"Aku tidak suka mimpi itu."
Sejenak, Lynette tergugah dari tidurnya karena mimpi buruk. Mimpi yang amat buruk, hingga menarik dirinya terbangun dengan keringat yang membasahi dirinya. Matanya berkedip cepat seraya bangkit dari tidurannya. "Sudah pagi rupanya," ucapnya dengan napas yang terengah-engah. Tangan kanannya menyeka keringat di dahi dengan mata yang menatap sekeliling area kamar. Kemudian Lynette melirik ke arah samping yang telah kosong. Laki-laki tadi malam yang mengaku sebagai suaminya telah meninggalkan dia sendiri. Dia juga menyadarinya, jika dia masih belum menggunakan baju karena tadi malam. Dia menampar pipinya untuk membuktikan apakah hal tersebut nyata atau tidak. Dan tentu saja, hanya rasa sakit dia dapatkan. "Ternyata bukan mimpi. Jadi yang semalam itu nyata?" Lynette mengelus pipinya dengan meringis kecil. Kemudian, beranjak dari sana dengan susah payah berjalan menuju kamar mandi. Untuk menutupi badan telanjangnya, Lynette menggulung dirinya dengan selimut dan membersihkan dirinya. Setelah itu, Lynette memasuki sebuah ruangan kecil. Dia tidak bisa menahan diri untuk tidak terpukau. "Aku belum pernah mendapati begitu banyak barang mewah seperti ini. Baju-baju, tas, dan sepatu. Semua ini pasti sangat mahal!" Mata bulatnya menemukan sesuatu yang menarik perhatiannya. Lynette mengambil pakaian tersebut dan mengaguminya dengan mulut yang terbuka. “Pilihan yang bagus.” Suara serak basah itu mengagetkan Lynette. Dia secara tidak sengaja menjatuhkan baju yang dia ambil tadi dan berbalik badan dengan cepat. “T-tuan Issac?” “Ouh,” desah Lucian dengan wajah datar. Lucian berjalan menghampiri Lynette. Dia berdiri menjulang di depannya dan menurunkan diri sejajar dengan wajah cantik Lynette. “Panggil aku Lucian! Apa yang aku katakan tadi malam kurang jelas? Atau kau hanya bisa mengingat desahanmu yang lantang, saat aku memasukimu?” Plak! “Mesum!” Entah keberanian dari mana Lynette berhasil melayangkan satu tamparan pada pipi kanan Lucian. Lalu setelahnya, Lynette menutup mulut dengan kedua tangan, matanya melotot takut ke arah Lucian. Lucian merasakan rasa panas pada pipinya, lidahnya memutar menyentuh dalam pipi. Lucian menatap Lynette dengan mata biru tajam yang berhasil membuat istrinya semakin bergetar di tempat. Dia hanya tidak menyangka akan mendapatkan tamparan untuk pertama kali dalam hidupnya dari Lynette polos ini. “Beraninya kau melayangkan tamparan kepadaku!" “Ma-maaf, aku tidak sengaja. Itu hanya spontan. Aku tidak bermaksud melakukannya!” “Benarkah?” Mata Lucian bergetar, ketika dia menyadari Lynette masih menggunakan handuk tanpa apapun lagi. Rasa segar terhirup indra penciumannya, membuat dia semakin tak ragu mengendur lebih dalam. Mencerna, wangi apa gerangan yang memabukkan ini. Wangi mawar yang memasuki indra penciumannya seakan menggoda dirinya. Lucian dengan sengaja semakin memepetkan diri pada Lynette, menarik pinggang kecil istrinya hingga menempel dengan tubuh depannya. “Tidak bermaksud melakukannya?” Lynette menelan ludahnya, seolah di dalam tenggorokannya terdapat batu besar yang membuatnya semakin bergetar akan rasa takut. Perkataan Benjamin kembali terngiang. Dia mungkin telah membuat tuan Issac marah dan ayahnya benar-benar akan membunuhnya. “Aku mohon, jangan bilang pada ayahku! Aku ... aku ….” “Apa? kenapa aku tidak boleh membuat ayahmu tahu tentang hal ini? ” Lucian tidak mengerti. Apa hubungannya kejadian ini dengan Benjamin Morreti? Nada yang dikeluarkan Lucian semakin membuat Lynette memejamkan mata, demi menghindari tatapan tidak enak yang