Share

Bab 2 Kegundahan Khansa

“Maksud Om?”

“Om? Sepertinya harus diubah panggilannya. Tidak mungkin kan suami sendiri dipanggil om?” sindirnya tajam.

“Suami? Maksudnya om akan menikah dengan denganku?” tanya Khansa kaget dan binggung.

“Ya, itupun jika kamu tidak ingin melihat Keluarga Yudhatama hancur bersama perusahaannya. Tapi jika kamu tidak ingin membalas budi, tidak apa. Kita bisa bekerja sama menghancurkannya,” jelasnya pelan.

Khansa terdiam membeku masih tidak memahami apa yang sebenarnya terjadi. Di satu sisi dia tak ingin berada di keluarga Yudhatama lagi, namun dia juga tak ingin menikah diusianya yang semuda ini. Khansa menggeleng pelan, berpikir keras apa yang harus diputuskannya.

“Aku beri waktu hingga besok. Jika tidak ada kabar hingga pukul 12.00, maka satu lagi kontrak akan kuselesaikan. Kamu bisa menghubungi nomor Rama, asisten saya, dia yang akan mengatur semuanya.”

Khansa hanya memandangi punggung Om Pras yang sudah beranjak dan melangkah menuju mobilnya. Dikejauhan dilihatnya pintu mobil yang sudah dibukakan oleh seorang pria lain yang tak kalah rapi. Mungkin dia Pak Rama, asisten Om Pras. Khansa mendengus kesal dan berjalan menuju mobil yang menunggunya semenjak tadi.

***

Khansa berniat menanyakan pada papa mengenai apa yang diancamkan Om Pras kemarin, dia akan menemui papanya sepulang sekolah nanti. Jika memang Om Pras memutuskan kerja sama yang telah dilakukan papa dan perusahaannya, sepertinya dia harus mengalah. Menyetujui yang diminta Om Pras dengan menghubungi asistennya, Pak Rama.

Sopir sudah menjalankan mobil menuju kantor papa. Sebelumnya Khansa memberitahu mama jika akan mampir ke kantor papa karena ada hal yang ingin disampaikannya. Mama mengizinkan tanpa menaruh curiga sedikitpun.

Setelah makan siang Yasmine meminta Brian menemuinya di ruangan. Dia ingin mengetahui tanggapannya mengenai ancaman Pras pada mereka. Saat Brian mulai melangkah menuju kursi di hadapannya, wajah Yasmine terlihat sangat kesal.

“Brian, bagaimana ini? Ancaman Pras benar-benar terjadi, papa kemarin mengabarkan jika sebuah kontrak dibatalkan,” tanya Yasmine gugup saat Brian datang ke ruangannya setelah jam istirahat selesai.

“Bagaimana menurutmu, Yas. Apakah Pras memiliki kekuasaan yang bisa membuatnya melakukan apa yang diucapkannya?” tanya Brian kembali.

“Aku tidak tahu Brian. pikiranku buntu saat ini. Aku tak tahu siapa sebenarnya Pras, hingga dia mengatakan ancamannya dengan seyakin itu,” ucap Yasmine gusar menahan bulir bening yang sebentar lagi akan meluruh.

Yasmine tak menyangka Pras akan semarah itu. Niatnya untuk memilih Brian hanya karena dia merasa tak seiring sejalan dengan Pras. Pertama kali Yasmine mengenalnya saat dia mewakili penandatanganan kontrak kerja sama dengan perusahaannya. Papa mengutus Yasmine karena saat itu papa kurang sehat.

Praslah yang memulai hubungan mereka. Yasmine belum pernah menjalin hubungan serius dengan pria manapun sebelum memutuskan untuk menerimanya. Alasannya, dia ingin mencoba berhubungan serius dengan sosok pria.

“Sebaiknya kita sampaikan pada papa. Biarlah papa yang nanti memutuskannya. Aku tak ingin mengorbankan kebahagiaan Khansa untuk menebus kesalahanku,” keluh Yamine pada Brian yang hanya bisa mendengar keluh kesahnya.

Mereka memutuskan menemui Pak Hendry, Papa Yasmine. Saat melewati meja sekretarisnya terdengar suara benda mengenai dinding. Yasmine dan Brian saling memandang. Tak lama sekretaris papa keluar dengan wajah ketakutan.

“Bu Yasmine? Maaf bu sepertinya Pak Hendry sedang kesal. Sebaiknya ibu tidak masuk dahulu,” sarannya tak membuat Yasmine mengurungkan niat untuk menemui papanya.

“Brian, sebaiknya kamu tidak perlu ikut menemui papa, aku takut papa semakin marah. Aku bisa menghadapi papa sendiri,” ucap Yasmine pada Brian.

Awalnya Brian menolak, namun setelah mempertimbangkan kembali, Brian memutuskan untuk menyelesaikan pekerjaannya. Ditinggalkannya Yasmine dan mulai berjalan kembali ke ruangan di mana meja kerjanya berada.

