LOGIN
"Mau ke mana?"
Kaki panjang Meix menghalau langkah Elena. Ia duduk di tepi ranjang dengan tatapan tajam penuh perhitungan.
"A-aku mau ganti baju." Suara Elena bergetar menahan gugup. Wajahnya terus tertunduk menghindari tatapan pria di sampingnya yang penuh bara.
Gaun pengantin melekat di tubuhnya yang ramping—terbalut kaku seakan mengisyaratkan pesta yang belum usai.
Rambut panjangnya yang berwarna cokelat masih tergulung tanpa sehelaipun tergerai. Bahkan, tiara berwarna perak masih menjuntai indah mengikuti lekuk tubuhnya yang semampai.
'Kenapa harus aku yang menjadi pengantinnya? Apa alasan mereka memaksaku masuk ke dalam pernikahan—yang hanya melumatku dengan kebencian?' batin Elena.
Suasana kamar pengantin di Dalton Estate malam itu sungguh mencekam. Meski cahaya lampu kristal telah diatur dengan warna hangat, namun tidak dengan hati pasangan pengantin itu.
Merasa terperangkap dalam pernikahan yang tak diinginkan, Meix bangkit perlahan untuk memberikan sebuah penghakiman. Ia berdiri tegap di depan Elena yang semakin gelisah. Jemarinya yang berurat bergerak tenang melepas tuxedo yang terasa menghimpit. Ia melemparnya kasar ke atas ranjang, membuat bunga mawar yang tertata berserakan ke lantai.
Elena tersentak. Satu kakinya mundur dengan samar. Ia masih belum berani mengangkat wajahnya. Telapak tangannya berkeringat—mencengkaram kuat sisi gaun yang melilit.
Meix melepas kancing kemejanya satu-persatu. Dadanya yang bidang terbuka lebar. Cahaya lampu temaram menyinari ototnya yang atletis. Mata cokelat Meix tak berpaling dari Elena yang semakin menjauh. Meix mengangkat paksa dagu Elena—membuat tatapan mereka akhirnya bertemu.
"Buka di sini," perintahnya dingin.
Pupil mata Elena melebar. "A-apa?"
Sudut bibir Meix terangkat. "Kenapa kaget? Kau istriku. Buka bajumu di hadapanku."
Tubuh Elena menegang. Kelopak matanya bergerak cepat. Kakinya melangkah semakin mundur, namun dengan cepat Meix menarik pergelangan tangannya membuat Elena terjerembab ke dalam pelukan Meix yang tinggi dan kokoh.
Lengannya yang kuat melingkar di pinggang Elena—merapatkan ke perutnya tanpa kelembutan. Ia menarik tengkuk istrinya itu, lalu menekan bibirnya dalam ciuman kasar, tanpa rasa.
Elena tersentak. Ia mendorong dada Meix sekuat mungkin. Berusaha melepaskan diri dari cengkeraman suami yang tak diinginkannya itu. Nafasnya memburu, tangannya bergetar hebat.
"Maaf, Tuan. Aku rasa... tidak seharusnya kita melakukan itu," ujar Elena. Nada suaranya cepat dan tidak teratur. Wajahnya terus tertunduk seolah enggan menatap kebringasan suaminya.
Meix terkekeh. Dingin. Rendah. Ia melepas kemejanya. Sengaja mempertontonkan dada telanjang pada Elena yang terlihat gusar.
Baru beberapa jam yang lalu pesta pernikahan mereka usai. Alih-alih melakukan malam pertama penuh kebahagiaan. Mereka justru bergulat dengan kegelisahan yang menghimpit dada.
Elena melangkah mundur. Melihat dada Meix yang bersinar di bawah lampu seolah memaksanya untuk terus berlari. Namun tak ada ruang bersembunyi. Punggungnya menabrak nakas panjang yang justru membuatnya terperangkap—tak bisa bergerak.
Sementara Meix semakin melangkah maju—menghimpitnya. Hingga tak ada jarak di antara mereka. Ia menatap Elena lama sebelum akhirnya bicara.
"Aku sudah berusaha lepas dari pernikahan ini. Tapi kau justru datang dan mengacaukan segalanya," ucapnya. Suaranya mengandung bara.
Tangan Meix kembali mengangkat dagu Elena kasar, syarat menghakimi.
"Katakan! Berapa Vladimir membayarmu?"
Jantung Elena mencelos, tubuhnya bergetar, wajahnya pucat, napasnya terengah.
Seketika, ingatannya kembali pada beberapa jam yang lalu saat Vladimir menyeretnya berjalan menuju altar.
Dibayar? Elena justru memohon untuk pergi. Namun nama itu... nama itu yang membuatnya terjebak bersama pria arogan ini.
Meski tubuhnya kini tengah bergetar hebat, Elena memberanikan diri untuk bicara.
"Tuan... kau mungkin salah paham. Aku tidak dibayar," bisiknya.