dilayangkan oleh Lucian. “Kenapa memangnya kalau aku memberitahu ayahmu tentang hal ini. Apa dia akan membawamu kembali ke Kanada?” “Aku tidak pernah ke kanada.” “Tidak pernah ke kanada? Bukankah kau baru pulang dari sana setelah sekolah menengah atas?” Lucian bertanya dengan suara yang semakin serius. Dia mencoba menyingkirkan kedua tangan Lynette yang menutupi wajahnya, hingga tampak wajah jelita wanita itu. Percakapannya tadi malam dengan Rekash kembali terngiang di dalam kepalanya. Lucian, menyentuh dagu Lynette, mengunci matanya agar membalas menatap dirinya, hanya dirinya. Namun, Lynette tidak kunjung membuka mulut. Istri baru Lucian ini malah bersikap seolah kematiannya semakin dekat. Tubuhnya bergetar dan pupil matanya membesar dengan napas yang tidak beraturan. Lucian kesal karena pertanyaannya sama sekali tidak direspon. “Kenapa? Jawab aku, atau aku akan melakukan hal yang tidak pernah kau pikirkan sebelumnya!”“A-aku minta m-maaf."Lyenette semakin merasa napas yang dia ambil tidak mampu mengisi rongga paru-parunya dengan benar. Cengkraman pada dagunya membuat matanya tetap bersitatap dengan kilau biru gelap yang mencekiknya. Permintaan maaf itu sama sekali tidak Lucian dengarkan. Lucian perlahan melepaskan cengkramannya. Namun, dia sama sekali tidak melonggarkan kedua lengannya yang melilit pinggang Lynette.“Katakan kepadaku, apa yang sebenarnya keluarga Morreti inginkan dariku?”“Aku tidak tahu maksud Anda.”Bisa Lynette rasakan, Lucian semakin menatap marah dirinya. Seolah ada sesuatu yang sengaja dia sembunyikan dan Lucian mencoba mendapatkan jawaban darinya. “Aku mohon, jangan katakan apapun pada Ayahku!"“Kau benar anaknya? Kau anak perempuan bungsunya, kan?” tanya Lucian sekali lagi. Pertanyaan itu Lynette jawab dengan gelengan kepala. Sebab yang dia tahu ada satu gadis lain yang di bawahnya. Maka sudah pasti dia adalah adik tirinya. Lucian menghempaskan tubuh Lynette hingga ter
“Kalau mau mati, setidaknya kau harus mati di tanganku bukan anak buahku.”Yang menarik tangan Lynette adalah Lucian. Lynette melotot melihat laki-laki tersebut dan segera mencoba melepaskan diri. Namun, Lucian tidak membiarkannya. Dari arah belakang, Lynette bisa merasakan pundaknya menjadi tempat dagu Lucian, serta pinggangnya yang dililit oleh lengan keras. Mengunci Lynette yang mencoba memberontak dan melepaskan diri.Lynette tetap mencoba untuk melepaskan diri. Tapi Lucian malah memegang kepalanya dan menunjuk ke arah di mana dua orang tengah berdiri dengan posisi yang berbeda. Satu orang berdiri terikat di tiang, sedangkan yang satunya menodongkan pistol pada yang terikat. “Lihat ke depan!" perintah Lucian. “Tembak sekarang, Il Falco!” Kemudian, suara tembakan mengudara. Lynette terpaku di tempatnya. Wajahnya pucat pasi melihat banyaknya darah yang keluar dari kepala pria tersebut. Ludahnya tercekat. Dia ingin mengalihkan pandangannya, tapi Lucian mencegahnya. Il Flaco mel
"Jangan lakukan ini, aku mohon!" "Il Falco, siapkan Sig Sauer P320 untuk kali ini." Mengabaikan Lynette yang memegang lengannya memohon kepadanya, Lucian malah semakin memerintah para anak buahnya untuk mengikat kepala pelayan di tiang yang sama seperti Lynette lihat tadi pagi. Lynette kelabakan. Dia melirik berulang kali pada kepala pelayan yang menangis tersedu-sedu, juga pada para pelayan muda yang ikut masak dengannya tadi. "Tuan Issac! Aku mohon! Jangan bunuh dia! Ini semua keinginaku, bukan karena mereka yang menyuruhku. Dia sama sekali tidak bersalah. Jangan hukum dia! Aku mohon!" jerit Lynette dengan air mata yang mulai membasahi pipinya. Kedua tangannya masih memegang erat lengan kanan Lucian, mencoba meminta belas kasih. Dia menangis begitu keras, ketika melihat Il Falco yang tadi dipanggil oleh Lucian datang membawa senjata yang diinginkan Lucian. "Demi Tuhan! Jangan bunuh dia!"Lucian menatap lurus pada Il Falco yang berdiri sejajar, mengangkat pistol. Mengarahkan an