Yasmine mengetuk pintu ruangan papa, mengucapkan salam dan mengatakan jika dia ingin menemuinya. Papa tak menjawabnya, namun dia memberanikan diri membuka pelan pintu yang tidak terkunci itu. Setelah melihat ke dalam, diberanikannya untuk melangkah masuk.

“Pa, ada apa?” tanya Yasmine melihat vas bunga yang berserakan. Pasti benda itu yang dilemparnya tadi.

“Tambah kurang ajar Pras, baru saja papa mendapat kabar jika satu lagi kontrak dibatalkan! Mau menghancurkan Perusahaan papa? Kita lihat nanti!” geramnya melihat Yasmine yang melangkah masuk dan duduk dihadapannya.

“Sepertinya sudah tidak ada jalan lain. Khansa harus membalas budi dengan keluarga kita. Dia harus menikah dengan Pras sesuai keinginannya. Papa tidak mau hancur hanya karena masalah yang tidak masuk di akal ini,” lanjutnya masih dengan kemarahan yang ditahannya.

Saat itu Khansa sudah berada di depan pintu ruangan papa, mendengarkan tanpa keinginan untuk mengetuk pintu dan masuk. Dipertajam pendengarannya untuk kembali mendengarkan ucapan papa dan Kak Yasmine di dalam.

“Pa, Khansa belum juga lulus. Ujian sekolah masih tiga bulan lagi, aku tidak mau membuat masa depannya hancur hanya karena kesalahanku,” bela Yasmine pada papanya.

“Kalaupun sekarang kamu memilih Prasetya, apakah bisa kamu meyakinkannya jika dia adakah ayah dari anak yang dikandungmu?”

“Pras pasti tidak akan mau mengakuinya. Satu-satunya cara menghentikan kegilaannya adalah memberikan apa yang diinginkannya. Menikah dengan Khansa,” jelas papa sambil menggerutu.

Khansa mendengar dengan jelas semua percakapan papa dan kakaknya, tubuhnya seakan membeku di balik pintu. Mencoba menarik napas panjang dan menghubungkan apa yang didengarnya dengan apa yang disampaikan Om Pras kemarin.

Sepertinya Om Pras menepati janjinya, lewat pukul dua belas maka satu kontrak akan diselesaikannya. Khansa merasa bersalah dengan kejadian ini, membiarkan ancaman Om Pras pada keluarganya… Keluarga? Dia sendiri tidak tahu siapa keluarganya.

Khansa memutuskan untuk tidak menemui papanya. Dia tak dapat lagi berpikir jernih. Semua yang didengarnya seakan dia akan diusir dari keluarga Yudhatama, walaupun semua itu adalah kenyataan jika dia bukan bagian dari mereka.

“Khansa tidak masuk saja? Ada Bu Yasmine di dalam,” tegur sekretaris papa yang baru kembali memanggil petugas kebersihan kantor.

“Tidak, Bu. Ada janji dengan teman, khawatir mengganggu juga,” ucapnya beralasan.

Khansa meninggalkan kantor papa dengan sedikit tergesa, dihubunginya nomor Pak Rama yang diberikan Om Pras kemarin. Dikirimnya pesan jika dia akan menerima tawaran Om Pras.

“Bu Yasmine, maaf mau dibersihkan dahulu pecahan vas bunganya,” ucap sekretaris papa sambil mengajak petugas kebersihan yang dipanggilnya.

Petugas kebersihan langsung membersihkannya sesuai arahan sekretaris papa. Papa hanya mendengus kesal melihatnya. Yasmine hanya memperhatikan agar tak ada pecahan yang tertinggal.

“Bu, tadi ada Khansa datang, tapi sepertinya tidak jadi masuk karena mendengar ibu dan Pak Hendry sedang berbincang,” ucapnya setelah petugas kebersihan keluar dari ruangan.

“Khansa?” tanyanya heran.

“Iya bu, saat saya tanya sepertinya Khansa ada janji lagi dengan temannya. Dia juga bilang takut mengganggu,” ucap sekretaris papa sambil pamit keluar ruangan.

Yasmine menatap papanya, menebak apa yang ada dalam pikirannya. Ditariknya napas perlahan sebelum mengungkapkan apa yang ada dipikirannya.

“Pa, apa mungkin Khansa mendengarnya, sehingga dia tidak jadi masuk?” tanya Yasmine pelan.

“Memang salah ucapan papa? Dia memang bukan anak kandung papa kan, Sampai kapanpun papa akan tetap mengingat apa yang sudah dilakukan ayahnya dahulu,” sergah papa.

“Iya... tapi Pa, semua bukan salah Khansa. Aku juga sudah menganggapnya seperti adikku Pa,” bantah Yasmine.

“Kamu dan mama sama saja, membelanya terus. Terserah kalian, yang penting Khansa harus mau memenuhi keinginan Pras. Secepatnya!”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status