Bobby mengetuk pintu sebelum pelan-pelan membuka dan melangkah masuk ke kamar tempat Lucas dan Kiara berada. Lucas duduk di sofa matanya tajam dan dingin menatap ke arah Dokter Rendra yang baru saja masuk.
“Permisi Tuan, Dokter Rendra sudah datang,” ucap Bobby yang tidak ada tanggapan dari Lucas. "Mohon izin Tuan untuk memeriksa tangan Nyonya,” ucap Dokter Rendra dengan sopan sambil memandang Lucas, mencari persetujuan. Lagi-lagi Lucas membisu. Tatapannya yang dingin dan intimidatif seolah memancarkan aura kemarahan yang terpendam, membuat ruangan itu terasa lebih dingin dari seharusnya. Dokter Rendra merasakan ketegangan, tetapi dia tetap profesional. Kiara yang merasakan kecanggungan itu, cepat-cepat berkata, "Silahkan, Dokter.” Kiara tampak bingung dengan situasi saat ini, dia tidak mengerti kenapa suaminya itu kini tampak sangat marah. Dia pun baru tahu jika seorang tunanetra bisa terlihat dingin dan mengintimidasi dari sorot matanya. Setelah mendapat persetujuan Kiara maka dokter pun dengan hati-hati memeriksa keparahan luka, sesekali mengajukan pertanyaan ringan untuk mengurangi ketegangan. Kiara hanya mengangguk atau menjawab dengan suara yang hampir tidak terdengar. Di sudut kamar, Bobby, menunduk. Dia menyadari dia telah melakukan kesalahan besar yang memicu kemarahan Lucas. Tapi, Bobby tahu bahwa saat ini bukan waktu yang tepat untuk berkata apa-apa. Diam adalah pilihan terbaiknya. Setelah pemeriksaan selesai, Dokter Rendra mengeluarkan salep dari tasnya. "Ini salep untuk luka bakarnya. Oleskan tiga kali sehari setelah dibersihkan," instruksi Dokter Rendra kepada Kiara sambil memberikan salep tersebut kepada Bobby. "Terima kasih, Dokter," ucap Kiara dengan lembut, mencoba menyembunyikan rasa sakit yang dia alami. Dokter Rendra mengangguk, memberikan senyuman simpul, sebelum akhirnya berdiri dan mempersiapkan diri untuk meninggalkan kamar, meninggalkan suasana yang masih tegang. “Kalau begitu saya permisi, Tuan, Nyonya,” pamit dokter Rendra. “Iya Dok, sekali lagi terima kasih,” ucap Kiara. Sedangkan Lucas tetap duduk dengan ekspresi yang tidak berubah, tatapan dinginnya mengikuti setiap gerakan dokter sampai pintu tertutup di belakangnya. Setelah kepergian dokter Rendra dan Bobby, kini Kiara memilih menyibukan diri dengan mengoleskan salep. Dia tak berani melirik ke arah Lucas, entah apa yang memicu kemarahan Lucas dia pun tidak tahu dan tidak berani bertanya. Kiara membuka tutup salep itu, dia cukup mengalami kesulitan. Hingga tiba-tiba sebuah tangan mengambil alih salep itu. “Aku bisa melakukannya sendiri, Mas,” ucap Kiara. “Meskipun aku buta, aku bisa membantumu.” Suara itu begitu dingin membuat Kiara membisu. Dia membiarkan Lucas membantunya mengoleskan salep. Terdengar ringisan saat Lucas mengoleskan salep membuat pria itu meniup tangan Kiara. “Jangan bekerja lagi,” ucap Lucas tiba-tiba membuat Kiara menatap pria itu. “Tapi–” “Apa kamu tidak mau menghargai suamimu ini?” “Bukan seperti itu, Mas. Hanya saja aku tidak bisa keluar begitu saja,” ucap Kiara mencoba menjelaskan. “Jadi kamu ingin terluka lagi?” “Tentu saja tidak.” Lucas menutup salep itu dan meletakkannya di atas nakas, dia lalu bangkit tak lagi menanggapi perkataan Kiara. Dia memilih keluar dari kamar, meninggalkan Kiara yang masih bingung dengan sikap Lucas hari ini. “Dia kenapa sih?” gumam Kiara dengan bingung. *** Kiara mencoba fokus pada makanannya, mengambil potongan ayam dengan gerakan yang sedikit canggung karena luka di tangan kanannya. Sementara itu, Rina dengan