Share

5. Ternyata Tante sababat ibu

Merasakan aroma maskulin yang menyeruak menyebar di rongga hidung. Memeluk guling yang terasa begitu menghangatkan. Tunggu dulu, baunya seperti aroma sosok yang tak asing, seperti Pak Kunang. Apakah setiap ingin tidur pinguin dingin itu memakai parfum? Sampai aromanya melekat di guling.

Setelah membuka mata betapa kagetnya diriku mendapati mata tegas, rahang kokoh dan wajah tampan yang menyiratkan tanda tanya. Di depanku ia berdiri bersidekap. Detak jantungku tiba-tiba tak beraturan. Mungkin saja tadi ia tengah memerhatikanku yang sedang memeluk gulingnya dengan erat.

"Kamu tidak mau shalat subuh?"

Pertayaannya sangat datar, dingin dan membuat bulu kuduk merinding. Langsung saja kubangkit dari tidur, mengubah posisi menjadi duduk. Sambil menunggu apa yang mau ia bicarakan.

Seketika mengingat saat memeluk gulingnya. Tangan terasa lemas tanpa tulang, bisa-bisanya tadi bertingkah memalukan dengan memeluk guling Pak Kunang. Tapi lebih parah lagi kalau aku sampai memeluk dirinya. Astaga apa yang aku pikirkan?

Saat kepala tengah tertunduk, menahan malu yang bersarang. Pak Kunang melemparkan mukena. Bisakah dosen beku itu memberi mukena ini dengan tidak kasar? Segera kuberanjak menuju kamar mandi guna mengambil wudhu'.

Air mengguyur muka. Bayangan Lelaki tegap itu masih terngiang di benakku. Seharusnya dia tidak main masuk kamar, sembarangan. Walau memang kuakui kamar ini miliknya. Namun, ia harus tau sopan santun dan yang di dalam ini bukan manusia biasa melainkan bidadari tak bersayap, hehe.

BRAKK BRAKK

Pintu kamar mandi digedor kuat. Siapa sih yang menggedor pintu? Sudah tau ada orang. Bikin moodku semakin gak karuan aja. Apalagi aku sekarang berada di rumah beruang kutub, beh mengerikan. Katanya kita tidak bisa lari dari beruang putih. Karena mereka akan terus memangsa meskipun kita pura-pura mati. Beda sama beruang grizzly. Ini beruang berbahaya.

"Bening cepetan!" Lagi-lagi suara dosen beku itu.

Tuh kan moodku tambah rusak. Gara-gara dia datang.

"Iya Pak, i--ini saya mau ambil wudhu'," ucapku geram saat Pak Kunang gak sabaran. Ternyata selain begitu dingin. Dirinya adalah manusia tidak sabaran dalam sesuatu hal. Cik sangat memprihatinkan.

"Mau ambil wudhu'? Lah tadi kamu ngapain aja di dalam! CEPETAN!"

Is orang itu bikin darah tinggiku kumat deh. Ah, emangnya aku punya darah tinggi? Gara-gara dosen absurd jadi gak konsen, deh. Eh bye the way barusan melamunin dia. Gawat kalau sampai dia mengintrogasi dengan pertanyaan yang akan membuatku mati kutu.

Kubuka pelan-pelan pintu kamar mandi. Lalu Pak Kunang langsung menerobos masuk kamar mandi. Bingung dengan sikapnya yang terburu-buru. Mungkinkah dia mau berak? Mungkin saja.

Setelah selesai salat. Memanjatkan doa-doa pengharapan. Bermunajat kepada Allah Yang Maha Kuasa, semoga mendapatkan jodoh yang beriman, setia dan berakhlakul kharimah. Aku juga berdoa agar bisa membahagiakan ibu. Serta tak luput mengirim alfatiha buat ayah tercinta.

CEKLEK! Pintu kamar mandi terbuka. Membuat bulu kuduk merinding. Walau ini kamar dia. Namun entah kenapa aku merasa risih saat pria itu sekamar denganku. Tak berani menoleh ke arahnya. Tidak mau kalau sampai ia berpikiran yang bukan-bukan.

"Bening? Kamu turun ke bawah. Di sana sudah ada Mama saya mau ketemu kamu."

Deg! Kenapa Mama Pak Kunang mau ketemu aku? Apakah aku akan dilamar? Aduh mikir apaan, sih! Mana mungkin Pak Kunang suka sama Maba sepertiku. Jangan ngimpi Bening. Lagian siapa cobak yang tertarik sama Dosen kutub.

"Bening?" Lagi-lagi suara bariton itu mengangetkanku. Segera aku beranjak melipat sajadah dan merapikan mukena. Kutatap pria yang berdiri tegap lengkap dengan kacamata yang terbingkai di wajahnya. Kalau dilihat-lihat Pak Kunang sangat manis, dan dibandingkan dengan madu mungkin dialah juaranya.