Di sinilah mereka sekarang, di sebuah taman yang ada di belakang rumah kecil dan cukup jauh dari rumah utama.“Sekarang jelaskan, apa yang kau mau?”“Tentu saja, saya juga tidak bisa lama-lama,” kata pelayan laki-laki tersebut.“Saya tahu, Anda ingin segera pergi dari sini,`kan? Saya bisa membantu Anda.”Lynette berdeham kecil. “Benarkah? Lalu, apa yang harus aku lakukan?”Di dalam pikirannya, hanya ingin pergi dari mansion terkutuk ini. Tawaran tersebut seolah memberikan dia kesempatan untuk pergi. Kejadian yang tidak begitu mengenakkan dan tidak mungkin dia lupakan begitu saja. Pelayan laki-laki itu tersenyum tipis. Kemudian menunjuk ke arah gerbang depan yang jauh dari tempat mereka. “Sebelum kita pergi melewati gerbang kebebasan itu, Anda harus melakukan suatu hal yang akan menjadi kunci utama misi ini.”“Aku? Apa yang harus aku lakukan?”Lynette tidak bisa berdiam diri di sini. Bagaimana pun caranya, dia harus segera keluar dan bertemu dengan ayahnya.“Namaku Taylor Frecne, ak
Pertanyaan yang datang dari bibir suaminya, membuat rasa kantuk dan lelah yang Lynette rasakan tiba-tiba luruh seketika. Tidak mendapatkan jawaban dari sang istri, Lucian memajukan tubuhnya, menumpu dagu runcingnya di atas lengan kurus Lynette.“Kenapa kau tidak menjawabnya? Bagaimana perasaanmu setelah melihat hal tersebut? Apa kau senang?”Senang? Lynette menoleh dan matanya langsung terkunci dengan iris biru kelam milik Lucian. Keduanya bertatapan dengan cukup lama, sebelum Lucian menegakkan punggung dan kembali ke tempat semula. “Aku melihatmu berlari melewati lorong bawah tanah yang panggalnya berada sangat jauh dari rumah utama, kira-kira apa yang sedang kau lakukan di sana?”“Aku-aku hanya ingin melihat-lihat sebentar,” cicitnya dengan suara yang bergetar.“Benarkah? Lalu, apa yang kau lakukan dengan pelayan Taylor di sana?”Lynette tidah merasakan rasa takut yang seperti ini. Napasnya tercekat dan pikirannya kosong seketika. Bagaimana bisa Lucian tahu, dia telah melihat oran
Pembicaraan mengenai proyek 170DH itu terus berlanjut, Lynette hanya bisa mendengarkan dan menunggu jeda dari pembicaraan seru keduanya. Tangannya masih aktif mencuci banyaknya sayuran dan beberapa buah, menggantinya ke wadah bersih. “Tapi, kenapa juga mereka melakukannya lagi, ya? Apa ada sesuatu yang terjadi?” Pertanyaan dari Glea dengan suara pelan membuat Brich menundukkan kepala dan mendekat ke tengah-tengah. Secara spontan, Lynette juga ikut mendekat dan memasang telinga dengan baik-baik. Ketiganya saling pandang, sebelum tiba-tiba Brich membuat gerakan tangan mencakar dan memasang wajah mengerikan. “Ada banyak penghianat di dalam sini dan Tuan issac ingin menghanguskan mereka semua. Menjadi abu dan mengumpulkan darah mereka untuk di minum.”Tepukan kuat Brich dapatkan dari Glea. “Kau mengatakan hal mengerikan di depan istrinya.”Lynette melirik keduanya dengan wajah polos, dia menarik diri dari sana dan menumpukkan sayuran yang telah dia bersihkan. Mengambilnya satu helai da
