"Apa yang aku pikirkan?" gumam Elena.
Ia mengetuk kepalanya berulang kali. Berharap pikiran kotornya lenyap.
Meix berdiri di depannya dengan boxer ketat. Tidak telanjang seperti yang ia kira.
Meski begitu, Elena bisa melihat keperkasaan Meix menonjol di sela-sela pahanya yang berotot.
Ia menunduk, membuang muka.
"Ahh... Kenapa aku harus melihat pemandangan ini?" gumamnya.Meix mendekat. Namun dengan cepat, Elena mundur selangkah.
"Jangan mendekat..." perintah Elena. Tangannya terulur menahan langkah suaminya itu.
Meix mematung sesaat. Lalu melanjutkan langkahnya tanpa peduli perintah Elena.
Jantung Elena berdegup cepat.Wajahnya pucat. Keringat dingin mengalir. Pupil matanya melebar seraya menatap Meix. Berharap pria dihadapannya itu menghilang.
Ia terus berjalan mundur hingga kakinya tersandung sofa. "Ukh!"
Tubuhnya terhempas. Diikuti tubuh Meix yang menindihnya. Membuat wanita itu tak bisa berkutik
Mata cokelat Meix menatap Elena bak pemangsa. Jemarinya bermain liar di wajah, hingga turun ke lehernya.
"Apa kau pikir bisa memerintahku, Nona..." desisnya.
Napas Elena memburu. Darahnya berdesir. Ini adalah kali pertama tubuhnya disentuh lawan jenis dengan intens. Ia merasakan aliran listrik menjalar ke otak. Suhu tubuhnya naik. Tenggorokannya terasa kering.
'Apa yang akan dia lakukan? Dan... kenapa tubuhku terasa hangat?' batinnya.
"Kau suka sentuhan ini?" Meix menyeringai.
Bibir Elena bergetar. Namun tak ada suara yang keluar.
Ia menggeliat saat jemari Meix terus turun hingga menyentuh dadanya yang ranum. Hembusan nafasnya semakin memburu, peluh merembes ke seluruh tubuh.
Bibir pria itu bermain lihai di leher mulus Elena. Tangannya yang kekar semakin turun, mengusap lembut bunga matahari di sela pahanya. Tubuh Elena menggelinjang, mengeluarkan desahan samar.
Meix tersenyum puas. "Sepertinya kau mulai basah, Nona. Haruskah aku masuk sekarang?"
Mata Elena terbelalak. Ia mendorong tubuh Meix sekuat tenaga hingga tersungkur.
"Ugh!" Suara Meix terdengar kecewa. Atau mungkin sakit?
Elena segera bangkit, gelisah. "M-maaf, Tuan. Aku tidak sengaja," ucapnya menyesal.
Wajah Meix tampak bodoh. Rahangnya mengerat, menatap Elena semakin tajam.
Dengan gemetar, Elena mencoba mengulurkan tangan. "B-bangunlah..."
Meix membeku. Tak ada yang bisa menebak isi kepalanya saat ini. Mungkin dia marah karena ditolak, atau justru malu?
Perlahan, ia meraih tangan Elena. Namun bukannya bangkit. Meix justru menariknya hingga Elena tenggelam dalam pelukannya.
"Ahh!" Elena mendorong tubuh Meix, berusaha lepas dari rengkuhannya. "Lepaskan..."
Namun tangan Meix semakin mengerat. Ia menarik tengkuk Elena kasar. Hidungnya menyentuh milik Elena.
"Kau berjanji akan menurut," bisik Meix.
Elena tak bisa berkutik. Hembusan nafas Meix menyapu lembut wajahnya yang memerah. Namun yang ia rasakan justru ketegangan, bukan perasaan suka.
"A-apa yang kau inginkan." Suara Elena bergetar.
Meix memainkan hidungnya di setiap wajah Elena. Sebuah kontrol yang ingin ia tunjukkan, bahwa siapun harus tunduk padanya.
"Kau harus selalu mesra denganku seperti ini, di depan kakek. Aku tidak mau ada penolakan. Di luar itu, jangan coba-coba mendekat. Bagiku... Kau bukanlah siapa-siapa."
Meix mendorong tubuh Elena hingga tubuhnya terjengkang ke karpet wool.
"Hah!" Elena terkejut. Berusaha menahan amarah. Kenyataan pahit itu kini jelas di benaknya.
'Siapa yang akan mendekatimu Tuan beruang? Aku juga tidak pernah menganggapmu suami,' batinnya.
Meix segera bangkit lalu kembali naik ke ranjang. Raut wajahnya datar dan dingin.
Elena berdiri. Wajahnya terlihat murung. Ia menghentakkan kakinya lalu menyibak selimut di sofa dengan gerakan kasar.
