LOGINPelataran restoran itu menjadi saksi bisu, bagaimana ketegangan antara dua pria beda usia yang berkekuatan besar di industri fashion Prancis tersebut meletup dalam sunyi malam Distrik ke-7 Kota Paris. Aaron Lin berdiri mematung, rahangnya mengeras, dan matanya membara. Napasnya kian memburu ketika Joana—dalam balutan gaun pengantin yang kotor dan lusuh—berdiri di sisi Kennard.
“Jadi, ini keputusanmu?” Aaron bertanya dengan suara parau yang tertahan amarah. Kennard mendongak tenang. “Ya, saya akan menikahi Joana malam ini, di Menara Eiffel.” “Kamu sudah dijodohkan dengan putri saya, Ken. Apa kamu benar-benar akan membuang segalanya hanya karena wanita yang bahkan … tidak memakai sepatu?” ejek Aaron dengan tajam, melirik Joana dari atas ke bawah. Joana menunduk, meremas sisi gaunnya. High heels-nya tertinggal kala buru-buru menaiki mobil Kennard tadi. “Bukan dia yang tidak memakai sepatu, tapi saya yang lupa menyuruh Edmund mengambilkannya,” bela Kennard dingin. Ia menunduk sejenak, lalu berbalik menghadap Joana. “Kita pergi sekarang.” “Tuan, aku bisa jalan sendiri—.” Namun, sebelum protesnya selesai, Kennard telah mengangkat tubuh Joana dalam gendongan ala pengantin. Gadis itu sontak menahan napas dan menggenggam jas hitam lelaki itu dengan erat. Edmund bergegas membuka jalan, dan dengan mantap Kennard membawa langkahnya melewati Aaron yang tengah mengepalkan tangannya kuat-kuat. “Jika kamu tetap bersikeras, saya akan mengakhiri kerja sama kita, Ken!” ancam Aaron kemudian. Kennard hanya berkata datar tanpa menoleh, “Lakukan saja. Saya tidak menjual masa depan saya demi kontrak. Saya memilih Joana, bukan Alexa. Permisi!” Aaron kembali mematung, tersisih dalam gemuruh langkah mereka yang menjauh. Kepalan tangannya semakin kuat kala melihat siluet putra mendiang sahabat lamanya itu menghancurkan masa depan bisnis yang telah ia rancang selama bertahun-tahun. Dasar keras kepala! *** Pont des Arts terbentang indah di atas Sungai Seine, dengan lampu-lampu temaram dan deretan gembok cinta yang berkilau, seperti permata dalam malam. Paris menyambut langkah Kennard yang mantap dengan Joana di gendongannya. Embusan angin malam membuat helaian rambut Joana menari lembut, sementara pipinya semakin memanas karena malu. “Turunkan aku, Tuan,” bisik Joana canggung. “Semua orang melihat ki—.” “Biar saja. Mereka hanya tahu kalau kita pasangan pengantin sekarang,” potong Kennard tanpa menghentikan langkah. "Apa kita benar-benar akan menikah malam ini?" Joana memastikan sekali lagi di tengah rasa frustrasinya. "Ya. Hanya pernikahan kontrak. Anggap saja sebagai kompensasi karena saya sudah menolongmu tadi." Lelaki pemilik tatapan datar itu menyahut tanpa menatapnya. Jawaban itu cukup untuk membuat Joana bungkam dengan pergolakan batin yang tak kunjung berhenti. Berhasil lepas dari si mesum Roland dan berakhir dalam pernikahan kontrak dengan lelaki dingin ini. Semesta benar-benar mempermainkan takdirnya, bukan? Di belakang mereka, Edmund mengikuti dengan mengulum senyum. Sang asisten pribadi menatap punggung tuan mudanya yang biasanya dingin dan tak tersentuh, kini tampak nyata seperti pria pada umumnya—melindungi, memeluk, memilih seorang wanita, dan itu adalah Joana. “Selama ini saya pikir Anda tidak akan pernah menikah, Tuan muda,” gumam Edmund pelan pada dirinya sendiri. Joana akhirnya diturunkan perlahan di pelataran kaki Menara Eiffel yang malam itu dikhususkan secara privat. Beberapa staf kantor pencatatan sipil—yang secara kilat dikoordinasi Edmund—sudah menunggu di lantai dua, tempat pernikahan singkat dan sederhana itu akan digelar. Mereka naik dengan elevator yang berdenting lembut. Joana berdiri di sisi Kennard, menatap ke kaca bening lift yang memperlihatkan panorama Paris malam dari ketinggian. Matanya berkaca-kaca. Demi apa, ini sebenarnya adalah impian Joana yang ingin menikah di Menara Eiffel, dan Kennard telah mewujudkannya meski tanpa disengaja. Sesampainya di lantai dua, upacara sederhana dimulai. Tidak ada bunga-bunga megah, tidak ada kerumunan tamu, hanya panorama Paris, embusan angin malam, dan dua hati yang terikat dalam kontrak. Pencatat sipil berdiri di