Share

3. Dunia kamar yang berbeda

Kupegangi kepala yang sakit dan berdenyut. Entah apa yang terjadi. Membuka perlahan mata. Suasananya berbeda, aroma kamar juga beda. Ini seperti bukan kamarku? Lemari yang bewarna gelap. Lampu tidur dan semua perabotan mewah. Ini kamar siapa? Apakah aku sudah mati dan berada di surga?

Aku berusaha mengingat kembali apa yang terjadi. Oh iya aku kan mau mengantar Pak Kunang pulang? Kenapa bisa berada di kamar asing?

Aku bangkit dan berkaca di kaca berukuran besar, badanku terlihat jelas. Wah aku terlihat sangat memukau dengan gamis baru merah jambu. Kerudung yang menjuntai. Aku seperti bidadari yang turun dari kayangan, hehe.

Tercium aroma kamar yang berbau khas kamar pria. Hah kamar pria? Berarti aku sedang berada di kamar siapa? Dan tunggu, siapa yang menganti pakaianku?

"AAAA ...." Aku menjerit diiringi tangisan yang meraung-raung. Aku seperti kesurupan, Kulemparkan semua barang yang ada di dalam kamar dan tak terkecuali vas. Hingga pecahan vas itu menyakiti kakiku. Aku tak peduli. Yang kupedulikan hanya martabat harga diriku. Oh ya Allah ampuni hamba.

"SIAPA YANG TELAH MELECEHKAN SAYA!"

"Ada apa ini, Bening!" Suara seseorang membuatku mantap. Pasti dia yang telah melecehkan!

Kuayunkan bantal guling ke wajah si pendosa itu.

"STOP!!!" hardiknya. Setelah melihat wajahnya. Sungguh keterlaluan! Aku memang Maba. Tapi, tidak boleh ada satu pun yang berhak menyentuh tubuhku. Termasuk dia!

"Manusia Biadab! Mana pakaian saya! Apa yang Anda lakukan? Hiks ...." Aku menangis tersedu-sedu sambil menunjuk muka sok polosnya itu. Apa yang ada di pikirannya? Kulihat rahangnya mengeras dengan sorot mata yang menyiratkan sejuta tanya.

"Kamu dosen Biadab! Anda pantas dihukum! Saya benci ...."

"Stop talking. Bening! Tenangkan dirimu!"

Aku berasa tidak mempunyai tulang, tubuhku lemas, seperti tak punya tenaga apapun. Kubersandar pada ranjang empuk sambil beringsut di lantai. Kakiku gemeteran saat diselonjorkan. Bibirku bergetar.

Ya Allah apa yang terjadi? Seharusnya kejadian ini tidak menimpaku. Apa yang aku katakan pada Ibu? Kesucian yang aku jaga telah direnggut paksa sama dosen kutub.

Cairan bening semakin deras membasahi pipi. Menutup muka dengan kedua telapak tangan.

Aku sudah tidak suci lagi! Astagfirullah!

Aku melanjutkan tangisanku. Linangan air mata membasahi kedua pipi.

"Non ...." Suara lain membuatku berdiri. Mataku menangkap wanita paruh baya. Entah siapa dia.

"Tenang, yah. Bibi yang ganti pakaian Non. Non masih ingat kan? Non itu terjatuh dan pingsan. Jadi, Den Kunang menyuruh saya untuk menggantikan pakaian Non yang basah. Dan kenalkan saya Bi Ais, ART di rumah ini."

Seketika merasa ada petir yang menyambar sekujur tubuhku. Bisa-bisanya aku berkata kejam pada dosenku. Bagaimana kalau dia menghukumku? Belum lagi kamarnya kubuat berantakan bagai kapal pecah. Ini sungguh memalukan!

"Bibi, serius, kan? Bibi, tidak berbohong?"

"Mana mungkin Bibi berbohong, Non? Bibi berani bersumpah!"

