"I-iya, Tuan," jawab Elena gugup.
Tak bisa dibayangkan, bagaimana akhirnya hidup Elena jika terus tinggal dengan pria seperti Meix.
Mungkin, hal itu akan membuat hidupnya kembali buruk seperti empat belas tahun silam.
Tak dapat dipungkiri, apa yang didengarnya di gereja katedral, Bellavia—adalah nyata. Dua orang wanita berbisik tentang Meix di hari akad nikah itu.
Suara mereka kini terngiang di telinganya.
"Apa akhirnya Elena yang menjadi istri Meix?"
"Iya. Sepertinya itu dia. Aku sangat kaget saat utusan Vladimir mengirim undangan baru dengan nama mempelai yang berbeda."
"Kasihan sekali gadis itu. Dia akan berhadapan dengan pria Arogan dan dingin seperti Meix."
Dan kini, apa yang dikatakan wanita itu sudah sepenuhnya terjadi.
'Kau memang arogan, Meix. Dasar beruang kutub,' batinnya kesal.
Lalu ingatan yang lain berkelebat. Elena tersentak.
'Benar. Mereka juga bilang Meix mandul?'
Elena memijat keningnya. 'Astaga... Apa yang akan terjadi padaku setelah ini. Apakah aku akan terusir karena tidak bisa mempunyai keturunan? Apa ini yang Vladimir rencanakan. Membuatku semakin tak berharga lebih dari sebelumnya.'
Pandangan Elena tertuju pada Meix yang sedang menurunkan celana. Bahkan, pria itu tak peduli meski ia tengah berdiri menatapnya.
Elena terkesiap. Spontan menutup matanya lalu bergegas masuk ke toilet. Dadanya naik turun. Pipinya memerah bagai buah ceri yang jatuh dari pohon.
"Dasar pria aneh. Apa dia tidak melihat aku berdiri di belakangnya. Bisa-bisanya telanjang sembarangan," desisnya.
Elena segera mangganti bajunya dengan piyama berbahan sutra. Lembut kain itu menempel sempurna mengikuti lekukan tubuh. Lehernya berbentuk V dalam—membuat dadanya sedikit terlihat.
"Apa tidak ada piyama lain? Kenapa ini—"
Suaranya tercekat saat ia menatap dirinya sendiri di cermin. Ia merasa baju ini terlalu seksi meski sudah tertutup sepenuhnya.
"Tapi apa yang harus aku pakai? Aku tidak sempat membawa baju dari Bergdorf."
Ingatannya melesat ke desa Bergdorf tempatnya tinggal selama ini. Sebuah desa terpencil yang terletak di lereng gunung. Desa yang memberinya kehidupan dan cinta yang tulus selama empat belas tahun.
Ia sudah cukup bahagia dengan itu. Namun hatinya tak bisa bohong, Elena rindu Bellavia.
Ia rindu kasih sayang yang pernah didapatkannya waktu kecil. Rindu Ravenhall Estate tempatnya lahir dan tumbuh dengan penuh cinta bersama orang tuanya. Namun semua itu sirna sejak Elena berumur tujuh tahun.
"Semua gara-gara Lucien. Dia membawaku kembali ke Bellavia tanpa mengatakan alasannya."
Elena mencuci wajahnya kasar. Ia melampiaskan amarahnya dengan menggosok sisa make up tanpa kelembutan.
Apa dia berusaha menyakiti dirinya sendiri?
Di depan cermin, Elena meraba bekas luka di keningnya. Air matanya menggenang di pelupuk mata.
Bayangan saat sebuah sepatu hills menendang wajahnya berkelebat. Darah berceceran. Ia ketakutan dan menggigil sendirian. Tak ada yang peduli.
Elena menutupi keningnya dengan poni. Berusaha menyembunyikan luka yang sakitnya... entah kapan akan menghilang.
Ia terdiam lama. Menatap dirinya yang begitu sial. Entah sampai kapan penderitaannya akan berakhir.
Elena menutup mata. Menarik napas panjang—berusaha menyembunyikan lukanya. Lalu segera kembali ke kamar untuk beristirahat.
Namun langkahnya terhenti, saat pandangannya tertuju pada Meix yang duduk di atas kasur. Bahunya terlihat kosong tanpa balutan apapun. Hanya selimut yang menutupi bagian bawahnya. Entah bagaimana keadaan di balik selimut itu.
Elena membeku di ambang pintu. Ia menatap Meix yang sibuk memainkan hpnya. Rambut hitamnya tersisir ke belakang menunjukkan wajahnya yang maskulin.
Tanpa terasa, senyumnya tersungging. "Dia tampan juga." bisiknya. "Dadanya bidang dan atletis."
"Apa yang kau lihat?"
Suara Meix membuat Elena tersentak dari lamunan. Ia segera mengalihkan pandangannya. Tertawa berlebihan, meski sebenarnya tak ada yang lucu.
Meix menatapnya tajam. Tangannya bersedekap—dingin.
