entah dari siapa. Ibu merahasiakan orang yang telah memberikan gamis menjuntai, indah dengan bordiran bunga-bunga ini. Kupandangi pantulan diriku dicermin, begitu memukau. Seakan lebih cantik gaun ini daripada diriku. Ketika mengolesi lip balm pada bibir. Sepintas bayangan dosen beku bergelayut dibenakku. Ada apa denganku? Mengapa aku malah membayangkan wajah tampan tapi bukan muhrimku? Astagfirullah ini tidak benar! Kuusap wajahku dengan kasar. Membaca istigfar berulang kali.Ceklek!Suara derit pintu kamar terbuka. Derap langkah seseorang yang kukenal makin mendekat. Segera kubalikkan badan dan tatapan bersirobok pada wajah ibu yang begitu berbinar. Siluet wajah yang kelihatan sangat bahagia.Astaga ada apa dengan Ibu? Mengapa begitu sangat bahagia? Fikiranku mulai sambil menerka-nerka apa yang membuatnya sebahagia ini."Waw amazing! Putri ibu tidak la
Aku berjalan mengekor di belakang orang yang sudah sah menjadi suamiku. Aku begitu tidak menyangka Pak Kunang bisa menyelesaikan ijab kabul dengan hikmat tapi penuh kepura-puraan. Sementara Dion hilang entah kemana mungkin saja ditelan bumi. Setelah akad nikah usai Pak Kunang bergeming dan mengantarkan aku ke kamar. Apakah dia bersungguh-sungguh dalam menjalani pernikahan ini? Ah membayangkannya saja itu tidak mungkin. Segera kutepis segala pikiran aneh yang berkelebat di kepala.Dilihat dari sorot mata yang kosong seperti itu, sudah jelas dia hanya menyelamatkan reputasi nama besar keluarganya. Kududuk di tepi ranjang kingsize ini, dengan membalas tatapan kosong yang dia berikan padaku.Terkejut saat Pak Kunang tiba-tiba mengunci pintu. Ya Allah apakah beruang kutub ini akan tidur bersamaku malam ini? Seketika panas dingin menjalar seakan tubuhku ini diberi formalin yang bisa membuat tubuhku membeku.Tiba-tiba kepala mendadak pusing, mungkin akibat kelamaan menunggu Dion di acara aka
Merasa begitu nyamannya tubuh dengan aroma maskulin. Aku semakin mengeratkan pelukan yang semakin membuatku merasa nyaman dan mata seakan enggan terbuka. Suara adzan berkumandang begitu merdu ditelinga sambil menikmati kehangatan yang menyerebak di jiwa.Kicauan burung terdengar di jendela geser yang terhubung di balkon. Seperti sedang bercengkrama, bersahutan mengisi pagi dengan harmoni alam, menciptakan simfoni yang membangunkan semangat.Saat pelukan tangan seseorang semakin erat dada berdentam-dentam. Siapa yang memelukku? Seketika mataku membola saat mendapati tubuh kekar dan berurat.Tubuhku berusaha menggeliat untuk melepaskan pelukan pria ini yang cukup kencang. Oh, tidak! Apakah semaleman kami berpelukan? "Pak, sudah subuh," lirihku ditelinganya. Namun usahaku sia-sia. Ia semakin mengeratkan pelukan. Emangnya aku guling apa?"Emm ... guling kali ini kok beda. Rasanya nyaman sekali." Perkataannya membuat panas dingin, juga merinding. Aku tak kuasa berada dalam dekapannya dan
Lama-lama sikapnya kayak anak kecil saja. Memang apa sulit untuk membuka kancing bajunya sendiri? Dengan segala keterpaksaan yang ada dalam hati. Menuruti perintahnya. Membuka satu persatu kancing dengan tangan gemetar serta hati berguncang.Kemudian kegugupan yang membuncah. Pelan-pelan memasangkan ke lengan kanan dan kemudian lengan kirinya serta tanpa berani melihat sorot mata tajamnya. Hati deg-degan saat mulai mengaitkan kancing satu persatu bagian depan teratas. Aku harus mendongak dulu sebab pria ini lebih tinggi dariku. Tak sengaja mata beradu dengan sorot mata yang indah. Dengan rasa canggung yang membebat hati. Memberanikan diri memandang manik matanya serta mengaitkan tiap kancing terus menerus walau dengan tangan yang gemetar."Kamu takut pada saya? Kenapa menunduk terus?""Emmm ... tidak Pak! Saya sama sekali tidak takut pada Bapak, buat apa saya takut sama Bapak? Bapak bukan hantu," jawabku mantap.Untuk apa takut dengan suami sendiri? Walaupun aku tidak dianggap. Hanya
Seseorang pria yang telah berstatus sah jadi suamiku kini mengirim tubuhku menjauh dari hadapan Candra. Terlihat raut wajah Candra yang kebingungan karena mungkin dia curiga kenapa dosen ini menarik tanganku.Pak Kunang menarik lengan seorang tuan putri tidak berdosa sepertiku hingga rasanya mau patah. Puluhan pasang mata pun menatap tajam ke arah kami, bisikan-bisikan dari mereka yang tak bisa kudengar. Fix sudah dua kali aku dijadikan tontonan.Ya Allah ... Bening salah apa? Sampai suami sendiri berbuat kasar? Beginikah cara dia memperlakukan istri? Padahal di awal pernikahan sama sekali tidak terbesit dalam anganku untuk mencintai dia, untuk berbakti dengannya, untuk jadi istrinya. Tapi, bagaimana seharusnya istri sholehah memang harus patuh pada suami, walau suami tersebut sama sekali tidak menganggap istri. Sungguh tragis dan malangnya nasibku.Kuteteskan air mata mengucur deras seperti derasnya hujan. Terkadang, rasa takut dan keraguan bisa menjadi belenggu yang sulit dilepaskan
Akhir-akhir ini kepalaku sering kali pusing. Apakah anemiaku kambuh? Aku mengambil air didapur dan hendak memasak.Bahan-bahan yang ada di kulkas sudah kukeluarkan. Kalau bikin bubur pasti enak.Datang bibik menghampiriku. "Aduh Non kenapa masak sendiri? Sudah sini biar Bibik saja yang masakin Non. Non duduk saja.""Sudah Bik. Biar Bening saja yang masak. Bening malam ini pengen bubur," kataku."Tidak Non. Biar Bibik saja yang masakin buat, Non." Bibik merebut pisau yang aku gunakan untuk memotong wortel."Bibik aku pengen masak sendiri please." Aku berusaha meyakinkan Bibik"Yakin? Bagaimana kalau Tuan marah sama Bibik?"Nampak Bibik terlihat begitu cemas kalau dia akan dimarahi sama Pak Kunang.Aku mengangguk pelan. "Yakin Bik. Bibik gak perlu takut dimarahin ya, karena ini kemauan Bening sendiri. ""Baiklah kalau begitu Non. Tapi, kalau Non butuh apa-apa, Non tinggal bilang saja sama Bibik, yah. Bibik siap membantu.""Oke Bibik tinggal dulu ya. Nanti kalau butuh apa-apa, Non Bening