Kiara dan Wulan duduk di kursi pojok kantin kampus. Suasana di sekitar mereka cukup ramai, tapi sudut tempat mereka duduk terasa nyaman dan sedikit lebih tenang. Di depan mereka, makanan yang telah dipesan mulai mendingin karena terlalu asyik mengobrol.
“Kamu kenapa sih, dari tadi melamun terus? Jangan-jangan... jatuh cinta, ya?” goda Wulan sambil mengangkat sebelah alisnya.“Ih, sok tahu banget sih kamu,” sahut Kiara setengah kesal, lalu menyuap sedikit nasi ke mulutnya.Wulan tertawa pelan, “Lama-lama kamu senyam-senyum sendiri kayak gitu bisa dikira gila. Mikirin suami, ya?” bisiknya sambil mencondongkan tubuh ke arah Kiara.Refleks, Kiara langsung menggeleng cepat. Tapi rona merah muda yang merayap di pipinya justru menguatkan kecurigaan Wulan.“Jangan-jangan semalam udah bikin ponakan buat aku, nih?” goda Wulan semakin menjadi.“Yak!” seru Kiara dengan suara pelan tapi tajam. Matanya melotot, namun wajahnya tetap memerah.Belum sempat Wulan membalas,Anya melangkah cepat keluar dari butik, wajahnya muram diselimuti amarah yang belum reda. Udara sore yang sejuk pun tak mampu meredakan kekesalannya. Dia memilih untuk langsung pulang ke apartemen—tempat satu-satunya yang bisa memberinya ruang untuk bernapas, meski tidak sepenuhnya nyaman.Begitu membuka pintu, aroma wangi khas lavender dari diffuser langsung menyambutnya. Namun, ketenangan itu lenyap ketika matanya menangkap sosok Kevin yang duduk santai di sofa, kaki terangkat ke meja, matanya terpaku pada layar ponsel. Tawa kecilnya sesekali terdengar, seolah dunia di sekitarnya tak penting.“Kenapa kamu sudah pulang, Kev?” tanya Anya dengan nada datar, berusaha menahan diri.Kevin hanya mengangkat bahu tanpa menoleh. “Berada di kantor sangat membosankan.”Jawaban itu seperti menyulut api di dada Anya. Dia mengepalkan tangannya, berusaha keras menahan amarah.“Jika kamu terus seperti itu, bagaimana kamu bisa mengambil alih perusahaan?!” suaranya naik, tak bisa disembunyikan lagi ke
“Jangan gila deh!” seru Kiara dengan wajah merah padam, lalu bergegas melangkah keluar dari kamar, menahan rasa malu dan kesal yang bercampur menjadi satu.“Sayang, mau ke mana?” tanya Lucas dari balik punggungnya, tapi Kiara tak menggubris. Ia terus berjalan, seolah ingin menjauh secepat mungkin dari pria yang baru saja menggoda habis-habisan dirinya. Lucas hanya menghela nafas pelan, namun tak lama kemudian senyum puas tersungging di wajahnya. Sorot matanya memancarkan rasa puas karena berhasil membuat istrinya salah tingkah.Sementara itu, Kiara menuruni tangga dengan langkah cepat. Ia mencari keberadaan Bunda Helen. Ia bertanya pada salah satu maid yang sedang membersihkan vas bunga.“Nyonya Besar ada di ruang keluarga, Nyonya,” jawab sang maid sopan.Tanpa membuang waktu, Kiara segera menuju ke ruang keluarga. Di sana, ia menemukan Helen yang tengah duduk santai sambil menikmati secangkir teh hangat, ditemani suara musik klasik lembut yang mengalun dari pengeras
