Bunyi monitor detak jantung di ruang IGD terdengar stabil, tetapi Vernon tetap merasa tidak tenang. Ia duduk gelisah di kursi tunggu di sebelah ranjang, kedua tangan terkepal di pangkuannya. Wajahnya tertunduk, rahangnya ikut mengeras. Setiap kali ia mengangkat pandangan dan melihat wajah pucat perempuan itu—Agnes, atau Cia, atau siapapun dia sekarang—ada sesuatu di dadanya yang terasa sesak.Ia ingin bangkit, meninggalkannya, lalu kembali ke sisi Joana. Akan tetapi, kaki Vernon seolah-olah tertancap di lantai. Ia bahkan sudah setengah berdiri ketika suara langkah tergesa memasuki ruang IGD.Pintu didorong perlahan, masuklah seorang dokter wanita berusia sekitar 40-an tahun, mengenakan jas putih panjang, masker tergantung di bawah dagu, diikuti seorang perawat perempuan yang membawa map tebal berisi dokumen rekam medis.“Selamat siang, Tuan. Anda yang tadi mengantar pasien ini?” tanya sang dokter sambil memandang Vernon.Vernon mengangguk singkat. “Ya, saya, Dok buat.”Dokter menatap
Sementara itu, di rumah sakit, dua bruder berbadan tegap masih berdiri di sisi kiri dan kanan pintu kamar rawat VVIP Joana. Mereka mengenakan seragam putih rumah sakit, wajahnya tegas, tetapi netral, menyamar sempurna sebagai staf medis, padahal tangan mereka terbiasa menggenggam senjata.Namun, tiba-tiba langkah cepat terdengar dari ujung koridor. Seorang gadis cantik berambut pirang panjang dengan balutan coat merah tua berjalan tergesa-gesa. Tatapannya tajam, bibirnya terkatup rapat, dan di kedua matanya terpancar kemarahan yang nyaris meledak.Cia.Ia berhenti tepat di depan pintu kamar rawat, napasnya memburu. “Ada Kennard di dalam?” tanyanya dingin, nyaris gemetar menahan emosi.Bruder di sebelah kanan bergerak setengah langkah maju, mencoba menghalangi. “Maaf, Nona. Tidak ada tamu yang diizinkan masuk, kecuali yang sudah mendapat persetujuan Tuan Kennard.”“Aku tidak peduli!” Cia langsung mencoba mendorong tubuh bruder itu, tetapi pria itu tidak bergeming. “Aku mau masuk! Aku m
Udara pagi itu menggigit. Bahkan, setelah keluar dari rumah sakit, Kennard masih bisa merasakan hawa steril dari ruangan Joana yang seakan-akan menempel di kulitnya, bercampur aduk dengan aroma obat-obatan yang menusuk.Ia melangkah cepat menuju taksi yang sudah menunggunya di tepi jalan. Begitu masuk, ia langsung menyebutkan alamat acak di distrik lain. Sopir taksi itu sempat melirik lewat kaca spion, heran dengan tujuan yang tak lazim untuk pagi-pagi begini. Kennard tidak peduli.Perjalanan hanya berlangsung kurang dari lima belas menit. Begitu berhenti, Kennard membayar, lalu berjalan masuk ke sebuah kafe kecil di pinggir jalan. Di dalam, ia memutar arah, keluar lewat pintu belakang, dan memesan taksi kedua lewat aplikasi.Bukan kebiasaan baru, ia sudah melakukannya puluhan kali di masa lalu. Teknik membingungkan pengekor ini pernah ia pelajari dari Edmund sendiri.Setelah berpindah ke taksi kedua, ia mengeluarkan jaket tebal yang bisa dibalik. Warna abu-abu gelap yang tadinya mene
Masih pagi buta, ketika langkah Vernon begitu cepat dan mantap di atas lantai marmer koridor rumah sakit. Mantel wol hitamnya berkibar pelan tertiup angin pagi. Di tangan kanannya, ia menggenggam erat sebuah paper bag cokelat tebal yang memancarkan aroma sedap croissant mentega dan quiche lorraine hangat—sarapan khas Paris yang ia buat sendiri di mansion-nya, spesial hanya untuk satu orang. Joana.Wajahnya terlihat letih, mungkin karena tidur yang tidak nyenyak semalam. Akan tetapi, di balik lingkaran gelap di bawah matanya itu, ada tekad yang jelas. Ia ingin menjadi orang pertama yang Joana lihat pagi ini.Begitu menapaki koridor menuju kamar rawat VVIP di lantai tiga itu, Vernon mendapati sesuatu yang aneh. Ada beberapa bruder berdiri di berbagai titik. Seragam putih mereka tampak seperti rohaniwan rumah sakit di mata Vernon, tetapi tatapan mata mereka terlalu tajam, terlalu awas, tidak seperti bruder biasa yang pernah Vernon temui.Beberapa dari mereka menoleh bersamaan, mengikuti
Malam semakin larut, dan Distrik ke-8 Paris mulai tenggelam dalam kesunyian. Di luar kamar rawat VVIP Joana, seorang lelaki jangkung dalam balutan jas dokter putih melangkah hati-hati dan perlahan. Masker medis warna senada menutupi sebagian wajahnya, meninggalkan sepasang mata gelap yang berkilat penuh niat jahat.Ia menunggu.Dari sela kaca kecil di pintu, terlihat Kennard dan Joana sudah berbaring di ranjang pasien. Joana memunggungi Kennard, wajahnya tampak terlelap damai, sedangkan Kennard memeluknya dengan protektif pun posesif dari arah belakang.Dokter palsu itu memeriksa jam di pergelangan tangan kirinya. Jarum panjang tepat di angka dua belas. Waktu yang tepat. Ia menarik napas dalam, lalu perlahan memutar kenop pintu dari luar.Namun, baru satu langkah ia masuki ruangan itu, tiba-tiba ia tersentak. Sebuah tangan kekar muncul dari belakang, membekap mulutnya dengan kain tebal yang berbau menyengat, sementara jarum suntik menancap cepat di lehernya. Cairan bening mendorong ma
Kennard menyudahi perdebatan itu, setelah melihat gurat wajah sedih Joana. Tidak ingin membebani pikiran ibu hamil. Malam pun semakin larut di Distrik ke-8. Lampu-lampu rumah sakit berpendar pucat, lorong-lorong mulai sepi, dan hanya suara langkah perawat serta bunyi mesin infus yang sesekali terdengar dari kejauhan. Joana sudah memunggungi Kennard sejak Vernon dan Ryuzaki pergi. Ia sengaja menaruh batasan dengan tubuhnya sendiri, membentuk jarak, seolah-olah dengan begitu bisa menjaga hatinya yang retak bisa bertahan lebih kuat. Akan tetapi, Kennard tidak bodoh. Ia tahu betul pola pikir istrinya. "Saya tidur di sini, tidak mau di sofa," ucap Kennard tiba-tiba.Joana menoleh sekilas. "Ranjang ini sempit, Ken. Kamu tidur di sofa saja," tolaknya mentah-mentah. "Tidak. Saya tetap mau di sini," sahut Kennard datar, lalu langsung melepas jaketnya, meletakkannya di kursi, dan naik ke ranjang itu dengan santai seakan-akan sudah menjadi milik pribadinya sejak awal.Joana mencebik dalam hat