Luka di tangannya mulai membaik, hal itu membuat Kiara memutuskan untuk kembali bekerja. Dia merasa tidak enak jika terus mengambil cuti hanya karena tangannya terluka. Jam menunjukkan pukul enam pagi dan dia sudah rapi dengan pakaiannya. Saat keluar dari walk-in closet terlihat Lucas yang bangkit dari tempat tidur. Suaminya itu baru saja bangun tidur.
“Mas mau mandi sekarang? Biar aku siapkan airnya dulu ya,” ucap Kiara yang bergegas masuk ke dalam kamar mandi. Saat tengah mengisi bathtub, Lucas masuk ke dalam kamar mandi. “Kamu mau kemana sepagi ini?” Suara Lucas membuat Kiara menoleh. “Aku mencium aroma parfum, jadi aku pikir kamu akan pergi,” sambung Lucas. “Ah iya benar aku sebentar mau berangkat ke cafe,” jawab Kiara yang selesai menyiapkan air untuk Lucas. “Ini jam berapa?” “Jam enam lewat sepuluh menit,” Kiara menjawab setelah melihat jam tangannya. “Sepagi ini?” “Aku hari ini shift pagi, masuk jam tujuh lalu pulang jam tiga sore.” Kiara menatap Lucas yang tidak merespon apapun. “Tanganku sudah membaik dan aku merasa tidak enak jika mengambil cuti terlalu lama,” imbuh Kiara mencoba kembali menjelaskan. “Tunggu aku lima belas menit, kita sarapan bersama,” ucap Lucas tiba-tiba. Kiara mengangguk lalu berjalan keluar dari kamar mandi. Dia kemudian menyiapkan pakaian untuk Lucas, dan setelah selesai dia pun memilih untuk ke dapur. Kiara berjalan ke dapur, dan dia melihat Mbak Rina yang tengah menyiapkan makanan. Melihat maid belum selesai menyiapkan sarapan, Kiara berinisiatif untuk membantu. "Mbak, boleh aku bantu?" tanya Kiara dengan senyum. Namun, niat baik Kiara justru dihalangi oleh Rina. "Tidak perlu. Saya sudah terbiasa menyiapkan sarapan untuk Tuan Lucas, lagipula tidak bisa sembarangan orang menyiapkan sarapan untuknya," jawab Rina dengan nada yang sedikit dingin. "Aku ingin membantu, karena Mas Lucas akan sarapan sepuluh menit lagi," ucap Kiara dengan sabar. Rina menatap Kiara dengan sombong. "Tuan Lucas terbiasa sarapan pukul tujuh, tidak mungkin beliau sarapan sekarang juga. Sebaiknya Anda jangan mengganggu saya," jawab Rina dengan nada yang tidak ramah. Kiara yang tidak ingin berdebat dengan Rina pun memilih pergi dari dapur. Dia berjalan ingin kembali ke kamar tapi sebelum menaiki tangga, Kiara melihat Lucas keluar dari lift. Lucas lebih cepat lima menit dari waktu yang Lucas katakan, Kiara menghampiri suaminya yang tengah berjalan dengan tongkatnya itu. “Mas,” panggil Kiara yang kemudian menggandeng tangan Lucas. Setelah tangan mungil itu berada dalam genggamannya maka Lucas langsung melipat tongkatnya. Dia seakan tidak butuh tongkat itu, pria itu berjalan dengan penuh percaya diri. Tak ada rasa takut jika dia menabrak atau tersandung sesuatu, seakan dia begitu percaya dengan pemilik tangan mungil itu. “Aku dengar, Mas biasa sarapan pukul tujuh. Jadi sepertinya Mbak Rina belum selesai menyiapkan sarapan, tapi tidak sampai tiga puluh menit pasti makanan siap kok Mas. Bagaimana kalau Mas menunggunya, tapi aku izin untuk berangkat biar nanti aku sarapan di cafe,” tutur Kiara. Belum sempat Lucas merespon, Rina lebih dulu menghampiri mereka. “Selamat pagi Tuan, maaf sarapan belum selesai saya siapkan karena Tuan biasa makan pukul tujuh.” “Saya beri