Kiara menghela napas panjang saat menutup pintu cafe di belakangnya, tubuhnya terasa lelah setelah seharian bekerja. Matahari hampir tenggelam di ufuk barat, namun pikirannya masih kalut. Saat ia melangkah melewati pintu gerbang, tiba-tiba suara keras memanggil namanya membuat jantungnya tercekat. “Kiara!” teriak suara itu, dingin dan penuh amarah. Kiara menoleh dan seketika panik. Di depan sana berdiri Veera, kakaknya, dengan wajah yang memerah dan tatapan penuh dendam. Langkah Kiara berubah menjadi lari, harapan untuk menghindar dari keributan yang tak diinginkan. Namun nasib tidak berpihak padanya; kaki Kiara tersandung batu kecil di trotoar, tubuhnya terhuyung dan hampir jatuh. Dalam sekejap tangan kasar Veera mencengkram pergelangan tangan Kiara dengan erat. “Mana mungkin kamu bisa kabur seenaknya! Keluarga kita sudah rugi besar gara-gara kamu! Bahkan Pak Tomi menuntut kita membayar biaya yang dikeluarkan, kamu harus membayar lima puluh juta, Kiara!” bentak Veera dengan suar
Luka di tangannya mulai membaik, hal itu membuat Kiara memutuskan untuk kembali bekerja. Dia merasa tidak enak jika terus mengambil cuti hanya karena tangannya terluka. Jam menunjukkan pukul enam pagi dan dia sudah rapi dengan pakaiannya. Saat keluar dari walk-in closet terlihat Lucas yang bangkit dari tempat tidur. Suaminya itu baru saja bangun tidur. “Mas mau mandi sekarang? Biar aku siapkan airnya dulu ya,” ucap Kiara yang bergegas masuk ke dalam kamar mandi. Saat tengah mengisi bathtub, Lucas masuk ke dalam kamar mandi. “Kamu mau kemana sepagi ini?” Suara Lucas membuat Kiara menoleh. “Aku mencium aroma parfum, jadi aku pikir kamu akan pergi,” sambung Lucas. “Ah iya benar aku sebentar mau berangkat ke cafe,” jawab Kiara yang selesai menyiapkan air untuk Lucas. “Ini jam berapa?” “Jam enam lewat sepuluh menit,” Kiara menjawab setelah melihat jam tangannya. “Sepagi ini?” “Aku hari ini shift pagi, masuk jam tujuh lalu pulang jam tiga sore.” Kiara menatap Lucas yan
Bobby mengetuk pintu sebelum pelan-pelan membuka dan melangkah masuk ke kamar tempat Lucas dan Kiara berada. Lucas duduk di sofa matanya tajam dan dingin menatap ke arah Dokter Rendra yang baru saja masuk. “Permisi Tuan, Dokter Rendra sudah datang,” ucap Bobby yang tidak ada tanggapan dari Lucas. "Mohon izin Tuan untuk memeriksa tangan Nyonya,” ucap Dokter Rendra dengan sopan sambil memandang Lucas, mencari persetujuan. Lagi-lagi Lucas membisu. Tatapannya yang dingin dan intimidatif seolah memancarkan aura kemarahan yang terpendam, membuat ruangan itu terasa lebih dingin dari seharusnya. Dokter Rendra merasakan ketegangan, tetapi dia tetap profesional. Kiara yang merasakan kecanggungan itu, cepat-cepat berkata, "Silahkan, Dokter.” Kiara tampak bingung dengan situasi saat ini, dia tidak mengerti kenapa suaminya itu kini tampak sangat marah. Dia pun baru tahu jika seorang tunanet
Kiara melongo menatap kepergian Rina. “Ada satu orang lagi yang tidak menyukaiku,” gumam Kiara yang melangkah masuk ke dalam kamar. Ketika Kiara memasuki kamar yang akan menjadi miliknya itu, matanya langsung terarah pada dinding polos tanpa hiasan. Suasana kamar yang sepi tanpa foto atau lukisan membuatnya terasa lebih dingin dan asing. Kiara merasa ada yang tidak beres, sebuah kehampaan yang menyergapnya saat dia menyadari tidak adanya jejak pribadi Lucas di ruang itu.“Dia tidak suka foto?” gumam Kiara bertanya. Dengan perasaan bingung dan penasaran, Kiara mendekati meja di sudut kamar. Tidak ada bingkai foto, tidak ada kenang-kenangan, hanya beberapa buku dan dokumen yang tertata rapi. Kiara mulai bertanya-tanya, mengapa Lucas tidak menempatkan apapun yang bisa menceritakan sedikit tentang dirinya.Kiara kemudian merebahkan diri di atas tempat tidur yang masih terasa asing. Matanya menatap langit-langit kamar, pikirannya melayang jauh memikirkan hubungan mereka. Kehadiran Rina y
Di dapur yang terletak di lantai empat, Kiara dan Lucas sedang menikmati spaghetti buatan Kiara. Cahaya remang-remang dari lampu dapur menciptakan suasana hangat dan nyaman di antara mereka. Kiara sesekali mencuri pandang ke arah Lucas yang dengan lancar menyantap spaghetti tanpa kesulitan. Keterampilannya dalam menavigasi makanan di piringnya hampir tidak terlihat seperti ia memiliki kekurangan penglihatan. Suasana hening menyelimuti mereka, hanya suara garpu dan sendok yang sesekali terdengar. Tiba-tiba, suasana tenang itu terganggu oleh langkah kaki seseorang yang mendekat. "Sepertinya kalian sedang menikmati makan malam yang romantis," ucap Kevin dengan menatap lekat ke arah Kiara. Kehadiran Kevin yang tiba-tiba jelas membuat situasi menjadi tegang, suara garpu ditangan Lucas berhenti sejenak. “Untuk apa kamu kesini?” tanya Lucas dengan nada tegas, meski dia tidak bisa melihat. “Aku hanya ingin menyapa Kakak ipar, karena tadi mungkin aku kurang sopan kepadanya,” jelas Ke
Kiara menggenggam tangan Lucas erat saat mereka melangkah keluar dari kamar. Langkahnya penuh keraguan, namun kehadiran Lucas di sampingnya membuatnya merasa sedikit lebih tenang. Sinar lampu yang hangat menyambut mereka saat pintu ruang makan terbuka. Jantung Kiara berdebar kencang, menanti reaksi keluarga Lucas. Begitu mereka melangkah masuk, semua mata langsung tertuju pada mereka, terutama Kiara. Seperti harimau yang mengincar mangsa, tatapan mereka penuh skeptisisme. Kiara menelan ludah, berusaha menampilkan senyum meski terasa kaku. “Selamat malam,” ucapnya, suaranya nyaris tertelan oleh keheningan. Namun, tak satupun dari mereka menjawab. Mereka menuju ke dua kursi kosong di ujung meja panjang. Lucas duduk dengan tenang, sementara Kiara mengambil tempat di sampingnya. Tamara, ibu tiri Lucas, memperhatikannya dengan saksama. Suaranya tajam seperti pisau saat dia mulai bertanya, “Bagaimana bisa seseorang sepertimu menjadi istri Lucas?” Kiara tertegun. “Saya—” “Saya ingin