Pria itu mengibas-ngibas tangannya ke wajahku. Membuat aku kaget dan rasa malu yang mendera di jiwa. Hati ini jadi berkecamuk, bagaimana bisa aku bertingkah memalukan seperti tadi. Kupegang dada yang tertutup jilbab untuk mengurangi detak jantung yang berdetak hebat bak ditabuh gong.

"Ngelamunin apa, sih?" Suara bariton itu sangat tegas dan bagus. Detak jantungku semakin tak karuan. Bisa-bisa aku gila. Tidak tidak! Apaan sih.

"Emmm ini, Pak. Bapak ke--kenapa tadi masuk kamar mandi dengan buru-buru?" Yes akhirnya aku ada alasan buat menjawab pertanyaan guru phobia wanita ini. Meski awalnya bukan itu yang aku lamunin. Melainkan aku tengah memerhatikan wajah indahnya.

"Saya lagi berak. Ups!" Pak Kunang langsung menutup mulut dengan kedua tangan. Seketika gelak tawaku tercipta. Sungguh pria ini lucu juga.

Seketika tangan terasa dicengkeram kuat. Aku menahan kesakitan. Apakah dia lupa kalau tangan ini diperban?

"Aw ... sakit Pak." Aku merintih kesakitan. Mata Pak Kunang membola dan segera meniup tanganku. Sepertinya ia merasa bersalah? Kurasakan tiupan demi tiupan yang membuat jantungku bergoncang. Kalau ini dibiarkan terus-menerus maka kesehatan jantungku bisa fatal.

Kutarik paksa tangan yang sedari tadi ditiup olehnya. Bergegas berjalan ke arah pintu kamar dan segera menuju anak tangga. Sebelum melayangkan kaki ke bawah lantai tiba-tiba terdengar suara.

"Perempuan yang ditolong Mas kamu itu mahasiswa baru, ya?" ucap seorang wanita yang bisa aku pastikan dia mungkin Mama Pak Kunang.

"Iya, Ma." Suara sosok itu siapa? Aku intip, dia Dion. Ah ya aku hampir lupa dengan suaranya. Soalnya aku males mengingat suara dia.

"Bagus, dong!"

"Maksud Mama apa?!"

"Iya siapa tau itu jodohmu."

"Hahaha dia bukan selera Dion, Mah. Lihat saja wajahnya gak selevel dengan Dion yang gantengnya tiada tara ini."

Perkataan Dion membuatku sakit. Dasar cowok sok kecakepan. Awas saja kalau sampai dia minta bantuan. Aku pun perlahan turun dari anak tangga dan menampilkan senyum, berpura-pura tidak mendengar apa yang mereka katakan.

"Wah kamu cantik sekali." Mama Pak Kunang memujiku terlalu berlebihan. Mungkin pipiku sudah mulai memerah bak tomat. Wajahku aku tekuk.

"Jangan ditekuk dong wajahnya. Cantiknya entar enggak keliatan." Mama Pak Kunang memegang daguku.

"Ah tante, aku enggak cantik kok," ucapku gugup.

"Mama ini jangan terlalu muji gadis buluk kek gitu pake dipuji segalak!" Perkataan Dion menghunus ke jantungku. Mungkin tidak masalah saat ia mencaciku di kampus BEU. Namun, entah kenapa kalau di depan Mama Pak Kunang aku malu. Ini sama saja merendahkanku.

"Dion Dion. Anak Mama ini masih saja melihat orang dari luarnya. Awas loh kalau sampai kamu benci tapi cinta."

Dion mengebrak mejak dan berangsur pergi meninggalkan mamanya.

"Sabar yah, Nak. Dion suka gitu kalo dibilangin. Tapi, hatinya baik kok."

Baik apaan. Yang ada bisa mati berdiri dengerin hinaan Dion.

Kulihat tercipta senyum indah di pipi mama Pak Kunang. Senyum itu seperti aku kenal. Tapi di mana ya? Apa mungkin hanya perasaanku saja?

"Kamu kenapa liatin tante kayak gitu?" Tiba-tiba suara tante mengagetkanku.

"Ah ini Tan, sepertinya saya pernah liat Tante. Tapi, di mana, ya? Atau mungkin hanya perasaan saya saja."

"Ah, iya ... Tante juga sepertinya pernah liat kamu tapi dimana ya?"

Perasaan Mama Pak Kunang sama denganku. Ap a ini hanya kebetulan saja?

Bunyi derap langkah seseorang membuatku kaget.

"Ma? Aku harus antarkan Bening pulang." Pak Kunang berucap sambil melipat kedua lengannya.

"Loh kok buru-buru, Kunang? Mama belum ngajak dia makan," kata tante. Terlihat dia tidak mau aku pulang secepat itu. Aduh sadar Bening, kamu jangan terlalu kegeeran.