Gelap, sunyi, dan sendiri. Lynette membuka matanya selebar yang dia bisa, namun tetap dia tidak mendapatkan pandangan apa pun. “Tu-tuan Issac? Tuan, Anda di mana?”“Aku mohon! Jangan bunuh aku!”Lynette terkesiap dengan dada yang berdebar dengan kencang. Suara itu terdengar begitu nyaring, serak, dan penuh keputusasaan.Namun, siapa dia? “Tuan! Tu-tuan Issac!” teriaknya sekali lagi. Kedua tangannya menyentuh permukaan tanah kasar yang dia genggam dan remat dengan erat. Lynette bingung, saat ini dia ada di mana? Yang dia ingat, hanya dapur, suara aneh, dan darah. Wanita itu berdiri dari duduknya, memutar tubuh ke kanan dan kiri, berharap mendapatkan secercah cahaya untuk menemukan jawaban, di manakah dia sekarang? “Tuan Issac,” panggil Lynette dengan pelan. Entah kenapa hanya nama itu yang terbesit dalam hatinya. “Tidak! Jangan bawa Lynette! Dia cintaku yang tersisa, aku mohon, Nyonya Anya! Jangan bawa Lynette!”Teriakan itu datang lagi dan kini namanya pun ikut disebut. Hati L
Rasa pusing menghantam kesadarannya dengan telak. Matanya menyipit merasakan tusukan cahaya lampu yang terang, dia melengguh memegangi kepalanya. “Kau sudah menelpon Dokter Haydee?”“Tentu saja! Kau ingin kita beneran mati di tangan Tuan Issac?”“Aku hanya bertanya!”“Jangan berteriak! Nyonye Lynette telah sadar!”Pertengkaran itu terhenti, ketika Lyentte menggerang dan bangkit dari tidurannya. Glea dan Brich segera membantu dan memberikan segelas air pada Lynette. “Nyonya?”“Ya, Brich. Aku mendengarmu. Apa aku pingsan?”Brich menganggukkan kepala, gadis itu memperbaiki letak kaca matanya dan bergegas bangkit saat mendengar suara pintu diketuk. Yang datang adalah dokter keluarga Issac.“Silahkan masuk, Dokter!” Brich mempersilahkan.Dokter Haydee masuk dengan pakaiannya yang modis. Sebuah dress ketat berwarna merah menyala, rambutnya digulung ke atas, memperlihatkan lehernya yang jenjang. Kakinya melangkah dengan anggun, selaras dengan ketukan sepatu hak tinggi yang berdenting berir
Lynette menatap dirinya dari pantulan kaca dengan yang ada di kamar mandi. Wajahnya telah sempurna dengan riasan wajah yang Brich berikan, tapi tampaknya dia kurang menyukai hal ini. “Brich? Bisakah aku menghapus riasan ini? Aku tidak suka.”Brich menggelengkan kepalanya, dia tengah membersihkan sepatui yang Lynette pilih sendiri. Sepatu merah dengan hak yang tidak terlalu tinggi dan terkesan polos, jauh berbeda dengan sepatu yang dia pilihkan tadi. “Tidak bisa, Nyonya. Acara makan malam antar keluarga mafia, harus seformal mungkin dan riasan wajah adalah hal yang paling utama. Saya akan menempatkan penghapus riasan wajah di tas Anda, nanti jika acaranya sudah selesai dan Anda ingin segera menghapusnya, bisa segera Anda lakukan.”Lynette mendesah kecewa, rambutnya yang biasanya dibiarkan tergerai. Sekarang telah disanggul dengan pita kecil di atasnya, anak rambut depan menggeliat turun membingkai wajah kecilnya. Tidak apa jika dia tetap memakai riasan, karena yang terpenting adalah
Ruangan itu penuh dengan decak basah dengan geraman rendah Lucian. Lynette merasakan perih di bibirnya, ketika Lucian menariknya dengan gigi. Kemudian menyesap bibir merahnya dengan buas. Seolah ingin menghapuskan jejak yang tertinggal oleh bajiangan kurang ajar yang dengan berani menyentuh Lynette. Kedua kaki Lynette semakin di lebarkan, Lucian masuk di antara paha kurus itu dan menarik pinggang Lynette untuk naik ke pangkuannya. Ciuman itu terlepas setelah Lynette menjambak kasar belakang rambut Lucian. Napas mereka memburu dengan begitu hebat, untaian saliva mengalir dari sudut bibir dan turun membasahi dagu. Lucian menyekanya dengan ibu jari. “Ingatkan aku tentang si bajingan itu juga, aku akan membunuhnya dengan tanganku sendiri. Akan aku robek mulutnya, menarik lidahnya dan memberikan kepalanya untuk makan anjing kesayanganku!” Mulut Lynette masih terbuka, dadanya naik turun dengan hebat. Pancaran mata yang dikeluarkan oleh Lucian, menarik dirinya ikut tenggelam dal
