Mag-log in“Nona, Anda berani sekali mencium Tuan muda Ken—.”
“Ikut saya!” titah lelaki dingin itu setelah mendorong Joana agar melepaskan kecupan tiba-tiba tersebut, menyela ucapan Edmund—asisten pribadinya. Joana mengangguk cepat. Ia segera masuk sambil mengangkat gaun pengantin yang menjuntai panjang menyapu jalan itu dan duduk tepat di samping lelaki dingin tersebut. Edmund langsung menutup kembali pintu dan berlarian kecil mengitari kap mobil untuk ikut masuk di jok kemudi. “Kita langsung ke Distrik ke-7. Tuan Aaron pasti sudah menunggu. Beliau selalu tepat waktu.” Suara berat lelaki di sampingnya membuat tubuh Joana membeku. “Baik, Tuan muda.” Edmund pun melajukan Mercedes Benz Maybach GLS-Class tersebut dengan cepat. Joana masih sempat melirik ke belakang dan melihat anak buah Roland berhenti mengejar. Kini, ia bisa mengembuskan napas lega. Namun, hanya beberapa detik sebelum suara bariton lelaki di sampingnya membuat dunianya jungkir balik seketika. “Kamu sudah mencuri ciuman pertama saya, Nona. Saya tidak akan melepaskan kamu begitu saja.” *** Lima belas menit setelah kekacauan yang tidak terduga, mobil mewah bercat hitam legam itu berhenti di pelataran sebuah restoran elegan berarsitektur klasik Prancis. Letaknya menghadap langsung ke aliran Sungai Seine yang berkilau anggun diterpa cahaya bulan. Angin dari tepian sungai mengibarkan tirai putih yang tergantung di beranda restoran, seperti sapaan lembut untuk para tamu penting yang datang. “Joana, tetaplah di dalam. Saya hanya sebentar,” ujar Kennard dengan nada tegas, tanpa menoleh. Ia meraih tablet digital dari jok depan—di samping Edmund—dan membuka pintu dengan gerakan mantap. Joana menatap punggung gagah lelaki itu kala berjalan memasuki restoran. Aura kharismatiknya seperti menyatu dengan seluruh lanskap Kota Paris malam ini—dingin, anggun, tetapi menyimpan badai yang tak bisa ditebak. Pintu mobil tertutup kembali. Edmund yang duduk di kursi kemudi, tiba-tiba menyetel playlist musik pop klasik kesukaannya. Alunan lembut lagu dari penyanyi Prancis kuno yang mulai memenuhi kabin mobil, malah membuat Joana gelisah. Ia melirik ke luar. Sungai Seine mengalir tenang, turis-turis mulai berdatangan ke area jembatan tua yang berdiri megah dengan lampu-lampu besi antik menghiasi tiap sudutnya. Pemandangan yang seharusnya romantis, tetapi tidak bagi Joana. Apalagi dengan gaun pengantin yang masih melekat di tubuhnya—sedikit kotor, menyapu kaki. Ia tak bisa lagi duduk tenang. “Edmund,” panggilnya, “boleh aku keluar sebentar? Aku butuh udara.” “Lebih baik tidak, Nona. Tuan muda akan kembali sebentar lagi,” jawab Edmund dengan gugup. “Aku hanya ke jembatan itu. Kamu bisa mengikutiku kalau perlu,” ucap Joana, langsung membuka pintu. “Eh, Nona! Nona Joana! Jangan pergi! Astaga.” Edmund buru-buru keluar dan mengejar langkah cepat gadis itu. Joana melangkah ringan tanpa alas kaki dan harus terus-menerus mengangkat ujung gaun putih yang membuatnya nyaris tersandung. Angin malam menyapu rambutnya yang mulai kusut. Namun, matanya menangkap permukaan Sungai Seine yang memantulkan jembatan Pont des Arts, seperti cermin. Untuk sejenak, ia merasa bebas. Namun, kebebasan itu hanya sekejap. Langkahnya terhenti ketika sebuah tangan kekar dan dingin mencekal pergelangan tangannya dari samping. Seketika tubuhnya terentak, lalu membeku saat mendapati sepasang mata kebiruan yang menatapnya tajam. “Apa yang kamu lakukan di sini?” tanya Kennard, suaranya nyaris seperti bisikan, tetapi penuh penekanan. “A-aku hanya butuh udara segar!” sanggah Joana sambil mencoba melepaskan