Elena seketika terdiam. Kepalanya tertunduk. "Itu... Kenapa kau tidak mengenakan baju?" tanyanya hati-hati.
"Aku terbiasa tidur tanpa busana. Apa itu menganggangumu?" jawab Meix santai.
"Tidak," dustanya. Elena segera berjalan menuju sofa di samping ranjang.
"Lalu apa yang kau kenakan?" tanya Meix.
"Baju tidur."
"Aku bisa melihat lekuk tubuhmu dengan jelas. Dadamu menyembul. Kau sengaja menggodaku?"
Tangan Elena bersilang dada. Matanya membulat sempurna. Ia segera berbalik lalu berlari kecil menuju toilet.
"Berhenti!" teriak Meix.
Elena mematung. Ia bisa mendengar suara selimut yang tersingkap, gesekan tubuh Meix yang turun dari ranjang. Langkah kakinya bagai angin topan yang siap menumbangkan Elena kapan saja.
"Mau ke mana?"
"G-ganti baju," jawab Elena gugup.
"Apa kau punya baju?"
Elena mencoba mengingat. Benar. Ia tidak sempat membawa apapun. Bahkan piyama ini ia dapatkan dari hadiah pernikahan. Entah siapa yang memberikannya.
Elena mengeluh samar. "Tidak..." jawabnya lirih.
"Balikkan badanmu."
"A-apa kau sekarang berdiri di belakangku?"
Meix menyeringai. "Iya."
Elena mengembuskan napas panjang. 'Apa yang harus aku lakukan. Haruskah aku melihatnya telanjang?'
"Tidak mau menurut? Apa kau lupa janjimu?" ucap Meix dengan nada mengancam.
Elena merasa terpojok. Otaknya berpikir seribu cara untuk bisa lari dari kondisi ini.
Ia adalah wanita yang cerdas. Ahli dalam science. Elena bahkan mampu memecahkan setiap masalah yang terjadi di desa Bergdorf.
Tapi tidak untuk urusan pria. Di usianya yang sudah dua puluh satu tahun, ia belum pernah berurusan dengan laki-laki. Apalagi... Pria arogan seperti Meix.
"A-aku akan berbalik. Tapi... Bisakah kau pakai baju terlebih dahulu?"
"Kenapa aku harus menurutimu?" tolak Meix.
Elena mengusap tengkuknya. "Bukan begitu. Aku... Hanya merasa tak nyaman."
"Haruskah aku menghampirimu?" ancam Meix. "Lehermu terlihat sangat menggairahkan."
Spontan, Elena membalikkan badannya. Namun matanya masih terpejam. Wajahnya menunduk.
"Buka matamu," perintah Meix dingin.
Elena masih terdiam. Pikirannya berkecamuk. Tubuhnya bergetar. Telapak tangannya mulai basah.
"Aku bilang buka matamu, Nona..." ulang Meix.
Merasa terdesak, Elena perlahan mengangkat wajahnya. Lalu membuka kelopak matanya seolah waktu berjalan melambat.
Elena terperanjat, ia segera menutup mulut—terkejut dengan perintah refleksnya sendiri. 'Ups... Apa yang aku katakan? Kenapa aku malah melarangnya pergi?' batinnya.Bola matanya berputar ke segala arah, mencoba mencari alasan. Jangan sampai Meix sadar dengan pikiran-pikiran konyolnya."Emm.... M-maksudku... Aku mau mengobati lukamu. Iya... Itu. Aku mau mengobati lukamu," katanya gugup, pipinya kembali merona.Meix tersenyum simpul, sebuah senyum kecil yang berhasil ia sembunyikan. "Oke," jawabnya singkat.Ia duduk di sofa, menunggu Elena mengambil kotak pengobatan.Tak lama kemudian, Elena kembali dengan kotak obat di tangannya. Ia mengeluarkan sebuah salep untuk luka memar, mengambil kapas, lalu mengoleskannya pada memar di lengan Meix."Terima kasih..." kata Elena lirih, suaranya nyaris berbisik."Untuk apa?" tanya Meix, tatpannya lurus ke depan."Karena kau sudah menyelamatkanku," jawab Elena, sembari meniup luka Meix.