"Sudah Ma, ini Kunang juga ada urusan diluar. Jadi sekalian aja nganterin Bening," ucap Pak Kunang yang pengen aku cepet keluar dari rumahnya. Bilang saja mau ngusir aku.

"Ya sudah," kata Mama Pak Kunang.

"Tunggu." Saat kakiku beringingan melangkah dengan Pak Kunang. Mama Pak Kunang menghentikan langkah. Ia menarik tubuhku dan memelukku erat.

"Apakah namamu Bening?" tanya mama Pak Kunang.

"Iya Tante, memangnya kenapa?" tanyaku bingung kenapa Mama Pak Kunang memelukku.

"Apakah nama Ibumu Sulaikha?" tanya Tante lagi.

"Iya." Aku mengangguk pelan dan seketika mata Mama Pak Kunang bersinar seperti bahagia.

Ia segera mencarik kertas di meja dan mulai menulis sesuatu. Disodorkan kertas itu padaku.

"Aku pernah punya janji sama Ibu kamu. Tapi, dulu waktu kamu masih SMP. kamu pernah ke rumah Tante. Sayangnya Tante malah pindah rumah. Dan sejak itu kami sudah jarang ketemu."

Aku terkejut saat mengetahui fakta kalau Tante kenal sama ibuku, dan aku mulai ingat sama wajah Tante ini.

"Wah Tante ini sahabat Ibu dulu?" tanyaku memastikan.

"Iya ... gak nyangka banget bisa ketemu kamu."

Kami pun berpelukan erat. Pak Kunang hanya melongo dan duduk di sofa.

"Kenapa Pak Kunang dan Dion tak tampak saat saya dan Ibu ke sini?" tanyaku.

"Oh mereka lagi jalan-jalan sama Papanya. Kamu lupa?"

"Oh iya."

Mama Pak Kunang begitu ramah, sama seperti pertama Ibu membawaku kerumahnya. Wajah anggun dan tanpa beban membuatku sangat iri. Ia istri yang tegar di mana walau ditinggal suami, Mama Kunang tidak menampilkan wajah sedihnya. Malah ia selalu tersenyum merekah. Tapi aku mungkin tak tau kalau dia menangis. Mungkin saja dia bisa bersikap seperti itu saat di depanku.

Cukup lama aku dan Mama Pak Kunang mengobrol sampai mungkin sudah 2 jam kami mengobrol.

"Apakah aku bisa mengantar Mahasiswa baru ini Mah?" Pak Kunang menyambar di saat kami belum selesai berbicara.

"Kunang kamu buru-buru sekali. Ingat yah jaga Bening. Awas saj kalau sampai lecet," kata Mama Pak Kunang.

Dia sangat baik sampai tidak mau aku lecet. Sementara aku lihat ekspresi Pak Kunang nampak biasa saja, seperti tidak ada kehidupan. Mengenaskan sekali, bikin merinding saja. Dia manusia bukan, sih.

"Kenapa melamun? Kalau gak mau diantar, mending kamu pulang saja sendiri sana. Lagian saya males nganterin," ucapan Pak Kunang membuat aku bergegas mengambil tangan Mama Pak Kunang dan menciumnya.

Tante terlihat geleng-geleng melihat kelakuan kami. Entah Tante menertawai aku atau Pak Kunang. Pasti menertawai Pak Kunang yang gak sabaran.

Di dalam mobil Pak Kunang melambaikan tangan pada mamanya. Aku lebih milih duduk di belakang. Tak mau kalau sampai detak jantungku tak karuan. Kugigit bagian bawah bibir sambil terbayang ucapan mama Pak Kunang tentang janji apa yang ia buat dengan Ibu?

Pak Kunang melajukan mobilnya. Tidak ada percakapan diantara kami. Mobil hanya sunyi senyap. Ada kendaraan yang melintas melewati mobil Pak Kunang.

Pak Kunang tak nampak menyalakan musik. Apakah dia tidak suka musik? Benar-benar sangat kaku dosen kutub ini. Kalian tau? Beruang kutub satu-satunya spesies beruang yang dianggap sebagai mamalia laut karena

sebagian besar hidup Beruang Kutub dihabiskan di laut, baik untuk makan maupun untuk tempat tinggalnya. Sayangnya Pak Kunang bukan hidup di laut. Tapi jika dia berbulu maka tingkat keseraman Pak Kunang setara dengan mamalia laut itu. Haduh pikiranku terlalu kepanjangan.

"Alamat rumahmu di mana?" Setelah sekian abad mobil berjalan dia baru bertanya? Dasar beruang.

"Lurus saja entar ada belokan ke kiri nah yang paling ujung rumah saya."

Kulihat wajah Pak Kunang dari belakang. Betapa indahnya makhluk ciptaanmu ya-Robb. Tapi, sayang dia dingin kek beruang kutub. Tidak tidak! Aku tidak boleh memujinya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status