diri. “Dengan mengenakan gaun pengantin kotor dan berjalan sendiri di tengah keramaian seperti ini?” Kennard mencengkeram lebih erat. “Apa kamu lupa siapa kamu sekarang?” “Justru karena aku tidak tahu, Tuan Ken!” Joana menatap balik dengan kesal. “Aku bahkan tidak tahu siapa diriku di sampingmu. Aku ini apa? Tawanan?” Sebelum Kennard sempat menjawab, suara lain menyela mereka. “Kennard? Siapa gadis ini?” Mereka berdua menoleh hampir bersamaan. Seorang pria yang hampir menyentuh usia kepala lima berdiri tidak jauh dari sana. Pria itu tidak lain adalah Tuan Aaron Lin, mitra bisnis Kennard sekaligus ayah dari Alexa Lin—wanita yang dijodohkan dengan CEO dingin tersebut. Mata Aaron memandang Joana tak berkedip. Mata hazel itu ... bingkai wajah mungil, sorot tatapan tegas yang tak asing. Ada gemetar samar di tangan pria itu. “Gadis ini persis seperti Ivana ketika muda,” gumamnya tak terdengar siapa pun, mengingat istrinya. Tanpa terduga, Kennard tiba-tiba merangkul Joana dari samping, menyatakan kepemilikan dengan tegas. “Perkenalkan, Tuan Aaron. Ini Joana. Kekasih saya. Kami akan menikah malam ini. Di Menara Eiffel.” To be continued ….Dunia Joana yang awalnya terasa damai mendadak tegang kala bayangan gelap itu jatuh di belakangnya. Refleksi samar di kaca besar memperlihatkan sosok perempuan berambut pendek—Ziola, salah satu karyawan butik yang sudah dua tahun terakhir bekerja di sana—berdiri tepat di belakang Joana sambil mengangkat gunting logam besar setinggi kepala. Cahaya lampu memantul di mata pisaunya, berkilat tajam.Waktu seolah-olah melambat. Joana menoleh cepat dengan mata membesar. Napasnya sukses tercekat.“Zi-Ziola?” serunya nyaris bergetar.Akan tetapi, sebelum sempat Ziola menjawab, pintu gudang bahan desain itu terbuka keras. “Joana!”Kennard muncul dengan langkah panjang dan wajah tegang. Matanya langsung menangkap pemandangan tersebut. Yang mana Ziola dengan gunting terangkat tinggi, berdiri di belakang istrinya yang sedang hamil muda.Refleks CEO dingin itu melangkah cepat dan mendorong tubuh Ziola hingga perempuan itu terjerembap ke lantai. Gunting di tangannya terlepas dan meluncur cepat ke uj
Atmosfer tegang belum sepenuhnya lenyap ketika mobil hitam Kennard berhenti di depan sebuah butik megah bergaya modern-klasik yang berdiri di kawasan La Défense. Begitu Kennard turun, ia langsung menoleh ke arah istrinya yang tengah berjuang membuka seatbelt sambil menahan mual ringan.“Pelan-pelan, Sayang,” ucapnya lembut, membungkuk sedikit dan membantu Joana keluar dari mobil.Tangannya menyokong punggung Joana dengan hati-hati. Diffuser yang memendar harum mawar itu menyambut mereka begitu melangkah ke dalam butik. Beberapa pegawai berdiri rapi memberi salam, tetapi pandangan mereka segera tertuju pada dua sosok yang tengah menunggu di area tengah butik. Siapa lagi jika bukan Edmund dan Ester.Ester tampak sangat cantik pagi itu dengan dress krem berpotongan sederhana ditambah blazer biru muda, dan rambutnya terurai indah dengan potongan bob layered. Akan tetapi, yang paling mencolok adalah tatapan canggung di wajahnya setiap melirik Edmund, yang berdiri di sebelahnya dengan poton
