Jarum jam telah menunjukkan pukul sembilan malam ketika Kiara melangkah masuk ke dalam walk-in closet. Dia bermaksud mengganti bajunya dengan pakaian tidur. Namun, langkahnya terhenti ketika matanya menangkap beberapa setelan baru yang rapi tergantung di salah satu sisi lemari. “Kapan dia membelinya?” gumam Kiara, alisnya mengernyit penuh tanda tanya. Tangannya terulur, menyentuh salah satu setelan yang terdiri dari celana panjang lembut dan atasan berlengan pendek berbahan satin tipis namun nyaman. Senyum tipis muncul di wajahnya. “Ternyata dia tidak memaksaku pakai gaun tidur seksi,” batinnya lega, mengingat beberapa kali Lucas suka menggoda dengan selera pakaian tidur yang cukup menggoda. Kiara memilih satu set berwarna biru pucat, lalu menggantikan pakaiannya. Setelah selesai, ia melangkah keluar dari walk-in closet. Kamar masih sepi, menandakan Lucas belum masuk. Karena tubuhnya sudah lelah dan suasana hati pun belum sepenuhnya tenang, Ki
Kiara memukul pelan dada Lucas dan berusaha bangkit. “Aku mau istirahat,” ucapnya terbata, mencoba menghindari tatapan intens sang suami.Namun Lucas menahan tubuh Kiara, tak membiarkannya bangkit dari pangkuannya.“Kamu bisa istirahat di sini,” ucapnya sambil menatap Kiara dengan sorot mata menggoda.“Mas!” pekik Kiara tertahan. Wajahnya memerah, membuat Lucas tertawa pelan, geli melihat ekspresi gugup istrinya.“Ada yang ingin aku bicarakan,” ucap Lucas, kali ini dengan nada serius. Tatapannya berubah, lebih dalam.Kiara spontan menatapnya, namun segera mengalihkan pandangannya. “Ubah posisi dulu… aku tidak nyaman,” bisiknya lirih.“Kenapa?” tanya Lucas, masih menatapnya dengan lembut. “Bukankah aku suamimu?”Pertanyaan itu membuat Kiara terdiam. Hatinya berdebar, dan dia tak tahu harus berkata apa.“Maaf karena selama ini membohongi kamu,” lanjut Lucas, suaranya terdengar tulus.Kiara menelan ludah. “A-aku tidak mempermasalahkan itu,” ujarnya g
Ruang makan dipenuhi aroma masakan rumahan yang menggugah selera. Di tengah meja panjang itu, tersaji hidangan lengkap yang menggoda lidah. Helen duduk di ujung meja, Kiara di sampingnya, dan Lucas di sisi lain, tepat berhadapan dengan istrinya.Namun, suasana makan siang itu terasa berbeda. Kiara menyendok sayur dengan hati-hati, matanya lebih sering menunduk ke piring daripada menatap suaminya. Sesekali, ia tersenyum kecil saat Helen menceritakan hal-hal ringan seputar kebun bunga di belakang rumah. Kiara menanggapinya dengan sopan, bahkan sesekali tertawa kecil—lebih untuk menutupi kecanggungan yang menyelinap di hatinya daripada karena benar-benar terhibur.Lucas hanya makan dalam diam. Sesekali, ia melirik ke arah Kiara, tatapannya tenang namun dalam, seolah berusaha membaca sesuatu dari wajah istrinya. Mengetahui Lucas yang bisa melihat justru membuat Kiara merasa semakin kikuk. Ia belum terbiasa dengan sorot mata suaminya yang kini seolah bisa menembus pertahanannya,
Langit masih mendung saat Lucas melangkah masuk ke ruang kerjanya. Udara pagi terasa berat, seperti menandakan bahwa sesuatu yang lebih besar tengah menunggu di depan. Ia belum sempat duduk ketika terdengar dua ketukan di pintu. “Masuk,” ucapnya datar. Bobby masuk dengan langkah cepat dan ekspresi serius. Di tangannya, ia membawa map tebal dan sebuah tablet. Tanpa banyak basa-basi, ia meletakkan dokumen di atas meja Lucas. “Tuan, ini laporan awal yang Anda minta,” ucap Bobby. Lucas hanya menatapnya sekilas, lalu memberi isyarat untuk mulai menjelaskan. Bobby membuka tablet, memperlihatkan beberapa foto dan file yang tersusun rapi. Di antaranya, ada gambar kondisi mobil, hasil pemeriksaan mekanik, hingga tangkapan CCTV. “Kami memeriksa catatan kecelakaan. Mobil itu memang benar mengalami rem blong. Tapi keanehannya adalah… itu mobil sewaan. Pemilik rental menyatakan mobil masih dalam kondisi nor
Saat Lucas masuk ke dalam kamar, matanya langsung tertuju pada sosok Kiara yang duduk di meja belajarnya. Cahaya lampu belajar menerangi wajah Kiara yang serius menyalin sesuatu ke dalam buku. Lucas berjalan mendekat, langkahnya tenang namun pasti, sebelum akhirnya berhenti tepat di samping Kiara. “Kamu masih apa?” tanya Lucas, mencondongkan tubuhnya sedikit ke arah Kiara. Suara bariton itu membuat Kiara mendongak secara refleks. Wajah mereka hanya terpisah beberapa senti—napas mereka hampir saling bersentuhan. Kiara buru-buru memalingkan wajah, menahan gejolak yang tiba-tiba mengguncang dadanya. “Aku… masih menyalin catatan hari ini,” ucap Kiara, mencoba terdengar biasa. Lucas tersenyum, lalu mengusap kepala Kiara dengan lembut. Sentuhan itu begitu menenangkan tapi sekaligus membuat jantung Kiara berdetak lebih cepat. “Kamu masih sakit. Lebih baik istirahat, Sayang,” ujarnya penuh perhatian. Deg! Jantung Kiara s
Kiara memalingkan wajahnya, enggan menatap Lucas. Ada luka yang tak bisa disembunyikan, dan Lucas tahu itu. Dengan lembut, tangannya terulur, mengusap pipi Kiara yang mulai memanas karena emosi yang ia tahan. “Anya mantan tunanganku,” ucap Lucas pelan, suaranya tenang namun tegas. Kalimat itu membuat Kiara langsung menoleh, sorot matanya penuh tanya. Dia ingin mendengar semuanya, langsung dari pria yang kini menjadi suaminya. “Dan sebelum kita menikah... aku sebenarnya sudah bisa melihat.” Deg. Kiara terdiam, lidahnya kelu. Rasa bingung dan kecewa berbaur jadi satu. “K-Kenapa kamu berpura-pura buta?” tanyanya, nyaris berbisik. Lucas menatap lurus ke matanya. “Karena aku tahu Anya bermain api dengan Kevin. Aku butuh waktu untuk membuka topeng mereka... dan berpura-pura buta memberiku kesempatan itu.” Kiara menarik napas panjang, matanya masih tak lepas dari wajah Lucas. “Lalu... kenapa kamu marah ketika Kevin memperkenalkan