hadapan mereka, disertai pemuka agama yang sudah diatur oleh Edmund sesuai titah diam-diam Kennard sejak di perjalanan, lengkap dengan pakaian seremonial. Dengan bahasa Prancis yang anggun dan diikuti terjemahan bahasa Inggris, sang pemuka agama pun memulai pemberkatan. “Apakah Anda, Tuan Kennard Reagan Darriston, bersedia menerima Joana Leshia Valery sebagai istri sah Anda, dalam keadaan suka dan duka, sehat maupun sakit, hingga waktu memisahkan?” Kennard menatap lekat mata Hazel Joana untuk pertama kalinya. “Saya bersedia.” Ketika giliran Joana ditanya, suaranya sempat bergetar dengan tatapan terkunci pada manik biru Kennard. “Saya bersedia.” Beberapa saksi menahan senyum haru. Edmund mengusap sudut matanya yang basah diam-diam. Ia tahu, selama ini Kennard tidak pernah tertarik pada wanita mana pun, bahkan saat pesta ulang tahun perusahaan dipenuhi selebriti cantik, tak satu pun menarik perhatian tuan mudanya. Akan tetapi, malam ini semuanya berbeda. “Dengan ini, saya nyatakan kalian resmi sebagai suami dan istri.” Seketika, jantung Joana berdebar kencang, seakan-akan hampir menggelinding jatuh dari tempatnya. Tanpa ragu, Kennard mendekat, meraih tengkuk Joana, dan mencium bibirnya. Tidak ada aba-aba, tak ada keraguan, hanya pagutan lembut dan pasti. Joana membelalak. Jantungnya berdetak tiga kali lebih cepat. Ia ingin mundur, tetapi tubuhnya justru membeku. Ciuman itu tidak bertahan lama, tetapi cukup mampu membuat Joana terdiam beberapa detik setelahnya. Kennard malah tersenyum miring lantas mencondongkan wajahnya ke telinga Joana, lalu berbisik dengan nada rendah dan seduktif, “Kenapa kaget? Bukannya tadi kamu yang mengambil first kiss saya? Kita impas sekarang.” Joana menatap wajah pria itu dengan bibir yang bergetar pelan. Kennard melanjutkan, suaranya lebih dingin. “Setelah ini, jadilah istri penurut dan jangan pernah melibatkan hati. Ini hanya pernikahan kontrak.” Joana menunduk. Rasa di dadanya menyatu antara sesak, malu, dan bingung. Apakah ia baru saja menikah ... atau baru saja menjual hatinya? Karena malam ini, Paris menambahkan satu lagi kisah cinta palsu dalam sejarahnya, yang entah akan berakhir bagaimana. “Edmund, siapkan mobil. Saya dan Joana akan check-in hotel setelah ini. Kita kembali ke La Défense besok pagi saja.” To be continued ….Dunia Joana yang awalnya terasa damai mendadak tegang kala bayangan gelap itu jatuh di belakangnya. Refleksi samar di kaca besar memperlihatkan sosok perempuan berambut pendek—Ziola, salah satu karyawan butik yang sudah dua tahun terakhir bekerja di sana—berdiri tepat di belakang Joana sambil mengangkat gunting logam besar setinggi kepala. Cahaya lampu memantul di mata pisaunya, berkilat tajam.Waktu seolah-olah melambat. Joana menoleh cepat dengan mata membesar. Napasnya sukses tercekat.“Zi-Ziola?” serunya nyaris bergetar.Akan tetapi, sebelum sempat Ziola menjawab, pintu gudang bahan desain itu terbuka keras. “Joana!”Kennard muncul dengan langkah panjang dan wajah tegang. Matanya langsung menangkap pemandangan tersebut. Yang mana Ziola dengan gunting terangkat tinggi, berdiri di belakang istrinya yang sedang hamil muda.Refleks CEO dingin itu melangkah cepat dan mendorong tubuh Ziola hingga perempuan itu terjerembap ke lantai. Gunting di tangannya terlepas dan meluncur cepat ke uj
Atmosfer tegang belum sepenuhnya lenyap ketika mobil hitam Kennard berhenti di depan sebuah butik megah bergaya modern-klasik yang berdiri di kawasan La Défense. Begitu Kennard turun, ia langsung menoleh ke arah istrinya yang tengah berjuang membuka seatbelt sambil menahan mual ringan.“Pelan-pelan, Sayang,” ucapnya lembut, membungkuk sedikit dan membantu Joana keluar dari mobil.Tangannya menyokong punggung Joana dengan hati-hati. Diffuser yang memendar harum mawar itu menyambut mereka begitu melangkah ke dalam butik. Beberapa pegawai berdiri rapi memberi salam, tetapi pandangan mereka segera tertuju pada dua sosok yang tengah menunggu di area tengah butik. Siapa lagi jika bukan Edmund dan Ester.Ester tampak sangat cantik pagi itu dengan dress krem berpotongan sederhana ditambah blazer biru muda, dan rambutnya terurai indah dengan potongan bob layered. Akan tetapi, yang paling mencolok adalah tatapan canggung di wajahnya setiap melirik Edmund, yang berdiri di sebelahnya dengan poton