Ruangan yang tadinya sepi dan seperti tak berpenghuni, kini tiba-tiba saja menjadi ramai. Lynette menoleh ke belakang melihat banyaknya orang yang muncul dari balik gelepan, dari balik tingginya rak-rak perpustakaan lama. Orang-orang itu memakai pakaian serba hitam dengan kepala yang tertutup dengan topi serta masker. Di tangan mereka juga terdapat senjata tajam yang mana membuat Lynette terkejut setengah mati. Dia ke sini karena ingin bertemu dengan Taylor, tapi apa ini? Siapa orang-orang ini? Dan, Lucian?Belum sempat Lynette mencerna ketegangan yang mulai menyebar, pergelangan tangannya ditarik paksa. Dia disergap oleh sebuah pisau yang ada di depan lehernya tepat.“Rekash!”Rekash yang tadinya berdiri tidak jauh dari perpustakaan, tiba-tiba berlari dengan sangat kencang mendengar nada tinggi sang tuan. Sesampainya di belakang Lucian, asisten pribadi itu terkejut luar biasa.Ternyata benar, di sini adalah tempat para penghianat berkumpul. Tapi, “Nyonya Issac! Kenapa bisa ada d
Lynette tidak berhenti menggerang selama sisa siang itu. Dia tidak punya energi yang tersisa. Tubuhnya belum sembuh sempurna, tapi Lucian melakukannya dengan cukup kasar. Lucian mengancing kemejanya dengan mata yang tidak lepas dari Lynette yang tertidur. Punggung polos yang penuh bercak cinta miliknya terpampang dengan cantik, secantik wanita yang bahunya dia cium berulang kali sebelum pergi dari sana. Rekash yang masih setia di depan pintu, langsung menegakkan badannya ketika tuannya keluar dari sana. Wajah yang segar dengan aura yang lebih tenang dari sebelumnya, membuat Rekash tidak tahu harus bersyukur atau tidak. “Maaf, kan saya Tuan. Tapi, Tuan Elias membatalkan pertemuannya dan ingin menggantinya lain waktu. Sedangkan Nona Emma membatalkan kerja samanya.”“Atur kembali pertemuan dengan Tuan Elias, untuk Nona Emma tidak masalah. Kita tidak membutuhkan bahan dasar dari dia.”“Baik, Tuan. Setelah ini, Anda ingin kembali ke kantor atau yang lain?”Pertanyaan Rekash menghentikan
"Tuan?" Lucian menarik pinggang sempit Lynette mendekat kepadanya, kepala wanita itu dia angkat dan menempatkan lengan kanannya di bawah kepala sang istri. Deru napas hangat Lynette menabrak leher Lucian, seolah mengatakan secara tak tersirat jika demamnya lumayan tinggi. Tidak ada yang bisa Lynette lakukan selain pasrah dengan dentuman jantung yang berirama tidak santai. "Jika malam tiba, tidak ada kah yang mengatakan kepadamu, tidak boleh keluar dari kawasan rumah selain dengan pengawal?" "Tidak." "Baik, aku akan menghukum mereka yang telah lalai dalam pekerjaan." Telinga Lynette menjadi lebih sensitif mendengar kata 'hukum', wanita itu sontak mengangkat kepalanya dengan cepat. Akibatnya kepalanya secara tidak sengaja berbenturan dengan dagu Lucian. Suaranya cukup menyakitkan, Lynette bangkit dari tidurann dan mengusap dagu Lucian dengan ringisan di wajahnya. Namun, tidak ada reaksi yang berlebihan dari Lucian. Tidak ada wajah kesakitan atau wajah galak yang b