Aku semakin yakin bahwa wanita paruh baya ini tidak berbohong. Panas dingin merasuki jantungku. Rasanya aku ingin kabur saja dari sini atau menggantung diriku di pohon stawberry.

"Non, istirahat kembali, ya, biar Bibi bereskan semua barang yang berserakan ini," ucap Bibik.

"Tidak Bi, Biar gadis gak tau diri ini saja yang bereskan!" bentakkan Pak Kunang mengagetkanku.

Aku meneguk saliva beberapa kali. Sungguh pria ini menyusahkan. Dengan tangan bergetar aku tumpuk pecahan vas. Tentu saja pecahan itu merobek sedikit tanganku. Aku harus kuat, aku tidak boleh menangis. Menahan perih di tangan layaknya tidak terjadi apa-apa.

Sepertinya dosenku masih mengawasi di belakang. Apa aku bilang kalau tangan dan kakiku perih? Tidak! Aku tahan saja kesakitan ini. Darah semakin mengalir, dengan jalan tertatih, aku menata barang yang berserakan.

Pak Kunang langsung menghampiriku. Ia terlihat panik melihat darah yang berada di tanganku.

Tanpa suara, Pak Gatan mengambil kotak P3K dari laci mejanya. Tangan kekar itu memegang pergelangan tanganku. Sebelum ia membalut luka, segera kutepis tangannya.

"Saya tidak butuh bantuan!" Ya sekali-kali dosen angkuh seperti dia harus dikasi pelajaran. Sebab karena dialah aku jadi pingsan.

Sorot mata tajam. Rahang kokoh itu tak mampu kulihat. Aku duduk di kasur dan segera membalut tanganku sendiri. Namun, usahaku gagal. Perbannya jatuh. Aku tak tahan menahan rasa sakit di kaki yang terkena pecahan vas.

"Jadi kakimu juga ada darahnya?"

Aku tidak menggubris pertanyaannya. Lalu Pak Kunang langsung melihat kakiku yang berdarah dan melepas pecahan vas yang ada dikakiku.

"AAAA ...." teriakku sambil megang kerah leher milik Pak Kunang. Maluku bertambah 360 derajat.

"Tenanglah! Jangan keras kepala!"

Oke aku mengalah, aku membiarkan dia meneteskan obat merah di kaki serta tangan. Tak luput ia balut perlahan. Embusan napasnya begitu memburu, begitu khawatirkah dia kepadaku? Tidak mungkin dia khawatir. Ya, dia kan phobia wanita.

Pipiku semakin memanas menahan malu, saat Pak Kunang membereskan semua barang yang aku buat berantakan. Rasanya aku ingin meminta pertolongan seseorang untuk kabur dari sini.

"Mau ke mana?"

"Mau pulang, Pak," jawabku datar.

"Jadi ini sikap maba jaman sekarang? Sudah di bantu malah tidak berterima kasih."

Kubalikkan tubuh dan melihat ekspresi wajah Pak Kunang sangat mengerikan. Janggut tipis, kumis tipis itu membuatku bergidik ngeri. Bisa saja bulu itu lebat dan merubah Pak Kunang jadi srigala. Aku cekikikan membayangkan itu. Tanpa di sadari Pak Kunang mendekat. Dengan gencar kumenjauh. Namun naas, kakiku kehilangan keseimbangan dan ....

Bruk!

Aku jatuh ke lantai. Rasanya Sakit tapi harus kutahan daripada Pak Kunang berani menyentuhku? Tak bisa kubayangkan kalau hal itu terjadi.

Ia mengulurkan tangannya.

"Tidak Pak! Saya akan coba berdiri sendiri." Ia cukup terperangah mendengar perkataanku.

"Kamu tinggal di sini saja. Besok saya antar kamu pulang. Bagaimana? Tenang saja saya akan tidur di kamar bawah."

Setelah aku berhasil berdiri berpegangan pada tembok kamar. Aku membuka suara.