Ia berusaha menguatkan dirinya agar tak ambruk. Mata abu-abunya yang lembut menatap Meix seolah memohon agar dipercaya.
Namun usahanya sia-sia. Meix terlihat menyeringai dan masih menatap Elena lama. Mungkin ia tahu. Saat ini, Elena tengah berusaha membujuknya.
"Tidak dibayar?" bisiknya tajam. "Jadi... kau dengan sukarela ingin menjadi istriku?"
Elena menggelang cepat dan gugup. "T-tidak, Tuan."
Meix mendekatkan wajah. Hidungnya menyentuh milik Elena. Nafanya memburu. "Kenapa kau membuatku marah, Nona..."
Tangannya bergerak menyusuri punggung Elena. Ia menurunkan resleting gaun itu perlahan. Namun jemarinya terhenti di tengah jalan, tepat saat Elena berkata—
"Jangan lakukan itu sekarang, Tuan..."
Meix membeku. Ia merasakan tetesan air jatuh membasahi pundaknya.
"Aku akan menurut padamu," Tambah Elena dengan suara bergetar. "Tapi tolong. Janga lakukan itu sekarang."
Meix menegakkan tubuhnya. Ia menatap Elena yang sudah berderai. Raut wajah Meix dipenuhi beribu pertanyaan yang tak bisa diajukan saat ini. Tubuhnya melemas, tak lagi tegang seperti sebelumnya. Ia menatap Elena lama sebelum akhirnya bicara.
"Kau akan menurut?"
Elena mengangguk pelan sembari menahan isak.
Meix mencibir. Ia perlahan mundur, menjauhi Elena yang terlihat kacau.
Dan akhirnya, Elena bisa menegakkan tubuhnya. Berusaha menata kembali jiwa yang hampir runtuh.
Meski begitu, Meix masih terus menatapnya. Seakan ingin mempertimbangkan sebuah langkah. Mencoba membaca raut wajah Elena. Berharap, wanita yang kini sah menjadi istrinya itu tidak sedang membual seperti wanita-wanita sebelumnya.
Meix meraih bantal di ranjang. Ia melemparnya tepat mengenaik wajah Elena.
"Kau tidur di sofa," ucapnya ketus.
Elena mengangguk pelan sembari memeluk bantal. Matanya yang sembab kini mulai berani menatap Meix.
"Ingat, Nona. Kau sudah berjanji akan menurut. Jika kau berani membual, akan kubuat hidupmu seperti neraka," ancam Meix.
"Baik, Tuan!" Jack segera berlari ke halaman, lalu menyalakan mobil.Meix menyusul di belakang, napasnya terengah saat berusaha membawa Elena masuk ke dalam mobil. "Cepat, Jack!""Siap, Tuan!"Jack segera menginjak gas dengan kecepatan penuh menuju rumah sakit Anak dan Bunda.Sesampainya di sana, Meix segera berlari. Ia menggendong tubuh Elena yang tak sadarkan diri menuju ruang IGD. Setiap langkahnya terasa berat, seolah sedang berjalan di tepian jurang."Dokter! Tolong, Dokter!" teriaknya dengan napas tersengal-sengal.Beberapa orang perawat datang, mendorong sebuah ranjang rumah sakit. Meix segera meletakkan tubuh Elena yang lemas dan berwajah pucat."Tolong tunggu di luar, Tuan. Kami akan segera menindak pasien," ucap sang dokter.Meix hanya mengangguk. Wajahnya dipenuhi keringat dingin. Kelopak matanya bergerak cepat, ia berusaha menahan air mata yang mendesak keluar sambil menatap dokter yang menutup pintu IGD.'Elena... Kau akan baik-baik saja, kan?' batinnya.Ia berjalan monda
Meix dan Jack tiba di Dalton Estate. Jack sibuk memarkirkan mobil, sementara Meix langsung masuk ke dalam mansion. Wajah pria itu terlihat datar dan dingin, seolah raga tanpa nyawa. Ia mengunjungi Erich di kamarnya sebelum naik ke lantai dua. "Kakek... Aku pulang." Nada suaranya lembut, hampir berbeda dengan Meix sebelumnya.Erich yang tengah duduk santai di kursi goyang, seketika terperanjat. Ia bangkit dengan wajah berseri sambil menghampiri cucunya. "Meix? Kau sudah pulang?"Kekehan kecil lolos dari bibirnya saat ia memeluk cucunya itu. "Cucuku... Apa kau sudah sehat?"Meix membalas dekapan itu, senyum lega tersungging di wajahnya. "Sudah, Kek. Dokter sudah menyatakan—mentalku sepenuhnya sehat."Erich melepas pelukannya. Ia menatap Meix haru dengan senyum yang tak pernah lepas. "Syukurlah."Lalu tiba-tiba, kepalanya miring ke kiri dan ke kanan, seolah mencari sesuatu di belakang cucunya itu. "Tapi, di mana Elena? Apa kau... belum menjemputnya?"Meix menggeleng pelan, lalu menunduk