Apa yang salah dengan saya? Kenapa kalau disentuh Ester langsung bereaksi seaneh ini?Ester malah beralih memeluk erat hingga Edmund merasakan kepalanya pusing dan berat. Ia tidak biasa dengan reaksi aneh ini. Pernah sekali dipeluk Leah, tetapi tak semeresahkan ini reaksinya. “Aku yakin, hari ini aku semakin mencintaimu, Ed.” Gadis itu mendongak dengan mata berbinar, tetapi tiba-tiba ia merasakan ada pergerakan aneh di bawah sana. “Eh, apa ini? Kok—.”Ester hendak meraba celana Edmund, tetapi dengan cepat lelaki loyal itu menahan pergelangan tangannya. “Katanya mau ke barbershop, ‘kan? Ayo,” ajak Edmund dengan suara kian berat. Demi apa pun, ia bisa gila jika terus bertahan pada posisi ini dengan calon istrinya. Tolong Edmund! “Ya sudah, ayo. Setelah itu, kita ke butik Kak Ken. Aku tidak sabar melihat gaun pengantin rancangan Joana.” Ester kembali berjinjit dan mengecup rahang tegas Edmund, tetapi detik itu … ia membuat Edmund semakin tak mampu mengendalikan diri. Tangannya meraih
Pandangan yang saling mengunci dalam diam itu, melahirkan debar cinta yang tak bisa disanggah keduanya. Terlalu lama rasa ini bersemayam bersama rindu yang kian menyiksa. Tangan kekar Vernon pun terulur lantas menyelusup masuk ke balik tengkuk Agnesia dengan wajah yang ia condongkan tiba-tiba. Tentu saja sepupu bungsu Kennard itu mengerjap cepat. Namun, sebelum bibir tipis Vernon mendarat, suara bel sudah berbunyi riuh di seantero mansion. Refleks Vernon menarik diri dan melepaskan sang tunangan sambil tersenyum kikuk, lalu menggosok tengkuknya. Agnesia juga mendadak canggung. Nyaris saja ciuman pertama mereka terjadi. Akan tetapi, mungkin ini lebih baik, bukan?Untung saja gagal. Tidak lucu kalau first kiss kami malah terjadi di ruang keluarga. Eh, tapi itu siapa yang datang malam-malam? Agnesia memang bisa bernapas lega karena ciuman itu gagal, tetapi ia malah kepalang penasaran mengingat siapa tamu yang datang larut malam begini. “Ver, aku lihat dulu siapa tamunya, ya.” Ia pun
Kamar megah di lantai tiga mansion Darriston yang ditempati Kennard dan Joana terasa tenang, menciptakan suasana hangat yang berbeda dari malam-malam sebelumnya. Kini, Joana menyandarkan kepalanya manja di dada Kennard. Kennard, yang biasanya dingin, justru terdiam lama menatap wajah istrinya. Ada sesuatu yang berbeda di matanya—lebih dalam, lebih tulus, dan lebih lembut. Ia membawa tangannya perlahan untuk menyibak rambut Joana yang terurai berantakan di pipi.“Sayang, malam ini saya ingin menyentuhmu dalam keadaan sadar sepenuhnya. Tidak seperti pertama kita waktu itu. Can I …?”Joana mengerjap pelan, lalu tersenyum malu-malu. Pipinya seketika menghangat. “Kamu tidak perlu minta izin setiap kali ingin menyentuhku, Ken. Aku ini istrimu.”Kalimat sederhana itu seperti membuka pintu yang selama ini Kennard tahan rapat. Tangannya perlahan menyusuri sisi wajah Joana. Jari-jarinya menjelajahi pipi putih hingga rahang tirus itu, lalu berhenti di dagu. Sentuhan itu sangat hati-hati, seaka
Sudah satu minggu berlalu sejak Edmund mengejutkan semua orang dengan rencana pernikahannya bersama Ester. Siang itu, sebuah MPV hitam mengilap berhenti tepat di depan gerbang besi megah mansion Darriston di kawasan La Défense, Paris. Gerbang yang selama ini jarang terbuka penuh kini terayun lebar, ikut menyambut kedatangan sosok yang paling ditunggu semua orang. Di dalam mobil itu, Lionel duduk bersandar, tubuhnya masih tampak lemah meski wajahnya lebih segar dibanding satu minggu sebelumnya. Luka tusuk di dadanya sudah mulai pulih dan senyum teduhnya merekah ketika melihat barisan keluarga besar yang telah menunggu di halaman luas mansion.Mansion Darriston sendiri kini tampil berbeda. Dinding yang sempat ternoda amarah dan intrik telah dipugar. Beberapa ruangan direnovasi dalam waktu singkat, termasuk kamar Daniella yang selama ini menjadi sumber kegelapan. Ruangan itu dihancurkan, dirombak total hingga tak menyisakan jejak masa lalu. Bau cat baru masih samar tercium, menandakan