pakaian yang cukup terbuka, bergerak leluasa di sekitar meja makan, sesekali membungkuk sedikit terlalu rendah saat menyajikan makanan kepada Lucas. Kiara menyaksikan ini semua dan merasa terganggu dengan apa yang Rina lakukan. Parfum Rina yang tajam terus menerpa indera penciumannya, mengganggu konsentrasinya untuk makan. Dia tidak mencoba menggoda Mas Lucas, bukan? Batin Kiara bertanya. Lucas, makan dengan tenang, sama sekali tidak terlihat terganggu. Kiara mencoba menelan makanannya, tapi gumpalan di tenggorokannya membuat itu sulit. Dia berusaha keras untuk tidak memperlihatkan kecemasannya, tapi matanya tak bisa berpaling dari interaksi Lucas dan Rina. Makan siang yang seharusnya menjadi saat tenang dan menyenangkan, kini berubah menjadi medan perang batin bagi Kiara, di mana setiap gerak dan aroma menjadi senjata yang tidak kasat mata. “Akh,” eluh Kiara yang merasakan perih ketika kembali mencoba memotong daging ayam. Rina hanya menoleh sekilas ke arah Kiara, sedangkan Lucas tetap fokus dengan makanannya. Membuat Kiara mendengus dan mengalihkan pandangannya. Namun, tiba-tiba sebuah sendok berada di depan mulutnya membuat Kiara mendongak. “Buka mulutmu, kamu kesulitan untuk makan kan?” suara itu menyadarkan Kiara membuat gadis itu membuka mulutnya. Entah mengapa dia merasa begitu senang menyambut suapan dari Lucas. Jantungnya berdegup dengan kencang mengiringi setiap suapan yang Lucas lakukan. *** Kiara menarik baju tidur sutra berwarna merah muda dari lemari, kainnya meluncur halus di antara jemarinya. Semua baju tidur yang ada disana semuanya terlihat seksi. Jika Lucas bisa melihat mungkin Kiara tidak akan pernah berani mengenakannya. Setelah berganti pakaian dia pun duduk di tepi tempat tidur, meraih novel yang belum selesai dibacanya, berusaha mengalihkan pikirannya. Jam dinding berdetak lambat, menandakan waktu yang terasa semakin larut. Lucas belum juga masuk ke dalam kamar, tampaknya dia begitu sibuk bekerja di ruang kerjanya bersama dengan Bobby. Kiara semakin larut dalam cerita yang dia baca hingga tidak mendengar ketika pintu dibuka dan Lucas masuk ke dalam kamar. Langkah Lucas terhenti sejenak dia terlihat menelan salivanya dengan susah payah hingga kemudian dia terlihat buru-buru mengunci pintu kamar. “Sudah selesai kerjanya, Mas?” tanya Kiara yang menutup buku novel dan meletakkannya di atas nakas. Mendengar suara Kiara membuat Lucas meraba-raba mencari tembok. “Iya,” jawab singkat Lucas yang berjalan ke kamar mandi. Kiara mulai terbiasa dengan Lucas yang terlihat dingin dan tak peduli. Tapi gadis itu tahu dibalik sikap Lucas yang seperti itu, Lucas tetap memperhatikannya. Dia tidak pernah menyakiti Kiara, membuat Kiara mulai merasa tidak keberatan jika terus menjadi istri Lucas. “Aku kira kamu sudah tidur,” ucap Lucas saat naik ke atas tempat tidur. “Aku belum mengantuk jadi memilih membaca novel karena bingung harus melakukan apa,” jawab Kiara yang ikut merebahkan dirinya di samping Lucas. Lucas tidak lagi merespon dia terlentang dengan mata yang masih terbuka. Kiara sesekali melirik ke arah Lucas, dia masih mengumpulkan keberaniannya untuk berbicara kepada Lucas. Setelah mengatur nafasnya dia pun mengganti posisinya dengan memiringkan tubuhnya ke arah Lucas. “Mas,” panggil Kiara dengan jantung yang berdetak dengan kencang. “Ya?” “Biarkan aku bekerja sampai akhir bulan ya,” ucap Kiara yang berusaha meminta izin kepada Lucas. Wajah Kiara tampak tegang tapi dia juga tidak menyadari jika dibalik selimut, kaki Lucas menegang. Jika