Elena mengangguk, ragu. "I-iya, Kek."Suara pintu ditutup, dan keheningan yang menyesakkan segera menyelimuti ruangan. Elena menunduk, menggaruk kepalanya yang tak gatal, berbagai ilusi kotor beterbangan di benaknya.Meix menghela napas panjang, tatapannya menyapu sekeliling sebelum akhirnya beranjak dari sofa, lalu berjalan pelan menuju Elena. Ia berdiri tepat di depan istrinya, memperpendek jarak di antara mereka.Elena mengangkat wajahnya perlahan. Matanya meneliti tubuh Meix yang masih basah bermandikan keringat, otot-ototnya yang terbentuk sempurna terlihat jelas.Pandangannya kemudian menyentuh bibir Meix, dan seketika, rona merah menyebar di pipinya. Ia buru-buru membuang muka, jantungnya berdebar kencang."Kau tidak dengar apa yang Kakek bilang?" ucap Meix akhirnya, suaranya datar, namun ada nada tuntutan yang tak terbantahkan."Dengar," jawab Elena singkat, masih enggan menatap Meix."Kalau begitu kenapa diam saja
Dokter itu mengangguk. "Ya... Tentu saja. Saya melihatnya sendiri. Bahkan, dia menolak diobati bahunya yang memar, karena mengutamakan keselamatan Elena."Erich terperanjat, tangan tuanya mencengkeram lengan dokter. Ia menatap lekat-lekat, seolah ingin menarik lebih banyak detail dari setiap kata. "Meix memar? Kenapa? Apa yang terjadi padanya?""Itu... Dia bilang harus mendobrak pintu kamar mandi untuk menyelamatkan Nona Elena," jelas sang dokter.Erich membeku, matanya berkedip lambat. Ia menelan ludah, seolah berusaha mencerna setiap kata yang baru saja didengarnya.Tangan keriputnya menyentuh dada, napasnya terasa sesak. Ia menatap kosong ke arah pintu, seolah bisa melihat Meix yang baru saja dibentaknya di balik sana. Penyesalan menggerogoti hatinya. "Meix... Kakek sudah salah menilaimu," gumamnya, suaranya parau.Elena menunduk dalam, bahunya merosot seolah menahan beban. 'Meix menolongku? Tapi bukankah dia yang mengunciku di kamar mandi?' bat
Meix berlari dengan napas tersengal. "Dokter... tolong Elena."Dokter mengambil stetoskop dari meja, lalu segera berlari menuju ranjang Elena. "Tuan Meix. Silahkan tunggu di luar."Meix mengangguk, lalu melangkah lemas ke luar ruangan. Ia berjalan mondar-mandir dengan gelisah, sambil sesekali melirik ke dalam IGD lewat kaca kecil di pintu.Tak lama kemudian, dokter keluar memanggilnya. "Tuan Meix. Pasien sudah sadar."Mata Meix berbinar. "Benarkah, Dok? Apa aku boleh menemuinya?"Dokter mengangguk seraya tersenyum hangat. "Tentu... Silahkan, Tuan..."Meix tersenyum lebar, lalu segera berlari menuju Elena. "Elena..." panggilnya lirih.Namun di luar dugaan. Elena membuang muka—tak mau melihatnya.Ujung alis Meix sedikit terangkat. Ia tersenyum tipis, lalu duduk di dekat Elena. Tangannya menggenggam hangat jemari istrinya itu. "Elena... Bagaimana keadannmu?"Elena menarik tangannya kasar. Raut wajahnya datar, ta
Di dalam ruang IGD, selang infus tertancap ke pembuluh darah Elena. Ia belum sadar sejak delapan jam yang lalu, tubuhnya demam dan sesekali kejang hebat, akibat syok berat setelah terkurung dalam kegelapan.Bibirnya terlihat kering, matanya sembab. Keringat dingin menetes di pelipisnya, seolah kegelapan masa lalu itu kembali mencekiknya.Malam itu, saat tubuhnya berjuang melawan syok, pikiran Elena kembali diseret paksa dalam memori kelam. Mimpi buruk kembali datang, memenjarakannya dalam kegelapan yang ia takuti lebih dari apapun."Kau harus hitung yang benar, ya... Aku akan bersembunyi."Teriak Elena menjauh dari dua temannya. Ia berlari mencari tempat bersembunyi."Baiklah... Cepat sembunyi. Kalau tidak, aku akan segera menemukanmu," sahut teman prianya."Jangan intip, ya!" teriak Elena sambil tertawa kecil. Ia berlari menunduk ke kolong meja, berharap teman-temannya tak menemukannya terlalu cepat.Lalu tiba-tiba, seluruh cah
Jack berlari terengah-engah, masuk ke dalam kerumunan pesta. Matanya menyapu seluruh ruangan, berharap segera menemukan tuannya."Jack, ada apa?" Suara Meix tiba-tiba terdengar di belakangnya. "Kenapa kau terburu-buru. Apa kau mencariku?""Elena, Tuan. Elena..." ujarnya, dengan napas tersengal. Ia menunjukkan ponselnya pada Meix.Kening Meix berkerut, lalu mengambil ponsel Jack. "Ada apa dengan Elena? Dia meneleponmu?""Iya, Tuan. Tapi tidak ada suara. Saya khawatir terjadi sesuatu padanya," ujar Jack.Meix mencoba mendengarkan ponsel Jack. Dan benar saja. Panggilannya terhubung, namun tak ada suara. Bersama dengan itu, Meix melihat Lucien yang tiba-tiba berlari ke arah toilet.Ia mengembalikan ponsel Jack ke dadanya, matanya membelalak tajam ke arah bayangan Lucien. "Ah... sial! Aku lupa Elena sedang di toilet." Nada suaranya terdengar khawatir, ia segera berlari menyusul Lucien menuju toilet.Sesampainya di sana, Meix sudah me