kamu waktu lima menit untuk menyiapkannya!” ucap Lucas dengan nada dingin. “Tapi Tuan–” Kata-kata Rina terhenti saat melihat raut rahang Lucas yang mengeras. “Ba-ik Tuan,” sambung Rina yang bergegas ke dapur. Kiara yang melihat Rina panik pun merasa kasihan. “Mas ,aku bantu Mbak Rina ya. Kamu duduk disini dulu,” ucap Kiara yang menarikan kursi untuk Lucas. “Tempatmu bukan di dapur.” Ucapan Lucas membuat langkah Kiara terhenti. “Duduk, temani aku disini,” sambung Lucas. Tanpa penolakan, Kiara pun duduk di samping Lucas. “Apa kamu tidak mau memberitahu jadwalmu?” Kiara menoleh dan terdiam beberapa saat sebelum otaknya mengerti apa yang Lucas katakan. “Ah iya, aku lupa mengatakannya,” ucap Kiara yang tersadar. “Aku libur hari Kamis Mas, jadi Senin Selasa aku masuk jam sepuluh pulang jam enam, Rabu dan Jum'at aku masuk pagi, lalu Sabtu dan Minggu aku masuk sore jam tiga nanti pulang jam sebelas malam.” “Semalam itu? Apa tidak bisa kamu tukar shift?” “Tidak bisa, Mas.” “Hm.” Kiara masih menatap Lucas, respon Lucas yang terlihat keberatan dengan shift malam Kiara membuat Kiara tampak bingung. “Maaf Tuan, hanya itu makanan yang bisa saya siapkan,” ucap Rina setelah menata makanan di atas meja makan. “Hari Rabu dan Jum'at aku ingin sarapan siap pukul enam lebih lima belas menit.” “Baik, Tuan,” jawab Rina tanpa mengeluh yang kemudian berjalan hendak mengambilkan makanan untuk Lucas. “Jika ada istri saya, maka kamu tidak perlu mengambilkan makanan untuk saya. Karena saya ingin istri saya yang melakukannya.” Ucapan Lucas membuat langkah Rina terhenti, dia melirik ke arah Kiara dengan tatapan tak suka. Kiara yang merasakan jika dirinya ditatap pun membuat dia menoleh ke arah Rina. “Kamu tidak keberatan kan, Kiara?” tanya Lucas. “Tentu saja, Mas,” jawab Kiara dengan tersenyum lalu tangannya segera meraih centong nasi. Dia mengambilkan makanan untuk Lucas sebelum mengambil untuk dirinya sendiri. “Dimakan, Mas,” ucap Kiara yang mengarahkan sendok ke tangan Lucas. “Terima kasih,” ucap Lucas dengan nada yang terdengar lembut membuat senyum merekah di wajah Kiara. Sedangkan wajah Rina tampak begitu tak suka dengan adegan yang baru saja dia lihat. *** Kiara melangkah masuk ke dalam café. Tanpa membuang waktu, ia mengambil sapu dan mulai menyapu area indoor dengan gerakan yang teratur dan penuh fokus. Debu-debu kecil berterbangan, namun Kiara tak menghiraukannya. Saat sapuannya melintas di sudut ruangan, Wulan muncul dari balik meja kasir. Wulan menatap Kiara dengan wajah penuh perhatian. “Kamu gimana, Ki? Beneran sudah membaik tangannya?” tanya Wulan dengan nada lembut. Kiara mengangguk ringan sambil tersenyum tipis, mencoba menyembunyikan rasa sakit yang masih tersisa. “Iya, aku baik-baik saja. Sampai rumah langsung aku obati jadi sekarang sudah membaik.” “Syukurlah, aku senang mendengarnya,” ucap Wulan dengan tersenyum lalu kembali ke pekerjaannya, sementara Kiara melanjutkan menyapu dengan tenaga yang mulai kembali. Tak lama kemudian, Andra, sang manajer sekaligus pemilik café, melangkah masuk dengan tatapan tajam namun penuh kehangatan. “Kamu udah mulai masuk? Tangan kamu bagaimana?” tanya Andra sambil mendekat, suaranya rendah tapi tegas. “Iya Pak, sudah membaik kok.’ “Jangan terlalu memaksakan diri untuk kerja berat. Aku tidak mau kamu cedera lagi.” Kiara menatap Andra dengan mata sedikit terkejut, lalu mengangguk pelan. Ada campuran rasa hangat dan sedikit canggung di dadanya saat mendengar perhatian itu. “Baik, Pak Andra.” Andra tersenyum tipis, lalu mengalihkan pandangannya ke arah lain, meninggalkan Kiara yang tersenyum canggung. “Kan, udah aku bilang. Pak Anda itu suka sama kamu.” Suara Wulan yang tiba-tiba berada di belakangnya membuat Kiara terkejut. “Apaan sih, ngawur kamu. Udah sana kerja lagi,” ucap Kiara yang tidak mau memikirkan ucapan Wulan. “Dikasih cowok sempurna itu jangan nolak, Kiara!” ujar Wulan yang sedikit mengeraskan suaranya karena Kiara yang pergi meninggalkan dia.Beberapa Bulan KemudianWaktu berjalan, meninggalkan segala tragedi yang sempat mengguncang hidup mereka. Hari-hari Kiara kini jauh lebih tenang. Lucas lebih sering berada di rumah, menyisihkan waktu untuk menemani istrinya.Hari ini, senja menorehkan warna emas lembut di langit. Di sebuah aula hotel mewah yang dihiasi lampu gantung kristal, deretan bunga mawar putih dan lilin aromaterapi memenuhi ruangan, memancarkan suasana hangat nan elegan. Musik lembut mengalun, para tamu mengenakan pakaian terbaik mereka.Kiara berdiri di depan cermin, mengenakan gaun berwarna pastel yang dipilihkan langsung oleh Lucas. Rambutnya ditata sederhana, tapi senyum lembutnya membuat semua orang yang memandang tak bisa mengalihkan perhatian. Ia masih belum percaya, pesta ulang tahun sebesar ini dipersembahkan hanya untuk dirinya.Lucas berdiri tak jauh darinya, mengenakan setelan jas hitam dengan dasi biru gelap yang kontras dengan sorot matanya yang tajam. Namun saat menatap Kiara, ketajaman itu luluh
Di kejauhan, di balik kaca gelap sebuah SUV yang terparkir di sisi jalan, Lucas duduk tenang. Senja memantulkan cahaya jingga ke wajahnya yang tanpa ekspresi, menciptakan bayangan tajam di garis rahangnya. Jayden, yang ada di kursi kemudi, memandang lurus ke arah kobaran api yang masih menjilat langit sore.“Kau sudah tahu Kevin akan mencoba ini?” tanyanya pelan, suaranya hampir tenggelam oleh suara hujan yang mulai menitik di atap mobil.Lucas hanya mengangguk sekali, matanya tetap tertuju pada kobaran itu. Tak ada kepuasan di wajahnya, hanya dingin dan perhitungan. Tanpa kata tambahan, Jayden memutar setir. SUV itu perlahan melaju menjauh, meninggalkan asap tebal yang kini membaur dengan warna senja yang kian memudar, seolah menelan sisa-sisa drama yang baru saja terjadi.***Di tempat lain, menit terasa seperti jam bagi Kiara. Hujan rintik membasahi kaca jendela ruang tamu, menorehkan garis-garis tipis yang memantulkan cahaya lampu dalam rumah. Kiara duduk di ujung sofa, tubuhnya s
Ruang rapat utama Alisher Group siang itu terasa lebih dingin dari biasanya, meskipun pendingin ruangan sudah lama dimatikan. Para anggota dewan duduk berderet, saling bertukar pandang penuh waspada. Di ujung meja, Lucas duduk tenang dengan jas biru tua dan ekspresi tak terbaca.Di belakangnya, Jayden berdiri bersandar ke dinding, menyilangkan tangan. Tak banyak yang tahu, dialah otak yang menyusun strategi gila ini.***Beberapa minggu sebelumnya, Lucas masih berada di bawah bayang-bayang Harry yang mencoba mengendalikannya. Tapi Jayden datang dengan tawaran yang sulit ditolak.