Ia menjatuhkan tubuhnya di sofa, memunggungi Meix. "Sial!" gumamnya. "Hariku benar-benar buruk. Aku harap semua ini hanya mimpi. Semoga esok pria itu lenyap dari pandanganku."
Setelah mengomel sendiri, kelopak matanya seketika terpejam. Mungkin, Elena benar-benar ingin Meix menghilang seperti mimpi buruk yang terus menghantuinya.
"Matikan lampunya, Nona..." perintah Meix.
Senyap. Tak ada pergerakan, Meix mengangkat wajahnya. "Apa dia sudah tidur?"
Meix meraih tombol di dekat nakas lalu menekannya. Lampu di seluruh ruangan itu padam. Hanya ada sedikit cahaya yang masuk dari celah pintu di balkon.
Bersama dengan itu, tubuh Elena seperti tersentak.
Meix menatapnya ragu. "Hei... Apa kau hanya pura-pura tidur?"
Masih tak ada pergerakan.
Kening Meix berkerut. Alisnya tertaut. "Masa bodoh!"
Ia menarik selimut, lalu kembali merebahkan tubuhnya.
Semakin lama, ruangan di kamar pengantin itu semakin hangat. Namun bukan dari pasangan pengantin yang baru menikah, melainkan dari perapian listrik.
Beberapa menit kemudian, Meix ikut terlelap dengan nyaman. Seolah tak ada beban dalam hidupnya.
Berbeda dengan Elena. Tidurnya terlihat gelisah. Ruangan tanpa penerangan seolah menulusuk dalam jiwanya. Membawa gadis malang itu pada sebuah mimpi buruk yang selalu terjadi, kala ruangan disekelilingnya gelap.
"Kau harus hitung yang benar, ya... Aku akan sembunyi."
Teriak Elena kecil, menjauh dari kedua temannya. Ia berlari secepat mungkin, mencari tempat bersembunyi.
"Baiklah... cepat sembunyi. Kalau tidak, aku akan menemukanmu," teriak seorang teman pria.
"Jangan intip, ya," kata Elena sambil tertawa kecil. Ia berjongkok masuk ke kolong meja.
Lalu tiba-tiba, seluruh cahaya menghilang. Ravenhall Estate menjadi gelap gulita.
Jantung Elena berdegup kencang. Ia yang mulai ketakutan, merangkak keluar dari kolong meja.
Dengan penglihatan yang samar, Elena mengendap untuk masuk ke kamar ibunya tak jauh dari tempatnya bersembunyi.
Namun langkahnya terhenti, saat sebuah bayangan besar keluar dari ruangan itu. Dan dari kejauhan, Elena melihat ibunya telah terkapar di lantai.
"Ibu..." bisiknya dalam ketakutan.
Elena menyeringai, lalu menarik tangannya kasar. Ia membalikkan badannya—kembali duduk di sofa dengan santai.Ia mengambil gelas jus di meja. Sorot matanya tak ada sedikitpun rasa takut saat menatap Meix, hanya ketenangan yang dingin. "Pastinya bukan anakmu, kan? Bukankah... Kau mandul?"Ia kembali menyeringai seolah meremehkan, lalu menenggak jus itu dengan gerakan pelan.Meix tersulut, tangannya mengepal erat hingga buku-buku jarinya memutih. Matanya memerah, rahangnya mengeras. Ia menarik tangan Elena berdiri hingga gelas itu terjatuh, pecah berkeping-keping di lantai dengan suara keras.Pyar!Tangan kananya menarik pinggang Elena hingga menempel ditubuhnya. Sementara tangan kirinya menarik tengkuk istrinya itu, lalu menyambar bibinya dengan brutal.Pergulatan emosi dan perang bibir pun terjadi. Ciuman yang tadinya penuh amarah, kini ber
Di rumah sakit, Meix terlihat gusar. Pasalnya, sudah dua hari ia dirawat tapi sekalipun Elena tak pernah datang menjenguknya."Jack, apa Elena sangat sibuk?" tanyanya. Ia duduk di atas ranjang rumah sakit sambil memeluk lututnya, seperti anak kecil yang kehilangan ibunya.Jack terdiam, matanya melirik ke kanan dan ke kiri, seolah mencari sebuah alasan. "Tuan, bisakah Anda tidak memikirkan Nona Elena terlebih dahulu? Tolong fokus pada kesehatan Anda."Meix menundukkan wajahnya, matanya terlihat sayu. "Tidak, Jack. Aku tak bisa hidup tanpanya."Di layar televisi yang sedang menyala, sebuah berita tentang Elena muncul. Dalam tayangan itu, terlihat Elena dan Lucien sedang masuk ke dalam mobil hingga ke ruang kandungan di rumah sakit.Pewarta berita menyiarkan...'Elena Vorontsov, istri dari Milioner Meix Dalton yang baru saja mendapat prest