jantung Kiara berdetak dengan kencang karena takut dimarahi oleh Lucas. Berbeda dengan Lucas, jantung Lucas berdetak dengan kencang karena posisi Kiara yang saat ini begitu menggoda. “Apa uang yang aku berikan kurang?” “Tidak, Mas. Hanya saja ada yang harus aku selesai terlebih dahulu, lagipula aku bingung harus ngapain jika berhenti bekerja.” “Apa kamu tidak mau kuliah?” “Tentu saja mau.” “Ya sudah kamu lebih baik kuliah daripada bekerja, aku bisa menanggung biayanya hingga kamu lulus,” ucap Lucas membuat Kiara terkejut hingga gadis itu tanpa sadar merapatkan tubuhnya ke arah Lucas. “Sungguh Mas?” tanya Kiara. Sorot matanya tampak berbinar, dia tidak bisa menyembunyikan kebahagiaannya. “Ya.” “Makasih Mas, makasih banyak,” ucap Kiara yang memegang tangan Lucas membuat pria itu menggertakkan giginya. “Sudah malam, aku mengantuk. Kamu juga harus segera tidur,” ucap Lucas yang kemudian memejamkan matanya. Kiara masih tersenyum dia lalu melepaskan tangan Lucas dan mengubah posisinya menjadi terlentang. Kiara menatap langit kamar itu, salah satu mimpinya kini mulai terwujud. Rasa bahagia membuat Kiara tidak menyadari betapa tegangnya pria yang berada di sampingnya itu.Kiara menghela napas panjang saat menutup pintu cafe di belakangnya, tubuhnya terasa lelah setelah seharian bekerja. Matahari hampir tenggelam di ufuk barat, namun pikirannya masih kalut. Saat ia melangkah melewati pintu gerbang, tiba-tiba suara keras memanggil namanya membuat jantungnya tercekat. “Kiara!” teriak suara itu, dingin dan penuh amarah. Kiara menoleh dan seketika panik. Di depan sana berdiri Veera, kakaknya, dengan wajah yang memerah dan tatapan penuh dendam. Langkah Kiara berubah menjadi lari, harapan untuk menghindar dari keributan yang tak diinginkan. Namun nasib tidak berpihak padanya; kaki Kiara tersandung batu kecil di trotoar, tubuhnya terhuyung dan hampir jatuh. Dalam sekejap tangan kasar Veera mencengkram pergelangan tangan Kiara dengan erat. “Mana mungkin kamu bisa kabur seenaknya! Keluarga kita sudah rugi besar gara-gara kamu! Bahkan Pak Tomi menuntut kita membayar biaya yang dikeluarkan, kamu harus membayar lima puluh juta, Kiara!” bentak Veera dengan suar
Luka di tangannya mulai membaik, hal itu membuat Kiara memutuskan untuk kembali bekerja. Dia merasa tidak enak jika terus mengambil cuti hanya karena tangannya terluka. Jam menunjukkan pukul enam pagi dan dia sudah rapi dengan pakaiannya. Saat keluar dari walk-in closet terlihat Lucas yang bangkit dari tempat tidur. Suaminya itu baru saja bangun tidur. “Mas mau mandi sekarang? Biar aku siapkan airnya dulu ya,” ucap Kiara yang bergegas masuk ke dalam kamar mandi. Saat tengah mengisi bathtub, Lucas masuk ke dalam kamar mandi. “Kamu mau kemana sepagi ini?” Suara Lucas membuat Kiara menoleh. “Aku mencium aroma parfum, jadi aku pikir kamu akan pergi,” sambung Lucas. “Ah iya benar aku sebentar mau berangkat ke cafe,” jawab Kiara yang selesai menyiapkan air untuk Lucas. “Ini jam berapa?” “Jam enam lewat sepuluh menit,” Kiara menjawab setelah melihat jam tangannya. “Sepagi ini?” “Aku hari ini shift pagi, masuk jam tujuh lalu pulang jam tiga sore.” Kiara menatap Lucas yan