“Aku tahu cara membuatmu jadi pemegang kendali terbesar di Alisher Group,” kata Jayden sambil menggeser map hitam ke arah Lucas.Di dalamnya, ada dokumen transfer saham, daftar pemegang saham minoritas yang siap menjual, dan skema akuisisi yang nyaris mustahil dilawan.Lucas menatapnya lekat-lekat. “Kalau ini gagal, aku bisa kehilangan segalanya.”Jayden hanya tersenyum tipis. “Kalau kau tidak mencobanya, kau
“Sayang sudah siang, ayo bangun. Nanti terlambat,” suara Lucas terdengar lembut di telinga Kiara. Ia duduk di tepi ranjang, satu tangannya menyentuh pelan lengan istrinya. Kiara menggerakkan tubuh sedikit, tapi matanya tetap terpejam. “Aku masih mengantuk, Mas,” suaranya terdengar manja dan berat. Lucas tersenyum kecil melihatnya. “Ya sudah, nanti aku suruh Bobby urus izin kamu hari ini, biar tidak usah ke kampus,” ucapnya santai, seolah tak keberatan dengan kemalasan istrinya pagi ini. Mendengar itu, Kiara membuka matanya perlahan dan menatap suaminya dengan heran. “Kenapa kamu tidak marah?” tanyanya. “Kenapa harus marah? Kalau kamu mengantuk, ya tidurlah,” jawab Lucas ringan. Kiara mendengus pelan, “Harusnya kamu marahin aku, maksa aku buat bangun,” gerutunya sambil menarik selimut, lalu bangkit setengah duduk dan bersandar di kepala ranjang. Rambutnya yang acak-acakan membuat wajahnya terlihat makin imut di mata Lucas.
Alana menjatuhkan tubuhnya di atas tempat tidur dengan tubuh lemas. Ranjang empuk yang biasanya memberi rasa nyaman, malam ini terasa seperti tempat pelarian dari kekacauan pikirannya. Pertemuan dengan Jayden yang semula ia rencanakan untuk menyelesaikan masalah, justru membuat segalanya semakin rumit. Ia menatap langit-langit kamar dengan nafas berat. Kilasan ingatan tentang klub malam itu kembali terputar di kepalanya lampu berkelap-kelip, musik yang terlalu keras, dan keputusan bodoh yang kini menjadi awal semua masalah. “Patah hati yang membuatku bodoh!” seru Alana sambil mengacak-acak rambutnya sendiri dengan frustrasi. Ketukan lembut di pintu membuyarkan pikirannya. “Nona, ini ada kiriman untuk Nona,” suara Bi Ayu terdengar dari luar, membuat Alana mengerutkan kening. “Masuk, Bi,” ucap Alana, suaranya terdengar letih. Ia bangkit perlahan dan duduk di tepi kasur. Pintu terbu
Langit sore mulai berubah warna, memantulkan semburat jingga di dinding-dinding kampus yang sudah mulai sepi. Suara langkah kaki yang berserakan di trotoar berpadu dengan deru angin, sementara sebagian besar mahasiswa sudah meninggalkan area. Hanya beberapa orang yang berjalan tergesa menuju gerbang, menenteng tas dan buku. Alana keluar dari gedung fakultas dengan ransel tersampir di bahu. Jemarinya sibuk menggenggam ponsel, matanya fokus pada layar saat ia mengetik pesan cepat untuk Jayden. "Kita bisa ketemu di kafe dekat taman kota? Aku mau bicara." Tak sampai lima menit, ponselnya bergetar memberi tanda balasan masuk. "Tunggu di depan kampus. Aku jemput." Alana spontan mengerutkan kening. Ia ingin pertemuan ini santai, tanpa menarik perhatian. Tapi Jayden, seperti kebiasaannya, selalu mengambil alih keputusan. Dengan sedikit kesal, ia mengetik cepat, "Tidak perlu!" lalu menekan tombol kirim.