"Tapi gimana dengan ibu saya Pak? Saya takut dia khawatir ...." Kupasang muka memelas.

"Saya akan hubungi orang tuamu. Tenang saja Bening, nanti malam ada Mama saya, kok."

"Kalau Ibu saya marah bagaimana, Pak?" tanyaku.

"Kamu ini bawel sekali, ya! Kita lihat saja nanti!"

"Baiklah Pak." Tidak ada cara lain selain mengiayakan permintaannya.

Sesudah membentakku lalu meninggalkanku. Entah mengapa rasanya aku takut satu atap dengannya. Mimpi apa ya semalam? Padahal aku bermimpi dikerjar kecoak. Haha.

**

Menjelang sore. Asisten rumah tangga Pak Kunang begitu sangat baik, ia memberikanku mukena. Perhatiannya sangat membuatku nyaman di sini. Kecuali kalau ada Pak Kunang.

Setelah kuberi nomor telepon ibu pada Pak Kunang. Ia menelpon Ibuku. Biasanya Ibu sangat khawatir kalau pergi gak bilang-bilang. Namun, mendengar penjelasan Pak Kunang. Ibuku seperti terhipnotis. Kupikir ia pria yang sangat kaku, tapi ia malah menelpon Ibu dengan nada tempo yang pas. Eist dah emangnya Pak Kunang lagi menyanyi? Ia menelpon Ibu menggunakan video call. Kulihat ia menyunggingkan senyum pada Ibu. Sungguh Pak kunang untuk saat ini menjadi malaikatku.

Selesai menghubungi orang tuaku. Pak Kunang kembali murung. Ia bisa menampakkan lengkungan senyumnya ke orang lain. Namun, aku tahu ia sangat terpuruk.

"Mama saya lagi ke rumah temannya. Saya senang melihat tawa yang terpancar di wajah Mama. Tapi aku yakin Mama menyimpan kepedihan," kalimat terakhir yang ia ucapkan terdengar serak.

"Jadi ini edisi curhat, yah?" Aku malah hendak meledeknya.

Mata Pak Kunang membola. Tangannya bergetar. Pipinya lucu sekali, sepertinya ia menahan malu. Aku sukses meledeknya.

Ia seperti anak kecil yang ngambek. Ia pergi dari kamar. Aku meringkuk dalam selimut. Aku menguap dan hampir terlelap.

"Bening?"

"Hah? Bapak kembali ngapain?!

Ia memberi kode supaya aku melihat apa yang ia bawakan.

"Wah, sup ayam ...."

"Kamu suka? Atau kamu alergi?" tanyanya datar. Aku tidak suka nada bicaramu, Pak.

"Sangat suka!"

Aku mendelik saat sendok ditangan Pak Kunang mengarah padaku. Apa aku mau disuapi seperti anak kecil? Apa yang ada dipikirannya?

"Saya bi--bisa sendiri, Pak?!"

"Yakin?" tanyanya seakan meledek. Ia tersenyum menyeringai.

"Ya ...." Sial sebelum aku berucap ia malah menyuapiku. Terpaksa aku kunyah perlahan. Suapan kedua, ketiga dan seterusnya aku melahapnya.

"Hahaha bibirmu belepotan, Bening!"

Mataku berbinar saat melihat Pak Kunang tertawa lebar. Bibir tipisnya sangat indah. Baru kali ini aku melihat Pak Kunang tertawa. Seketika diriku mematung memperhatikannya. Begitu putih wajah Pak Kunang. Setelah sadar aku kepergok memerhatikan. Aku langsung buang muka menatap jam beeker di samping ranjang.

"Tunggu ...."

Ia keluar, entah mau kemana dia. Dan langsung balik dengan segepok tisu di tangannya. Dadaku berdetak jauh lebih kencang saat ia mulai mengusap mulutku dengan tisu. Aku merasa bersalah, ia memperlakukanku begitu hangat.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status