Apa yang salah dengan saya? Kenapa kalau disentuh Ester langsung bereaksi seaneh ini?Ester malah beralih memeluk erat hingga Edmund merasakan kepalanya pusing dan berat. Ia tidak biasa dengan reaksi aneh ini. Pernah sekali dipeluk Leah, tetapi tak semeresahkan ini reaksinya. “Aku yakin, hari ini aku semakin mencintaimu, Ed.” Gadis itu mendongak dengan mata berbinar, tetapi tiba-tiba ia merasakan ada pergerakan aneh di bawah sana. “Eh, apa ini? Kok—.”Ester hendak meraba celana Edmund, tetapi dengan cepat lelaki loyal itu menahan pergelangan tangannya. “Katanya mau ke barbershop, ‘kan? Ayo,” ajak Edmund dengan suara kian berat. Demi apa pun, ia bisa gila jika terus bertahan pada posisi ini dengan calon istrinya. Tolong Edmund! “Ya sudah, ayo. Setelah itu, kita ke butik Kak Ken. Aku tidak sabar melihat gaun pengantin rancangan Joana.” Ester kembali berjinjit dan mengecup rahang tegas Edmund, tetapi detik itu … ia membuat Edmund semakin tak mampu mengendalikan diri. Tangannya meraih
Pandangan yang saling mengunci dalam diam itu, melahirkan debar cinta yang tak bisa disanggah keduanya. Terlalu lama rasa ini bersemayam bersama rindu yang kian menyiksa. Tangan kekar Vernon pun terulur lantas menyelusup masuk ke balik tengkuk Agnesia dengan wajah yang ia condongkan tiba-tiba. Tentu saja sepupu bungsu Kennard itu mengerjap cepat. Namun, sebelum bibir tipis Vernon mendarat, suara bel sudah berbunyi riuh di seantero mansion. Refleks Vernon menarik diri dan melepaskan sang tunangan sambil tersenyum kikuk, lalu menggosok tengkuknya. Agnesia juga mendadak canggung. Nyaris saja ciuman pertama mereka terjadi. Akan tetapi, mungkin ini lebih baik, bukan?Untung saja gagal. Tidak lucu kalau first kiss kami malah terjadi di ruang keluarga. Eh, tapi itu siapa yang datang malam-malam? Agnesia memang bisa bernapas lega karena ciuman itu gagal, tetapi ia malah kepalang penasaran mengingat siapa tamu yang datang larut malam begini. “Ver, aku lihat dulu siapa tamunya, ya.” Ia pun
Kamar megah di lantai tiga mansion Darriston yang ditempati Kennard dan Joana terasa tenang, menciptakan suasana hangat yang berbeda dari malam-malam sebelumnya. Kini, Joana menyandarkan kepalanya manja di dada Kennard. Kennard, yang biasanya dingin, justru terdiam lama menatap wajah istrinya. Ada sesuatu yang berbeda di matanya—lebih dalam, lebih tulus, dan lebih lembut. Ia membawa tangannya perlahan untuk menyibak rambut Joana yang terurai berantakan di pipi.“Sayang, malam ini saya ingin menyentuhmu dalam keadaan sadar sepenuhnya. Tidak seperti pertama kita waktu itu. Can I …?”Joana mengerjap pelan, lalu tersenyum malu-malu. Pipinya seketika menghangat. “Kamu tidak perlu minta izin setiap kali ingin menyentuhku, Ken. Aku ini istrimu.”Kalimat sederhana itu seperti membuka pintu yang selama ini Kennard tahan rapat. Tangannya perlahan menyusuri sisi wajah Joana. Jari-jarinya menjelajahi pipi putih hingga rahang tirus itu, lalu berhenti di dagu. Sentuhan itu sangat hati-hati, seaka
Sudah satu minggu berlalu sejak Edmund mengejutkan semua orang dengan rencana pernikahannya bersama Ester. Siang itu, sebuah MPV hitam mengilap berhenti tepat di depan gerbang besi megah mansion Darriston di kawasan La Défense, Paris. Gerbang yang selama ini jarang terbuka penuh kini terayun lebar, ikut menyambut kedatangan sosok yang paling ditunggu semua orang. Di dalam mobil itu, Lionel duduk bersandar, tubuhnya masih tampak lemah meski wajahnya lebih segar dibanding satu minggu sebelumnya. Luka tusuk di dadanya sudah mulai pulih dan senyum teduhnya merekah ketika melihat barisan keluarga besar yang telah menunggu di halaman luas mansion.Mansion Darriston sendiri kini tampil berbeda. Dinding yang sempat ternoda amarah dan intrik telah dipugar. Beberapa ruangan direnovasi dalam waktu singkat, termasuk kamar Daniella yang selama ini menjadi sumber kegelapan. Ruangan itu dihancurkan, dirombak total hingga tak menyisakan jejak masa lalu. Bau cat baru masih samar tercium, menandakan