Tubuh Elena semakin lemas. Udara yang bisa ia hirup semakin menipis. Napasnya tersengal-sengal. Ingatan saat Anastasia meregang nyawa, menyayat dirinya hingga remuk. Ditambah sebuah kenyataan pahit yang baru saja ia dengar dari Camille, 'Kau anak haram, Elena. Ibumu berselingkuh.' Kenyataan itu bagai palu godam yang menghantam hatinya.Air matanya jatuh dengan deras. Ia meremas dadanya yang terasa sesak sambil terus berbisik, "Ibu... Siapa aku sebenarnya?"Elena memejamkan mata, sebelah tangannya mengepal kuat di lantai yang kotor dan dingin, sedang tangan yang lain masih meremas dadanya yang terasa nyeri.Tepat saat tubuhnya hampir roboh, lampu gudang tiba-tiba menyala disusul dengan suara panggilan dari balik pintu."Elena. Apa kau baik-baik saja?"Elena sontak membuka mata, lalu mengatur napasnya perlahan. Matanya menyapu setiap sudut ruangan yang lembap dan menyesakkan itu.Tok! Tok!"Elena. Apa kau mendengarku?!" teriak Lucien sambil mengetuk pintu berulang kali.Elena menghapus
"Baik, Tuan," sahut Jack sambil terus mengikuti Meix menuju mobil. Ia mengeluarkan ponselnya, lalu menghubungi seorang pelayan di Ravenhall Estate.Meix lebih dulu masuk ke dalam mobil. Pandangannya lekat pada Jack yang berdiri di luar sambil serius berbicara di telpon.Beberapa menit kemudian, Jack terlihat menyelesaikan teleponnya, lalu masuk ke dalam mobil."Bagaimana, Jack?" tanya Meix. Kepalanya agak miring, menatap Jack yang duduk di kursi pengemudi.Jack menoleh sedikit, kedua tangannya meremas setir mobil. "Nona Elena—" suara Jack tercekat, seolah berat untuk menyampaikannya. Ia menunduk sebentar, menimang kata yang ingin diucapkan. "—sedang menyiram tanaman. Ditemani... oleh Lucien."Meix menjatuhkan tubuhnya di jok mobil. Pandangannya kosong ke luar jendela. Raut wajahnya datar, namun jemarinya meremas celana di pahanya. "Antar aku ke Ravenhall, Jack," pintanya. Nada suaranya datar, tak terdengar emosi seperti sebelumnya."Baik, Tuan."Jack memindah tuas ke huruf D, lalu me
"Kau gila, Elena!" teriak Lucien sambil mendorong sedikit tubuh Elena. "Kenapa kau tetap mencurigai Ibuku?"Elena menegakkan tubuhnya, tatapannya menghunus bak bilah pedang. "Kau masih ingin melindungi ibumu? Apa ini yang kau bilang cinta?"Ia melangkah pelan mendekati Lucien. Jarak diantara mereka hanya sejengkal. Elena dapat merasakan deru napas Lucien yang memburu, panas dan penuh amarah. "Kau tahu betul janin yang kukandung adalah bayi Meix. Kau sengaja memalsukannya untuk menghancurkan hubunganku dengannya."Elena menarik napas panjang sambil meremas sisi gaunnya. "Jika kau lebih menyayangi keluargamu dari pada aku—" ucapnya penuh tekanan. "Akan aku umumkan ke publik, bahwa bayi ini milik Meix."Elena hendak pergi setelah menyatakan ancamannya, namun dengan cepat Lucien menarik tangannya, mengunci tubuh adik tirinya itu ke dinding. "Katakanlah! Apa yang harus kulakukan?"Elena menyeringai dingin sambil membuang muka. "Cari cara, agar Vladimir menghukumku di gudang."Mata Lucien m
Vladimir melihat video yang diputar di ponsel Elena. Dalam rekaman tersebut terlihat Viviane datang menemui seorang wartawan, lalu membagikan sebuah flashdisk sambil berkata—"Video ini harus viral. Buat judul yang besar. 'Meix mandul. Elena Vorontsov sengaja hamil dengan Kakak tirinya.' Gunakan huruf besar. Supaya semua orang melihat tingkah buruknya."Vladimir mengalihkan pandangannya pada Viviane yang terlihat ketakutan. "Tidak... Itu tidak benar, Ayah..." Kakinya melangkah mundur. Ia merentangkan kedua tangannya ke depan, seolah membangun perisai tak terlihat untuk menghalau langkah Vladimir yang menghampirinya.Namun terlambat. Sorot mata Valdimir terlanjur mengandung bara. Kedua tangannya mengepal—siap memberi Viviane pelajaran."Dasar anak bodoh!"TARR!Tamparan keras dilayangkan oleh Vladimir kepada Viviane. Membuat wajah wanita itu terhempas seketika.Camille yang melihat hal itu menjadi gusar. Ia buru-buru mengha