Bobby mengetuk pintu sebelum pelan-pelan membuka dan melangkah masuk ke kamar tempat Lucas dan Kiara berada. Lucas duduk di sofa matanya tajam dan dingin menatap ke arah Dokter Rendra yang baru saja masuk. “Permisi Tuan, Dokter Rendra sudah datang,” ucap Bobby yang tidak ada tanggapan dari Lucas. "Mohon izin Tuan untuk memeriksa tangan Nyonya,” ucap Dokter Rendra dengan sopan sambil memandang Lucas, mencari persetujuan. Lagi-lagi Lucas membisu. Tatapannya yang dingin dan intimidatif seolah memancarkan aura kemarahan yang terpendam, membuat ruangan itu terasa lebih dingin dari seharusnya. Dokter Rendra merasakan ketegangan, tetapi dia tetap profesional. Kiara yang merasakan kecanggungan itu, cepat-cepat berkata, "Silahkan, Dokter.” Kiara tampak bingung dengan situasi saat ini, dia tidak mengerti kenapa suaminya itu kini tampak sangat marah. Dia pun baru tahu jika seorang tunanet
Kiara melongo menatap kepergian Rina. “Ada satu orang lagi yang tidak menyukaiku,” gumam Kiara yang melangkah masuk ke dalam kamar. Ketika Kiara memasuki kamar yang akan menjadi miliknya itu, matanya langsung terarah pada dinding polos tanpa hiasan. Suasana kamar yang sepi tanpa foto atau lukisan membuatnya terasa lebih dingin dan asing. Kiara merasa ada yang tidak beres, sebuah kehampaan yang menyergapnya saat dia menyadari tidak adanya jejak pribadi Lucas di ruang itu.“Dia tidak suka foto?” gumam Kiara bertanya. Dengan perasaan bingung dan penasaran, Kiara mendekati meja di sudut kamar. Tidak ada bingkai foto, tidak ada kenang-kenangan, hanya beberapa buku dan dokumen yang tertata rapi. Kiara mulai bertanya-tanya, mengapa Lucas tidak menempatkan apapun yang bisa menceritakan sedikit tentang dirinya.Kiara kemudian merebahkan diri di atas tempat tidur yang masih terasa asing. Matanya menatap langit-langit kamar, pikirannya melayang jauh memikirkan hubungan mereka. Kehadiran Rina y
Di dapur yang terletak di lantai empat, Kiara dan Lucas sedang menikmati spaghetti buatan Kiara. Cahaya remang-remang dari lampu dapur menciptakan suasana hangat dan nyaman di antara mereka. Kiara sesekali mencuri pandang ke arah Lucas yang dengan lancar menyantap spaghetti tanpa kesulitan. Keterampilannya dalam menavigasi makanan di piringnya hampir tidak terlihat seperti ia memiliki kekurangan penglihatan. Suasana hening menyelimuti mereka, hanya suara garpu dan sendok yang sesekali terdengar. Tiba-tiba, suasana tenang itu terganggu oleh langkah kaki seseorang yang mendekat. "Sepertinya kalian sedang menikmati makan malam yang romantis," ucap Kevin dengan menatap lekat ke arah Kiara. Kehadiran Kevin yang tiba-tiba jelas membuat situasi menjadi tegang, suara garpu ditangan Lucas berhenti sejenak. “Untuk apa kamu kesini?” tanya Lucas dengan nada tegas, meski dia tidak bisa melihat. “Aku hanya ingin menyapa Kakak ipar, karena tadi mungkin aku kurang sopan kepadanya,” jelas Ke
Kiara menggenggam tangan Lucas erat saat mereka melangkah keluar dari kamar. Langkahnya penuh keraguan, namun kehadiran Lucas di sampingnya membuatnya merasa sedikit lebih tenang. Sinar lampu yang hangat menyambut mereka saat pintu ruang makan terbuka. Jantung Kiara berdebar kencang, menanti reaksi keluarga Lucas. Begitu mereka melangkah masuk, semua mata langsung tertuju pada mereka, terutama Kiara. Seperti harimau yang mengincar mangsa, tatapan mereka penuh skeptisisme. Kiara menelan ludah, berusaha menampilkan senyum meski terasa kaku. “Selamat malam,” ucapnya, suaranya nyaris tertelan oleh keheningan. Namun, tak satupun dari mereka menjawab. Mereka menuju ke dua kursi kosong di ujung meja panjang. Lucas duduk dengan tenang, sementara Kiara mengambil tempat di sampingnya. Tamara, ibu tiri Lucas, memperhatikannya dengan saksama. Suaranya tajam seperti pisau saat dia mulai bertanya, “Bagaimana bisa seseorang sepertimu menjadi istri Lucas?” Kiara tertegun. “Saya—” “Saya ingin