Rasa pusing menghantam kesadarannya dengan telak. Matanya menyipit merasakan tusukan cahaya lampu yang terang, dia melengguh memegangi kepalanya. “Kau sudah menelpon Dokter Haydee?”“Tentu saja! Kau ingin kita beneran mati di tangan Tuan Issac?”“Aku hanya bertanya!”“Jangan berteriak! Nyonye Lynette telah sadar!”Pertengkaran itu terhenti, ketika Lyentte menggerang dan bangkit dari tidurannya. Glea dan Brich segera membantu dan memberikan segelas air pada Lynette. “Nyonya?”“Ya, Brich. Aku mendengarmu. Apa aku pingsan?”Brich menganggukkan kepala, gadis itu memperbaiki letak kaca matanya dan bergegas bangkit saat mendengar suara pintu diketuk. Yang datang adalah dokter keluarga Issac.“Silahkan masuk, Dokter!” Brich mempersilahkan.Dokter Haydee masuk dengan pakaiannya yang modis. Sebuah dress ketat berwarna merah menyala, rambutnya digulung ke atas, memperlihatkan lehernya yang jenjang. Kakinya melangkah dengan anggun, selaras dengan ketukan sepatu hak tinggi yang berdenting berir
Gelap, sunyi, dan sendiri. Lynette membuka matanya selebar yang dia bisa, namun tetap dia tidak mendapatkan pandangan apa pun. “Tu-tuan Issac? Tuan, Anda di mana?”“Aku mohon! Jangan bunuh aku!”Lynette terkesiap dengan dada yang berdebar dengan kencang. Suara itu terdengar begitu nyaring, serak, dan penuh keputusasaan.Namun, siapa dia? “Tuan! Tu-tuan Issac!” teriaknya sekali lagi. Kedua tangannya menyentuh permukaan tanah kasar yang dia genggam dan remat dengan erat. Lynette bingung, saat ini dia ada di mana? Yang dia ingat, hanya dapur, suara aneh, dan darah. Wanita itu berdiri dari duduknya, memutar tubuh ke kanan dan kiri, berharap mendapatkan secercah cahaya untuk menemukan jawaban, di manakah dia sekarang? “Tuan Issac,” panggil Lynette dengan pelan. Entah kenapa hanya nama itu yang terbesit dalam hatinya. “Tidak! Jangan bawa Lynette! Dia cintaku yang tersisa, aku mohon, Nyonya Anya! Jangan bawa Lynette!”Teriakan itu datang lagi dan kini namanya pun ikut disebut. Hati L
Pembicaraan mengenai proyek 170DH itu terus berlanjut, Lynette hanya bisa mendengarkan dan menunggu jeda dari pembicaraan seru keduanya. Tangannya masih aktif mencuci banyaknya sayuran dan beberapa buah, menggantinya ke wadah bersih. “Tapi, kenapa juga mereka melakukannya lagi, ya? Apa ada sesuatu yang terjadi?” Pertanyaan dari Glea dengan suara pelan membuat Brich menundukkan kepala dan mendekat ke tengah-tengah. Secara spontan, Lynette juga ikut mendekat dan memasang telinga dengan baik-baik. Ketiganya saling pandang, sebelum tiba-tiba Brich membuat gerakan tangan mencakar dan memasang wajah mengerikan. “Ada banyak penghianat di dalam sini dan Tuan issac ingin menghanguskan mereka semua. Menjadi abu dan mengumpulkan darah mereka untuk di minum.”Tepukan kuat Brich dapatkan dari Glea. “Kau mengatakan hal mengerikan di depan istrinya.”Lynette melirik keduanya dengan wajah polos, dia menarik diri dari sana dan menumpukkan sayuran yang telah dia bersihkan. Mengambilnya satu helai da
Pertanyaan yang datang dari bibir suaminya, membuat rasa kantuk dan lelah yang Lynette rasakan tiba-tiba luruh seketika. Tidak mendapatkan jawaban dari sang istri, Lucian memajukan tubuhnya, menumpu dagu runcingnya di atas lengan kurus Lynette.“Kenapa kau tidak menjawabnya? Bagaimana perasaanmu setelah melihat hal tersebut? Apa kau senang?”Senang? Lynette menoleh dan matanya langsung terkunci dengan iris biru kelam milik Lucian. Keduanya bertatapan dengan cukup lama, sebelum Lucian menegakkan punggung dan kembali ke tempat semula. “Aku melihatmu berlari melewati lorong bawah tanah yang panggalnya berada sangat jauh dari rumah utama, kira-kira apa yang sedang kau lakukan di sana?”“Aku-aku hanya ingin melihat-lihat sebentar,” cicitnya dengan suara yang bergetar.“Benarkah? Lalu, apa yang kau lakukan dengan pelayan Taylor di sana?”Lynette tidah merasakan rasa takut yang seperti ini. Napasnya tercekat dan pikirannya kosong seketika. Bagaimana bisa Lucian tahu, dia telah melihat oran