Sejak pulang dari kampus, pikiran Kiara terus dipenuhi oleh ucapan Anya. Ia berdiri di balkon kamarnya, memandang kosong ke langit senja yang mulai meredup. Cahaya jingga perlahan memudar di balik awan, menyisakan semburat kelabu yang mencerminkan kegelisahan hatinya. Angin sore menyapu rambutnya yang terurai, tapi tak mampu menyingkirkan beban di kepalanya. “Anya berselingkuh saat Lucas buta... Kalau dia tahu Lucas sudah bisa melihat, pasti dia ingin kembali ke sisi Lucas,” batin Kiara, napasnya berat tertahan di dada. Ia menggenggam erat pagar balkon, seolah mencoba meredam gemuruh di hatinya. “Tapi... memangnya aku pantas bersaing sama dia?” gumamnya lirih. Ada keraguan, ada ketakutan. Tanpa sadar, ia menghentakkan kakinya pelan, menyalurkan kekesalan yang tak bisa ia ungkapkan dengan kata-kata. Tiba-tiba, sepasang lengan kuat memeluknya dari belakang. Kiara terkejut, tubuhnya sempat menegang. Namun saat suara berat yang familiar me
“Kamu pegawai di Awan Cafe, kan?” tanya Anya dengan nada datar namun tatapan matanya tajam, seolah tengah mempermainkan Kiara.Kiara hanya mengangguk pelan, bibirnya tersungging senyum kecil yang terkesan kaku.“Kak Anya kenal Kiara?” tanya Alana dengan antusias, seolah sudah merasa akrab dengan perempuan yang kini berdiri di hadapan mereka.“Aku ada di sana waktu insiden kopi tumpah itu,” jawab Anya enteng sambil melirik Kiara sekilas. “Boleh aku duduk di sini?”Mata Alana langsung berbinar. “Silakan, Kak!”“Kamu memang manis sekali, Alana,” puji Anya sambil menarik kursi dan duduk di samping gadis itu. Sikapnya tampak sangat luwes, seperti seseorang yang tahu betul bagaimana mengambil hati.“Oh ya, kita belum berkenalan secara resmi,” ucap Anya seraya mengulurkan tangan ke arah Kiara. “Aku Anya Caroline.”“Kiara,” balas Kiara singkat sambil menyambut tangan itu dengan sedikit ragu. Ada sesuatu dalam sorot mata Anya yang membuatnya tidak nyaman—terlalu h
Kiara dan Wulan duduk di kursi pojok kantin kampus. Suasana di sekitar mereka cukup ramai, tapi sudut tempat mereka duduk terasa nyaman dan sedikit lebih tenang. Di depan mereka, makanan yang telah dipesan mulai mendingin karena terlalu asyik mengobrol.“Kamu kenapa sih, dari tadi melamun terus? Jangan-jangan... jatuh cinta, ya?” goda Wulan sambil mengangkat sebelah alisnya.“Ih, sok tahu banget sih kamu,” sahut Kiara setengah kesal, lalu menyuap sedikit nasi ke mulutnya.Wulan tertawa pelan, “Lama-lama kamu senyam-senyum sendiri kayak gitu bisa dikira gila. Mikirin suami, ya?” bisiknya sambil mencondongkan tubuh ke arah Kiara.Refleks, Kiara langsung menggeleng cepat. Tapi rona merah muda yang merayap di pipinya justru menguatkan kecurigaan Wulan.“Jangan-jangan semalam udah bikin ponakan buat aku, nih?” goda Wulan semakin menjadi.“Yak!” seru Kiara dengan suara pelan tapi tajam. Matanya melotot, namun wajahnya tetap memerah.Belum sempat Wulan membalas,
Setelah pamit kepada Bunda Helen, Lucas dan Kiara berjalan berdampingan menuju mobil yang sudah terparkir rapi di depan pintu utama. Bobby, seperti biasa, berdiri tegap di samping pintu belakang dengan wajah serius yang nyaris tak pernah berubah ekspresi.“Pagi, Tuan, Nyonya,” sapa Bobby sopan sambil membukakan pintu untuk mereka.“Pagi, Kak Bobby,” sahut Kiara ramah dengan senyum kecil. Sementara itu, Lucas hanya mengangguk tipis tanpa banyak bicara—sikap khasnya.Lucas masuk lebih dulu ke dalam mobil, lalu menoleh sambil mengulurkan tangan untuk membantu Kiara masuk menyusul. Begitu pintu tertutup, Bobby segera duduk di kursi kemudi dan menyalakan mesin. Mobil mulai bergerak dengan lembut, meninggalkan rumah mereka.Suasana dalam kabin sempat sunyi sejenak sebelum Lucas menoleh ke arah Kiara, bibirnya menyunggingkan senyum khasnya yang menggoda.“Ngomong-ngomong,” ucap Lucas sambil sedikit menyender, “Kamu makin cantik aja hari ini. Apa karena tahu akan satu mo