Meix terlihat terkulai di lantai, kemejanya yang terbuka tergeletak di sampingnya. Rupanya, ia berhasil sadar setelah Elena berusaha menggedor pintu, lalu kaget saat melihat wanita yang bersamanya bukan Elena. Dengan tenaga yang masih tersisa, ia berusaha mendorong tubuhnya sendiri hingga terjatuh ke lantai berselimut karpet wool.Sayup-sayup kelopak matanya terbuka saat Elena masuk. Ia berusaha memanggil Elena meski suaranya hampir tak terdengar. "Elena..." bisiknya samar.Viviane turun dari ranjang dengan tergesa. Matanya melotot menatap Elena penuh dengan keangkuhan. "Berani-beraninya kau mendobrak masuk. Keluar!" teriaknya pada Elena.Elena segera menghampiri Viviane lalu menampar wajahnya dengan keras.Tarr!"Wanita tidak tahu malu! Kau mencoba memperkosa suami orang?!" desis Elena.Jack segera menghampiri Meix lalu membantunya untuk naik ke atas ranjang.Viviane meraba pipinya yang terasa panas dan nyeri. Tatapannya
Di waktu yang sama di balkon dekat ballroom, ketegangan antara Lucien dan Elena terasa begitu pekat, seolah membelah udara di antara mereka. Tuduhan Elena terhadap ibu Lucien bagai percikan api yang membakar amarah pria itu."Apa kau gila?! Dari mana pikiranmu menuduh Ibuku seperti itu?" sangkal Lucien.Elena mendengus, membuang muka. Bibirnya tersenyum miring, napasnya masih memburu berusaha mengatur emosi. "Hanya karena aku amnesia, tidak berarti kalian bisa cuci tangan. Apa kau pikir... Ingatanku hilang sepenuhnya?!"Tangan Lucien mengepal di sisi tubuh, lalu perlahan ia longgarkan, jemarinya bergetar halus. Bahunya naik-turun pelan, menarik napas panjang seolah mencoba menelan bara dalam dadanya."Elena. Saat itu kau masih sangat kecil. Ditambah lagi kau amnesia. Ingatanmu itu bisa saja salah," bujuknya, suaranya melembut, mencoba menembus pertahanan Elena.Elena memaksakan senyum tipis, tapi garis di sekitar matanya menegang. Senyum itu lebih
Di sisi lain, jauh dari kesunyian di balkon. Suasana ballroom masih ramai dengan alunan musik dan bincang-bincang dari para tamu yang hadir.Meix menyapu segala area, berjalan melewati beberapa kerumunan berharap menemukan istrinya. Tapi yang ada, ia justru bertemu dengan Viviane."Meix..." Sapa Viviane. Ia menunduk sedikit, lalu mengangkat wajahnya perlahan. Dari balik bulu mata palsunya, tatapannya melirik singkat sebelum tersenyum nakal.Ia memberikan anggur yang sudah dicampur obat perangsang sebelumnya. "Selamat. Perusahaanmu kembali mendapat keuntungan besar."Meix tak langsung mengambilnya, ia melirik gelas itu sebentar lalu kembali menatap Viviane dengan sorot mata dingin. "Apa yang kau inginkan?!" desisnya, matanya menyala penuh amarah."Meix... Berhentilah bersikap kasar padaku. Bagaimanapun juga, aku adalah mantan tunanganmu," ucap Viviane. Nada suaranya sedikit mendesah, penuh godaan.Ia menyodorkan kembali gelas
Tangan Emma bersilang dada, matanya memicing menatap Viviane sambil menyeringai dingin. "Kau? Kau masih punya harga diri datang ke pesta ini?"Viviane mengalihkan pandangan, tangannya yang gemetar meremas sisi gaunnya. "E-elena itu saudaraku..." sahutnya gugup."Perhatian semuanya!"Percakapan mereka kemudian terhenti saat suara teriakan Elena terdengar. Suara riuh dentingan gelas, tawa renyah, dan musik biola yang elegan tiba-tiba ikut mereda."Mohon maaf, aku minta perhatian dari kalian sebentar."Semua mata di ruangan besar itu kini menatap satu titik di panggung, ke arah Elena yang memegang mikrofon. Tak ada yang bersuara, semua fokus hanya pada Elena, seolah menunggu pengumuman yang akan memecah kesunyian."Aku mengucapkan terima kasih kepada kalian semua, karena telah menyempatkan hadir di pesta ini," ucapnya dengan wajah berseri."Aku sangat bahagia dan bersyukur telah menikah dengan Meix." Ia melirik Meix, lalu menggengg